Minggu, 24 Januari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 108

"Nona, dia telah kena aku tangkap!" Kwee Ceng serukan Lam Kim.

Nona itu girang sekali, ia lekas mengeluarkan obatnya pemunah racun, yang ia masukkan ke mulutnya, setelah itu, ia turun dari pohon, lari menghampiri si anak muda. Sebutir obatnya mau ia serahkan kepada si anak muda.

Burung itu pingsan, dengan begitu, lenyaplah pengaruhnya, maka waktu itu, semua ular yang ketakutan, lantas lari serabutan menyingkir dari rimba itu. Kwee Ceng merasakan burung tidak bergerak, ia khawatir mati, ia memegang dengan perlahan. Ia memegang dengan kedua tangannya. Ia membawanya ke tempat di mana ada tembusan sinar rembulan.

Ketika Lam Kim telah datang dekat, ia mengangsurkan obatnya. "Engko Kwee, obat ini bisa melawan racun ular," katanya.

Kwee Ceng tahu ia tidak membutuhkan itu, akan tetapi tidak menampik kebaikan hati si nona, ia menyambutnya. Karena menyambut, tangannya yang memegang burung tinggal sebelah. Justru itu, burung itu berontak dan terbang lolos!

"Ah, sayang, sayang!" anak muda ini membanting¬-banting kakinya.

"Burung itu cerdik, mungkin dia tidak berani datang lagi," berkata si nona.

"Maka itu aku mengatakan sayang," kata si anak muda.

"Kenapa engko?"

"Aku berniat menangkap dia untuk diberikan kepada Yong-jie…."

Lagi-lagi nama Yong-jie disebut. Lam Kim heran. Suara memanggil itu pun halus sekali. "Apakah Yong-jie itu anakmu?" ia menanya. Ia mengartikan Yong-jie seperti anak yang bernama Yong.

Ditanya begitu, pemuda itu melengak. "Bukan!" sahutnya dengan cepat. "Dia adalah anak perempuan, jika dibandingkan denga kau, usianya lebih muda satu dua tahun."

"Ah, dia tentu cantik sekali, bukan?"

"Tentu saja! Dia bukannya cuma cantik, juga pintar dan baik hati….."

Selama beberapa bulan Kwee Ceng selalu mengingat-¬ingat Oey Yong cantik dan pintar, hanya karena pendidikan ayahnya, ia termanjakan, tabiatnya rada keras, dia biasa membawa sukanya sendiri, cuma dimata Kwee Ceng, dia tidak ada celaannya. Terhadap Kwee Ceng, Yong-jie suka mengalah.

Lam Kim duduk bersama Kwee Ceng di atas sebongkol pohon yang roboh melintang di tanah, ia mendengar si pemuda memuji si nona, tanpa merasa, ia merasakan sesuatu yang berbeda daripada biasanya.

Lekas juga si pemuda sadar. "Kau lihat!" katanya tertawa. "Tengah malam buta kita memasang omong di sini! Mari kita pulang. Kalau sebentar kakekmu bangun dan ia tidak melihat kau, ia tentunya berkhawatir."

"Tidak," menyahut si nona. "Aku suka sekali mendengar ceritamu." Ia berhenti sebentar, lalu ia menanya. "Nona Oey itu pergi ke mana? Kenapa kau tidak ikuti dia?"

Pertanyaan itu mengena telak kepada Kwee Ceng. Ia tidak dapat lantas menjawab. Bukankah ia bakal menikah dengan Gochin Baki? Bukankah sulit untuknya nanti bertemu pula sama Oey Yong? Mengingat semua itu, ia menjadi berduka. Mendadak saja ia menangis.

Lam Kim terkejut. Ia menyangka telah salah omong. Ia menjadi menyesal dan berduka. Ia malah menjadi bingung bagaimana harus menghibur anak muda ini. Dengan sendirinya tangannya merogoh ke dalam saku, mengasih keluar sehelai saputangan. Ia sodorkan kepada si anak muda.

Kwee Ceng menyambutnya, ia menyusuti matanya. Ia tidak ingin menangis, tetapi ia tidak sanggup menahan kesedihannya. Maka ia menangis lagi.

Tiba-tiba di belakang mereka terdengar satu suara tertawa geli.

"Yong-jie!" berseru Kwee Ceng, ia melompat bangun, akan tetapi ketika ia menoleh tidak melihat siapapun, tidak ada bayangan orang meski cuma separuhnya………..

"Ah, engko Kwee!" berkata Lam Kim. "Kau senantiasa memikirkan nona Oey. Mari kita pulang!"

"Mari!" sahut si anak muda.

Bersama-sama mereka keluar dari hutan itu. Baru jalan beberapa puluh tombak, di depan mereka, melihat tujuh atau depalan orang dengan pakaian putih berbaris, tangan kirinya bertongkat sebatang galah panjang. Mereka jalan setindak demi setindak. Merekalah budak-budak Auwyang Hong, yang matanya buta di patok burung merah itu.

Mengawasi mereka itu, Kwee Ceng merasa kasihan. Maka ia menghela napas. Tapi ia tidak mau mendekati atau menegur, bersama nona Cin ia terus menuju ke rumah si nona, untuk terus tidur.

Besok pagi, ketika Kwee Ceng bangun, ia mendengar empeh Cin lagi sesalkan Lam Kim, yang katanya tidak seharusnya mengajak tetamunya pergi menangkap burung aneh itu sebab berbahaya.

"Memangnya aku yang mengajak?" si nona tertawa. "Dia sendiri yang gemar bermain!"

"Kau gila! Dia toh penolong kita, dia bukannya bocah lagi! Cara bagaimana kau bilang dia gemar bermain sendiri?"

"Kalau yaya tidak percaya, masa bodoh!" kata cucu itu tertawa.

"Masih kau tidak mau kalah! Kalau tuan penolong kita kena dilukai burung keramat itu, habis bagaimana?"

"Dia kosen sekali, mana dapat dia dilukai?" si cuca masih melawan.

Kakek itu menghela napas. "Sudah, sudah…." ia mengalah. "Mari kita berbenah……. Tidak dapat tidak, kita mesti berlalu dari sini…."

"Bagaimana engkong?" tanya si nona heran.




"Kita pulang ke Kwietang. Bangsat polisi itu kena dihajar, mana dia puas? Mana dapat kita tinggal lebih lama di sini? Kalau sebentar tuan penolong kita pergi, jikalau kita berlambat, bahaya tentu bakal menimpa kita…."

Cucu itu bengong. "Habis engkong, bagaimana dengan rumah ini, meja dan kursi kita?" ia menanya.

"Anak tolol!" mengelak orang tua itu. "Jiwa kita sendiri masih belum ketentuan, apa perduli segala rumah dan meja kursi? Anak, dasar nasib kita yang buruk, maka janganlah kau bersusah hati….."

Kwee Ceng mendengar semua pembicaraan itu, maka ia lantas mengambil keputusan, menolong orang tidak boleh kepalang tanggung. Ia turun dari pembaringan untuk menemui kakek dan cucunya.

"Lootiang, kau jangan berkhawatir," katanya menghibur. "Nanti aku pergi ke kantor camat membereskan urusanmu ini."

"Oh, injin, jangan kau pergi ke kantor camat!" cegahnya lekas. "Kantor itu adalah laksana gua harimau atau serigala!"

"Aku tidak takut!" berkata Kwee Ceng.

Empeh Cin masih hendak mencegah tetapi Kwee Ceng sudah lantas pergi keluar, menuntun kudanya, maka dilain saat ia sudah kabur dengan kuda merahnya. Dalam tempo sedaharan nasi, ia sudah sampai di dalam kota. Tengah ia memikir untuk menanya dimana letaknya kantor camat, mendadak nampak api berkobar di depannya dan banyak orang berlari-lari berteriak-teriak:

"Kantor camat kebakaran! Oh, Thian, ada matanya!"

"Begini kebetulan?" kata Kwee Ceng di dalam hatinya. "Masa begini tepat kantor camat kebakaran?"

Ia lantas mengasih kudanya lari di depan kantor, belum juga mendekat, ia sudah diserang hawa panas dari api itu hingga ia mesti mundur. Herannya tak ada orang yang mau menolong memadamkan api. Orang banyak berdiri jauh-jauh, roman mereka bukan kaget atau takut, sebaliknya semua bermuka terang, tandanya riang hati mereka.

Kwee Ceng lompat turun dari kudanya. Ia sekarang melihat di tanah ada rebah belasan orang polisi, ada yang sudah terbakar, ada yang masih hidup tetapi romannya tidak karuan dimakan api, ada yang dapat membuka matanya, tetapi mata itu tidak berkutik. Ia heran, menghampiri, terus mengangkat seorang opas. Baru sekarang ia ketahui orang adalah korban totokan. Ia lantas menotok pinggangnya.

"Mana camat?" ia tanya.

"Dia di dalam kantor, tuan," sahut opas itu, tangannya menunjuk. "Kemungkinan besar dia sudah mati terbakar…."

"Kenapa terbit kebakaran?" tanya pula Kwee Ceng. "Siapa yang merobohkan kau?"

"Maaf tua, aku tidak jelas," sahut pula si opas. "Tadi pagi-pagi sebelum aku bangun tidur, aku dengar koan¬thayya membikin banyak berisik, rupanya ia mencaci orang dan berkelahi, lalu api berkorbar. Aku hendak lari, tiba-tiba merasakan tubuhku kaku dan lemas, tahu-tahu aku sudah roboh…."

"Koan-thayya kamu bertempur sama orang, apakah dia pandai silat?" Kwee Ceng heran. Ia tidak menyangka seorang camat pandai silat dan menngerti juga Tok-see-ciang, tangan Pasir Beracun. Lantas ia ingat camat ini gemar dengan ular. "Ah, tentulah ia pakai ular itu untuk melatih diri," terkanya. Ia lantas menanyakan itu kepada opas.

"Aku tidak tahu, tuan"

"Rupanya, ada orang kangouw yang mencari camat itu," akhirnya Kwee Ceng pikir. "Ini ada baiknya, aku jadi tak usah capai hati…"

Oleh karena pikirannya sudah lega, Kwee Ceng tidak menggubris lagi si opas atau camat, ia berniat pulang ke rumah empeh Cin, untuk menyampaikan kabar gembira, tetapi waktu ia berpaling kepada kudanya, ia terkejut. Kudanya itu tak ada. Ia bersiul, memanggil. Kuda itu tidak muncul. Ketika ia mengulangi beberapa kali, tetap kuda merah itu tak nampak. Ia menjadi heran sedang ia tahu betul kuda itu cerdik dan sangat mengerti dan mengenali tuannya. Lantas ia pergi mencari, ia seperti memutari seluruh kota, tetapi tidak berhasil mencari kudanya.

"Benar heran!" pikirnya, bingung dan masgul. Akhirnya ia berjalan balik ke rumah empeh Cin, hatinya berpikir: "Nanti aku bawa burung rajawali untuk mencari, mustahil tidak ketemu…" Ia berjalan pulang sambil berlari-lari.

Empeh Cin dan cucunya heran mendengar gedung camat kebakaran, mereka girang mendapat tahu camat sendiri mati terbakar. Mereka bersyukur bukan main. Habis memberi keterangan, Kwee Ceng bersiul, memanggil burungnya. Tapi aneh, burung itu juga tak nampak dan tak muncul. Ia heran bukan main dan ia jadi semakin bingung. Saking berduka, ia tak nafsu dahar minum. Malam itu ia diam terus di rumah empeh Cin. Ia mengambil keputusan, besok ia mau pergi mencari kuda dan burungnya …….

Ketika itu musim panas, hawa udara sangat mengendus. Empeh Cin menggotong bale-bale serta dua buah kursi ke luar rumah, ditaruh di bawah para-¬para pohon kacang. Ia pun masak air dan menyeduh teh. Ia mengajak Kwee Ceng dan cucunya berangin. Ia melewatkan waktu dengan bercerita tentang sifatnya pelbagai ular berbisa.

Hati Kwee Ceng terhibur juga. Cerita si empeh menarik hati. Mereka berangin sampai tengah malam, sampai mereka merasa tubuh adem. Empeh itu beberapa kali mengajak tetamu dan cucunya masuk tidur, sang cucu menolak.

"Dasar bocah!" kata sang engkong tertawa. "Anak ini hidup sendirian, setiap hari menemani aku si tua bangka, di sini sulit mendapat tetamu, maka sekarang dia jadi gembira luar biasa…."

"Kalau besok engko Kwee pergi, kita kembali tinggal berdua…" kata Lam Kim. Ia nampak masgul, suaranya pun tak gembira.

Kwee Ceng berdiam.

"Engko Kwee, pergilah tidur," kata si nona kemudian. "Aku sendiri, masih hendak memandangi sang bintang…."

"Anak tolol! Apakah bagusnya bintang !" kata sang kakek.

"Tetapi aku suka memandanginya." kata si cucu.

Orang tua itu memandang ke langit, dimana ada mega hitam. "Lihat, langit bakal lekas berubah, bintang pun bakal lenyap…" katanya.

Ketika itu mendadak Kwee Ceng mendengar suara kuda berlari mendatangi. "Kuda merahku!" ia berseru. Segera ia menoleh dan mengawasi.  

Jauh di sana, seekor kuda merah mendatangi. Lekas juga ternyata, dialah si bulu merah kudanya sendiri, seperti telah membilangnya. Di atas kuda itu ada penunggangnya, yang bajunya berkibaran, dialah Oey Yong.

"Yong-jie! Aku di sini!" Kwee Ceng berseru kegirangan.

Mendengar disebutkannya Yong-jie, hati Lam Kim terkesiap. Lekas sekali kuda merah itu telah tiba kepada tiga orang itu. Bersama Oey Yong ada kedua burung rajawali yang putih.

"Ah, sungguh aku tolol!" Kwee Ceng sesalkan dirinya sendiri. "Memang kecuali Oey Yong, siapakah yang dapat menguasai kuda dan burungku?"

Oey Yong lompat turun dari kudanya sedang Kwee Ceng maju memburu. Ia girang bukan kepalang.

"Aku berlatih tetapi keliru, kedua tanganku tak dapat digerak," berkata si nona.

"Ah!" Kwee Ceng berseru. "Mari lekas salurkan napasmu!"

Keduanya lantas lompat naik ke bale-bale, duduk bersila. Kwee Ceng meletakkan kedua tangannya di punggung si nona, menyalurkan hawanya ke tubuh si nona. Justru itu langit benar-benar berubah. Perlahan-lahan terdengar suara guntur, yang diikuti bergeraknya sang awan, hingga langit menjadi gelap.

Kira-kira setengah jam kemudian, pernapasan Oey Yong mulai lurus, hawa dari perut naik ke dadanya. Karena itu, tubuhnya seperti terdorong ke kiri dan ke kanan.

Selama itu Lam Kim mengawasi nona Oey, yang duduk sambil menutup mata dan merapatkan mulutnya, hanya mulutnya itu nampak tersenyum. Dia berkulit putih bersih, saat itu nampak cahaya dadu, maka terlihat tegaslah kecantikannya. Di lehernya ada tergantung kalung mutiara, yang bersinar menambah mentereng kecantikannya.

"Dia mirip dewi, tak heran engko Kwee jatuh hati kepadanya," Lam kIm berpikir. "Hanya, entahlah apa yang mereka lagi lakukan sekarang…."

Dia tengah berpikir begitu ketika mendadak matanya seperti gelap. Karena segumpal mega hitam lewat menutupi sang putri malam. Dan menyusul itu, seluruh langit mulai menjadi gelap gulita.

"Kwee Toako," ia berkata kepada Kwee Ceng. "Baiklah, kau masuk ke dalam bersama nona ini, lekas akan turun hujan."

Boleh dibilang ia baru menutup mulutnya, ketika ia merasai muka dan lehernya dingin, karena sang air hujan sudah lantas mulai turun beberapa tetes! Hujan di musim panas benar luar biasa. Begitu dibilang, hujan lantas turun. Dan Lam Kim lantas juga berkoak. Sebab dengan lantas hujan turun dalam jumlah besar, seperti dituang-tuang! Kwee Ceng dan Oey Yong lagi menyalurkan napas mereka, tidak menghiraukan hujan itu.

Nona Cin menjadi heran sekali, ia menduga orang kena pengaruh sesat. Ia menghampiri si anak muda, yang pundaknya ia tolak. Ia tidak menggunakan tenaga besar, ketika ia menolak, ia tertolak mundur satu tindak. Ia menjadi terlebih heran. Ia maju lagi, ia menolak dengan terlebih keras. Ia menanya:

"Engko Kwee, kau kenapa?" Tetapi mendadak, untuk kagetnya, ia tertolak mundur hingga terguling di tanah, jatuh duduk di air hujan!

Empeh Cin sudah masuk tidur, ia mendengar suara hujan diselengi guntur, maka ia memanggil Lam Kim. Beberapa kali ia memanggil tanpa ada penyahutan, lantas pergi ke luar, tepat ia menyaksikan cucunya itu lagi merayap bangun dari lumpur, rambutnya kusut, basah dengan air hujan, romannya bingung. Tengah ia kaget, ia mendengar suara nyaring cucunya:

"Engkong, tuan penolong kita kena pengaruh jahat, lekas tolong dia!"

Empeh itu pun kaget. Ia pun sangat bersyukur kepada anak muda itu. Maka tanpa pikir lagi, ia menghampiri Kwee Ceng, ia pegang tangannya, untuk ditarik masuk. Atau ia menjadi kaget. Tubuh si anak muda tidak bergeming. Ketika ia menarik dengan kuat, ia sendiri terpental jatuh, maka ketika ia sudah merayap bangun, ia berdiri bengong seperti cucunya.

Lam Kim lekas sadar, ia lari masuk untuk mengambil payung, ia memegang itu untuk dipakai memayungi Kwee Ceng berdua. Ia juga berkata:

"Engkong, lekas menyulut kertas kuning, kau asapi hidung mereka!"

Empeh Cin lari masuk, tindakannya limbung. Apa mau, ia kena membentur pelita hingga terbalik. Lam Kim sendiri lantas nyata perubahan hatinya. Biarnya ia mengagumi Oey Yong, hatinya ada pada Kwee Ceng, maka payungnya itu mulai bergeser, menutupi si anak muda sendiri, hingga si nona lantas ketimpa hujan pula. Tidak lama empeh Cin muncul dengan kertas kuningnya, yang telah disulut. Dengan dijagai ujung bajunya, kertas itu ia bawa kepada Kwee Ceng, hidungnya lantas ia asapi.

Hebat kesudahannya ini untuk si anak muda, yang lagi menyalurkan napasnya itu. Ia lantas merasa napasnya sesak. Ia menjadi kaget sekali, lantas ia menahan napasnya. Tapi ia cuma bisa menahan sebentar, asapnya si empeh masuk pula. Beberapa kali ia terbatuk-batuk. Celaka untuknya, di dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat membuka mulutnya.

Empeh Cin bingung. Melihat asap tidak menolong, ia menekan jintiong, ialah hidungnya si anak muda. Siapa pingsan karena teriknya panas matahari, kalau ia ditotok di jintiong itu, ia dapat sadar. Tidak demikian dengan Kwee Ceng. Ia bahkan jadi semakin seperti disiksa. Sudah tidak dapat membuka mulutnya, ia juga tidak dapat menolak mundur si empeh yang mau menjadi penolong tetapi sebaliknya menjadi seperti mencelakainya.

Sang hujan turun terus, guntur pun masih berbunyi. Satu kali kilat menyambar, guntur berbunyi keras. Nyata satu pohon kena ditimpa hingga menyala dan terbakar.

Lam Kim kaget dan ketakutan, tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya berdiri, ia masih memayungi tuan penolongnya. Hanya matanya menjadi tidak karuan, sebab ia melihat kilat, melihat api, dan melihat air hujan juga. Kapan ia memandang Kwee Ceng, ia mendapatkan pemuda itu duduk tenang seperti biasa, begitu juga dengan si nona Oey, bahkan nona ini nampak tersenyum manis, romannya sangat cantik.

Empeh Cin berdiri tercengang, ketika ia memandangi cucunya, ia mendapati muka cucunya itu sangat pucat. Dalam keadaan seperti itu, mendadak kilat berkelebat, cahayanya terang sekali. lalu suara geledek, menyusul demikian hebat, sampai saking kagetnya, empeh Cin dan Lam Kim roboh karenanya.

Guntur berbunyi di samping Kwee Ceng, tidak heran kalau kakek dan cucunya roboh pingsan. Hanya sehabisnya guntur, segera Kwee Ceng merasakan pernapasannya berjalan dengan baik seperti biasa. Maka sekarang ia dapat bergerak. Juga Oey Yong dapat bergerak.

Lagi-lagi guntur menggelegar dekat si nona, maka Kwee Ceng lantas mendekam di tubuh si nona, untuk melindungi. Berselang sekian lama barulah guntur berkurang dan hujan pun mulai berhenti. Dan setelah lewat sekian waktu, maka langit menjadi bersih, si putri malam muncul pula dengan segala kepermaiannya.

Oey Yong merasakan tubuhnya sehat sekali. Dengan perlahan ia mengangkat tubuhnya.

"Engko Ceng," katanya berbisik. "Benar-benarkah kau mencintaiku?"

Kwee Ceng merangkul, girangnya bukan buatan, sampai ia tidak bisa membuka mulutnya.

"Lihat itu," kata Oey Yong kemudian, tangannya menunjuk ke pohon yang tadi ditimpa geledek dan terbakar. Di sana, di antara api, si burung darah, hiat-niauw, lagi bergulingan dan berlompatan, rupanya gembira sekali ia memain api. "Mari kita tangkap padanya," kata si nona berbisik.

Kwee Ceng mengangguk, lantas berbangkit. Ketika itu ia melihat empeh Cin, yang sadar sendiri lagi menolong cucunya, untuk dikasih duduk di kursi.

Oey Yong sendiri bertindak menghampiri hiat¬niauw. Burung itu telah mempunyai pengalaman, ia tidak berani berkelahi, ia lantas terbang pergi, sia-sia si nona berlompat menubruk padanya. Karena ini Oey Yong bersiul, memanggil burung rajawalinya.

"Tangkap burung itu tetapi jangan lukai dia!" ia memerintah.

Kedua burung rajawali itu mengerti, keduanya lantas menyambar hiat-niauw. Mereka bertindak dengan memegat jalan. Hiat-niuaw kecil sekali, seluruhnya cuma sebesar kepala rajawali, tetapi ia sangat gesit, maka itu ia dapat molos, lantas ia terbang cepat dan jauh, ketika sudah beberapa lie, ia mendapatkan masih disusul, lantas ia terbang balik, untuk mencoba melawan.

Hebat perlawanannya itu. Kalau ia kena dicengkeram atau dipacuk, pastilah ia celaka, tetapi karena gesitnya, ia selalu bisa membebaskan diri. Bahkan dialah yang beberapa kali berhasil mematuk bulu lawan hingga rontok. Coba si rajawali bukan berdua, mungkin mereka kalah.

Selagi bertempur terlebih jauh, rajawali yang jantan kena dipatuk lehernya, ia merasakan sakit, saking sengit, ia menyampok dengan sayapnya. Hiat-niauw berkelit, tapi justru ia kena disampok sayap burung betina, sampai ia roboh. Tapi ketika ia ditubruk ia sempat berkelit lagi, terus terbang cepat dan jauh, kedua rajawali terus menyusul, mereka pergi jauh ke belakang gunung.

Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, untuk berkata dengan perlahan: "Yong-jie, kau maju pesat sekali. Guntur berbunyi di sampingmu, kau tidak tahu."

"Kau pun sama!" kata si nona tertawa.

Kwee Ceng lantas ingat perbuatannya empeh Cin tadi. "Sungguh berbahaya," katanya dalam hatinya. "Kalau aku tidak dapat bertahan, aku mesti menyia-nyiakan waktu lagi tujuh hari tujuh malam untuk memulihkan diri. Lantas ia ajar kenal Oey Yong dengan tuan rumah, itu kakek dan cucu.

"Yong-jie, kau melepas api di kantor camat, bukan?" kamudian Kwee Ceng tanya si nona.

"Kalau bukan aku, siapa lagi?" si nona membaliki, tertawa.

Empeh Cin dan cucunya terkejut. Tidak mereka sangka, nona ini demikian besar nyalinya dan pandai juga.

Kemudian Oey Yong melirik Lam Kim, ia bersenyum. "Engko Ceng," katanya, "Kau selalu memuji aku, apa kau tidak takut enci ini nanti menertawainya?"

"Oh!" kata Kwee Ceng. "Kau telah bersembunyi di dalam rimba?"

Kembali Oey Yong tertawa. "Jikalau kau tidak membilang hendak menangkap burung itu untukku, aku lebih suka tanganku bercacad, tidak mungkin aku kembali padamu!" katanya. "Kemudian kau menangis! Apakah kau tidak malu?"

Kwee Ceng tunduk, ia menyahut perlahan: "Aku merasa telah memperlakukan kau tidak bagus, dan aku khawatir sekali untuk selamanya nanti tidak dapat melihatmu lagi…."

Oey Yong mengulur tangannya, membereskan rambut orang. "Sebenarnya aku berpikir untuk tidak menemuimu lagi tetapi aku tidak bisa," ia berkata. “Tapi sudahlah, sekarang kita jangan pikirkan hal-hal di belakang hari, untuk kita, dapat satu hari selebih banyak kita berkumpul, itu artinya kita dapat tambah satu hari kegirangan!"

Lam Kim berdiri bengong melihat dan mendengar orang berbicara demikian asyik. Berempat mereka bagaikan baru sadar ketika kuping mereka mendengar suara burung rajawali di tengah udara, kapan mereka mengangkat kepala, terlihat hiat¬niauw masih dikepung kedua rajawali itu, terbangnya sangat pesat.

Menampak demikian, Oey Yong lantas mendapat akal. Ia bersiul satu kali. Atas itu rajawali yang betina terbang turun, menclok di pundaknya. Maka tinggallah yang jantan, yang mengejar terus-terusan. Ia menunggu sudah lewat lama juga, ia memanggil burung jantannya seraya melepaskan yang betina guna menggantikan mengejar hiat-niauw itu.

Siasat ini digunakan terus-menerus, maka akhirnya lelah juga burung api itu, yang tak dapat mengaso sama sekali. Setelah terbangnya menjadi perlahan dan kegesitannya pun berkurang, satu kali ia kena disampok sayap rajawali, lantas ia tidak dapat terbang lebih jauh, maka ia kena disambar, dibawa kepada Oey Yong.

Nona Oey menyambut burung api itu, memegangnya, hatinya sangat girang. Hiat-niauw sangat letih, dia mengawasi si nona, sinar matanya seperti minta dikasihani.

"Baik-baik kau turut aku, aku tidak bunuh padamu," berkata Oey Yong sambil tertawa.

Empeh Cin sangat girang sekali melihat burung itu kena ditangkap. "Bagus!" serunya. "Nona telah berhasil menangkap burung ini, maka aku dan cucuku bakal dapat makan pula! Nanti aku membuatkan kurungan." Lam Kim tahu burung itu suka makan nyali ular, ia mengambil arak nyali ular mengasih burung itu minum, setelah habis setengah peles, hiat-niauw itu lantas pulih kesegarannya. Ia benar-benar menjadi jinak sekali.

"Aku hendak memelihara dia hingga dia mendengar kata-kataku!" kata Oey Yong. "Aku mau mengajari dia bagaimana harus mematuk mata orang!"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar