Kamis, 21 Januari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 107

"Ada pagar tentu ada rumah," pikirnya girang. Ia bertindak. Ia melihat sebaris pohon. Di situ ia lantas melihat sebuah rumah dengan tiga undakan. Ia mendekati rumah itu. Belum ia datang dekat, kupingnya sudah mendengar tangisan seorang wanita. Ia menjadi heran. "Orang lagi berduka, tidak dapat aku mengganggu," pikirnya. Ia hendak mengundurkan diri.

Tapi Orang di dalam rumah sudah mendengar suara kuda. Dengan kaget membuka daun pintu. Di situ muncul seorang tua dengan rambut ubanan, yang tubuhnya sudah melengkung, tangannya memegang cagak besi yang panjang. Dia berdiri di depan pintu sambil berseru:

"Pembesar anjing! Ular tidak ada, cucu perempuanku juga tidak ada. Yang ada hanya selembar jiwa tuaku ini!"

Kwee Ceng heran. Ia tahu orang salah mengerti. "Tuan, aku hanya seorang pelancong!" katanya lantas sambil ia memberi hormat. "Aku lagi mencari tempat mondok, maka niatku datang ke mari untuk menumpang bermalam. Satu malam saja. Kalau kau lagi ada urusan, tidak apa, aku pergi ke rumah lain saja."

Orang tua itu lantas mengawasi, habis itu lekas-lekas ia meletakkan cagaknya, untuk membalas hormat.

"Maafkan aku, tuan, aku lagi ngaco," katanya. "Jikalau kau tidak jijik, silahkan masuk dan minum teh."

Kwee Ceng mengucap terima kasih. Lantas ia memberikan sejumlah uang, untuk dicarikan rumput guna makan kudanya, setelah itu baru ia masuk ke dalam. Nyata rumah itu bersih sekali. Ia menjadi heran. Ia baru duduk ketika kupingnya mendengar suara berisik dari kuda. Ia menduga ada tiga penunggang kuda datang ke situ. Ia pun lantas mendengar suara bengis:

"Orang tua she Cin, kau menyerahkan ular atau cucu perempuanmu?!"

Lalu terdengar suara seorang lain: "Kami dapat mengasih ampun kepadamu, tetapi looya kami tidak dapat memberi ampun kepada kami! Maka itu lekas kau keluar!"

Suara itu disusul sambaran cambuk ke atap rumah, hingga atap itu, yang terbuat dari rumput rusak. Si orang tua tidak menyahuti suara dari luar itu, ia hanya masuk ke dalam kamar, untuk berkata:

"Anak Kim, pergi kau lari ke belakang, ke dalam rimba. Malam ini kau sembunyi terus. Besok pagi-pagi, kau boleh pulang sendiri ke Kwietang….." Segera terdengar tangisan wanita tadi.

"Engkong, mari kita mati bersama…." kata perempuan itu.

"Lekas lari, lekas!" berkata si orang tua, membanting kaki. "Nanti terlambat!"

Dari dalam kamar keluar seorang nona dengan baju hijau, ia menubruk si orang tua, sebaliknya menolak tubuh orang, untuk disuruh lari ke belakang. Berbareng dengan itu, pintu terdengar tertembrak hingga terbuka, tiga orang nerobos masuk. Orang yang paling depan lantas menjambak pundak si orang tua she Cin itu, sedang tangannya yang lain menyambar si wanita muda, untuk dipeluk.

Nona itu ketakutan hingga membungkam. Kwee Ceng mengawasi tiga orang itu. Dari dandanannya, yang di depan itu seorang polisi, yang dua lagi serdadu. Si orang polisi, yang memeluki si nona, berkata sambil tertawa.

"Empeh Cin, kami datang atas titah tuan camat, maka jangan kau sesalkan kami! Malam ini kau mengantarkan duapuluh ekor ular, ini nona akan kita kembalikan, kalau kau menunggu sampai besok, nanti sudah tidak keburu!" Ia terus tertawa lebar, sambil bertindak pergi, ia bawa si nona bersama.

Orang tua she Cin itu menjerit keras, dengan membawa cagaknya, ia memburu, terus menikam. Si orang polisi berkelit, kemudian mencabut golok di pinggangnya dan mengetok cagak itu. Si empeh tidak dapat mempertahankan diri, cagaknya terlepas dan jatuh di tanah. Menyusul polisi itu menendang, hingga ia roboh seketika.

"Eh, tua bangka, jangan kau banyak tingkah!" dia membentak. "Awas, jangan kau nanti sesalkan golokku tidak ada matanya!"

Empeh itu seperti kalap, lupa pada dirinya, ia menubruk kaki kanan orang, terus ia menggigit. Opas itu kesakitan dan berontak, dalam sengitnya ia hajar kepala si empeh dengan belakang goloknya, maka pecahlah jidat orang dan darahnya menyiram ke mukanya. Tapi empeh itu sudah nekat, ia tidak menghiraukan luka dan sakitnya, ia menggigit terus, tidak mau ia melepaskannya. Dua serdadu itu maju menolongi si opas, yang satu menendang, yang lainnya menarik, sedang si opas menghajar lagi beberapa kali dengan gagang goloknya.

Sampai di situ, Kwee Ceng tidak dapat menonton lebih lama. Tadi ia baru gusar saja. Seperti biasanya, ia pun bergerak ayal. Tapi sekarang, ia lompat maju. Lebih dulu ia jambak punggung kedua serdadu itu, ia melemparkan mereka. Si opas lagi membacok ketika Kwee Ceng menahan belakang goloknya, ditolak keras hingga golok itu berbalik dan tepat membacok jidatnya. Dengan tangan kanannya, Kwee Ceng menyambar tubuh si nona sambil kakinya menendang, dari itu, tidak ampun lagi, tubuh opas itu kena terlempar. Tapi empeh Cin menggigit dan memeluk erat sekali, tubuhnya turut terlempar.

Menampak begitu, Kwee Ceng kaget sekali. Ia khawatir, karena jatuh terbanting, empeh itu nanti mati karenanya. Lupa melepaskan tubuh si nona, ia lompat menyusul seraya tangannya menyambar leher si opas, sedang kepada si empeh ia berseru:

“Empeh, ampunkanlah dia!"

Benar-benar si empeh kalap, ia seperti tidak mendengar suara orang, sampai si nona muda berteriak memanggil,

"Engkong! Engkong!" baru ia melepaskan gigitannya, dengan mulut berkelepotan darah, ia mengangkat kepalanya.

Waktu itu Kwee Ceng telah melemparkan tubuh si opas, yang jatuh terbanting hingga tidak mau bangun lagi, karena ia khawatir nanti dihajar lebih jauh. Kedua opas itu nyalinya kecil, mereka tidak berani melawan, setelah melihat si anak muda tidak menyerang lebih jauh, mereka menghampiri si opas kawannya, untuk dikasih bangun, lantas diajak pergi dengan kaki si opas dingkluk-dingkluk. Saking takut, mereka tidak berani menaiki kuda. Sampai di situ, baru Kwee Ceng melepaskan tubuh si nona, lekas ia mengasih bangun si orang tua.

Nona itu mengawasi tuan penolongnya, nampaknya ia sangat bersyukur, tetapi karena malu, ia tidak dapat membuka mulut. Maka ia cuma mengeluarkan sapu tangannya, kemudian menyusuti darah di muka kakeknya.

Tidak enteng luka si empeh, akan tetapi melihat si nona tidak dibawa pergi si opas dan serdadu, ia menjadi bersemangat, dengan cepat ia berlutut di depan Kwee Ceng, memberi hormat sambil menghanturkan terima kasihnya berulang-ulang.

Si nona turut berlutut juga. "Sudah, lootiang," kata Kwee Ceng seraya mengasih bangun. "Tidak dapat aku menerima hormatmu ini."

Orang tua itu lantas mengundang tetamunya masuk pula, dan si nona segera menyuguhkan teh.

"Injin, silahkan minum," katanya perlahan. Ia lantas memanggil "injin" - tuan penolong.

"Terima kasih," sahut Kwee Ceng sambil berbangkit.

Empeh Cin lantas menanyakan she dan nama tetamunya dan Kwee Ceng memperkenalkan diri.

"Sebenarnya, empeh, urusan apakah ini?" Kwee Ceng tanya.

Empeh itu suka mengasihkan ceritanya. Ia asal propinsi Kwietang, karena gangguan seorang hartawan di kampung halamannya, ia mengajak keluarganya pindah ke propinsi Kang-see. Di sini ia melihat tanah kosong, lantas membuat rumah dan berusaha di situ. Bersama ia turut kedua anak lelakinya. Di rimba ini ada banyak ular, apa celaka, dua anak itu serta seorang nyonya mantunya, bergantian mati dipagut ular, hingga seterusnya ia tinggal berduaan saja bersama cucu perempuannya, yang diberi nama Lam Kim.




Si empeh bersakit hati, ia pulang ke Kwietang, untuk mempelajari ilmu menangkap ular, setelah itu ia kembali. Ia membalas sakit hati dengan membinasakan setiap binatang berbisa itu. Dasar malang nasibnya dan ia pun lemah, tanah yang telah buka dirampas seorang hartawan galak di dalam kota. Saking terpaksa, ia lantas hidup sebagai penangkap ular. Di dalam usahanya ini, syukur ia tidak mendapat saingan. Untuk sembilan tahun, mereka berdua hidup tentram, sampai datang Kiauw Lay, camat yang baru. Kebetulan ia doyan ular, untuk itu ia berani untuk membeli.

Empeh Cin tidak kuat membayar pajak, ia diwajibkan setiap bulan menyerahkan duapuluh ekor ular berbisa. Dengan terpaksa empeh Cin menunaikan tugasnya, ia dibantu oleh cucunya. Tapi tahun ini, di musim semi, entah kenapa, ular menjadi berkurang. Susah sekali mencarinya. Sampailah waktu itu, di bulan ke enam, mereka tidak bisa mendapatkan ular. Sudah begitu, lantas datang gangguan lain. Kiauw Thayya mendapat tahu Lam Kim cantik, ia minta nona itu. Beberapa kali ia mengirim comblang, si empeh senantiasa menampik. Lalu datanglah hari ini, Kiauw Thayya menggunakan kekerasan, ia mengirim opasnya dan dua serdadu untuk minta ular atau orang. Sebab empeh tidak bisa menyerahkan ular, maka cucunya dipaksa dibawa pergi. Kebetulan sekali, di situ ada Kwee Ceng.

Mendengar cerita itu, Kwee Ceng menghela napas. Habis bersantap malam, empeh mempersilahkan tetamunya tidur. Lam Kim yang mengantarkan ke kamar sambil membawa pelita, katanya dengan perlahan:

"Di sini hutan, segalanya kotor, harap injin maklum…"

"Nona panggil saja aku engko Kwee," Kwee Ceng memberitahu.

"Mana aku berani, injin," kata si nona. Tiba-tiba ia terkejut. Di luar terdengar suara nyaring dan luar biasa dari seekor burung hutan. Hampir ia membikin pelitanya terlepas.

"Nona, burung apakah itu?" tanya Kwee Ceng heran, sudah suara burung itu aneh, ia pun merasakan tubuhnya gatal tidak karuan dan dadanya penuh seperti mau tumpah-tumpah.

"Itu burung keramat tukang makan ular," sahut si nona perlahan.

"Burung pemakan ular?" si anak muda menegaskan.

"Benar. Semua ular di rimba sini habis dimakan dia, maka itu engkong jadi sengsara…"

"Kenapa tidak berusaha menyingkirkan burung itu…?"

"Perlahankan suaranya injin…" kata si nona, romannya ketakutan. Ia lantas menutup jendela. "Burung itu sakti, kalau ia dengar suara injin, bisa celaka…!"

"Apa? Burung itu bisa mendengar suara kita?"

Lam Kim hendak memberikan jawabannya, ketika terdengar suara si empeh di luar kamar:

"Diwaktu malam tak leluasa untuk bicara banyak, besok siang saja nanti aku yang menjelaskan."

Kwee Ceng heran tetapi ia menurut, sedang si empeh lantas saja ajak cucunya pergi ke kamar mereka. Melihat roman ketakutan dari tuan dan nona rumah, Kwee Ceng bertambah heran hingga ia tidak dapat tidur nyenyak. Ia pun memikirkan Oey Yong, yang entah ada dimana adanya. Ia gulak-galik sampai tengah malam ketika ia mendengar pula suara si burung pemakan ular, yang berbunyi tiga kali.

"Aku tidak dapat tidur, baik aku lihat burung itu," pikirnya. Ia turun dari pembaringan, membuka jendela untuk melompat ke luar. Di saat mau menuju ke arah suara burung itu, ia mendengar teguran perlahan di belekangnya:

"Injin, aku turut kau…" Ia lantas menoleh. Nampak Lam Kim berdiri di bawah sinar rembulan, rambutnya riap-riapan mirip dengan rambut Bwee Tiauw Hong. Nona ini berkulit putih, romannya cantik. Kedua tangannya memegang entah barang apa yang hitam. Dengan perlahan ia menghampirkan si anak muda, untuk berkata pula: "Injin mau melihat burung keramat itu?"

"Ah, jangan kau memanggil injin padaku," Kwee Ceng mencegah.

Nona itu likat. "Engko!" ia memanggil.

Kwee Ceng mengasih lihat panahnya. "Aku hendak memanah mampus burung itu, supaya ia jangan lagi mengganggu engkongmu," katanya.

"Perlahan!" si nona kata. Ia pun mengangkat tangannya. "Pakai ini di kepala, untuk berjaga-jaga." Suara si nona itu bergetar.

Kwee Ceng melihat sebuah kuali besi, ia menjadi heran. Lam Kim memegang kuali besi di tangan kirinya, ia berkata pula:

"Burung itu dapat datang dan pergi bagaikan angin, ia biasa mematuk mata orang, hebat sekali. Kupingnya juga tajam, begitu mendengar suara orang, dia bisa lantas datang. Engko, kau mesti hati¬-hati."

Kwee Ceng tidak takut. Bukankah ia pernah menghadapi burung rajawali raksasa. Lantas ia jalan di depan. Belum mereka sampai di tepi rimba, burung ular itu berbunyi lagi, tiga kali. Justru itu di situ terdengar suara berisik. Lam Kim terkejut.

"Ah, aneh! Kenapa di sini ada begini banyak ular?" katanya.

Kwee Ceng memasang kuping. Ia lantas mendengar suara beberapa orang yang bersuit dan menggebah¬-gebah. Ia kenali suaranya budak-budak pengiring ular dari Pek To San. Ia menjadi lebih heran sebab agaknya mereka itu dalam kekhawatiran, sebagai juga kawanan ularnya tidak menurut perintah. Ia lantas berpikir.

"Mari!" ia mengajak Lam Kim, untuk lari masuk ke dalam rimba. Di sini ia celingukan, mencari tempat yang lebat. Tanpa membilang apapun ia sambar pinggang si nona, dibawa lompat naik ke sebuah pohon, dimana mereka memernahkan diri di satu cabang besar.

Baru mereka duduk rapi, burung tadi telah berbunyi pula tiga kali: Sekarang jarak mereka lebih dekat, suara burung itu tajam terdengar, seperti menusuk telinga. Tidak lama, sampailah rombongan ular itu, yang berjumlah ribuan. Kwee Ceng kenal binatang itu, ia tidak kaget, tidak demikian dengan Lam Kim, yang ketakutan hingga hatinya guncang, dengan erat ia pegangi ujung baju si pemuda.

Begitu masuk ke dalam rimba, kawanan ular itu berlari¬-lari ke delapan penjuru. Mereka seperti terkena hawa panas, hingga mereka tidak dapat diam, tubuh mereka berlompatan. Di bawah sinar rembulan, nyata terlihat lagak mereka itu.

Tujuh atau delapan budak pengiring ular itu, dengan pakaiannya yang putih, lari ke dalam rimba. Mereka menggunakan galah, bentakan mereka berisik, tapi kawanan ular itu tidak mau mendengar perintah untuk berbaris rapi seperti biasa.

Kwee Ceng membenci Auwyang Hong, melihat ular itu kacau, ia senang. "Sayang Yong-jie tidak ada di sini, hingga ia tidak dapat menyaksikan ini," pikirnya.

Lam Kim heran ketika melirik mendapatkan Kwee Ceng gembira. Diam-diam ia memuji hati besar anak muda ini. Tiba-tiba ia kaget sekali. Sebab ia mendengar si burung keramat bersuara nyaring luar biasa, kemudian semua ular berhenti bergerak, semua mendekam tidak berkutik.

Budak-budak mengayun berulang-ulang galah mereka, mulut mereka membentak tak hentinya, tetapi semua ularnya diam mendekam. Sesudah kewalahan, mereka lantas mengambil sikap. Seorang berdiri tegak, kepala mereka diangkat. Yang lainnya berdiri diam dengan galah dipasang berdiri. Yang satu lantas berkata dengan nyaring:

"Kami orang-¬orangnya Auwyang Sianseng dari Pek To San, kami tengah berlewat di sini, tetapi kami tidak mengenal gunung Tay San, kami tidak datang membuat perkunjungan. Maka itu, dengan memandang Auwyang Siangseng, harap kami diberi maaf."

Kwee Ceng mengawasi, ia merasa lucu. Suara orang itu tidak ada yang layani. Berselang sekian lama, ia mengucapkan pula kata-katanya itu. Sekarang suaranya lebih keras, tandanya ia tidak senang, dia agaknya menggertak. Ia pun memandang ke sekitarnya, ke tanah di dekatnya. Dia berpura-pura tidak melihat, dia memutar tubuh membelakangi pohon, yang ada pohon hoay, dia pun membungkuk seperti orang lagi menjura. Adalah ketika itu, mendadak ia membalikkan tubuhnya, sambil bangun mengayunkan kedua tangannya ke arah pohon. Maka empat buah gin-so, torak perak, menyambar kepada Kwee Ceng berdua. Dia telah membokong!

Kalau lain orang yang diserang secara menggelap itu, celakalah dia. Tidak demikian dengan Kwee Ceng. Ia melihat gerakan orang, yang ia terus awasi. Ia melihat berkelebatnya barang berkilau. Lekas-lekas ia turunkan kuali besinya, dipakai menyambut, maka dengan suara "trang!" empat kali, keempat torak itu masuk ke dalam kuali.

Kaget dan heran orang itu karena bebokongannya gagal. " Di atas pohon itu orang gagah darimana? Silahkan memberikan she dan namamu!" ia minta. Suaranya tak seangker tadi.

Kwee Ceng tidak menyahut, hanya ia menimpuk balik torak itu. Orang itu menjadi kaget. Galah di tangannya kena terhajar torak, tangannya sakit dan gemetaran, galahnya pun patah lima. Dia mengerti, orang berlaku murah, kalau tubuhnya yang dihajar, pasti dia tidak akan selamat. Dia menjadi bingung sekali. Kalau menyerah dan minta ampun, menurunkan derajat Auwyang Hong, dia pun bakal tidak diberi ampun. Kalau ular itu tidak dibawa pergi, dia juga bakal disiksa majikannya yang bengis itu.

Selagi orang ini masih bingung, tiba-tiba di situ tercium bau harum, dada rasanya menjadi lapang, lantas semua ular menggerakkan kepalanya, mendongak ke langit. Orang itu menyangka Kwee Ceng, yang ia tidak kenal itu, pandai mengendalikan ularnya, lantas ia meniup suitannya, menitahkan ularnya pergi. Tapi ular itu tetap diam. Hanya bau hatum menjadi semakin keras.

Terang bau itu datangnya dari atas. Maka dia dongak. Tiba-tiba terlihat menyambar turunnya cahaya teras sebagai segumpal api, luar biasa cepatnya, turun di sisinya. Dengan tiba-tiba, ia menjadi kaget. Dia mendapat kenyataan, gumpalan api itu hanyalah seekor burung yang tubuhnya merah marong, tubuhnya lebih besar dari gagak, bacotnya panjang kira-kira setengah kaki. Berdiri di tanah, burung aneh itu lantas melihat ke sekelilingnya, nampaknya keren. Bau harum itu datang dari tubuhnya. Kwee Ceng menjadi merasa suka melihat burung itu, yang tak ada bulunya yang kecampuran, kedua matanya tajam, sinarnya merah juga.

"Kalau Yong-jie melihat burung ini, tentu dia suka sekali," pikirnya. Maka ia lantas ingin menangkap hidup burung itu.

Mulanya semua ular kaget dan takut, sekarang semua berbalik menjadi jinak, tidak ada yang bergeming. Ketika burung itu berbunyi satu kali, empat ekor ular yang besar nyelosor menghampiri, di depan burung itu, mereka menggulingkan diri, perutnya menghadap keatas. Kapan burung itu mematuk, maka pecahlah perut mereka. Dengan empat patukan saja, isi perut mereka masuk ke dalam perut burung itu. Semua pengiring ular itu menjadi heran sekali, kaget dan gusar. Yang menjadi kepala tadi mengayun tangannya, sebuah torak melayang ke burung itu.

Kwee Ceng kaget, ia khawatir burung itu celaka karenanya. Dengan sebat sekali ia mematahkan secabang pohon kecil, ia timpukkan ke depan burung itu guna melindunginya. Cepat melayangnya cabang itu tiba di depan burung lebih dulu dari tibanya torak, maka torak dan cabang beradu, bersama-sama jatuh ke tanah.

Burung itu cerdas sekali. Dia heran, lantas berpaling ke arah darimana datangnya cabang pohon dan torak itu. Dia tahu ada orang yang membokong dan ada yang menolong, terus ia mengangguk ke arah Kwee Ceng dan Lam Kim, kemudian dengan sinar merahnya bergerak, dia terbang ke arah penyerangnya. Penggiring ular itu kaget tetapi dia menyerang pula. Dia menggunakan empat buah ginso, yang menyambar saling susul.

Kwee Ceng kaget, untuk menolong sudah tidak keburu, maka ia mengeluh, Sayang…!"

Sementara itu sang burung merah tukang makan ular menyambar terus. Dia melihat menyambarnya dua buah torak perak, dia menyampok ke bawah dengan sayapnya, maka jatuhlah torak itu. Sambil menyampok, dia berkelit, lalu dengan lain sayapnya menyampok pula, maka dua torak lolos lagi, terpental naik ke udara!

"Bagus!" Kwee Ceng berseru saking gembira. Burung itu bergerak bagai seorang ahli silat.

Belum berhenti suaranya Kwee Ceng ini, si budak pengiring ular sudah menjerit keras, kedua tangannya dipakai menutupi muka, dia lari ke depan dimana dia membentur sebuah pohon besar, maka sambil menjerit, dia berjongkok di situ. Nyatalah kedua biji matanya telah dipatuk burung itu.

Tujuh budak lainnya menjadi kaget, semua lantas menyerang dengan senjata rahasia. Di terangnya rembulan itu, torak-torak perak terbang berkeredepan. Burung itu benar-benar lihay. Dia beterbangan, mengelitkan diri atau menyampok, ia mundur dan maju, lalu dua orang lagi berkoak, sebab mereka pun kena dipatuk biji matanya.

Ketika itu mendadak ada menyambar sinar biru terang, menyambar ke burung pemakan ular itu. Kwee Ceng mengenal api belerang. Serangan ini lebih hebat dari ginso. Tapi burung itu berbunyi nyaring, dia terbang memapaki api itu, yang berupa anak panah, terus dia mencengkeram dengan kukunya. Dia tidak menghiraukan belerang menyala. Setelah meletakkan anak panah di tanah, burung itu mencari rumput, ditaruh di atas api itu hingga rumput terbakar!

"Sayang! Sayang!" Kwee Ceng berseru berulang-¬ulang.

"Sayang apa, engko?" Lam Kim menanya heran.

"Ini permainan bagus, sayang Yong-jie tidak melihatnya!" sahut si anak muda.

"Yong-jie?" tanya Lam Kim. "Siapakah dia?"

"Ya, Yong-jie…"

Lam Kim mau menanya lagi ketika kupingnya mendengar suara helaan napas, seperti suara wanita, di belakangnya. Ia lantas menoleh, tetapi dia tidak melihat siapapun. Tanpa merasa, bulu romannya bangun berdiri. Ia menduga kepada setan, maka ia memegang keras lengan Kwee Ceng, tubuhnya disenderkan rapat-rapat. Ia pun menanya,

"Engko, siapakah yang menghela napas itu?"

Perhatian Kwee Ceng dipusatkan kepada burung merah, ia tidak mendengar suara helaan napas, ia tidak dapat mendengar juga perkataan si nona yang sangat perlahan, bahkan ia seperti tidak merasakan tubuh yang halus dari si nona Cin menyambar di dadanya.

Burung itu bergulingan di api yang dia nyalakan, ketika api mulai berkurang, ia mengambil pula daun dan cabang kering, hingga api menjadi berkobar lagi. Ia membuat main bulunya di dalam api, ia tidak terbakar, tidak kepanasan. Ia malah mematuki bulunya menyisili, seperti biasanya burung mandi.

Selagi Kwee Ceng mengawasi dengan heran, bau harum terasa makin keras. Kapan kawanan ular mendapat cium bau itu, mereka seperti tidak dapat menguasai diri, semua lantas bergerak berlompatan, lalu saling menggigit, hingga suaranya menjadi berisik. Ada ular yang kesakitan digigit telah menggigit ekornya sendiri! Maka kacaulah ribuan ular itu.

Lam Kim merasa kepalanya pusing dan matanya kabur, hampir dia jatuh dari atas pohon, maka lekas-lekas ia memegangi erat-erat tubuh Kwee Ceng, yang ia peluki.

Sisa budak-budak itu kaget dan ketakutan, lantas mereka lari keluar dari rimba. Si burung menganggap mereka itu sebagai musuh, dia terbang mengubar. Mereka ketakutan, menutup muka dengan tangan, tapi tangannya itu dipatok, ketika mereka melepaskan tutupannya, lantas mata mereka dipatok. Tidak lama, mereka semua menjadi si orang-orang buta. Habis itu, burung terbang kembali ke rimba, ke api, tetapi api sudah padam. Dia lantas mengibas-ngipas dengan kedua belah sayapnya, menyalakan api itu lagi. Tentu saja abunya menjadi beterbangan.

Kwee Ceng menepuk pundak Lam Kim. "Kau diam di sini, kau pegangi pohon," katanya perlahan seraya menyingkirkan tangan yang merangkulnya. Habis itu ia lompat turun, bertindak dengan perlahan ke arah si burung aneh itu.

Sang burung melihat ada orang datang. Dia mengenali penolongnya tadi, dia diam mengawasi. Burung itu mengangkat kepalanya, dia tidak menghampiri. Selagi turun dari pohon, Kwee Ceng memperhatikan semua ular, dari itu ia bertindak dengan perlahan, tetapi sekarang ia mendapat kenyataan, semua ular itu, yang sudah berkelahi sendiri, seperti membuka jalan untuknya. Rupanya binatang berbisa itu takut kepadanya, yang pernah minum darah ular. Dengan berani, ia maju terus, tindakannya lebar. Setelah datang dekat kepada burung aneh itu, ia mengulur tangannya.

Burung itu lihay, dia gesit sekali. Sambaran Kwee Ceng cepat tetapi dia dapat berkelit, setelah itu, tidak menanti sampai disambar pula, ia membalas menyerang, hendak mematuk matanya si anak muda.

"Engko Kwee, hati-hati!" Lam Kim berseru, memberi ingat.

Kwee Ceng menungkrap dengan kuali besinya. Burung itu benar lihay, dia berkelit, dia lolos.

"Bagus!" berseru Kwee Ceng, seraya ia melompat, kualinya menungkrap pula.

Sang burung terbang ke atas, terpisahnya kira-kira satu kaki. Dia melihat tangan kiri Kwee Ceng menyusul, di atasan kepalanya, dia kaget, terus dia terbang ke bawah lewat selangkangan si anak muda. Habis itu dia terbang naik kembali, hendak mematuk mata.

Kwee Ceng gembira, hingga timbul sifat kekanak-¬kanakannya. "Di tanganku ada senjata, kalau aku tidak dapat menangkap kau, aku bukan laki-laki," katanya. "Baiklah, mari kita bertempur dengan tangan kosong!"

Maka ia melemparkan kualinya, lantas dia menyambar. Dia takut melukai, maka ia memakai tenaga cuma satu bagian. Burung itu kena dipapaki, dia tidak keburu kelit, karena kebentur, dia roboh. Kwee Ceng mengulur lebih jauh tangannya, untuk mencekik, tapi burung itu telah terbang lagi. Dia rupanya tahu lawannya lihay, bukan seperti pengiring-¬pengiring ular tadi, maka dia terbang pergi.

Kwee Ceng menyambar, tangannya diputar. Dia menggunakan jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, jurus "Enam naga berputaran". Burung itu kena terpegat di sana-sini, lalu kebentur jatuh hingga ia jumpalitan. Justru itu Kwee Ceng mencekik padanya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar