Kamis, 14 Januari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 102

Cie Peng sebenarnya menyebut Oey Yok Su dengan nama Oey Lao Shia, yang berarti si Oey tua yang tersesat atau si Sesat bangkotan, tetapi ia ditegur oleh Ma Giok, maka ia mengubah sebutannya.

Khu Cie Kee segera menghadapi rumah penginapan itu, dengan nyaring ia berkata: “Murid-murid Coan Cin Kay, Ma Giok beramai, datang menghadap kepada Oey Tocu dari Tho Hoa To!"

"Di dalam tidak ada orang," Yo Kang memberitahu.

"Sayang, sayang," kata Cie Kee yang membanting¬-banting kaki. Tapi ia lantas tanya muridnya: "Kau di sini, ngapain?"

Hati Yo Kang sudah goncang karena melihat guru dan sekalian paman gurunya, maka atas pertanyaan itu, ia tidak lantas dapat memberikan jawaban.

Sementara itu Gochin Baki mengawasi Ma Giok, lalu ia lari menghampiri, terus ia berseru:

"Oh, kau imam yang membantu aku menangkapi rajawali putih. Lihatlah, sekarang sepasang rajawali telah menjadi besar sekali!"

Putri Mongolia ini menunjuk pada burungnya sambil bersiul, kedua ekor burung itu lantas turun, menclok di kedua belah pundaknya.

Ma Giok tersenyum, ia mengangguk. "Apakah dia pun datang ke Selatan ini untuk pesiar?" ia menanya.

Putri ini tahu siapa yang dimaksudkan dengan "dia" itu, lantas saja ia menangis. "Kanda Kwee Ceng telah dibikin celaka orang hingga mati!" katanya sengit. "Totiang, tolong kau balaskan sakit hatinya!"

Ma Giok terkejut hingga mencelat. Dengan bahasa Tionghoa ia lalu memberi keterangan kepada saudara¬-saudaranya perkataan putri itu. Khu Cie Kee dan Ong Cie-pun, dengan berbareng mereka lantas menanyakan apa sebenarnya yang telah terjadi.

Putri Jenghiz Khan segera menunjuk kepada Yo Kang. "Dialah yang membawa berita, katanya ia melihat sendiri," bilangnya. "Coba kau tanyakan dia sendiri!"

Melihat si nona kenal paman gurunya yang tertua, Yo Kang berkhawatir, maka lantas ia berkata kepada Tuli dan si nona itu:

"Kamu tunggu dulu di sebelah depan sana, aku hendak bicara sama beberapa imam ini. Sebentar aku susul kamu."

Perkataan ini disalin oleh si punggawa. Mendengar itu Tuli mengangguk, lantas ia ajak adik dan kawannya pergi ke depan, ke utara kampung itu.

"Siapa yang membunuh Kwee Ceng?!" Cie Kee menanya, bengis. "Lekas bicara!"

Dalam takutnya Yo Kang berpikir: "Kwee Ceng aku sendiri yang membunuhnya, sekarang aku mesti menimpakan kesalahan kepada siapa…? Baiklah aku menyebut seorang lihay, supaya suhu mencari dia, supaya dia mengantarkan jiwanya sendiri, dengan begitu untuk selamanya aku bebas dari mara bahaya…" Maka dengan lagu suara sangat membenci, ia menjawab:

"Dialah tocu dari Tho Hoa To!"

Menyusul jawabannya Yo Kang ini, dari kejauhan terdengar tertawa lebar yang samar-samar, disusul suara nyaring seperti bentroknya cecer rombeng, lalu disusul lagi suara yang perlahan sekali, tetapi meskipun perlahan, terdengar tegas. Suara itu seperti berputaran di luar kampung lantas pergi jauh………

Akan tetapi Khu Cie Kee kaget berbareng girang. "Itulah tertawanya Ciu Susiok," katanya.

"Ketiga Suheng pergi menyusul!" kata Sun Put Jie.

"Rupanya suara cecer pecah dan suara memanggil tadi seperti lagi menyusul susiok," kata Ong Cie It.

Ma Giok nampaknya berduka. "Kelihatannya dua orang itu berkepandaian tidak ada di bawah Ciu Susiok," katanya. "Entah mereka itu orang pandai darimana? Ciu Susiok sendirian melawan dua musuh, aku khawatir…" Ia lantas menggoyang-goyangkan kepalanya.

Khu Cie Kee dan tiga saudaranya mendengar pula, sekarang suara itu lenyap, rupanya orang telah pergi jauh beberapa lie hingga sulit disusul lagi.

"Ada Tam Suko bertiga, kita tidak usah mengkhawatirkan susiok," kata Sun Put Jie kemudian.

"Aku khawatir mereka tidak dapat menyandak," bilang Cie Kee. "Coba Ciu Susiok tahu kita berada di sini dan dia datang ke mari…"

Oey Yong dapat mendengar semua pembicaraan mereka, ia tertawa sendiri. "Ayahku bersama si bisa bangkotan dan tua bangka berandalan tengah mengadu kepandaian lari!" katanya di dalam hati. "Mereka itu bukan lagi berkelahi. Umpama kata mereka benar lagi berkelahi, kamu beberapa imam hendak membantu, mana kamu dapat melawan ayahku serta si bisa bangkotan itu?"

Ma Giok yang sabar lalu mengibas tangannya, maka semua orang lantas masuk ke dalam rumah penginapan untuk pada berduduk.

"Eh, mari aku tanya kau!" kata Cie Kee pada muridnya. "Aku mau tahu, sekarang ini kau dipanggil Wanyen Kang atau Yo Kang?"

Yo Kang takut sekali. Mata gurunya sangat tajam memandang padanya. Kalau ia salah menjawab, jiwanya terancam bahaya. Maka lekas-lekas ia menjawab:

"Jikalau bukan suhu serta Ma Supee dan Ong Susiok yang memberi petunjuk, sampai sekarang tentu teecu masih dalam kegelapan, teecu tetap mengaku musuh sebagai ayahku. Sekarang ini teecu she Yo. Baru saja tadi malam berdua bersama adik Bok ini teecu mengubur jenazah ayah bundaku."

Senang Khu Cie Kee mendengar jawaban itu, ia mengangguk-angguk, air mukanya pun berubah tak bermuram lagi seperti tadi. Sebagai imam jujur, ia mempercayai orang. Juga Ong Cie It tidak lagi mendongkol melihat Yo Kang bersama Liam Cu, yang tadinya dia gusar karena keponakan muridnya menyangkal perjodohannya dengan nona Bok.

Kebetulan Khu Cie Kee melihat ke lantai tatkala sinar matanya bentrok sama tombak buntung. Ia kenali itu sebagai senjatanya Kwee Siauw Thian. Ia lantas memungutnya, untuk diusap-usap. Nyata ia berduka.

"Pada sembilanbelas tahun yang lampau," katanya perlahan, "Di sini aku telah berkenalan dengan ayahmu serta pamanmu she Kwee, sekarang sesudah belasan tahun lewat, aku melihat ini peninggalan tombaknya, sedang sahabatku telah pulang ke alam baka….."

Kwee Ceng mendengar perkataan itu, ia berduka bukan main. Katanya dalam hati: "Khu Totiang menyebutnya sahabat ayahku, tetapi aku sendiri tidak pernah melihat wajah ayah…."

Kemudian Khu Cie Kee tanya muridnya bagaimana caranya Oey Yok Su membunuh Kwee Ceng.

Sudah terlanjur, Yo Kang lantas mengarang cerita. Ketiga imam itu menghela napas, berduka sekali. Mereka pun mengenal baik pemuda she Kwee. Selama itu hatinya Yo Kang tidak tenang. Ia pun telah berjanji kepada Tuli dan Gochin Baki.




"Apakah kamu berdua sudah menikah?" kemudian Ong Cie It tanya keponakan muridnya itu.

"Belum," sahut Yo Kang. Kali ini ia tidak berani berdusta.

"Lebih baik kalian lekas menikah!" Ong Cie It bilang. "Khu Suko, baiklah hari ini kau merecoki jodoh mereka, supaya mereka lantas menikah."

Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi, dalam hatinya, mereka berkata: "Benarlah malam ini kembali kita akan menonton sepasang pengantin?"

Sementara itu Yo Kang berkata dengan cepat: "Terserah kepada suhu!"

Tapi Bok Liam Cu berkata: "Mesti dipenuhkan dulu satu permintaanku, yang menjadi syarat, kalau tidak biarnya mati, aku tidak sudi menikah!" Nona ini telah lama mengikuti ayahnya merantau maka ia beda dengan Yauw Kee.

Khu Cie Kee tersenyum. "Baiklah!" bilangnya. "Apakah itu nona, kau bilanglah!"

"Ayah angkatku telah dibikin mati oleh Wanyen Lieh, musuh negaraku," menyahut nona Bok, "Maka itu dia mesti membalaskan dulu sakit hati ayahku!"

"Bagus!" berseru Cie Kee bertepuk tangan. "Nona, pikiranmu cocok sama pikiran si imam tua! Nah, anak Kang, bagaimana dengan kau? Setujukah?"

Syarat itu hebat sekali, tentu saja Yo Kang menjadi ragu-ragu. Selagi ia berpikir, bagaimana ia harus menjawab, di luar penginapan terdengar suara orang bernyanyi, suaranya serak, dan nyanyiannya lagu "Lian Hoa Lok", nyanyiannya bangsa pengemis. Nyanyian itu lantas disusul satu suara halus dan tajam, katanya:

"Tuan-tuan besar sukalah berlaku murah hati, mengamal untuk satu bun saja…!"

Mendengar suara itu, Bok Liam Cu lantas berpaling, ia mengenali suara itu. Di ambang pintu terlihat dua orang pengemis, yang satu bertubuh jangkung dan gemuk, yang lainnya kate dan kurus, dan si jangkung gemuk itu umpama kata sebesar empat kali tubuhnya si kate kurus. Maka itu sangat luar biasa perbedaaan di antara mereka berdua.

Sang waktu telah berselang banyak tahun tetapi nona Bok masih ingat peristiwa ketika usianya tigab belas tahun, ketika lukanya dibalut oleh pengemis ini, sedang Ang Cit Kong, yang menyukai si nona, telah mengajari ilmu silat selama tiga hari. Liam Cu hendak menghampiri kedua pengemis itu tetapi ia bersangsi waktu melihat kedua pengemis itu lantas mengawasi tongkat di tangannya Yo Kang, lalu setelah mereka saling melirik, mereka menghampiri pemuda itu. Dengan menyilangkan kedua tangan, mereka memberi hormat.

Ma Giok semua mengawasi kedua pengemis itu, dengan hanya melihat tindakan orang dan gerakan tubuhnya, mereka tahu dua orang ini mesti lihay ilmu silatnya. Mereka juga melihat di punggung orang ada tergendol delapan buah kantung goni, yang mana adalah tanda tingkatan tinggi dari kaum Kay Pang. Hanya mereka tidak mengerti kenapa keduanya demikian menghormat terhadap Yo kang.

Si pengemis kurus lantas berkata: "Saudara yang baik, beruntung sekali di dalam kota Lim-an ini kau telah menemukan tongkat pangcu kami. Sebenarnya kami telah mencarinya berputaran! Saudara, entahlah dimana tahu kemanakah perginya pangcu kami meminta amal?"

Yo Kang heran diperlakukan demikian. Ia memegangi tongkat tetapi tidak tahu hal ikhwalnya tongkat itu. Tentu sekali tidak tahu ia harus menjawab bagaimana. Adalah aturan kaum Kay Pang, melihat tongkat sama seperti menghadap pangcu mereka sendiri, dari itu terhadap Yo Kang mereka berlaku sangat menghormat, tetapi sekarang Yo Kang seperti tidak memperdulikan mereka, agaknya mereka bergelisah, lekas-lekas mereka menunjukkan sikap lebih hormat lagi. Si pengemis gumuk turut berkata, katanya:

"Pertemuan di Gak-ciu sudah mendesak harinya, untuk itu Kan Tianglo dari timur sudah bergerak ke barat."

Yo Kang menjadi semakin tidak mengerti. Tadi ia mengasih dengar, "Hm!" sekarang ia mengasih dengar pula suaranya itu.

Pengemis kurus pun berkata pula: "Oleh karena teecu mencari tongkatnya pangcu, waktu kami telah tersia-¬siakan beberapa hari, maka sekarang setelah kita bertemu, seharusnya kita lantas berangkat! Maka itu baiklah sekarang teecu beramai menemani padamu!"

Biar bagaimanapun Yo Kang dapat menggunakan otaknya. Memang ia ingin lekas-lekas menyingkir dari depan guru dan paman-paman gurunya ini. Maka ia lantas berlutut kepada mereka, katanya:

"Teecu mempunyai urusan penting, tidak dapat teecu menemani suhu sekalian, dari itu, harap teecu dimaafkan!"

Khu Cie Kee sekalian percaya muridnya ini mempunyai urusan penting dengan Kay Pang, mereka pun tahu, Ang Cit Kong kenal baik dengan Ong Tiong Yang, almarhum guru mereka, karena itu mereka tidak berani menahan Yo Kang. Malah sebaliknya, mereka berlaku hormat kepada kedua pengemis itu, yang sikapnya demikian halus.

Bok Liam Cu pun suka turut. Bukankah ia kenal dengan dua pengemis itu? Maka ia juga memberi hormat pada Khu Cie Kee berempat, untuk pamitan. Begitulah, berempat mereka berangkat.

Khu Cie Kee berempat bermalam di rumah penginapan itu untuk menantikan Tam Cie Toan bertiga. Baru besoknya tengah malam, mereka mendengar suara siulan panjang di luar kampung. Sun Put Jie lantas berkata:

"Cek Suheng datang!"

Ketika itu Khu Cie Kee berempat lagi bersemadhi tatkala mereka mendengar isyarat dari Kong Leng Cu Cek Tay Thong, dimana Ma Giok lantas memberikan jawabannya perlahan tetapi terang. Cuma sebentar saja, lantas satu bayangan berkelebat dan Cek Tay Thong bertindak masuk.

Oey Yong belum pernah melihat imam itu, ia lantas mengintai. Malam itu tanggal lima bulan tujuh, rembulan masih kecil, akan tetapi si nona dapat melihat dengan tegas. Ia melihat seorang yang bertubuh gemuk dan tinggi besar, romannya seperti seorang pembesar negeri, tangan baju dari jubahnya ada separuh, cuma sampai sebatas sikut. Pakaiannya berbeda sekali dengan jubah Ma Giok beramai.

Cek Tay Thong ini, semasa belum menjadi imam, adalah seorang hartawan di Lenghay, Shoatang, dia pun terpelajar tinggi, baru kemudian dia mengangkat Ong Tiong Yang menjadi guru. Ketika ia menerima muridnya ini, Ong Tiong Yang meloloskan jubah yang ia pakai, kedua ujung bajunya ia kutungi, jubahnya itu dikasihkan muridnya. Ia pun berkata:

"Tidak ada bahaya, tidak ada tangan baju, maka kamulah yang harus merampungkan sendiri."

Huruf "tangan baju" ada sama suaranya dengan huruf "menerimakan". Dengan itu mau diartikan, meskipun guru ini tidak memberikan banyak pengajaran kepada muridnya, dengan peryakinan sendiri, si murid akan memperolah kemajuan. Cek Toy Thong mengingat baik-baik perkataan gurunya, maka selanjutnya ia tetap mengenakan jubah tangan buntung itu.

"Bagaimana dengan Cui Susiok?" tanya Khu Cie Kee yang tidak sabaran. "Sebenarnya ia lagi bergurau atau benar-benar bertempur?"

Cek Toy Thong menggeleng kepala. "Kepandaianku masih rendah sekali, setelah menyusul tujuh atau delapan lie, aku kehilangan Cui Susiok," ia menyahut. "Tam Suko bersama Lauw Suko berada di sebelah depanku."

"Kau letih, Cek Sutee, kau beristirahatlah," katanya.

Cek Tay Thong lantas duduk bersila, menjalankan pernapasannya. "Diwaktu tadi aku berjalan pulang," kemudian ia berkata lagi, "Di Ciu Ong Bio aku melihat enam orang, melihat roman mereka, mestinya Kanglam Liok Koay yang Khu Suheng cari. Lantas aku menghampiri mereka, nyata penglihatanku tidak keliru."

"Bagus!" kata Cie Kee girang. "Sekarang di mana adanya mereka?"

"Sebenarnya mereka baru kembali dari Tho Hoa To," Tay Thong memberi keterangan pula.

Cie Kee terkejut. "Sungguh mereka bernyali besar berani pergi ke Tho Hoa To!" katanya. "Pantas kita tidak dapat mencari mereka."

"Menurut keterangan Thay-hiap Kwa Tin Ok, ketua dari Liok Koay, mereka telah membuat perjanjian dengan Oey Yok Su untuk pergi ke Tho Hoa To, hanya setibanya mereka di pulau itu, Oey Yok Su tidak ada. Mendengar kita berada di sini, mereka membilang bahwa dalam satu dua hari ini mereka hendak datang berkunjung."

Kwee Ceng mendengar pembicaraan itu, mengetahui semua gurunya tidak kurang suatu apapun, ia girang sekali. Sementara itu, setelah lewat lima hari lima malam, kesehatannya sudah pulih separuhnya.

Di hari keenam kira-kira jam tiga atau empat, dari luar kampung sebelah timur terdengar suara siulan, atas itu Khu Cie Kee berkata:

"Lauw Sutee kembali bersama seorang yang lihay, entah siapakah dia…"

Berlima mereka lantas berbangkit, pergi keluar untuk menyambut. In Cie Peng jalan di belakang. Lantas mereka melihat Cie Hian bersama seorang tua yang rambut kumisnya sudah putih semua, bajunya pendek, sepatunya sepatu goni, sebelah tangannya memegang sebuah kipas besar, sembari berjalan ia berbicara sambil tertawa-tawa. Ketika sampai di muka penginapan, kepada lima anggota Coan Cin Pay yang menyambutnya, dia cuma mengangguk sedikit, agaknya dia tidak melihat mata kepada mereka. Tapi Lauw Cie Hian segera mengajarnya kenal:

"Inilah Tiat-ciang Cui-siang-piauw Kiu Locianpwee yang namanya kesohor di seluruh negara. Hari ini kami bertemu dengannya, sungguh beruntung!"

Mendengar nama imam she Lauw itu, Oey Yong tersenyum, dengan sikutnya ia membentur tubuh Kwee Ceng, siapa lantas tersenyum juga. Berdua mereka berpikir: "Marilah kita menyaksikan tua bangka ini penipu besar mempermainkan orang-orang Coan Cin Kauw!"

Lalu terdengarlah suara Ma Giok berlima, yang bicara sama orang she Kiu ini dengan sikap menghormat, sedang Kiu Cian Jin lantas mengasih dengar ocehannya. Kemudian Khu Cie Kee menanya apa "locianpwee" bertemu sama Ciu Pek Thong, paman gurunya.

"Loo Boan Tong?" menegaskan orang she Kiu itu. "Dia telah dibinasakan oleh Oey Yok Su!"

Semua orang Coan Cin Kauw itu menjadi kaget sekali. "Ah, tidak mungkin!" kata Cie Hian selang sesaat. "Baru saja boanpwee melihat Cui Susiok, karena larinya sangat keras, boanpwee tidak dapat mengusul."

Kiu Cian Jin tertawa, ia tidak membilang suatu apapun. Ia rupanya lagi berpikir bagaimana harus menelurkan kedustaan.

"Lauw Sutee," tanya Cie Kee, "Apakah kau melihat tegas romannya dua orang yang mengejar Ciu Susiok?"

"Yang satu mengenakan jubah putih, yang lainnya jubah hijau panjang. Mereka itu sangat kencang larinya. Samar-samar aku melihat wajah yang berjubah hijau itu luar biasa sekali, mirip dengan mayat".

Kiu Cian Jin telah melihat Oey Yok Su di Kwie-in¬chung, segera berkata. "Benar! pembunuh Ciu Pek Thong si baju hijau itu! Lain orang mana bisa? Aku hendak mencegah sayang terlambat…!"

Nama Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin sangat kesohor, enam imam Coan Cin Kauw ini tidak menyangka bahwa orang tengah membohong, mendengar hal dibunuhnya Ciu Pek Thong, paman guru mereka, mereka sangat berduka berbareng gusar.

"Tam Suko dapat lari lebih keras daripada aku, mungkin dia mendapat kesempatan melihat bagaimana caranya susiok dibunuh," kata Cie Hian.

"Aku khawatir Tam Suko pun nampak bahaya…" kata Sun Put Jie yang berkhawatir. Ia berhenti tiba-tiba dan mukanya pucat.

Khu Cie Kee lantas menghunus pedangnya. "Mari kita menyusul!" serunya. "Kita mesti menolong dan membalaskan sakit hati!"

"Jangan!" berteriak Kiu Cian Jin, yang khawatir mereka dapat mencari Ciu Pek Thong. "Oey Yok Su ketahui kamu berada di sini, segera juga dia bakal datang ke mari. Oey Lao Shia itu sangat jahat, aku si orang tua tidak dapat membiarkannya! Aku juga tidak membutuhkan bantuan orang lain, maka biarlah kamu berdiam saja di sini menanti kabar baik dariku!"

Khu Cie Kee sekalian sangat percaya dan menghormati orang tua ini, mereka tidak membantah. Pula, kalau mereka mengejar, khawatir nanti mengambil jalan salah hingga jadi tidak dapat bertemu sama Oey Yok Su, dari situ, mereka menanti saja. Maka mereka berjalan keluar mengantarkan kepergian orang tua ini, mereka sikapnya sangat menghormat.

Setelah keluar dari ambang pintu, Kiu Cian Jin memutar tubuhnya seraya mengibaskan tangan serta mulutnya berkata:

"Tidak usah kau mengantar sampai jauh! Meskipun Oey Lao Shia lihay sekali, aku toh mempunyai jalan untuk mengalahkan dia! Kamu lihat!"

Ia tidak lantas berjalan terus hanya menghunus sebatang pedang dari pinggangnya, dengan itu ia menikam perutnya, hingga mereka menjadi kaget. Tiga dim dari pedang telah tertancap separuhnya! Akan tetapi si orang tua tertawa dan berkata:

"Di kolong langit ini, senjata tajam apapun tidak dapat melukaiku, maka janganlah tuan-tuan kaget dan takut! Jikalau aku menyusul tetapi tidak bertemu dan sebaliknya Oey Lao Shia itu datang ke mari, jangan tuan-tuan melayani dia bertempur, khawatir nanti kamu terluka, kamu tunggu saja kembaliku!"

"Sakit hati paman guru, yang menjadi keponakan muridnya, tak dapat kami tidak membalasnya!" berkata Khu Cie Kee.

Mendengar itu, Kiu Cian Jin menghela napas. "Kalau begitu, terserah!" katanya berduka. "Ini takdir! Jikalau kamu hendak membalas sakit hati, satu hal kamu mesti ingat!"

"Tolong locianpwee memberi petunjuk," Ma Giok minta.

Kiu Cian Jin lantas mengasih lihat roman sungguh¬-sungguh. "Begitu kamu melihat Oey Lao Shia, kamu harus segera mengepung dengan sungguh-sungguh!" katanya. "Jangan kau bicara sepatah katapun! Kalau tidak, sukarlah sakit hati kamu terbalaskan! Ingat baik-¬baik!" Habis berkata, ia memutar tubuhnya, untuk terus berlalu, pedangnya masih nancap terus diperutnya……

Khu Cie Kee sekalian saling mengawasi dengan berdiri menjublak. Mereka adalah orang-orang dengan pengetahuan dan pemandangan yang luas tetapi belum pernah mereka menyaksikan orang menublas perut demikian rupa, dapat bicara, tertawa dan berjalan dengan tenang! maka itu maulah mereka menduga bahwa kepandaian orang tua itu sangat luar biasa.

Sama sekali mereka tidak pernah menyangka telah dijual Kiu Cian Jin. Pedang itu bertekuk tiga, kalau tekukan yang pertama membentur sesuatu, yang dua lagi segera ngelepot masuk, jadi ujung pedang cuma mengenai ikat pinggang dan nancap, hanya nampaknya seperti terpendam di dalam perut. Dia telah menerima undangan Wanyen Lieh, dia bertugas menyebar racun kata-kata untuk membuat orang-orang gagah di jamannya itu bentrok satu sama lain, agar bangsa Kim (kin atau Chin) mendapat kesempatan menyerbu ke Selatan, menumpas alaha Song.

Seperginya orang tua itu, Khu Cie Kee berenam tak tenang hatinya, sampai mereka tidak bernafsu dahar dan minum. Mereka terus menanti. Ketika tiba tengah malam dari tanggal tujuh, mendadak mereka mendengar sama-samar suara orang di arah utara, seperti dua orang saling susul, sebentar kemudian, tibalah dua orang itu di depan rumah penginapan.

Enam orang Coan Cin Kauw ini duduk bersemadhi di atas tumpukan rumput, dengan jalan itu mereka memelihara diri sambil berlaku sabar sebisanya, cuma In Cie Peng, yang latihannya masih rendah, sudah tidur pulas. Mendengar suara itu, mereka lantas berlompat bangun.

"Musuh mengejar Tam Sutee," berkata Ma Giok. "Berhati-hatilah semua!"

Kwee Ceng, malam itu pun malam terakhir, guna memenuhi waktu istirahat tujuh hari tujuh malam. Tindakan mereka besar faedahnya. Bukan saja Kwee Ceng sendiri sembuh luka dalamnya, juga rapat luka luarnya, pula tenaga dalam mereka mendapat kemajuan besar. Waktu beberapa jam lagi adalah waktu yang terpenting. Tapi Oey Yong berduka dan berkhawatir kapan ia mendengar perkataan Ma Giok itu.

"Kalau yang datang benar ayah, inilah hebat," pikirnya. "Coan Cin Cit Cu tentu bakal lantas menyerang dan mengerebuti….Aku tak dapat keluar, untuk mencegah guna mengasih penjelasan. Bagaimana? Aku khawatir sangat mereka ini bakal bercelaka di tangan ayah. Kematian mereka tidak ada sangkutnya dengan aku sendiri, tidak demikian dengan engko Ceng. Engko Ceng ada sangkutannya dengan mereka itu. Pasti engko Ceng akan bertindak…… Tidakkah itu bakal meludaskan usaha kita berhari-hari dan bemalam¬-malam ini, sedangkan ini adalah detik-detik terakhir? Aku khawatir, tidak cuma ilmu silatnya juga jiwanya akan terancam bahaya…" Maka ia lantas berbisik di kuping lawannya itu: "Engko Ceng, kamu mesti berjanji padaku, tidak peduli bakal terjadi apapun yang besar dan penting, kau tidak boleh keluar dari sini!" Kwee Ceng mengangguk.

Segera juga siulan terdengar di luar pintu penginapan.

"Tam Sutee, lekas mengatur barisan Thian Kong Pak Tauw!" Khu Cie Kee berseru.

Mendengar nama barisan itu, Kwee Ceng jadi sangat ketarik hatinya. Di dalam kitab Kiu Im Cin-keng ada disebut-sebut nama bintang-bintang itu, sebagai pokok untuk pernyakinan kemahiran, penjelasan lainnya tidak ada, maka itu, ia ingin ketahui kepandaian Coan Cin Cit Cu. Segera ia mengintai.

Justru pemuda ini mengintai, pintu tergabrukan terbuka dan seorang imam melompat masuk, hanya disaat jubahnya berkibar dan kaki kirinya baru melewati ambang pintu, mendadak ia terhuyung dan mundur keluar. Ini disebabkan musuhnya telah tiba dan sudah menyerang.

Khu Cie Kee bersama Ong Cie It berlompat ke pintu, mereka berdiri berendeng, kedua tangan diajukan ke depan, maka tenaga mereka bentrok sama tenaga dari luar. Sebagai kesudahannya, kedua imam ini mundur dua tindak, lawannya mundur dua tindak juga. Ketika ini digunakan Tam Cie Toan berlompat masuk.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar