Sabtu, 09 Januari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 099

Imam muda itu menjadi nekat. "Di depanmu pun aku berani mencaci kau!" katanya sengit. "Kaulah si setan alas, si siluman!"

Koan Eng berkecil hati mendengar keberanian Cie Peng. Semenjak ia menjadi jago, Oey Yok Su ditakuti semua orang, dari kalangan Hitam dan Putih, tidak pernah ada orang yang berani berlaku kurang ajar terhadapnya, maka Cie Peng ini adalah orang yang pertama. "Hebat! Ini imam cilik bakal tak ketolongan jiwanya…" ia mengeluh.

Tetapi aneh, bukannya marah, Oey Yok Su justru tertawa. Nyata si Sesat dari Timur ini menghargai dan menyayangi hati besar bocah ini. Ia ingat pada masa mudanya, yang juga tidak kenal takut.

"Jikalau kau berani, kau makilah pula padaku!" katanya bengis sambil bertindak menghampiri.

"Aku tidak takut, hendak aku memaki pula padamu!" jawab Cie Peng. "Kau iblis, kau siluman!"

"Hai, binatang bernyali besar, kau berani menghina kakek guruku!" membentak Koan Eng, yang lantas membacok. Tapi ia bukan hendak mencelakai, sebaliknya, untuk melindungi. Karena ia mengerti baik sekali, kalau kakek gurunya yang turun tangan, celakalah imam muda ini. Ia pikir, bacokannya sendiri, ke arah alis, tidak meminta jiwa orang. Ia harap perbuatannya ini nanti merendahkan kegusaran kakek gurunya.

Cie Peng berkelit dan berlompat mundur dua tindak. Ia mendelik, kembali ia pentang mulutnya lebar-lebar.

"Imam kamu yang muda ini hari ini tak menghendaki hidup lebih lama lagi!" katanya nyaring dan sengit, "Hendak aku mencaci kau!"

Koan Eng hendak membacok orang roboh, untuk menolong jiwanya, maka tanpa membilang suatu apapun, ia menyerang lagi.

"Traang!" demikian satu suara nyaring. Sebab yauw Kee menalangi Cie Peng menangkis. Nona ini pun segera berkata nyaring: "Aku pun orang Coan Cin Kauw! Jikalau kau hendak membunuhnya, nah bunuhlah kami berdua saudara seperguruan!" Perbuatan nona Thia ini membuat Cie Peng terkejut dan kagum.

"Bagus, Thia Sumoy!" serunya. Berdua mereka berdiri berendang, mata mereka memandang tajam kepada Oey Yok Su. Sikap mereka ini membuat Koan Eng menghentikan sepak terjangnya.

Oey Yok Su mengawasi sepasang muda-mudi ini, ia tertawa terbahak. "Bagus, kamu bersemangat!" katanya memuji. "Memang aku Oey Lao Shia, aku adalah dari bangsa sesat, maka tepatlah kau memaki aku! Gurumu masih terhitung orang di bawahan tingkat derajatku, mana bisa aku melayani kamu bangsa sebawahanku? Nah, kau pergilah!"

Sambil berkata begitu, Oey Yok Su mengulurkan sebelah tangannya menjambak dada si imam muda, terus tangannya dikibaskan.

Cie Peng kena terjambak tanpa ia berdaya dan tahu-¬tahu tubuhnya sudah melayang, terlempar ke luar. Ia kaget bukan main. Ia percaya bahwa bakal jatuh terbanting keras. Kesudahannya diluar dugaan. Ia jatuh dengan berdiri, ia seperti dipegangi Oey Yok Su dan dikasih turun dengan perlahan-lahan! Muridnya Tiang Cun Cu ini berdiri menjublak. "Sungguh berbahaya.." katanya dalam hati.

Sekarang ini biar nyalinya lebih besar pula, tidak berani mencaci lagi si Sesat dari Timur itu, kepandaiannya benar-benar luar biasa. Kemudian dengan pegangi pipi yang bengkak-bengkak, ia memutar tubuhnya ngeloyor pergi… Yauw Kee memasukkan pedang ke dalam sarungnya, ia pun membalikkan tubuh dan berlalu.

"Perlahan dulu!" mencegah Oey Yok Su seraya ia mengangkat tangan ke mukanya, untuk menyingkirkan topengnya. "Bukankah kau suka menikah dengannya untuk menjadi istri? Benarkah?" Ia menanya seraya menunjuk ke Koan Eng.

Kaget nona Thia. Ini tak disangka. Dengan sendirinya mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah menjadi bersemu merah dadu…

"Imam cilik yang menjadi kakak seperguruanmu itu, memang tepat caciannya padaku," berkata pula Oey Yok Su. "Bukankah ia mengatakan aku iblis dan siluman? Memang tocu dari Tho Hoa To, Tong Shia Oey Yok Su, siapakah orang kangouw yang tidak mengetahuinya? Seumur aku Oey Lao Shia, aku paling jemu adalah segala hal welas asih dan pribadi, segala peradatan dan aturan, dan yang paling aku benci yakni segala nabi atau rasul, segala kehormatan atau kesucian diri! Semua itu adalah daya belaka untuk memperdayakan suami-istri tolol, dan manusia di kolong langit ini, turun temurun telah dibelesaki ke dalam situ tanpa mereka sadari! Tidakkah itu sangat menyedihkan, harus dikasihani dan lucu juga? Oey Yok Su tidak percaya semua itu! Orang mengatakan Oey Yok Su sesat! Hm! Sebenarnya hatiku lebih baik daripada segala nabi yang dipuja di dalam kuil!"

Yauw Kee berdiam, tapi hatinya berdenyutan. Hebat kata-kata Oey Yok Su ini. Ia tidak tahu, apa yang si sesat ini hendak perbuat atas dirinya….

"Kau omonglah terus terang kepadaku," berkata pula Oey Yok Su, "Benar bukan kau hendak menikah sama cucu muridku ini? aku paling sukai bocah yang bersemangat dan polos serta jujur! kau lihat imam cilik tadi, ia mencaci aku dibelakangku. Coba di depanku dia takut mencaci lebih jauh, coba dia justru bertekuk lutut memohon ampun, kau lihat, aku bunuh padanya atau tidak! Hm! Di saat yang sangat berbahaya kau membantu imam cilik itu, kau bersemangat, maka itu tepatlah kau dipasangkan sama cucu muridku ini! Nah, kau jawablah!"

Yauw Kee girang bukan kepalang. Memang sangat ingin ia menikah sama Koan Eng. Akan tetapi cara bagaimana ia dapat membuka mulut dalam urusan yang mesti direcoki orang tua mereka? Kepada ayah ibunya sendiri ia malu untuk menjelaskannya, apa pula kepada orang asing ini, ia baru pertama kali menemuinya? Pula di situ Koan Eng ada beserta! Maka ia tetap berdiri diam, wajahnya tetap merah dadu…

Oey Yok Su mengawasi Liok Koan Eng. Juga pemuda itu, cucu muridnya, berdiam sambil tunduk. Tiba-tiba ia ingat pada putrinya. Maka ia menghela napas.

"Jikalau dihendaki kamu berdua, suka aku merecoki jodoh kamu," katanya perlahan. "Memang di dalam hal perjodohan, orang tua juga tiak dapat memaksanya…."

Si Sesat dari Timur ini ingat kejadian kepada putrinya. Coba ia meluluskan anak darahnya itu menikah dengan Kwee Ceng, tidak mungkin mati mengenaskan di dasar laut. Karena ini, ia menjadi uring-uringan.

"Koan Eng!" katanya tiba-tiba nyaring. "Kau jawablah terus terang, sebenarnya kau menghendaki atau tidak dia ini menjadi istrimu?!"

Pemuda she Liok itu kaget hingga ia mencelat. "Cauwsuya," sahutnya cepat, gugup, "Aku hanya khawatir tidak setimpal dengannya…"

"Tepat, cocok!" berseru Oey Yok Su. "Kaulah cucu muridku, sekalipun putri raja, tentu dia tepat, dia setimpal denganmu!"

"Ya, cucu muridmu suka," Koan Eng menjawab dengan cepat. Ia mengerti kalau ia tidak omong polos dan terus terang, ia bisa celaka di tangan kakek guru yang tabiatnya aneh ini.

Kalau tadi ia beroman beringis, sekarang Oey Yok Su tersenyum. "Bagus!" serunya. "Sekarang kau, nona?" ia terus tanya nona Thia.




Bukan main girangnya yauw Kee, manis ia mendengar suaranya Koan Eng. Akan tetapi ia masih menundukkan kepala.

"Tentang hal ini harusnya ayahku yang memutuskan…" sahutnya sesaat kemudian.

"Ha, apakah itu segala titah orang tua, segala perkataan comblang?" kata Oey Yok Su keras. "Segala itu ialah angin busuknya anjing! Sekarang ini akulah yang hendak mengambil keputusan! Jikalau ayahmu tidak mupakat, suruh dia berurusan denganku!"

Yauw Kee berdiam.

"Kalau begitu, terang kau tidak suka!" berkata Oey Yok Su. "Kau merdeka! Kita harus omong terus terang, aku Oey Lao Shia, aku larang kau menyesal kemudian!"

Yauw Kee tersenyum. "Ayahku cuma pandai berhitung dan menulis, dia tidak mengerti ilmu silat," katanya, menjelaskan.

Oey Yok Su heran, melengak. "Biarlah mengadu menghitung dan menulis pun boleh!" katanya kemudian. "Lekas kau bilang, kau suka atau tidak menikah dengan cucu muridku ini?"

Nona Thia melirik Koan Eng, roman siapa gelisah. Di dalam hatinya ia kata: "Ayahku paling sayang padaku, asal kau minta orang datang melamar aku, dia tentu akan menerimanya. Kenapa kau begini bergelisah?"

Oey Yok Su mengawasi cucu muridnya. "Koan Eng, mari turut aku mencari Kanglam Liok Koay!" katanya nyaring. "Lain kali kalau kau dan nona ini bicara pula, sepatah kata saja, akan aku kuntungi lidah kamu!"

Koan Eng kaget bukan main. Ia tahu benar, perkataannya si kakek guru tentu bakal diwujudkan. Maka lekas-lekas ia menghampiri Yauw Kee, kepada siapa ia menjura seraya berkata:

"Nona Thia, aku Liok Koan Eng, kepandaian ilmu silatku rendah sekali, aku pun tidak terpelajar, sebenarnya tidak setimpal aku denganmu, akan tetapi hari ini kita telah bertemu, itu tandanya kita berjodoh…"

"Jangan terlalu merendah, kongcu," sahut Yauw Kee perlahan, "Aku…aku bukannya…."

Koan Eng lekas memotong. Ia jadi ingat tadi si nona bicara dari hal mengangguk kepala untuk menggantikan jawaban.

"Nona," demikian katanya. "Jikalau kau mencela aku si orang she Liok, kau goyanglah kepalamu…"

Di mulut Koan Eng mengatakan demikian, hatinya sebenarnya goncang keras. Ia menatap si nona, ia khawatir nona itu benar-benar menggeleng kepala… Sekian lama, Yauw Kee berdiam saja. Di atas dari kepalanya, di bawah sampai kakinya, dia tidak bergerak sedikitpun.

Bukan main girangnya Koan Eng. "Nona!" ia berseru, "Kalau kau setuju, kau menerima baik, sukalah kau mengangguk!" Tapi, nona Thia tetap tidak bergerak. menampak itu, Koan Eng bergelisah bukan main.

Oey Yok Sun sendiri menjadi tidak sabaran. "Menggeleng kepala tidak, mengangguk pun tidak, habis bagaimana?!" katanya.

Yauw Kee tunduk, ia bersenyum ketika ia berkata, "Tidak menggeleng kepala itu berarti mengangguk…"

Mau tidak mau, Oey Yok Su tertawa berkakakan. "Hebat Ong Tiong Yang, dia menerima ini macam cucu murid! Sungguh lucu!" serunya. "Bagus, bagus! Sekarang juga aku akan menikahkan kamu!"

Koan Eng dan Yauw Kee terkejut. Keduanya lantas mengawasi orang tua ini, mulut mereka bungkam.

"Mana itu nona tolol?" kemudian Oey Yok Su menanya. "Hendak aku tanya dia, siapakah gurunya."

Ketiganya menoleh ke sekitar, Sa Kouw tidak ada di antara mereka. Entah kapan si tolol menghilang selagi orang berbicara.

"Sudah, tidak usah repot mencari dia," kata Oey Yok Su kemudian, "Koan Eng, sekarang hayolah kau dan nona Thia sama-sama menghormati langit dan bumi, untuk menglangsungkan pernikahan kalian."

"Cauwsuya," berkata Koan Eng. "Kau menyayang cucu muridmu ini, untuk itu walaupun tubuhku hancur lebur, sukar aku membalas budimu, akan tetapi dengan aku menikah di sini, nampaknya ini terlalu tergesa-gesa…"

"Hus!" membentak Tong Shia. "Kamu murid Tho Hoa To, apakah kau juga hendak mengukuhi segala aturan umum? Mari, mari, berdirilah berendeng dan memberi hormatlah ke luar kepada langit!"

Berpengaruh sekali suara pemilik pulau Tho Hoa To ini. Sampai di situ, Yauw Kee dan Koan Eng bertindak satu sama lain, berdiri berendeng, terus menjalankan kehormatan.

"Sekarang menghadap ke dalam, menghormati bumi!" Oey Yok Su berkata pula, "Nah, kau menghormatilah couwsu kamu! Bagus, bagus, sungguh aku girang! Sekarang suami istri saling memberi hormat!"

Demikian KoanEng dan Yuaw Kee seperti main sandiwara di bawah pimpinan Tong Shia, selama itu Oey Yong bersama Kwee Ceng terus mengikuti dari kamar rahasia. Mereka heran dan lucu atas sepak terjang orang tua ini.

"Bagus!" terdengar pula suara Oey Yok Su. "Sekarang hendak aku menghadiahkan serupa barang kepada kamu suami-istri muda. Kamu lihat!"

Seketika itu juga, di dalam ruangan ini terdengar suara angin menderu-deru, seumpama kata, tembok bergoyang-goyang…

Oey Yong tidak mengintai tetapi ia tahu, ayahnya tengah menjalankan ilmu silat yang dinamakan Kong¬piauw-kun atau Angin Ngamuk. Sekitar semakanan teh, angin berhenti menderu.

"Kamu lihat, sekarang kamu turuti, untuk berlatih," berkata Oey Yok Su. "Mungkin kamu tidak dapat menangkap seluruh sarinya ilmu silat ini akan tetapi setelah meyakinkannya, meskipun cuma kulitnya saja, bila kemudian kamu bertemu pula orang sebangsa si orang she Hauw tadi, tak usah kau takut lagi. Koan Eng, pergi kau cari sepasang lilin, malam ini kamu boleh merayakan pernikahanmu!"

Koan Eng melengak. "Cauwsu," katanya tertahan.

"Apa? Habis menghormati langit-bumi, apakah bukannya merayakan pernikahan di antara lilin di dalam kamar?" tanya kakek guru ini. "Kamu berdua adalah orang-orang yang menyakinkan ilmu silat, mustahilkah untuk kamu masih dibutuhkan segala kamar yang dirias indah dan gubuk reot tak cukup?"

Koan Eng terdesak. Tetapi diam-diam ia bergirang. Ia lantas pergi membeli lilin sekalian membeli juga arak putih dan seekor ayam, bersama-sama Yauw Kee ia pergi ke dapur, setelah itu mereka melayani sang kakek guru bersantap. Sejak itu Oey Yok Su tidak banyak omong lagi, bahkan ia melihat ke langit, otaknya memikirkan anak daranya.

Oey Yong bersusah hati, beberapa kali ia hendak memanggil ayahnya, selalu ia membatalkannya. Ia khawatir nanti mengganggu lukanya Kwee Ceng. Pernah ia mengulur tangan ke pintu, lekas ia menariknya pulang.

Yuaw Kee dan Koan Eng beberapa kali melirik Tong Shia, lalu mereka saling mengawasi. Mereka juga membungkam, tidak ada yang berani membuka mulut.

Auwyang Kongcu rebah di atas rumput, ia merasa sangat lapar, tetapi ia menguatkan hatinya, untuk tak bersuara, tak bergerak. Maka ketika itu, di dalam tiga kamar, keenam orang itu sama-sama rapat mulutnya. Demikian cuaca gelap. Dengan mulai gelapnya sang jagat, hati Yauw Kee berdebaran.

"Ah, kenapa si tolol itu masih belum kembali?" berkata Oey Yok Su. "Kawanan jahanam tentulah tak berani mengganggunya." Ia menoleh pada Koan Eng. Ia menanya. "Malam ini malam pengantin, mengapa kau tidak memasang lilin?"

"Ya," menyahut Koan Eng cepat dan ia menyalakan api menyulut lilin.

Maka itu di antara terangnya api ia dapat melihat wajah nona Thia dengan rambutnya yang bagus dan pipinya yang putih. Di luar rumah terdengar suara angin perlahan, dari memainnya daun-¬daun bambu.

Oey Yok Su menngangkat sebuah bangku, ia letakan di depan pintu, lantas di situ rebahkan dirinya. Tidak lama, dari hidungnya mulai terdengar suara menggeros perlahan, suatu tanda ia sudah tidur pulas.

Yuaw Kee dan Koan Eng masih duduk tak bergeming. Sang waktu berjalan terus sampai sepasang lilin padam, habis menjadi cair beku dan sumbunya menjadi abu, hingga ruangan menadi gelap petang. Setelah ini mereka berbicara, seperti berbisik-bisik hingga Oey Yong yang memasang kuping, tidak dapat menangkap pembicaraan mereka.

Nona Oey berhenti memasang kuping tatkala merasakan tubuh Kwee Ceng bergerak secara tiba-¬tiba, napasnya seperti memburu. Ia mengerti, itulah saat genting dari latihan mereka. Maka ia memusatkan perhatiannya, ia mengempos tenaga dalamnya, untuk menunjang kawannya itu. Ia menanti sampai si anak muda tenang lagi, baru ia mengintai keluar.

Sekarang mulai tampak sinar rembulan, yang molos masuk dari jendela butut. Dengan begitu kelihatan juga Koan Eng dan nona Thia duduk berbareng. Mereka duduk diatas sebuah bangku.

"Tahukah kau hari ini hari apa?" kemudian terdengar si nona Thia, suaranya perlahan.

"Ini hari baik dari kita berdua," menyahut Koan Eng.

"Itu tak usah disebutkan lagi," kata si nona. "Hari ini bulan tujuh tanggal dua - adalah hari lahir aku."

Koan girang. "Oh, sungguh kebetulan!" katanya. "Tidak ada hari sebaik hari ini!"

Yauw Kee mengulur tangannya menutup mulut orang. "Sst, perlahan," ia memberi ingat. "Kau lupa daratan, eh?"

Hampir Oey Yong tertawa mendengar pembicaraan mereka itu. Justru ia pun bagaikan sadar.

"Hari ini tanggal dua, dan engko Ceng baru sembuh tanggal tujuh," demikian ia ingat. "Rapat partai Pengemis di kota Gakyang bakal dilakukan tanggal limabelas. Dalam waktu delapan hari, mana dapat kita sampai di sana?"

Nona ini tengah berpikir ketika kupingnya mendengar siulan panjang di luar rumah makan, disusul tertawa nyaring seperti menggetarkan rumah makan itu. Ia mengenali suaranya Ciu Pek Thong.

"Hai, tua bangka berbisa bangkotan!" terdengar pula suaranya si orang tua berandalan itu. "Dari Lim-an kau mengubar ke Kee-hin, dari Kee-hin kau mengejar balik ke Lim-an, sudah satu hari satu malam kau mengejarnya, sampai diakhirnya, kau masih tak dapat menyandak Loo Boan Tong! Sekarang ini sudah ada keputusannya tentang kepandaian kita berdua, apalagi hendak kau bilang?"

Oey Yong terkejut. "Dari Lim-an ke Kee-hin toh perjalanan limaratus lie lebih?" pikirnya. "Ah, bagaimana cepat larinya mereka berdua?"

Waktu itu terdengar suara Auwyang Hong: "Meski kau lari ke ujung langit, aku akan kejar kau sampai di sana!"

Ciu Pek Thong tertawa terbahak. "Kalau begitu, biarlah kita jangan gegares jangan tidur!" dia berkata nyaring.

"Biar kita terus kejar-kejaran untuk mendapat tahu, siapa yang larinya paling kencang, siapa yang paling ulet. Kau berani atau tidak?!"

"Baik!" menyambut Auwyang Hong. "Mari kita lihat siapa yang akan lebih dulu mampus kecapaian!"

Sebenta saja terdengar perkataan dan tertawanya Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong berdua, atau sejenak kemudian, suara mereka terdengar sudah jauh mungkin di luar belasan tombak.

Koan Eng dan Yauw Kee duduk menjublak. Tak tahu mereka siapa kedua orang itu, mereka heran. Apa perlunya dua orang itu muncul di tengah malam buta rata? Saking ingin tahu, mereka bangun berdiri, terus sambil berpegangan tangan mereka bertindak ke pintu.

Oey Yong sendiri berpikir: "Mereka berdua hendak menguji kekuatan kaki mereka, mestinya ayah menyaksikan mereka itu."

Benar saja, segeralah terdengar suara Koan Eng, "Ah, aneh! Mana Couwcu?"

"Lihat di sana!" berkata Yauw Kee. "Bukankah di sana ada bayangan tiga orang? Bayangan yang paling belakang itu mirip sama bayangan couwsu."

"Ya, benar!" berkata Koan Eng. "Kenapa dalam sekejap saja mereka sudah pergi begitu jauh? Siapakah itu dua orang yang lain? Mereka lihay sekali! Kita tidak dapat melihat mereka…"

Kata Oey Yong dalam hatinya: "Tidak peduli kamu melihat si bisa bangkotan atau si bocah tua bangkotan berandalan, untuk kamu berdua tidak ada faedahnya…"

Habis itu, Koan Eng dan Yauw Kee lega hatinya. Dengan kepergian Oey Yok Su sang kakek guru, mereka menganggap berdua saja di rumah makan itu. Bukankah Sa Kouw pun pergi tidak karuan paran?

Koan Eng lantas merangkul pinggang langsing dari istrinya si pengantin baru. "Adikku, apakah namamu?" ia menanya perlahan.

Nona Thia tertawa. "Aku tidak hendak membilangi kamu. Kamu terkalah!"

Koan Eng pun tertawa. "Kalau bukan kucing kecil tentulah anjing cilik, !" katanya.

"Semaunya bukan!" kata si nona, kembali tertawa.

"Itulah si biang kutu gede!" Koan Eng tertawa pula. Dengan "biang kutu gede" dimaksudkan harimau.

"Oh, kalau begitu tak dapat aku menangkapnya!" katanya. Nona Thia berontak, ia melompat ke meja. Koan Eng mengejar sambil tertawa-tawa.

Demikian mereka main kejar-kejaran, berputar¬-putaran, suara tertawa mereka ramai. Samar-samar Oey Yong menampak bayangan mereka di antara sinar bintang-bintang, ia terus mengawasi, mulutnya tersenyum sendiri.

"Eh, Yong-jie, coba kau terka, dapatkah dia menyandak nona Thia atau tidak?" tiba-tiba Kwee Ceng menanya.

"Dia bakal pasti tercandak!" jawab si nona.

"Kalau sudah kena ditangkap, bagaimana?" Kwee Ceng menanya pula.

Oey Yong tidak dapat menjawab. Pertanyaan itu menggerakkan hatinya. Justru itu terdengar suaranya Koan Eng, tandanya ia telah berhasil menyandak dan membekuk Yauw Kee, lalu keduanya saling merangkul, kembali ke bangku. Mereka bicara dan tertawa dengan perlahan. Bukan main gembiaranya mereka itu.

Tangan kanan Oey Yong tetap beradu sama tangan kiri Kwee Ceng, ia merasakan telapak tangannya si anak muda makin lama makin panas, tubuhnya pun bergoyang ke kiri dan ke kanan, bergoyang makin lama makin keras. Ia menjadi terkejut.

"Engko Ceng, kau kenapa?" ia menanya.

Kwee Ceng masih belum sembuh total, bersenda guraunya Koan Eng dan Yuaw Kee mengganggu pemusatan pikirannya, lebih-lebih ia berada berduaan saja sama Oey Yong. Sulit dia menguasai dirinya, maka tanganya menjadi panas, tubuhnya bergoyang. Ia tidak jawab si nona, hanya ia ulur tangan kanannya memegang pundak si nona.

Oey Yong bertambah khawatir. Pemuda itu bernapas memburu keras, hawanya pun bertambah panas.

"Engko Ceng, hati-hati!" ia memperingatkan, "Kau tenangkan dirimu, kau tetapkan hatimu!"

"Aku gagal, Yong-jie," menyahut Kwee Ceng, yang hatinya goncang. "Aku…aku.." Habis berkata, ia mencoba bangun untuk berdiri.

"Jangan bergerak!" Oey Yong berteriak saking bingungnya. Ia gugup.

Kwee Ceng duduk lagi, ia mainkan pernapasannya. Ia merasakan hatinya ruwet, dan dadanya pun seperti hendak meledak.

"Yong-jie, kau tolonglah aku, tolong…" ratapnya. Kembali ia hendak berbangkit bangun.

"Jangan bergerak!" Oey Yong melarang pula. "Begitu kau gerak, aku akan totok dirimu!"

"Benar, lekaslah kau totok!" kata Kwee Ceng. "Aku tidak dapat menguasai diriku lagi…"

Oey Yong menjadi sangat bingung. Ia tahu, kalau ia menotok, habis sudah latihan mereka berdua, yang telah dilakoni dengan susah payah, dikemudian hari mereka harus berlatih lagi dari awal.

Tapi Kwee Ceng menghadapi bahaya, asal ia berdiri, maka terancamlah jiwanya. Tapi ia tak dapat bersangsi, ia tidak boleh berayal lagi. Dengan menggertak gigi, ia gerakkan tangan kirinya, dengan tipu "Lan-hoat Hut-huat-ciu", ia menotok jalan darah ciang-bun di tulang rusuk ke sebelas dari dada kiri si pemuda.

Tenaga dalam Kwee Ceng telah terlatih sempurna sekali, ia dapat menggunakan itu secara wajar, maka waktu jari si nona hampir sampai pada sasarannya, ia berkelit dengan sendirinya. Dua kali Oey Yong menotok, gagal. Ketika ia hendak mengulangi untuk ketiga kalinya, mendadak lengan kirinya tercekal keras, lengan itu kena ditangkap Kwee Ceng.

Cuaca ketika itu sudah mulai terang. Oey Yong berpaling mengawasi si anak muda. Ia mendapatkan sepasang mata orang merah bagaikan api. Ia terkejut. Ia pun merasa tangannya ditarik. Mulut Kwee Ceng mengasih dengar suara tak tegas, terang ia kacau otaknya. Terpaksa ia menggerakkan pundaknya, membentur tangan orang. Dengan begitu duri dari baju lapisnya mengenai daging si anak muda.

Kwee Ceng kaget kesakitan, ia tertegun. Justru waktu itu, kupingnya dapat menangkap keruyuknya ayam jago. Mendadak saja, otaknya menjadi terang dan sadar. Dengan perlahan ia lepaskan cekalannya, ia mengasih turun tangannya. Ia pun malu hingga merasa jengah sendiri.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar