Senin, 04 Januari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 095

"Bagus!" menjawab orang yang ditanya. "Sekarang mari kita mulai berlatih!"

Oey Yong membantu pemuda itu mengambil tempat duduk di atas rumput, ia sendiri lantas duduk besila di depannya, sedikit di sebelah kiri, darimana, dengan berpaling, ia bisa mengintai ke lobang angin di tembok itu. Untuk girangnya, ia mendapatkan sebuah kaca di sana, dengan perantaraan kaca, ia bisa melihat ke luar. Maka itu, ia memuji si pembangun kamar rahasia, yang demikian teliti dengan pembuatan kamarnya itu. Orang sembunyi tapi berbareng orang pun bisa melihat ke luar.

So Kouw duduk seorang diri di tanah sambil tangannya menggapai kaca ular sutera, mulutnya bergantian ditutup dan dibuka, suaranya perlahan. Oey Yong memasang kuping, mendengarkan, maka tahulah ia, si tolol lagi menyanyikan lagu meninabobokan anak kecil supaya tidur. Mulanya ia merasa lucu tetapi kemudian ia merasakan suara itu halus dan mengharukan. Tanpa merasa ia berpikir; "Adakah ini nyanyian ibunya dulu untuk ia mendengarkannya? Kalau ibuku belum menutup mata, ibupun akan menyanyikan aku begini rupa…."

"Yong-jie, kau memikirkan apa?" tanya Kwee Ceng mendapatkan orang berdiam saja. "Lukaku tidak berbahaya, kau jangan bersusah hati."

Oey Yong mengusap-usap matanya, ia tertawa. "Sekarang lekas kau ajari aku caranya menyembuhkan lukamu," ia berkata.

Kwee Ceng menurut, dengan perlahan ia membaca di luar kepala kitab Kiu Im Cin-keng bagian pengobatan luka-luka. Isinya pasal ini menjelaskan luka disebabkan serangan tenaga dalam, bagaimana ia harus dilawan untuk memulihkan kesehatan.

Cuma mendengar satu kali saja, Oey Yong telah paham. Cuma beberapa bagian yang kurang jelas, dengan menyakinkan bersama, ia pun dapat mengerti. Maka itu, dilain saat, mereka sudah mulai berlatih. Dua orang ini cocok satu sama lain, sebab si pemuda berbakat baik, si pemudi cerdas sekali. Mereka berlatih dengan Oey Yong mengeluarkan tangan kanannya, yang mana ditahan oleh Kwee Ceng dengan telapakan tangan kirinya, kemudian mereka saling menolak dengan menukar tangan.

Latihan ini dilakukan dua jam sekali maka itu diwaktu beristirahat dengan tangan kirinya Oey Yong memotong semangka, yang separuh untuk Kwee Ceng, yang separuh lagi untuknya sendiri. Selagi makan buah itu, tangan mereka yang sebelah ditempelkan terus satu sama lain.

Sesudah berlatih hingga jam bie-sie, satu atau dua lohor, Kwee Ceng merasakan dadanya sedikit lega, tak pepat seperti semula. Terang itu tanda telah berjalannya hawa hangat dari tangann Oey Yong, yang masuk ke dalam tubuhnya sendiri. Dengan begitu, rasa nyeri di pinggangnya turut berkurang juga. Hal ini membuatnya girang, hingga ia jadi berlatih semakin bersungguh-sungguh.

Ketika tiba pada istirahat yang ketiga, dari lobang di atas terlihat masuknya sinar matahari yang lemah. Itu tanda dari telah datangnya sang sore. Cuaca jadi semakin guram. Dengan berlalunya sang waktu, Kwee Ceng merasa semakin lega pernapasannya, dan Oey Yong pun bertambah segar. Dengan begitu, mereka bisa melewati waktu beristirahat itu dengan memasang omong.

Tidak lama keduanya hendak mulai latihan, kuping mereka medengar suara berlari¬-lari keras ke arah rumah makan dan berhenti di depan pondokan. Setelah itu terdengar masuknya beberapa orang, ternyata dari tindakan kaki mereka yang ramai.

"Lekas sediakan nasi dan lauk pauknya!" begitu terdengar satu suara keras dan kasar. "Tuan-tuan besarmu sudah kelaparan hingga mau mati…."

Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Mereka mengenal suara Sam tauw-kauw Hauw Thong Hay. Si nona lantas mengintai dari liang kecil di tembok di sisinya. Sekarang ia mendapat kepastian itulah rombangan musuh mereka sebab mereka adalah Wanyen Lieh bersama Yo Kang, Auwyang Hong, Pheng Lian Houw, Nio Cu Ong dan See Thong Thian. Sa Kouw tidak kelihatan, takk tahu kemana perginya si tolol itu.

Hauw Thong Hay menghajar meja kalang kabutan, masih tidak ada suara penyahutan. Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong memperhatikan rumah itu, lalu mereka mengerutkan kening.

"Tidak ada orang di sini…" kata Cu Ong.

"Kalau begitu, biarlah pergi ke kampung untuk membeli makanan!" kata Thong Hay, ia mendongkol tetapi ia sudi gawe.

Pheng Lian Houw tertawa, dia kata: "Hebat kawanan Gie-lim-kun itu, mereka ada kawanan kantung nasi tetapi mereka bisa telasap-telusup di segela tempat, mereka membuat arwah-arwah pun tak mau, hingga sekarang kitalah yang untuk satu hari lamanya tak dapat gegares! Ongya adalah orang Utara tetapi ongya ketahui di sini ada ini dusun sunyi senyap. Hebat!"

Wanyen Lieh tahu orang mengangkat-angkat dirinya tetapi ia tidak jadi kegirangan hingga terkentarakan pada air mukanya, sebaliknya, ia nampak masgul.

"Pada sembilanbelas tahun yang lalu, pernah aku datang ke mari," katanya sambil menghela napas.

Orang melihat wajah pangeran ini, yang agaknya berduka, mereka heran. tentu sekali mereka tidak tahu, pada sembilanbelas tahun yang lampau itu, di situ Pauw Sek Yok telah menolong jiwanya dari ancaman bahaya maut.

Mereka ini tidak usah menanti lama, Hauw Thong Thay telah kembali bersama arak dan makanan, maka Pheng Lian Houw segera menuangkan arak untuk mereka masing-masing, kemudian ia berkata pada si pangeran:

"Hari ini ongya mendapatkan surat wasiat, itu bukti Negara Kim yang terbesar bakal menggentarkan pengaruhnya di kolong langit, dari itu kami semua hendak memberi selamat kepada ongya! Saudara-saudara mari minum!"

Ia pun mengangkat cawanya, untuk cegluk kering isinya. Nyaringnya suara Pheng Lian Houw ini, Kwee Ceng dari tempatnya sembunyi dapat mendengar itu. Pemuda ini menjadi terkejut.

"Kalau begitu berhasillah mereka mencuri surat wasiat Gak Ongya!" pikirnya. Begitu ia berpikir demikian begitu ia merasakan napasnya sesak.

Oey Yong terkejut. Kagetnya si pemuda dapat dirasakan pada tangannya, yang terus menempel sama tangannya si pemuda. Ia mengerti sebabnya gangguan itu. Itulah berbahaya untuk si anak muda. Maka lekas-lekas ia geser kepalanya, untuk mendekati kuping orang dan berbisik:

"Ingat kesehatanmu! Mereka dapat mencuri pulang! Asal gurumu yang kedua turun tangan, sepuluh surat wasiat pun ia dapat curi lagi!"

Kwee Ceng anggap kata-kata itu benar. Ia mengetahui baik kepandaian gurunya yang nomor dua itu ialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay. Maka itu ia berdaya untuk menentramkan diri, tak suka ia mendengar lebih jauh pembicaraan mereka. Ia meramkan kedua matanya.

Oey Yong mengintai pula, justru Wanyen Lieh mengangkat cawan araknya. Habis mencegluk, pangeran ini berkata dengan gembira:

"Semuanya siauw¬ong mengandalkan kepada tuan-tuan. Jasa Auwyang Sianseng ini yang nomor satu! Jikalau tidak sianseng mengusir bocah she Kwee itu pastilah kita mesti bekerja lebih sulit lagi."

Auwyang Hong tertawa kering, suaranya bagaikan cecer pecah. Kwee Ceng berdenyut hatinya mendengar tertawanya orang itu. Oey Yong pun bingung, hingga ia berkata seorang diri. "Berterima kasih kepada langit dan bumi, biarlah ini makhluk berbisa tua bangka jangan ngoceh lebih lama di sini, bisa-bisa engko Ceng nanti bercelaka karenanya…"

"Tempat ini sangat mencil dan sunyi," berkata Auwyang Hong, "Tidak mungkin tentara Song dapat menyusul kita sampai di sini. Sebenarnya apa itu surat wasiat Gak Bu Bok, baiklah kita sama melihatnya, untuk menambah pemandangan kita."

Sembari berkata, ia merogoh sakunya mengeluarkan kotak batu, kemudian ia letakkan di atas meja. Di mulut See Tok mengatakan demikian, di dalam hatinya ia sudah mengambil kepastian apabila ia mendapatkan surat wasiat itu berfaedah, hendak ia merampasnya untuk menjadi miliknya sendiri, kalau itu hanya ilmu perang biasa, yang baginya tak ada pentingnya, ia suka mengalah dan menyerahkannya kepada Wanyen Lieh, dengan begitu ia menjadi berbuat jasa untuk pangeran itu……. Sejenak kemudian, semua mata diarahkan kepada kotak batu itu.




Oey Yong melihat semua itu, segera otaknya bekerja. "Cara apa aku mesti ambil untuk dapat memusnahkan surat wasiat itu?" demikian pikirnya. "Kemusnahan adalah yang terlebih baik daripada surat wasiat itu jatuh ke dalam tangannya ini manusi-manusia jahat dan berbahaya….!"

Lalu terdengar suaranya Wanyen Lieh: "Ketika siauw¬ong memeriksa surat peninggalan Gak Hui itu, yang bunyinya seperti teka-teki, lalu itu dihubungi sama catatan hikayat beberapa kaisar di dalam istana kaisar she Tio itu, maka tahulah siauw-ong surat wasiat ini disimpan di Cui Han Tong, di simpan di dalam kotak batu yang berada limabelas tindak di arah Timurnya. Buktinya sekarang, duagaanku itu tidak salah. Aku mau percaya, tak ada orang yang ketahui kenapa telah terjadi pengacauan kita di dalam istana semalam…….."

Kelihatannya pangeran ini sangat puas, lebih-lebih setelah kembali orang memuji padanya. Wanyen Lieh mengurut kumisnya.

"Anak Kang, kau bukalah kotak itu!" ia memerintah.

Yo Kang menurut perintah. Ia maju, menghampiri. Lebih dulu ia menyingkirkan segelannya kotak, habis itu ia membuka tutupnya. Maka ke dalam situ menyorotlah sinar matanya semua orang. Apa yang dilihat membuat semua hadiran menjadi tercengang dan heran, sehingga untuk sesaat tak ada seorangpun yang dapat membuka suara.

Semua mata diarahkan tajam ke dalam kotak batu, yang diharap isinya istimewa, siapa tahu kotak itu ternyata kosong melompong, tidak ada apapun di dalamnya, jangan kata surat wasiat tentang siasat perang, sehelai kertas kosong pun tidak kedapatan.

Oey Yong tidak dapat turut melihat isinya kotak, tetapi ia melihat tegas wajah semua orang, maka ia menduga kotak itu kosong. Diam-diam ia bersyukur.

Wanyen Lieh menjadi sangat lesu, ia duduk dengan memegangi meja, sebelah tangannya menunjang janggut. Ia berpikir keras sekali. Di dalam hatinya ia kata: "Aku telah memikir matang, aku menduga surat wasiat itu berada di dalam kotak ini, kenapa surat itu tak ada sekalipun bayangannya?" begitu ia memikir demikian, begitu ia mendapat pikiran, wajahnya pun menjadi bercahaya saking gembiranya. Ia sambar kotak itu, terus ia bertindak ke cimchee, di sini dengan tiba-tiba ia banting kotak ke lantai batu! Dibarengi suara nyaring, kotak itu pecah menjadi beberapa keping.

Oey Yong cerdas, kupingnya lihay, dari suara pecahnya kotak itu, ia mendapat tahu kotak sebenarnya terdiri dari dua lapis, artinya ada lapisan dalamnya.

"Ah, siapa sangka kotak ini ada lapisannya?" katanya di dalam hati. Ia dapat menduga demikian, tetapi bukannya girang karena dugaannya itu tepat, ia justru menjadi masgul. Percuma menduga dengann tepat, ia sendiri tidak bisa muncul untuk mendapatkan kepastian. Tapi ia tak usah bergelisah lama-lama, Wanyen Lieh tampak sudah kembali ke mejanya seraya berkata:

"Aku sangka kotak itu ada lapisan dalamnya, tak tahunya isinya tidak…" Ia lesu sekali. Lian Houw semua heran, mereka ramai membicarakan kotak itu.

"Ah, siapa sangka!" pikir Oey Yong, hatinya lega, hingga di dalam hatinya mentertawai mereka. Ia berbisik pada Kwee Ceng, memberitahukan Wanyen Lieh belum berhasil memdapatkan surat wasiatnya Gak Hui. Kwee Ceng pun lega hatinya mendengar keterangan itu.

"Aku lihat kawanan penjahat ini belum mati hatinya, meski mereka bakal pergi lagi ke istana," Oey Yong mengutarakan dugaannya. Karena ini ia menjadi berkhawatir untuk gurunya, yang masih berada di dapur istana. Ada kemungkinan gurunya bakal dipergoki. Benar di sana ada Ciu Pek Thong yang melindungi tetapi Pek Thong bangsa berandalan, yang edan-edanan.

Jitu juga dugaanya nona Oey ini. Segera terdengar suaranya Auwyang Hong: “Kegagagalan kita ini tak berarti banyak, sebentar malam kita pergi lagi ke istana, mencari terlebih jauh!"

"Malam ini tak mungkin," Wanyen Lieh mencegah. "Tadi malam keadaan kacau sekali, tentu karenanya penjagaan diperkeras."

"Memang penjagaan tetap dilakukan, itu pun tidak berarti," berkata Auwyang Hong. "Ongya bersama sie¬cu malam ini tak usah turut, baiklah ongya berdua beristirahat di sini bersama keponakanku."

"Dengan begitu kembali siauw-ong membikin sianseng bercapai lelah," kata pangeran Kim itu sambil memberi hormat. "Baiklah siauw-ong menanti kabar baik saja."

Pembicaraan mereka berhenti sampai di situ. Habis bersantap Wanyen Lieh merebahkan diri di hamparan rumput, ditemani putra angkatnya dan Auwyang Kongcu, Auwyang Hong bersama yang lainnya lantas pergi memasuki kota, untuk menyerbu ke istana.

Wanyen Lieh tak dapat tidur, ia golek-golek saja. Ia memikirkan surat wasiat dan kepergian sekalian pahlawannya itu. Ia merasa tidak enak waktu kupingnya mendengar seekor anjing kampung membaung dan mengulun, suaranya sangat menyedihkan, tak sedap masuk ke kupingnya. Ia menjadi tak tentram dan masgul.

Belum lama pada pintu terdengar suara. Rupanya daun pintu ada yang tolak, sebab segera terlihat masuknya seseorang. Ia menggerakkan tubuh, bangun berduduk, tangannya memegang gagang pedang. Yo Kang telah berlompat ke belakang pintu, menyembunyikan diri, bersiap sedia.

Yang datang itu seorang nona dengan rambut riap-riapan, mulutnya memperdengarkan nyanyian perlahan. Ia menolak pintu terus masuk. Dialah Sa Kouw, yang tadi pergi bermain di rimba dekat rumahnya dan sekarang baru kembali. Ia melihat ada orang asing, ia tidak mengambil mumat, langsung ia pergi ke tumpukan rumput tempat ia biasa tidur. Begitu ia merebahkan diri segera terdengar suara napasnya menggeros.

Melihat bahwa orang adalah seorang nona dusun yang tolol, Yo Kang tertawa dengan sendirinya dan terus ia tidur pula.

Wanyen Lieh tetap berpikir, ia masih tak bisa pulas. Maka kemudian ia bangun, nyalakan sebatang lilin, yang ia letakkan di atas meja. Ia mengeluarkan sejilid buku, untuk dibaca, dibolak-balik lembarannya.

Selama itu, Oey Yong terus mengintai dari lubang temboknya. Kebetulan ia menampak seekor selaru terbang memutari api, lalu menyerbu, maka terbakarlah sayapnya dan robohlah tubuhnya di atas meja.

Wanyen Lieh jumput selaru itu. "Jikalau Pauw-sie hujinku ada di sini, pastilah kau bakal ditolong diobati," berkata ia dengan perlahan. Ia pun lantas mengeluarkan sebuah piasu kecil serta satu ples kecil berisi obat, ia pegang itu di kedua tangannya, untuk dibuat main. Ia nampaknya sangat berduka.

Oey Yong menepuk perlahan pundak Kwee Ceng, ia memberi isyarat supaya pemuda itu melihat kelakuan si pangeran .

Kwee Ceng lantas mengintai, dilain saat ia menjadi gusar sekali. Samar-samar ia ingat, pisau dan obat itu kepunyaan Pauw Sek Yok, ibunya Yo Kang. Semasa di dalam istana Chao Wang, Sek Yok pernah menggunakan itu mengobati lukanya seekor kelinci. Selagi ia mengawasi terus, ia dengar pangeran itu berkata seorang diri dengan perlahan:

"Pada sembilanbelas tahun dulu di kampung ini yang buat pertama kali aku bertemu denganmu…. Ah, aku tidak tahu, sekarang entah bagaimana dengan rumahmu yang dulu?" Habis berkata pangeran itu berbangkit, ia ambil lilinnya, terus jalan keluar pintu.

Kwee Ceng berdiam. "Mustahilkah kampung ini kampung Gu-kee-cun, kampung halaman ayah dan ibuku?" ia menanya dirinya sendiri. Ia lantas pasang mulutnya di kuping Oey Yong, untuk menanyakan.

Oey Yong mengangguk. Tiba-tiba Kwee Ceng merasakan dadanya goncang, darahnya berjalan keras, hingga tubuhnya bergerak¬-gerak karenanya. Tangan kanan Oey Yong menempel sama tangan kiri anak muda itu, ia merasakan goncangan keras dari hatinya si anak muda, ia menjadi berkhawatir. Goncangan itu bisa mencelakakan anak muda ini. Lekas¬lekas ia ulur tangan kanannya, ditempel dengan tangan kiri orang, terus ia mengerahkan tenaganya menekan.

Kwee Cengpun turut menekan, ini justru ada baiknya. Dengan begitu, perhatiannya terpusatkan pula, tak terbagi dengan perasaan yang menggoncangkan hati. Perlahan-lahan hatinya menjadi tenang kembali. Tidak lama tertampak sinar api, lalu Wanyen Lieh bertindak masuk sambil menghela napas panjang.

Kwee Ceng mengawasi dengan tenang. Sekarang ia dapat menguasai dirinya. Oey Yong dapat merasai ketenangan hati kawannya ini, ia membiarkan si kawan terus mengintai, cuma sebelah tangan tetap ia tempel sama tangannya sendiri.

Sekarang ini tangan Wanyen Lieh memegang sebuah senjata berwarna hitam. Itu bukan golok, bukan kampak. Dengan bengong si pangeran mengawasi senjata itu di samping api lilin. Sekian lama, ia mengasih dengar pula suaranya yang perlahan:

“Rumah keluarga Yo rusak hingga tak ketinggalan sepotong gentengpun. Keluarga Kwee masih meninggalkan tombak pendek yang dulu hari dipakai Kwee Siauw Thian…."

Hati Kwee Ceng tercekat mendengar nama ayahnya disebut oleh musuh yang telah membunuh ayahnya. Lantas saja ia berpikir, "Jahanam ini terpisah dariku tak ada sepuluh tindak, dengan sebuah pisau belati dapat aku menimpuk mampus padanya…." Terus dengan tangan kanannya ia menanya: "Yong-jie, dengan sebelah tanganmu dapat kau memutar membuka daun pintu?"

"Jangan!" mencegah si nona, yang dapat menerka maksud orang. "Gampang untuk membunuh dia tetapi dengan begitu orang menjadi tahu tempat sembunyi kita ini….."

"Dia…dia memegang senjata ayahku…" kata Kwee Ceng, suaranya menggetar.

Seumurnya Kwee Ceng belum pernah melihat wajah ayahnya, ia cuma mengetahuinya sebagian dari penuturan dan lukisan ibunya, yang lain berkat kekhawatiran hatinya memikir ayahnya, yang ia bayangkan saja. Ia sangat memuja ayahnya. Maka itu melihat ujung tombak ayahnya, hatinya goncang keras karena kebencian dan kemarahannya yang hebat.

Oey Yong mengalami kesulitan. Memang susah untuk membujuk pemuda ini. Tapi ia mencoba. Ia berbisik pula ke telinga si anak muda:

"Ibumu dan Yong-jie menghendaki hidupmu…"

Kata-kata ini besar pengaruhnya. Kwee Ceng terkejut, terus ia menyimpan pula pisau belatinya di pinggang. Ia kembali mengintai. Wanyen Lieh telah merebahkan kepalanya di meja.

Pemuda itu menghela napas. Bukankah ia tak dapat membalas sakit hati ayahnya? Karena lesu, ia lalu bersemadhi lebih jauh. Tapi, belum lagi ia menyingkirkan matanya dari lubang angin, ia melihat seseorang duduk di tumpukan rumput. Di dalam kaca, tak terlihat mukanya yang terkurung sinar api. Hanya setelah ia berbangkit berdiri dan mendekati Wanyen Lieh, akan mengambil peles obat dan pisau kecil tadi, selagi memutar tubuh, dia dapat dikenali sebagai Yo Kang.

Untuk sesaat Yo Kang memandang bengong peles obat dan pisau kecil itu, kemudian dari sakunya mengeluarkan sebuah tombak. Ia pun mengawasi tombak itu. Tidak lama ia berdiam, berbareng sama berubah air mukanya, ia menjumput tombak pendek yang terletak di tanah, dengan itu ia menikam ke arah punggung Wanyen Lieh.

Kwee Ceng melihat itu, girang hatinya. Ia mengerti, Yo Kang tentu mengingat ayah dan ibunya dan sekarang hendak menuntut balas. Asal tombak itu dikasih turun habis sudahlah jiwa pangeran Kim itu. Tapi, tangan Yo Kang terangkat naik terus berdiam, tidak terus dikasih turun, untuk menikam. Lewat beberapa saat, tangan itu pun diturunkan tanpa tikaman.

"Bunuh, bunuhlah!" Kwee Ceng berseru-seru di dalam hatinya. "Sekarang kalau kau tidak turun tangan, kau hendak menunggu sampai kapan lagi?" Lalu ia menambahkan: "Jikalau kau menikam, kau tetap saudaraku yang baik, urusanmu di dalam istana sudah menikam aku, akan aku bikin habis saja."

Tangan Yo Kang gemetaran, tangan itu dikasih turun perlahan sekali, maka kemudian, tombak itu menggeletak pula di tanah…

"Anak haram!" Kwee Ceng mendamprat di dalam hatinya. Ia menyesal dan mendongkol sekali.

Yo Kang meloloskan bajunya yang panjang, ia pakai itu untuk menutupi tubuh Wanyen Lieh, rupanya ia takut ayah angkatnya masuk angin.

Kwee Ceng lantas melengos. Tak sudi ia mengawasi lebih lama lagi. Ia sungguh tak mengerti sikapnya Yo Kang.

"Jangan bergelisah tidak karuan," Oey Yong menghibur. "Jangan keburu nafsu. Setelah kau sembuh, meski jahanam ini lari ke ujung langit, kita akan kejar!"

Kwee Ceng mengangguk, setelah mana ia berlatih terus. Ketika sang fajar datang, beberapa ekor ayam jago kampung berkeruyuk saling sahut, dilain pihak muda-mudi itu sudah berlatih tujuh rintasan hingga mereka merasakan tubuh mereka segar sekali.

Oey Yong menunjukkan telunjuknya. "Telah lewat satu hari!" katanya sambil tertawa. Ia puas dengan selesainya latihan hari pertama itu.

"Sungguh berbahaya!" kata Kwee Ceng perlahan. "Jikalau tidak ada kau, tidak dapat aku mengendalikan diri, dan itu artinya bahaya……."

"Masih ada enam hari dan enam malam, kau mesti janji dengarkan kata-kataku," kata si nona.

"Kapannya pernah aku tidak dengar kau?" Kwee Ceng menanya sambil tertawa.

Oey Yong tersenyum, lalu ia miringkan kepalanya. "Nanti aku berpikir," katanya.

Dari atas mulai bersorot sinar matahari, maka terlihatlah muka Oey Yong yang merah dadu, cantik manis, sedang dilain pihak, Kwee Ceng tengah memegangi tangan orang yang halus lemas, tanpa merasa, dadanya memukul. Maka lekas-lekas ia menenangkan diri, walaupun begitu, mukanya merah. Ia jengah dengan sendirinya. Sejak mereka bertemu dan bergaul, belum pernah Kwee Ceng memikir seperti kali ini terhadap si nona, dari itu ia menyesal dengan sendirinya dan menyesali dirinya juga.

"Eh, engko Ceng, kau kenapa?" tanya Oey Yong. Ia heran menampak perubahan muka si anak muda.

"Aku bersalah, mendadak saja aku memikir…..aku memikir…." Pemuda itu tunduk, perkataannya berhenti sampai di situ.

"Kau memikirkan apa sebenarnya?" si nona menanya lagi.

"Tetapi sekarang aku sudah tidak memikir pula."

"Tadinya kau memikir apa?"

Kwee Ceng terdesak. "Aku memikir untuk merangkulmu, menciummu.." karena terpaksa ia mengaku. Sebagai seorang jujur, tak dapat ia berdusta.

Muka si nona bersemu merah. Ia berdiam. Justru itu ia nampak semakin menggiurkan. Melihat orang diam saja dan bertunduk, Kwee Ceng menjadi tak enak hati.

"Yong-jie, kau gusarkah?" ia menanya. "Dengan memikir demikian, aku jadi buruk seperti Auwyang Kongcu……"

Tiba-tiba si nona tertawa. "Tidak, aku tidak gusar!" sahutnya. "Aku hanya memikir, di belakang hari, kau akhirnya bakal merangkul aku, mencium aku, bahwa aku bakal jadi istrimu!" Mendapat jawaban itu, lega hati Kwee Ceng.

"Engko Ceng," kemudian si nona tanya. "Kau memikir untuk mencium aku, adakah hebat pikiranmu itu?"

Kwee Ceng hendak memberikan jawabannya ketika ia menundanya. Tiba-tiba terdengar tindakan kaki cepat dari dua orang, yang terus masuk ke dalam rumah makann disusul suara nyaring dari Hauw Thong Hay:

"Aku telah bilang, di dunia ini ada setan, kau tidak percaya!"

"Apakah itu setan atau bukan setan?" terdengar suaranya See Thong Thian. "Aku bilang padamu, kita sebenarnya bertemu dengan seorang pandai!"

Oey Yong lantas saja mengintai, maka ia melihat muka Huaw Thong Hay berlepotan darah dan bajunya See Thong Thian robek tidak karuan. Melihat dua saudara seperguruan itu rudin demikian, Wanyen Lieh dan Yo Kang menjadi heran. Mereka lantas menanyakan sebabnya.

"Nasib kita buruk," menyahut Hauw Thong Hay. "Tadi malam di dalam istana kita bertemu hantu, sepasang kupingku si Lao Hauw telah kena ditabasnya kutung…"

Wanyen Lieh melihat kuping Thong Hay, benar lenyap dua-duanya. Ia menjadi heran sekali.

"Masih ngoceh saja!" See Thong Thian menegur. "Apakah kita tidak cukup memalukan?!"

Thong Hay takut kepada kakak seperguruannya itu, tetapi ia melawan. "Aku melihat tegas sekali," katanya membela. "Satu setan hakim yang mukanya biru kumisnya merah seperti cusee sudah berpekik seraya menubruk aku, begitu aku menoleh, sepasang kupingku tahu-tahu sudah lenyap. Hakim itu mirip benar dengan patung hakim di dalam kuil, kenapa dia bukannya hakim neraka tulen?"

See Thong Thian pun menerangkan, ia cuma bertempur tiga jurus dengan hakim neraka itu lantas pakaiannya kena disobek rubat-rubit seperti itu. Mereka itu menjadi heran tanpa pemecahan, dari itu mereka cuma dapat menduga-duga. See Thong Thian percaya ia berhadapan sama jago Rimba Persilatan yang lihay, maka itu ia menyangsikan hantu, tetapi ia pun tidak bisa membuktikan kesangsiannya itu. Ketika Auwyang Kongcu ditanya, mungkin ia ketahui sesuatu, ia pun menggeleng kepala.

Tengah mereka ini berdiam dengan terbenam dalam keheranannya, terlihat baliknya Leng Tie Siangjin bersama Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong bertiga. Mereka datang saling susul, keadaan mereka juga tidak karuan.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar