Sabtu, 02 Januari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 093

Mendengar orang saling memanggil anak dan ayah, Kwee Ceng dan Oey Yong saling melirik. Kwee Ceng berdongkol berbareng masgul. Kalau bisa, ingin ia menjambak Yo Kang, untuk paksa ia memberi keterangan.

Yang dibilang syairnya Liu Eng itu ialah syair "Bong Hay Tiauw" atau "Memandang gelombang" yang tadi dinyanyikan si nona tukang nyanyi itu.

Lantas terdengar penjelasan Wanyen Lieh. "Di tahun Ceng-liong dari negara Kim yang agung. Junjungan kita Liang telah melihat syairnya Liu Eng itu yang memuji telaga See Ouw. Karena ini, ketika dikirim utusan ke Selatan, sekalian dikirim juga seorang pelukis, dia buat gambar panorama kota Lim-an. Junjungan kita lagi berdiri bersama kudanya di puncak bukit Gouw San, kemudian Dia sendiri menulis syair dalam gambar itu, syair yang menguraikan ia membawa angkatan perang ke See Ouw dan ia berdiri di puncak ke satu dari bukit Gouw San itu."

"Sungguh bagus!" Yo Kang memuji.

Kwee Ceng meremas tangannya sendiri saking mendongkolnya. Lalu terdengar Wanyen Lieh menghela napas dan berkata dengan menyesal:

"Sayang tak tercapai cita¬cita Junjungan Lian membawa angkatan perang ke Selatan untuk mendaki puncak Gouw San itu, meski begitu, cita-cita itu sekarang akan dicontoh oleh anak cucunya. Cita-cita luhur dari Junjungan itu terbukti dengan syair yang ia tulis pada sebuah kipas, bunyinya, 'Kalau gagang kipas ada di tangan, maka angin sejuk akan memenuhi kolong langit'."

Waktu mengucap begitu, semangat Wanyen Lieh tengah tersengsam. Setelah itu terdengar tertawa nyaring dari Auwyang Hong, yang berkata:

"Kalau di lain hari ongya yang memegang kekuasaan besar pastilah akan tercapai itu cita-cita berdiri di puncak gunung Gouw Wan!"

"Semoga terjadi apa yang sianseng katakan," kata Wanyen Lieh perlahan. "Di sini ada banyak mata dan kuping, mari kita minum saja."

Sampai di situ, bertukarlah pokok pembicaraan mereka bertiga. Mereka berbicara tentang keindahan tempat dan adat kebiasaan penduduknya.

"Mereka minum dengan gembira sekali, aku justru akan membikin mereka tidak gembira!"

Oey Yong berbisik di telinga Kwee Ceng, ia terus ajak pergi ke taman belakang. Di sini si nona menyulut api, membakar gudang kayu di empat penjuru, maka di lain saat, berkobarlah api itu merupakan satu kebakaran! Dalam sekejap berisiklah suara orang yang berteriak-¬teriak dari berlari-larian:

"Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Padamkan api!"

"Mari lekas ke depan!" si nona membisiki lawannya. "Nanti mereka keburu lenyap lagi!"

"Malam ini mesti aku berhasil menikam mampus Wanyen Lieh!" kata Kwee Ceng sengit.

"Tapi kita mesti temani suhu masuk dulu ke istana," kata Oey Yong. "Kemudian kita minta Ciu Toako layani See Tok, supaya kita leluasa menghadapi sepasang manusia celaka!"

"Benar!" kata Kwee Ceng setuju.

Mereka lantas turut berdesakan pergi ke depan dimana Wanyen Lieh bersama Yo Kang dan Auwyang Hong terlihat lagi keluar dari rumah makan. Mereka menguntit dari kejauhan, melintasi sejumlah jalan dan gang, sampai di penginapan Siang Hong di See-sie-tiang. Sekian lama mereka menanti, tidak juga Wanyen Lieh keluar, maka mereka menduga tentulah tiga orang itu mondok di hotel ini.

"Mari kita pulang, setelah mengajak Ciu Toako, baru kita satroni mereka!" kata Oey Yong.

Kwee Ceng menurut. Mereka pulang ke penginapan Kim Hoa. Baru sampai di depan penginapan, mereka sudah dengar suara berisik dari Ciu Pek Thong, Kwee Ceng kaget, ia khawatirkan luka gurunya. Ia lari masuk. Tiba di pekarangan, hatinya lega. Di sana Pek Thong lagi berselisih sama beberapa anak-anak. Nyata dia kalah bertaruh dan hendak menganglap dan anak-anak itu tidak mau mengerti.

Melihat Oey Yong, karena takut ditegur, Pek Thong lantas ngeloyor masuk. Oey Yong berdua Kwee Ceng mengikuti, sesampainya di dalam, si nona mengeluarkan macam-macam topeng yang ia beli, ia perlihatkan pada si orang tua.

Pek Thong gembira, ia pakai itu satu demi satu, sebentar jadi hakim neraka, sebentar jadi hantu. Oey Yong lantas bicara. Ia minta sebentar si tua itu membantu untuk menghadapi Auwyang Hong.

"Baik!" Pek Thong menjawab. "Sebentar aku lawan dia dengan kedua tanganku, dengan dua macam ilmu silat juga!"

Oey Yong khawatir si tua ini nanti berlaku seperti di Tho Hoa To, sebab menghukum diri disebabkan menggunakan ilmu silat Kiu Im Cin-keng, dia sudah ikat kedua tangannya untuk bertempur sama ayahnya. Maka itu ia lantas berkata:

"See Tok itu manusia sangat busuk, kalau kau gunakan Kiu Im Cin-keng untuk menghajar dia, kau tentu tidak melanggar larangan kakak seperguruanmu!"

"Ah, itu tidak bisa!" menampik Ciu Pek Thong sambil membuka lebar matanya. "Aku toh sudah menyakinkan ilmu silat baru tanpa menggunakan Kim Im Cin-keng itu."

Oey Yong tidak mau memaksa. Ia khawatir si tua itu ngambek. Siang hari itu, hatinya Ciu Pek Thong sudah seperti berada di dalam dapur istana. Maka begitu tiba jam dua, Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, sambil jalan diatas genteng, berempat mereka pergi ke istana, menuju langsung ke dapur, yang berada di belakang bukit Liok Pouw San dan dekat dengan pendopo istana Kee-beng-thian. Pendopo ini ialah tempat menyiapkan hidangan raja.

Istana terjaga kuat tapi di tengah malam seperti itu, dapur sepi, cuma apinya yang terang menderang. Beberapa orang kebiri menjaga di situ tapi mereka ini sudah keburu tidur pulas.

Kwee Ceng mendudukkan Ang Cit Kong di atas penglari. Oey Yong bersama Ciu Pek Thong menggeratakkan almari mencari hidangan seadanya, maka dilain saat, berempat mereka sudah menggoyang janggut.

"Ah, pengemis bangkotan, barang makanan di sini mana lebih lezat daripada masakannya Nona Oey," kata Pek Tong menggeleng kepala. "Jauh-jauh kau datang kemari, akhirnya tak menggembirakan…."

"Sebenarnya aku ingin dahar Wanyon Ngo-tin-kwee, sayang kokinya entah pergi kemana," sahut Ang Cit Kong. "Yang ada di sini hanya makanan biasa, ini memang kurang lezat. Baik besok kita bekuk itu koki dan suruh ia memasak."




"Aku tidak percaya dia dapat menangkan masakan Nona Oey!" kata pula Pek Thong.

Oey Yong tertawa. Ia tahu dia dipuji, sebab Pek Thong bersyukur sudah dibelikan topeng.

"Aku mau berdiam di sini menantikan koki itu," kata Cit Kong. "Kalau kau tidak gembira, pergilah bersama anak Ceng, biar anak Yong menemaniku. Besok malam baru kau datang menyambutku."

Pek Thong membekal topengnya, ia pakai topeng malaikat kota. "Tidak, aku akan berdiam di sini menemani kau!" katanya tertawa. "Besok aku akan pakai topeng ini menemui raja! Saudara Kwee dan nona Oey, kamu awasi See Tok jangan sampai berhasil mencuri surat wasiatnya Gak Bu Bok."

"Loo Boan Tong benar, maka pergilah kamu lekas," kata Ang Cit Kong. "Asal kamu waspada."

Muda-mudi iru menyahut bahwa mereka akan taati pesan itu. "Malam itu jangan tempur dulu si tua bangkotan yang berbisa, tunggu saja besok, lihat aku!" Pek Thong memesan pula.

"Meskipun kita tidak menang, kita mesti tempur dia," Oey Yong bilang. Lalu bersama Kwee Ceng ia berlalu, maksudnya pergi ke penginapan Siang Hong untuk mengintai Wanyen Lieh bertiga. Dua pendopo istana telah dilewati ketika si nona merasakan hawa dingin serta kupingnya mendengar suara air. Angin halus pun membawa datang harumnya bunga.

Oey Yong memang paling menggemari bunga, mendapat cium bau semerbak itu, ia lantas berpikir di istana ini, di dekatnya, bunga-bunga di istana mestinya beraneka warna, maka itu, mesti ia melihatnya. Karena ini ia tarik tangan Kwee Ceng, diajak pergi mencari pohon bunga itu.

Tidak gampang muda-mudi ini sampai di tempat tujuan, mereka hanya merasai hawa semakin dingin dan suara air makin keras dan berisik. Mereka jalan terus sampai melewati dua lorong panjang dan menikung, lalu sampai di satu tempat di mana ada ditaman rapi banyak pohon cemara dan pohon bambu, hingga suasana di situ menjadi teduh ayem.

Oey Yong bergembira. Ia dapatkan jalanan di dalam istana ini kalah dengan jalanan di Tho Hoa To, pulaunya itu, tetapi pepohonannya tidak usah menyerah. Ketika ia jalan beberapa tindak, di hadapannya ia melihat air tumpah turun dari gunung putih bagaikan rantai perak, jatuhnya ke sebuah pengempang lebar. Di dalam empang itu kedapatan banyak pohon teratai dengan bunganya yang merah dan putih. Di depan empang ada sebuah paseban indah dengan merknya Cui Han Tong.

Tanpa sangsi-sangsi, Oey Yong bertindak masuk ke dalam paseban itu di mana di bagian depannya terlihat banyak macam bunga musim panas, seperti melati, giokkui dan ang-ciauw yang harum, dan di sebelah belakangnya ada di pasang hio wangi dan dupa, yang menambah harumnya pesaben itu. Di atas meja pun tersajikan banyak macam buah, seperti obi teratai, semangka, tho dan lainnya. Di atas kursi ada beberapa buah kipas. Mungkin tempat raja berangin sebelum raja itu masuk tidur.

"Sungguh raja berbahagia!" Kwee Ceng mengeluh.

"Nah, kau pun boleh mencoba menjadi raja barang satu kali!" kata Oey Yong tertawa seraya ia tarik tangan si anak muda itu, untuk orang bercokol di atas pembaringan, kemudian ia ambil beberapa rupa buah, menyuguhinya sambil berlutut dan berkata: "Silahkan Sri baginda bahar bebuahan!"

Kwee Ceng tertawa, sambil tangannya mengambil buah piepee, ia berkata: "Silahkan bangun!"

"Salah!" berkata Oey Yong. "Raja tidak pernah mengatakan silahkan bangun, itu terlalu sungkan!"

Kwee Ceng tertawa pula, begitu pun si nona. Selagi mereka gembira, mereka seperti lupa daratan, dari kejauhan terdengar bentakan:

"Siapa di sana?!" Keduanya menjadi kaget, serentak mereka berlompat, untuk terus sembunyi di belakang gunung-¬gunungan.

Teguran itu disusul sama tindakan cepat dan berat dari dua orang, mendengar tindakan lega hatinya si pemuda dan pemudi itu.

"Jangan pedulikan mereka!" Oey Yong berbisik. "Dua kantong nasi itu tidak bakal menemukan kita!"

Waktu itu lantas terlihat dua orang, yang tubuhnya besar, tiba di paseban, tangan mereka masing-masing mencekal sebatang golok. Mereka itu lantas celingukan. Cuma sebentar, yang satu lantas tertawa.

"Ah. Lao Su, kau melihat setan!" katanya.

"Ya, dalam beberapa hari ini mataku seperti lamur!" sahut kawannya yang dipanggil Lao Su itu, artinya Su si tua. Kemudian dua orang itu mengundurkan diri.

Oey Yong tertawa di dalam hatinya, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng niatnya untuk diajak keluar, tetapi belum lagi mereka muncul dari tempat persembunyiannya, kuping mereka medengar seruan tertahan dari dua centeng istana itu, benar suara itu perlahan akan tetapi si nona dan si pemuda mengerti, itu adalah suara dari orang yang kena ditotok jalan darahnya. Mereka lantas berpikir: "Tentu Ciu Toako tak sabaran, dia pun lantas keluar pesiar!"

"Paseban itu di samping air tumpah ialah Cui Han Tong!" tiba-tiba Oey Yong dan Kwee Ceng mendengar suara orang, perlahan. "Mari kita pergi ke sana."

Muda-mudi ini terperanjat. Mereka mengenal suaranya Wanyen Lieh. keduanya saling menjabat tangan erat-erat, terus mereka menyembunyikan diri. Tubuh mereka tidak berkutik, tetapi mata mereka dipasang, diincarkan ke depan.

Di antara sinar bintang-bintang terlihat beberapa tubuh orang, bahkan lantas dikenali, kecuali Wanyen Lieh dan Auwyang Hong, ada Pheng Lian Houw, See Thong Thian, Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong.

"Heran, mau apa mereka datang ke istana…" pikir muda mudi ini. "Tak mungkin mereka pun hendak mencuri makanan raja…"

"Siauw-ong telah meneliti surat yang ditinggalkan Gak Bu Bok," terdengar suara Wanyen Lieh, "Juga siauw-ong telah periksa surat-surat dua kaisar Kho Cong dan Hauw Cong, karenanya berani siauw-ong memastikan surat wasiat Gak Bu Bok itu mestinya disimpan di sini, lima belas tindak di Timur Cui Han Tong."

Sembari berkata pangeran Kim menunjuk dengan tangannya, maka semua kawannya memandang ke arah tempat yang di tunjuk. Di sana adalah air tumpah, tidak ada benda lainnya.

"Di dalam air tumpah mana bisa di simpan barang?" berkata Wanyen Lieh heran, "Toh bukti-bukti memastikan demikian…"

See Thong Thian pandai berenang, julukannya pun Kwie-bun Liong Ong, si Raja Naga Pintu Setan, maka ia lantas berkata:

"Nanti aku terjun memeriksa air tumpah ini."

Cepat ia bersiap, lantas terjun ke dalam air. Tidak lama, ia sudah timbul pula dan terus mendarat. Semua kawannya menghampiri.

"Ongya benar pandai!" kata orang she See ini. "Di belakang air tumpah ini ada sebuah gua dengan pintu besi yang terkunci."

Wanyen Lieh menjadi sangat girang. "Surat wasiat Gak Bu Bok mesti di simpan di dalam gua itu!" katanya nyaring. "Sekarang siauw-ongya minta tuan-tuan suka pergi membuka pintu besi itu."

Titah ini tak usah diulang segerA orang sudah lantas berlompat maju memasuki air tumpah itu, kecuali Auwyang Hong yang dengan tertawa dingin berdiam terus di sisinya si pangeran Kim. Ia merasa derajatnya lain, tak sudi ia berbuat seperti kawan--kawannya itu.

See Thong Thian maju paling dulu. Begitu ia melewati air tumpah, mendadak ada angin menyambar. Dia lihay tetapi dia tidak menyangka jelek, maka itu hendak ia berkelit, atau segera tangan kirinya kena orang cekal terus ditolak dengan keras, hingga ia terpental balik menubruk Nio Cu Ong! Syukur, mereka lihay, keduanya tidak terluka, mereka hanya terhuyung mundur.

Semua orang heran, tetapi sementara itu, untuk kedua kalinya, See Thong Thian sudah menyerbu pula air tumpah itu. Ia penasaran dan kali ini ia berseiap sedia. Ia melindungi mukanya. Benar saja, baru ia lewati air, sebuah kepalan sudah meninju. Karena ia sudah bersedia, ia menangkis dengan tangan kirinya seraya kepalan tangan kanan dipakai membarengi menyerang.

Ketika itu Nio Cu Ong pun menyerbu air tumpah itu, hanya untuk kagetnya, ia dipapaki tongkat. Ia kaget, tidak sempat menangkis, maka ia berkelit dengan melenggakan tubuhnya. Tentu sekali, karenanya, ia roboh ke air dan kena ditarik. Celaka untuknya, kakinya kena tergaet. Dasar lihay, ia masih sempat lompat keluar dari air tumpah. Berbareng dengan itu, See Thong Thian pun mesti keluar lagi karena ia kena didesak tinju yang dahsyat.

Hauw Thong Hay menyaksikan semua itu. Ia sembrono, maka itu ia tidak ingat bahwa ilmu silatnya kalah dari See Thong Thian, sang kakak seperguruan, ia lantas maju. Ia mau mengandalkan kepandaiannya berenang dan di dalam air bisa membuka matanya.

Pheng Lian Houw menginsyafi bahaya mengancam kawannya ini, ia hendak memberikan bantuan, tapi belum sempat ia maju, suatu benda besar dan hitam sudah mental keluar dari air tumpah itu, jatuh ke tanah dengan suara gedebuk nyaring, yang mana disusul sama jeritannya Hauw Thong Hay, sebab dialah yang melayang dan roboh itu. Lian Houw lantas lompat menghampiri.

"Perlahan, saudara Hauw!" ia memperingatkan, berbisik. "Kau kenapa?"

"Celaka, kempolanku kena terhajar!" sahut Sam-tauw¬kauw Si Ular Naga Kepala Tiga. Lian Houw kaget dan heran dan merasa lucu juga.

"Sebenarnya telah terjadi apa?" ia menegasi. Ia meraba kempolan orang, di situ ia tidak merasa ada yang luar biasa. Ia teliti, tentu ia tidak mau sembarang menyerbu air tumpah itu. Maka ia menanya pula: "Ada orang di dalam? Siapakah dia?"

"Mana aku tahu?" sahut Thong Hay ketus. Ia kesakitan dan mendongkol. "Begitu aku masuk aku terhajar keluar!"

Lian Houw tercengang. Justru itu Leng Tie Siangjin, dengan jubahnya berkibaran, memasuki air tumpah itu, dilain saat dia perdengarkan suaranya dalam bahasa Tibet, dia berbicara sambil berseru-seru dan terdengar juga suara pertarungan. Maka teranglah ia pun dapat sambutan dan jadi berkelahi.

Wanyen Lieh semua saling mengawasi, mereka terbenam dalam keheranan. Tidak tahu mereka, ada musuh siapa di dalam air tumpah itu. Menurut See Thong Thian dan Nio Cu Ong, mereka samar-samar melihat sepasang pemuda-pemudi, si pemuda dengan tangan kosong, si pemudi dengan tongkat. Kembali terdengar teriakan Leng Tie Siangjin, teriakan kemurkaan. Rupanya dia pun "menderita"…

"Kenapa Siangjin juga begini tidak tahu selatan?" kata Wanyen Lieh sambil mengerutkan kening. "Dia membikin banyak berisik, bagaimana kalau pahlawan-pahlawan raja dapat mendengarnya? Dengan begitu masih bisakah kita mencuri wasiat?"

Baru berhenti suaranya pangeran ini mereka melihat air tumpah membawa serupa benda merah, yang segera juga dikenali jubah suci dari Leng Tie Siangjin, menyusul mana, dengan diberikuti suara air, dua cecernya orang suci ini terlempar keluar dari dalam air tumpah itu.

Hauw Thong Hay khawatir cecer itu jatuh menerbitkan suara berisik, ia lompat untuk menangkapinya. Dari dalam air tumpah sekali lagi terdengar dampratan Leng Tie Siangjin, hanya kali ini disusul mencelat tubuhnya yang besar, akan tetapi karena ia lihay, ketika ia tiba di luar, ia dapat berdiri dengan tegar.

"Itu adalah bocah dan budak yang kita temukan di perahu!" Leng Tie kata dengan sengit.

Kwee Ceng dan Oey Yong yang bersembunyi di belakang gunung, mendengar nyata pembicaraan Wanyen Lieh beramai. Karena mereka itu hendak mencuri surat wasiat Gak Hui, mereka takut sekali surat wasiat kena didapatkan pangeran itu. Inilah hebat. Dengan menggunakan siasatnya Gak Hui itu, pasti bangsa Kim bakal berhasil menyerbu negara Song. Bagaimana itu bisa dicegah? Diantara orang-orangnya Wanyen Lieh pun ada Auwyang Hong yang lihay. Oey Yong mencoba mencari akal, untuk membikin mereka kaget dan nanti lari kabur.

Kwee Ceng sebaliknya tidak sabaran, karena tidak ada waktu lagi untuk berpikir lama-lama atau mengatur tipu. Akhirnya pemudi ini menarik tangan si pemuda, diajak pergi ke belakang air tumpah. Mereka sampai di sana tanpa ada yang lihat dan tanpa ada yang dengar, sebab tumpahnya air sangat berisik.

Muda-mudi ini telah siap sedia ketika See Thong Hay mencoba memasuki air tumpah itu, dengan gampang dia dihajar kembali. Hasilnya penolakan ini membikin mereka berdua jadi heran dan kagum, girang sekali. Itulah buahnya pernyakinan mereka atas ilmu Ie-kin Toan-kut Pian. Demikian mereka menghajar Hauw Thong Hay dan akhirnya Leng Tie Siangjin hingga pendeta Tibet ini mencaci kalang kabutan.

"Engko Ceng, mari lekas!" Oey Yong mengajak. "Mari kita keluar dan berteriak-teriak, biar kawanan pahlawan pada datang kemari, dengan begitu mereka ini tentulah tak dapat bekerja terlebih jauh melakukan pencurian!"

Oey Yong berkata berpikir demikian sebab ia percaya, habis Leng Tie Siangjin, Auwyang Hong bakal turun tangan, kalau See Tok yang maju, pasti mereka tidak berdaya lagi.

"Pergi kau keluar dan berteriak-teriak, aku sendiri akan berjaga di sini!"

"Tapi ingat, jangan tempur si bangkotan yang berbisa itu!" Oey Yong memesan.

"Aku mengerti! Nah, keluarlah! Keluarlah lekas!"

Baru Oey Yong mau keluar mendadak mereka merasakan tolakan angin keras sekali. Mereka kaget tetapi mereka tidak mau menangkis, hanya dengan berbareng keduanya lompat ke samping masing-¬masing.

Hebat tolakan itu, yang ada Kap-mo-kang, pukulam Kuntauw Kodok dari Auwyang Hong. Karena tidak memperoleh perlawanan, serangan itu mengenai tepat pintu besi dari gua, maka terdengarlah suara nyaring sedang air muncrat ke segala penjuru.

Oey Yong melompat tetapi ia kalah sebat, punggungnya kena tersampok angin. Dalam sekejap ia merasakan sulit bernapas, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, akan tetapi ia masih ingat tugasnya, hanya berdiam sejenak, untuk memusatkan pikiran, segera ia melompat keluar, berteriak-¬teriak sekeras-kerasnya:

"Ada pembunuh gelap! Ada pembunuh gelap! Tangkap! Tangkap!" Dan sembari berteriak-teriak, ia kabur ke depan.

Wanyen Lieh semua kaget. "Marilah kita hajar mampus dulu budak ini!" Pheng Lian Houw berseru saking mendongkolnya. Ia gusar dan penasaran. Segera ia melompat, untuk mengejar.

Suara Oey Yong mendengung di malam yang sunyi itu, suara itu dapat didengar rombongan-¬rombongan Siewie atau pahlawan kaisar di empat penjuru istana. Paling dulu terdengar seruan mereka berulang-ulang, saling memberi tanda, habis itu mereka lantas bergerak.

Oey Yong berlompat naik ke atas genting, mencabuti genting kemudian menimpuk kalang-¬kabutan. Perbuatannya ini pun menambah suara berisik. Pheng Lian Houw, disusul Nio Cu Ong, merangsak, untuk mendekati si nona. Dalam keadaan seperti itu, Wanyen Lieh masih dapat bersikap tenang. Ia menoleh ke sisinya, kepada seorang yang mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam juga.

"Anak Kang, pergilah kau bersama Auwyang Sianseng masuk ke air tumpah untuk mengambil surat wasiat itu!" katanya. Pangeran itu masih belum mau melepaskan ikhtiarnya mencuri surat yang dia sangat harapkan.

Orang disampingnya itu, yang memakai topeng, memang Yo Kang adanya, putra pungutnya . Auwyang Hong sendiri sudah lantas nongkrong di tanah, untuk mengerahkan tenaganya, menggunakan Kuntauw Kodok menyerang ke arah air tumpah, begitu ia menyerang, terdengar suara berisik seperti tadi. Bahkan kali ini kedua daun pintu gua tertolak mundur ke dalam.

Setelah berhasil dengan serangannya, Auwyang Hong berlompat maju masuk ke dalam air tumpah, memasuki gua dan mengambil surat wasiat yang diarah itu. Justru ia bertindak, matanya melihat bayangan orang yang berkelebat dari samping, dan belum lagi bayangan itu tiba, angin serangannya sudah mendahului. Ia mengenali, itulah pukulan Hui Liong Thay-thian, Naga Terbang ke Langit.

"Hm!" pikir See Tok sambil berkelit. "Memang aku hendak tanyakan dia keterangan kitab Kiu Im Cin¬keng, kebetulan sekali, sekarang baik aku sekalian membekuk dia…!" Karena ini, sambil berkelit ke samping, sebelah tangannya diulur, menjambak penyerang itu.

Si penyerang benar Kwee Ceng adanya. Anak muda ini sudah nekat. Ia bertekad melindungi surat wasiat Gak Hui, maka itu, ia tidak peduli musuh lihay dan Oey Yong telah melarang menempur See Tok. Ia harap, dalam waktu yang pendek, kawanan siewie sudah tiba di situ. Ketika ia menampak gerakannya Auwyang Hong, ia menduga orang tidak niat berbuat telengas, ia hanya hendak ditangkap. Ia sebenarnya heran. Tapi tak ada waktu untuk menduga-duga maksud orang. Dengan tangan kirinya ia menangkis, tangan kanan menyerang ke pundak. Ia menggunakan jurus dari Khong-beng-kun, yaitu Pukulan Kosong.

Kwee Ceng menggunakan ilmu silat ajaran Ciu Pek Thong, yaitu sepasang tangan saling berkelahi sendiri dan jurus yang ia pakai ialah jurus Khong-beng-kun, meskipun itu tak sehebat Hang Liong Sip-pat Ciang, toh tak dapat dipandang enteng. Tidak heran kalau Auwyang Hong terkejut.

"Bagus!" berseru See Tok yang lihay. Ia mendak dengan pundaknya, sebelah tangannya dilonjorkan, guna menangkap lengannya si penyerang. Biar bagaimana, ia berkelahi dengan waspada, sebab ia dapat kenyataan, tiap hari kepandaian pemuda ini bertambah terus. Auwyang Hong penasaran ia belum berhasil menyakinkan Kiu Im Cin-keng, ia ingin mengerti jelas kitab itu, keinginannya bertambah ketika ia dengar ocehan Ang Cit Kong di atas getek. Ia hanya tak insyaf bahwa ia tengah dipermainkan bocah she Kwee itu, sebab kitab Kiu Im Cin-keng yang berada di tangannya ialah kitab yang tidak karuan macam, yang Kwee Ceng kacaukan urutan huruf-hurufnya, hingga tak dapat diartikan lagi.

Sementara itu di empat penjuru Cui Han Tong sudah terlihat obor api terang bagaikan siang. Pelbagai siewie muncul dalam satu-satu rombangan, mereka lari ke arah darimana terdengar teriakan-teriakan Oey Yong.

Wanyen Lieh melihat terangnya obor, ia menjadi bingung juga. Sejak masuknya Auwyang Hong dan Yo Kang ke dalam air tumpah, mereka tidak kelihatan muncul kembali. Syukur untuknya, semua siewie lari ke arah Oey Yong, siapa sedang menungkuli Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong yang terus mengejarnya. Untuk sementara, wilayah air tumpah itu masih selamat. Walapun begitu, pangeran ini membanting-banting kaki, tangannya menggapai-gapai tak hentinya.

"Lekas! Lekas!" ia memanggil Leng Tie Siangjin dan putranya.

"Jangan sibuk, ongya!" berkata Leng Tie. "Nanti siauwceng masuk pula!"

Pendeta Tibet ini lantas masuk ke air tumpah, dimana ia melihat Auwyang Hong sedang menempur Kwee Ceng, sedang Yo Kang yang hendak menerobos masuk, tidak mendapatkan kesempatan.

Leng Tie Siangjin tidak puas mengawasi pertempuran itu. Bukankah waktu mereka sudah sangat mendesak? Kenapa Auwyang Hong bersikap seperti sedang berlatih?

"Auwyang Sianseng, mari aku bantu kau!" ia berseru.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar