Jumat, 01 Januari 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 092

"Kau she Kiok, bukankah?" ia menanya. Sa Kouw tidak menyahut, ia hanya tertawa geli.

"Nona, apakah shemu?" Kwee Ceng menanya, sabar.

"Aku tidak tahu," menyahut nona itu menggeleng kepala.

Selagi dua orang itu hendak menanyakan terlebih jauh, Pek Thong menjerit-jerit; "Aku sudah lapar! Aku sudah lapar! Aku bisa mati kelaparan!"

"Benar," berkata Oey Yong. "Mari kita bersantap dulu." Ia membuka ikatannya Sa Kouw, ia ajak nona itu bersantap bersama.

Sa Kouw tidak menampik, ia tertawa, ia angkat mangkoknya dan dahar. Sembari bersantap Oey Yong tuturkan Cit Kong apa yang ia dapatkan di dalam kamar rahasia itu.

Pak Kay pun heran. "Rupanya orang she Cio itu menghajar mati suhengmu, lantas ia hendak membuka peti besi itu," katanya, mengutarakan dugaannya. "Tidak tahunya suhengmu itu belum mati dan ia menimpuk dengan golok."

"Melihat keletakannya, mungkin begitu kejadiannya," Oey Yong membenarkan. Ia lantas memperlihatkan golok lancip itu serta patkwa besi pada si nona tolol. Ia menanya, "Apakah kau tahu siapa punya ini?"

Melihat itu, wajah Sa Kouw berubah. Ia berpaling, agaknya ia berpikir, tapi ia tidak dapat mengingat apa-¬apa. Akhirnya ia menggeleng kepalanya, hanya tangannya memegangi golok itu, tak mau dilepaskan.

"Rupanya pernah ia melihat golok ini, sekarang dia tidak ingat," bilang Oey Yong.

Habis bersantap, sesudah memernahkan Ang Cit Kong, yang merebahkan diri untuk tidur, Oey Yong ajak Kwee Ceng pergi pula ke kamar gelap itu, untuk memeriksa terlebih jauh. Sekarang perhatian mereka ditujukan kepada peti besi, yang entah apa isinya.

Semua tulang di atas tutup peti disingkirkan. Gampang sekali mengangkatnya, sebab peti tidak dikunci. Peti itu menyinarkan cahaya bergemerlapan, sebab isinya adalah pelbagai macam batu permata.

Kwee Ceng hanya merasa aneh, tetapi Oey Yong tahu itulah harta besar sekali. Ayahnya biasa mengumpulkan permata tetapi tak sebanyak ini.

Nona Oey meraup permata itu, lalu ia melepaskan pula. Batu-batu itu mengasih dengar suara nyaring.

"Semua permata ini mesti ada riwayatnya," kata si nona kemudian. "Kalau ayahku ada disini, ia tentu mengetahuinya." Lalu ia menjelaskan kepada Kwee Ceng namanya setiap batu permata itu.

Kwee Ceng gelap untuk semua permata itu, belum pernah ia melihatnya, belum pernah ia mendengarnya.

Oey Yong meraup pula, sampai dalam. Tangannya membentur dasar peti besi. Ia merasakan lantai yang keras. Ia jadi menduga peti besi itu ada lapisannya. Ia lantas meneliti pinggiran peti. Sekarang ia melihat gelang kecil di kiri dan di kanan, yang tadinya kealingan batu-batu permata. Ia menggunakan kedua tangannya memegang sepasang gelang itu, lalu mengangkat. Untuk herannya, ia mendapatkan di dasar peti itu sejumlah barang kuno dari perunggu mestinya pun dari pelbagai jaman yang telah lampau. Jadi ini adalah benda-¬benda yang lebih berharga daripada batu-batu permata itu.

Masih ada lagi lain lapisan peti itu. Ketika lapisan ini pun diangkat, di dalam situ terlihat pelbagai gambar lukisan dan tulisan huruf segulung demi segulung.

"Mari bantu aku," si nona minta pada Kwee Ceng, untuk membeber gambar-gambar itu. Kesudahannya, ia menjadi heran dan kagum. Sebab ia melihat lukisan-¬lukisan dari Gouw Too Cu, Co Pa, Kie Jian dan Lie Houw-cu kaisar dari dinasti Tong Selatan, dan lainnya lagi, jumlahnya duapuluh lembar lebih. Dan semua itu pun barang-barang yang harganya luar biasa.

Saking kagum, Oey Yong tidak mau melihat lebih lama, semua itu ia masukkan ke dalam peti, lalu ditutup dengan rapi, kemudian sambil memeluk dengkul, ia duduk bercokol di atasnya. Ia berpikir keras.

"Ayahku pengumpul semua permata dan barang kuno, tetapi apa yang ia peroleh tidak ada satu sepersepuluh dari harta karun ini," pikirnya. "Kenapa Kiok Suheng demikian lihay hingga ia dapat memeproleh semua ini?"

Tidak sempat nona ini berpikir terus, ia mendengar suara nyaring Ciu Pek Thong, "He, keluar kamu semua! Mari kita pergi ke rumahnya kaisar untuk dahar Wanyoh Ngo-tin-kwee!"

"Kita pergi malam ini?" tanya Kwee Ceng.

"Lebih cepat satu hari lebih baik," berkata Cit Kong. "Kalau kita berlambat, aku khawatir tak dapat bertahan lebih lama lagi…"

"Suhu," berkata Oey Yong, "Paling cepat juga baru besok pagi kita dapat masuk ke dalam kota. Suhu jangan dengarkan ocehan Loo Boan Tong!"

"Ya, sudah, sudahlah!" berkata Ciu Pek Thong. "Memang sagalanya aku yang salah!" Terus ia menutup mulutnya.

Besoknya pagi, Oey Yong berdua dengan Kwee Ceng mematangi nasi, lalu mereka sarapan bersama-sama Sa Kouw. Oey Yong memikirkan tempat yang aman untuk menyimpan harta karun itu.

"Sudah, mari kita lekas pergi!" Pek Thong mengajaki. "Itu toh bukannya bendamu! Perlu apa kau capaikan hati?"

Si nona memikir, memang tempat itu adalah tempat yang paling aman. Bukankah harta karun itu sudah berdiam di dalam kamar rahasia itu untuk belasan tahun? Maka ia lantas bekerja, menutup rapat pula pintu rahasia dan benahkan segalanya seperti semula mereka datang.

Selama itu Sa Kouw tidak memperdulikan perbuatan orang, ia tidak tahu menahu, ia hanya lebih suka membuat main golok tajam itu. Ketika mau pergi, Oey Yong memberikan uang perak dua potong. Sa Kouw menerimanya untuk terus dilempar secara sembarangan ke atas meja.

"Jikalau kau lapar, pakailah uang ini untuk membeli beras dan daging," pesan Oey Yong.

Nona itu acuh tak acuh, ia cuma tertawa saja. Oey Yong sangat berduka, ia mengasihi nona tolol ini. Ia percaya pasti ada hubungannya sama Kiok Leng Hong, mungkin sanak atau muridnya. Ia pun tidak mengerti, orang tolol semenjak kecil atau hanya baru belakangan saja karena sesuatu serangan otak. Tadinya ia hendak mencari keterangan di kampung itu tetapi Ciu Pek Thong mendesak tak hentinya, terpaksa ia turut juga. Maka berempat mereka pergi menuju ke kota. Cit Kong tetap naik kereta.

Kota Lim-an ialah kota Hangciu yang tersohor indah, kota ini dijadikan kota raja oleh karena pemerintahan Song berpindah ke Selatan. Oey Yong berempat memasuki pintu kota timur, Cit Kong mendesak untuk pergi ke istana kaisar, dari itu mereka menuju ke pintu Lee-ceng-mui.

Pek Thong bertiga memandang istana yang indah, yang berukir dan bergambar dan juga dicat merah dan air emas. Wuwungannya ditutup dengan genteng kuningan yang berkilauan, yang juga diukir dengan naga-nagaan dan burung hong.

"Bagus!" Pek Thong berseru, kagum. "Mari kita masuk!"

Di muka istana ada serdadu-serdadu pengawal, mereka mendengar suara berisik itu, mereka melihat seorang tua dan sepasang muda-mudi mengiringkan kereta keledai, empat diantaranya lantas maju mendekat untuk menangkap. Mereka semua memegang kampak.

Pek Thong si berandalan gembira sekali, tidak perduli orang bertubuh kekar dan romannya garang, ia hendak maju melayani mereka.

"Jangan!" mencegah Oey Yong. "Mari kita lekas pergi!"

"Takut apa?!" mata Pek Thong mencelik. "Masa mereka dapat gegares aku?"

"Jikalau kau tidak mau dengar aku, lain kali aku tidak mau memperdulikan lagi dirimu!" kata Oey Yong yang terus mencambuk keledai hingga keretanya menggelinding cepat ke arah barat.




Kwee Ceng lantas menyusul. Pek Thong takut juga nanti ditinggal pergi hingga ia tidak dapat turut pesiar, ia turut pula berlalu dengan meninggalkan keempat pengawal pintu itu. Mereka ini tidak mengejar, hanya mereka menertawai. Mereka menduga itulah rombongan orang desa….

Oey Yong larikan keretanya ke tempat sepi di mana tidak ada orang lain, di situ ia berhenti.

"Kenapa tidak menerjang masuk ke istana?" kata Pek Thong. "Itu segala kantung nasi, mana mereka bisa mencegah kita?"

"Menerjang masuk memang tidak sukar," menyahut Oey Yong. "Tetapi kita datang ke mari untuk bertarung atau untuk pergi ke dapur raja mencari makanan? Dengan menerjang masuk, kau membuatnya gaduh, dengan begitu, mana bisa kau mendapatkan Wanyon Ngo-tin-kwee untuk guruku?"

Pek Thong berdiam, tak dapat ia menjawab. "Baiklah, kembali aku yang salah!" katanya kemudian.

"Dasarnya salah!" kata Oey Yong.

"Ya, sudahlah!" kata pula si tua berandalan itu. Ia terus perpaling kepada Kwee Ceng untuk mengatakan: "Wanita di kolong langit semuanya galak-galak, maka Loo Boan Tong tidak sudi menikah seumur hidupnya…"

Oey Yong tertawa. "Engko Ceng orang baik, orang tidak nanti menggalaki dia!" katanya.

"Kalau begitu, apakah aku bukannya orang baik?"

"Habis apa kau sebenarnya orang baik? Coba bilang, kau yang tidak hendak menikah atau si nona yang tak sudi menikah denganmu?"

Pek Thong miringkan kepalanya, ia tidak menjawab.

"Mari kita mencari penginapan dulu," Kwee Ceng dating menengahi. "Sebentar malam baru kita memasuki istana."

"Benar," kata Oey Yong. "Setelah suhu berdiam di hotel, nanti aku masak unntuk kamu dahar."

"Bagus, bagus!" Cit Kong memuji. Ia girang sekali.

Mereka lantas menuju ke Jalan Gie-gay, menyewa kamar di penginapan Kim Hoa. Oey Yong benar saja lantas pergi ke dapur untuk memasak tiga rupa barang hidangan, yang baunya lantas tersiar, hingga orang-orang di penginapan menanyakan pelayan, koki kesohor yang mana yang pandai masak.

Diwaktu bersantap, Pek Thong tidak turut. Ia mendongkol dikatakan tak ada wanita yang sudi menikah dengannya. Tapi dia dibiarkan saja ngambek….! Habis bersantap, Cit Kong masuk untuk tidur, Kwee Ceng mengajak Pek Thong jalan-jalan, Loo boan Tong tetap ngambek.

"Kalau begitu, baik-baiklah kau temani guruku," kata Oey Yong tertawa. "Sebentar aku belikan kau beberapa rupa barang bagus untuk kau main."

Mendengar itu, bangkit kegembiraan si berandalan tua itu. "Apakah kau tidak mendustakan aku?" tanyanya.

"Pasti tidak!" si nona memberikan perkataannya.

Ketika Oey Yong berlalu dari rumahnya saat musim semi, pernah ia pergi ke kota Hangciu ini, yang letaknya dekat dengan Tho Hoa To, hanya karena khawatir dapat disusul ayahnya, ia tidak berani berdiam lama¬-lama, sekarang ia punya waktu, dia mengajak Kwee Ceng pesiar ke telaga See Ouw yang tersohor itu.

Biar bagaimanapun, Kwee Ceng nampak tidak terlalu gembira. Oey Yong melihat itu, ia menduga itu disebabkan si pemuda memikirkan sakitnya Cit Kong. Maka ia berkata:

“Suhu bilang ada serupa barang yang dapat menyembuhkan penyakitnya, hanya itu sangat sukar didapatkan, bahkan ia melarang kita menanya barang apa itu. Biar bagaimanapun, aku hendak berdaya mendapatkannya, buat mengobatinya hingga sembuh!"

"Yong-jie, itu paling bagus!" kata Kwee Ceng girang. "Apakah kau merasa pasti akan bisa mendapatkannya?"

"Aku tengah memikirkan jalannya. Tadi sebelum bersantap, pernah aku menanyakan keterangan suhu. Disaat suhu hendak memberitahu, tiba-tiba ia sadar, lantas ia bungkam. Tapi aku akan berdaya mengorek keterangannya."

Kwee Ceng tahu kekasihnya cerdik, hatinya menjadi lega. Sembari berbicara, mereka tiba di Toan-kio, jembatan buntung di tepi telaga. Ini adalah salah satu tempat yang kesohor di See Ouw, dimana orang bisa melihat sisa salju, cuma karena sekarang musim panas, yang terlihat pohon-pohon teratai dengan bunganya yang tumbuh di kolong jembatan.

"Mari kita minum di sana sambil memandangi bunga teratai," Oey Yong mengajak. Di tepian itu ia melihat sebuah rumah makan kecil yang nampaknya resik.

Kwee Ceng setuju, maka berdua mereka pergi ke rumah makan itu. Mereka meminta arak dan beberapa rupa santapan yang rasanya lezat. Sembari minum, Oey Yong memandang ke sekitarnya. Ia mendapatkan di jendela timur ada sebuah kesokol, yang ditutupi dengan kain indah. Ia lantas mendekati. Nyata di bawahnya ada tulisan yang berupa syair.

"Syairnya indah juga," katanya.

"Apakah artinya itu?" tanya Kwee Ceng. Oey Yong memberi penjelasan, tetapi anak muda itu tak ketarik hatinya. Ia kata; "Di sini kota raja, segala menteri luang waktunya, mereka main minum arak dan pesiar saja. Rupanya urusan negara mereka kesampingkan…."

"Benar begitu," sahut Oey Yong. "Maka itu ayahku paling jemu semua orang semacam mereka. Umpama ayah dapat membaca syair ini, mungkin ia cari penulisnya untuk menebas tubuhnya menjadi dua potong…."

Tiba-tiba di belakang mereka ada orang tertawa dingin yang berkata: "Jiwi tahu apa maka kamu bicara sembarangan di sini?"

Kwee Ceng berdua menoleh dengan cepat. Mereka melihat seorang dengan dandanan sebagai sastrawan, umurnya kurang lebih empatpuluh tahun, yang masih saja tertawa dingin. Kwee Ceng lantas memberi hormat dan berkata:

"Aku yang rendah tidak mengerti, tolong tuan menjelaskannya."

"Kau tahu ini adalah buah kalam istimewa dari Thayhaksu Jie Kok Po dari tahun Sun-hie," kata orang itu. "Ketika itu Kaisar Hauw Cong datang ke mari untuk minum arak, dia dapat melihat syair itu, dia puji tinggi, lalu hari itu juga ia memberikan pangkat kepada Jie Kok Po karena karyanya itu. Itulah untuk bagus dari seorang sastrawan. Maka kenapa jiwi bicara sembarangan saja?"

"Jadi kesokol ini pernah dilihat kaisar maka tuan rumah menutupinya?" tanya Oey Yong.

"Bukan itu saja!" kata orang itu, tetap tertawa dingin. "Coba lihat itu bagian kata-kata 'Besok datang kembali dengan sisa mabuk': Bukankah ada dua tanda hurufnya yang diubah?"

Oey Yong berdua Kwee Ceng mengawasi. Benar mereka mendapatkan dua huruf perubahan itu.

"Sebenarnya Jie Kok Po menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa arak,' tetapi kaisar cela itu, katanya pandangannya cupat, lalu ia mengubahnya yaitu huruf 'bawa' ditukar dengan huruf 'mendukung' dan huruf ' arak' ditukar dengan huruf 'mabok'. Sebenarnya Jie Kok Po menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa arak'. Kalau kaisar tidak pintar, mana dapat ia mengubah itu?" Habis berkata orang itu menggeleng kepala dan menghela napas.

"Ha, satu kaisar begitu gila arak!" seru Kwee Ceng dengan gusar, dan ia dupak terbalik kekosol itu, hingga rusak.

Sejak masih kecil Kwee Ceng telah mendengar keterangan ibunya perihal kekejaman bangsa Kim, ia menyangka hanya disebabkan kelemahan kerajaan Song, maka ia mengharap, sepindahnya ke Selatan, raja nanti bergiat memajukan negera, untuk menuntut balas, siapa tahu, raja gila pelesiran. Maka dalam gusarnya, ia hajar sekosol ini, terus ia jambak si sastrawan, untuk dijoroki, hingga ia roboh masuk ke jambangan arak. Kepala di bawah, kaki di atas!

"Bagus!" Oey Yong berseru. Ia sambar kedua kaki meja dan patahkan itu, lalu dengan sepasang kaki meja itu, ia menghajar kalang-kabutan.

Pemilik rumah makan dan tetamu lainnya, yang tidak tahu telah terjadi apa, lari keluar dengan ketakutan. Kwee Ceng lantas mengamuk seperti Oey Yong, akhirnya ia hajar sebuah tiang hingga tiang itu patah dan rumah makan itu ambruk. Setelah itu keduanya tertawa, sambil berpegangan tangan, mereka ngeloyor ke Utara. Tidak ada orang yang berani menyusul mereka.

"Puas juga sekarang!" kata Kwee Ceng di tengah jalan. Ia tertawa pula.

"Ya, apa yang kita lihat dan tak menyenangi, mari kita hajar!" Oey Yong membenarkan.

"Bagus begitu!"

Jalan lebih jauh di sepanjang jalan itu mereka nampak banyak syair, di batu, di pohon, di tembok. Melihat itu, Kwee Ceng menghela napas.

"Kalau begini, tak bisa kita menghajar semua," ia bilang. "Kau cerdik, Yong-jie, kau ada punya daya apa?"

"Aku lihat ada syairnya yang baik," sahut si nona.

"Ah, peduli apa!"

Selagi bicara, mereka tiba di puncak Hui Lay Hong. Di tengah itu ada paseban Cui Bie Teng tulisannya Jenderal Han See Tiong. Girang Kwee Ceng melihat itu, sebab Han See Tong ialah panglima tersohor yang menentang bangsa Kim. Ia bertindak masuk ke dalam paseban itu. Di dalam ada sebuah syair tulisan Han See Tiong.

"Bagus syair ini!" Kwee Ceng memuji.

"Sebenarnya itu adalah syair Bu Bok Ong Gak Hui," kata Oey Yong.

"Eh, mengapa kau ketahui itu?"

"Ayah pernah menuturkan itu padaku. Waktu tahun Ciauw-hin ke 11 di musim dingin, Gak Bu Bok difitnah dan dihukum mati oleh Cin Kwee, lalu di lain tahunnya di musim semi, Han See Tiong membangun paseban ini sebagai tanda peringatan dan ia menuliskan syairnya Bu Bok itu, yang terus diukir."

Kwee Ceng mengagumi panglima kenamaan itu, lama ia berdiri diam mengawasi syairnya, ia usap-¬usap. Sedang begitu, mendadak Oey Yong mendak seraya menarik ujung bajunya, hingga ia mesti mengikuti, masuk ke dalam gombolan pohon bunga. Di situ pundaknya di tekan, hingga ia berjongkok seperti si nona. Hampir bersamaan waktu, mereka mendengar tindakan kaki memasuki paseban itu.

"Han See Tiong itu memang seorang enghiong," berkata seseorang. "Tetapi istrinya pun gagah meski istri itu asal bunga raja. Bukankah ia telah turut maju di medan perang dan telah memukul tambur mengajurkan suaminya memperoleh kemenangan?"

Kwee Ceng mengenali suara itu tetapi tak ingat suara siapa itu.

"Gak Hui dan See Tiong memang enghiong tetapi mereka kalah dengan kaisar," kata seorang lain. "Bukankah kaisar menghendaki kematiannya dan semua kekuasaannya atas angkatan perang telah ditarik pulang? Mereka gagah tetapi mereka mesti menerima nasib. Demikian pengaruh kaisar, yang tak dapat ditentang!"

Sekarang Kwee Ceng ingat suaranya Yo Kang. Ia heran. Ia menduga-duga, mengapa pemuda ini berada di tempat ini. Justru itu terdengar satu suara lain, yang seperti cecer pecah, hingga ia bertambah heran dan kaget. Itulah suaranya See Tok Auwyang Hong si Bisa dari Barat. Kata Auwyang Hong:

"Benar! Asal kaisar gelap pikiran yang bertahta dan segala dorna memegang kekuasaan atas pemerintahan tak peduli satu enghiong terbesar, ia tak ada gunanya!"

"Maka kalau raja bijaksana," berkata orang yang pertama, "Pastilah orang-orang seperti Auwyang Sianseng bakal dapat memperlihatkan kegagahan dan kepandaiannya!"

Kwee Ceng mengenali suara orang ini, ialah Wanyen Lieh, putra keenam dari negara Kim atau musuh yang membunuh ayahnya. Tadi, dalam waktu pendek, ia tak segera mendapat ingat.

Mereka berdiam tidak lama di dalam paseban, habis bicara dan tertawa, mereka berlalu pula.

"Coba duga," kata Kwee Ceng pada Oey Yong setelah mereka itu pergi jauh, "Apa maksud mereka datang ke Lim-an ini? Dan adik Kang, kenapa ia ada bersama mereka?"

"Memang sudah lama aku melihat adikmu bukan orang baik-baik, kau tetap membilang ia turunan orang gagah," menyahut si nona. "Baru sekarang kau mengerti! Kalau ia benar orang baik, kenapa dia bergaul sama See Tok dan pangeran musuh itu?"

"Aku juga tidak mengerti," kata Kwee Ceng.

Oey Yong lantas menyebut hal yang ia dengar di ranggon Hoa Cui Kok di istana Chao Wang baru-baru ini. Ia menambahkan:

"Wanyen Lieh telah mengumpulkan Pheng Lian Houw dan kambrat-¬kambratnya, maksudnya untuk mencari surat wasiat Gak Bu Bok, maka mau aku menduga surat wasiat itu mesti berada di dalam kota Lim-an ini. Sungguh celaka rakyat Song kita apabila surat wasiat itu benar-benar terjatuh ke tangan mereka!"

Tergetar hatinya Kwee Ceng. Memang itulah hebat. "Yong-jie," katanya. "Kita mesti mencegah mereka berhasil mencuri surat wasiat itu!"

"Hanya sulitnya mereka itu bersama si Bisa dari Barat itu…"

"Apakah kau jeri?"

"Apakah kau sendiri tidak takut?"

"Memang aku takut terhadap See Tok, tetapi urusan ini begini besar, karenanya tak dapat kita main takut saja."

Oey Yong tertawa. "Kau tidak takut, aku juga tidak takut!" katanya.

"Bagus! Sekarang mari kita susul mereka!"

Mereka berlalu dari paseban itu, tetapi mereka tak dapat menyandak Wanyen Lieh bertiga, dan sia-sia saja mereka ubak-ubakan di dalam kota. Hangciu kota besar, dalam waktu yang singkat, kota itu tak dapat diputari seluruhnya. Maka itu setelah setengah harian dan sang sore mendatang, mereka pergi ke taman Bu Lim Wan di Tiong-wa-cu.

Oey Yong melihat sebuah toko yang menjual pelbagai macam topeng, yang lukisannya bagus dan hidup, ia menjadi ketarik hatinya. Ia ingat janjinya kepada Ciu Pek Thong, hendah membelikan sesuatu, maka ia masuk ke dalam toko itu, dengan mengeluarkan lima chie, ia membeli belasan topeng, seperti dari Ciong Hiok si raja setan, hakim neraka, toapekkong dapur, malaikat tani, serdadu langit dan hantu lainnya. Semua itu dibungkus jadi satu.

"Entah rumah makan apa itu?" kata Oey Yong. Ia mencium bau makanan lezat dari restoran di sebelah toko topeng itu.

"Rupanya jiwi bukan orang sini maka jiwi tidak ketahui," berkata pelayan toko tertawa. "Itu adalah restoran Sam Goan Lauw, yang kesohor nomor satu di kota kita. Jangan jiwi melewatkan kesempatan ini!"

Oey Yong ketarik hatinya, ia menyambut topengnya, lantas ia tarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi. Rumah makan itu dipajang indah, catnya pun bagus. Diatas lauwtengnya ada dipanjar banyak tengloleng. Di pekarangan dalam ada pohon-pohon bunga dan lainnya. Setibanya mereka di lauwteng, pelayan menyambut mereka dengan manis, menunjukkan tempat duduk. Kemudian, setelah dapat pesanan makanan, pelayan itu mengundurkan diri.

Dari terangnya api, Kwee Ceng melihat beberapa puluh bunga raja dengan pakaiannya yang mewah berkumpul di samping lorong. Ia heran. Ia hendak menanyakan pelayan atau mendadak ia tunda maksudnya itu, sebab kupingnya segera mendapat dengar satu suara dari balik tembok:

"Baik juga! Coba suruh mereka bernyanyi menemani kita minum arak!"

Itu suaranya Wanyen Lieh. Kwee Ceng dan Oey Yong saling merilik. Di dalam hatinya mereka kata: "Bagus!" Mereka telah mencari berputaran, tak tahunya orang ada disini.

Lalu terdengar suara memanggil dari pelayan, kemudian satu nona bunga raja menyahut lantas datang menghampiri. Dia bertindak elok dan tangannya memegang kecrek. Tidak lama kemudian, sudah terdengar suara bernyanyi yang merdu, nyanyian yang memuji sungai Cian-tong dan kotanya yang indah.

"Bagus!" demikian terdengar pujian Wanyen Lieh dan Yo Kang.

Habis itu terdengar ucapan terima kasih dari si tukang nyanyi, yang lantas mengundurkan diri dengan gembira, rupanya ia mendapat persenan besar.

"Anak," kemudian terdengar suara Wanyen Lieh. "Kau tahu tidak, syairnya Liu Eng itu ada hubungannya sama negara Kim yang besar?"

"Anak tidak tahu, coba ayah menjelaskannya," terdengar jawabannya Yo Kang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar