Kamis, 31 Desember 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 091

Ang Cit Kong bersama Ciu Pek Thong, Kwee Ceng dan Oey Yong berempat, dengan perahu kecilnya, berlayar ke daratan. Kwee Ceng duduk di belakang memegang kemudi. Oey Yong bicara tak habisnya menanyakan Ciu Pek Thong perihal pesiarnya di laut dengan ikan hiu. Agaknya ia sangat mengaguminya. Pek Thong pun gembira, hingga disaat itu ia ingin menangkap pula ikan hiu untuk pesiar bersama si nona. Kwee Ceng sementara itu mengawasi gurunya, air muka siapa beda daripada biasanya.

"Suhu, bagaimana kau merasa sekarang?" ia bertanya.

Cit Kong tidak menjawab, hanya napasnya memburu dan keras suaranya. Dia telah tertotok dengan ilmu totok Touw-kut Ta-hiat-hoat dari Auwyang Hong, walaupun dia sudah ditotok bebas, dia telah terluka dalam.

Ciu Pek Thong sedang gembira, ia tidak memperhatikan orang lagi menghadapi bahaya maut, tapi Oey Yong mengetahui keadaan gurunya, berulangkali ia mengedipi mata dan memberi tanda dengan tangannya agar si orang tua berandalan itu tak menerbitkan suara ribut yang mengganggu Pak Kay tapi si orang tua itu tetap saja ngoceh.

Oey Yong mengerutkan alis. "Kau hendak menangkap ikan hiu, tapi kau tidak punya umpannya, buat apa kau omong saja?" kata si nona akhirnya.

Loo Boan Tong tua tetapi seperti tak menghargai dirinya, ditegur orang muda, ia tidak mengambil peduli.

"Ada akalnya!" katanya selang sesaat, "Saudara Kwee, mari! Aku nanti tarik tanganmu, kau rendam separuh tubuhmu di dalam air!"

Kwee Ceng sangat menghormati kakak angkatnya, walaupun tidak tahu maksud orang, ia menurut. Tidak demikian dengan Oey Yong.

"Engko Ceng, jangan ladeni dia!" si nona mencegah. "Dia hendak pakai tubuhmu umpan guna memancing ikan hiu!" Nona ini dapat menerka maksud orang.

"Benar!" Pek Thong bersorak. "Begitu lekas ikan hiu itu datang, nanti aku sambar dia dan mengangkatnya ke atas. Kau boleh percaya, hiu itu tidak akan melukai kau!"

"Tapi perahu kita ini kecil, heranlah kalau perahu tak karam!" berkata Oey Yong.

"Karam itu lebih baik lagi!" berkata Loo Boan Tong. "Kita boleh sekalian turun ke laut untuk pelesiran!"

"Habis bagaimana dengan guru kami?" menanya si nona. "Apakah kau tidak menghendaki dia hidup terus?"

Pek Thong menggaruk-garuk kepalanya, tak dapat ia menjawab. Hanya kemudian ia persalahkan Auwyang Hong yang melukai Pak Kay.

"Jikalau kau masih ngoceh tidak karuan, kita bertiga tidak sudi bicara pula denganmu!" mengancam Oey Yong, yang agaknya habis sabar.

Pek Thong mengulur lidahnya, ia tidak berani mementang. Ia lantas menyambut pengayuh dari tangannya Kwee Ceng untuk mengayuh.

Daratan tak jauh nampaknya, tetapi untuk tiba di tepian, mereka mesti memakan waktu sampai langit mulai gelap. Karena itu, terpaksa mereka bermalam di pesisir. Besoknya pagi ternyata penyakit Ang Cit Kong bertambah berat. Kwee Ceng berduka dan sangat berkhawatir hingga ia menangis.

Pak Kay sebaliknya tertawa. "Walaupun aku hidup seratus tahun lagi, akhirnya toh aku mesti mati," katanya. "Anak yang baik, aku hanya mempunyai satu keinginan, kamu pergilah untuk mendapatkannya!"

Pek Thong memegat: "Si makhluk berbisa bangkotan itu, melihat cecongornya tidaklah senang aku, maka itu, kalau kau mati, kau matilah, kau legakan hatimu, nanti aku balaskan sakit hatimu, akan aku bunuh mampus!"

Ang Cit Kong tertawa pula. "Membalas sakit hati?" tanyanya. "Itu bukan keinginanku! Sebenarnya aku menghendaki dahar masakan Wanyoh Ngo-tin-kwee dari istana kaisar."

Tadinya tiga kawan itu menyangka pesan terakhir itu adalah urusan yang sangat besar, tidak tahunya urusan gegares, maka legalah hati mereka.

"Itu gampang suhu," Oey Yong lantas berkata, "Dari sini tak terpisah jauh dengan kota Lim-an, nanti aku pergi ke istana kaisar untuk mencuri beberapa mangkok masakan untuk kau dahar sepuasnya."

"Aku juga ingin dahar!" Pek Thong menyelak.

Oey Yong mendelik pada "Bocah" bangkotan itu. "Tahu apa kau tentang makanan lezat atau tidak?!" tegurnya.

"Wanyoh Ngo-tin-kwee itu, sekalipun di dalam istana tak gampang dibikinnya," Ang Cit Kong mengasih tahu. "Ketika dulu aku bersembunyi selama tiga bulan di dapur istana, cuma satu kali aku pernah merasainya. Lezatnya masakan itu, kapan aku ingat, membikin aku mengeluarkan ilar…"

"Kalau begitu, aku ada punya satu pikiran," Pek Thong turut bicara. "Kita pergi mencuri koki raja, kita suruh dia masak untuk kita."

"Pikiran Loo Boan Tong ini tak buruk," Oey Yong bilang.

Bukan main girangnya Pek Thong dipuji si nona. Sebaliknya Ang Cit Kong menggeleng kepala.

"Tak dapat itu dilakukan," kata Pengemis dari Utara. "Barang hidangan itu, segalanya mesti istimewa, sampai baranya, mangkoknya juga, kalau tidak, rasanya tidak lezat, salah sedikit pun tidak boleh. Paling benar kita pergi sendiri ke istana untuk memakannya."

Tiga orang itu tak takut pergi ke istana. "Itu memang paling bagus!" kata mereka bareng. "Nah, mari kita berangkat sekarang!"

Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, dibawa ke desa yang berdekatan. Di situ mereka minta nasi dan arak, untuk menangsal perut. Mereka hendak membayar uang makanan ketika mereka mendapat kenyataan kantung mereka kosong.

Orang yang mempunyai rumah itu seorang nyonya, dia baik budi, bukan saja tidak menghendaki uang, bahkan ia mengantarkannya ke kota.




Cit Kong berempat menghanturkan terima kasih, lantas mereka pamitan. Ketika melewati sebuah rumah gadai, mendadak Pek Thong gusar dan berseru:

"Ini dia usaha membunuh orang tanpa melihat darah!" Lantas ia hendak menyerbu untuk merampas uang dari pengadaian itu.

"Buat apa terburu nafsu?" Oey Yong mencegah. Ia loloskan gelang rambutnya, ia masuk ke dalam rumah gadai itu, untuk menggadaikan itu sebesar empatbelas tail perak, kemudian mereka mencari hotel dimana mereka beristirahat. Sehabis bersantap, Kwee Ceng bertiga tidak melihat Oey Yong ada bersama.

Berkata Pek Thong kepada adik angkatnya: "Istrimu itu lihay, kalau aku Loo Boan Tong melihatnya, aku takut sekali!"

Kwee Ceng tersenyum. Tidak lama terlihat Oey Yong muncul dari luar dengan wajahnya berseri-seri.

"Kenapa kau takut padaku?" tanyanya pada si tua berandalan.

Pek Thong mengawasi, ia melihat rambut orang ada gelang emasnya. "Eh, kenapa kau lantas menebusnya kembali?" ia tanya heran. "Kalau begitu, kita mesti mencari daya untuk membayar uang sewaan kamar dan makanan kita ini…"

Oey Yong tidak segera menjawab, hanya dari sakunya ia tarik keluar empat kantung uang.

"Untuk apa mesti ditebus?" katanya tertawa. "Rumah gadai itu akulah yang usahakan, maka berapa banyak aku menghendaki, berapa banyak aku boleh ambil!"

Pek Thong kagum bukan main orang dapat pergi dan pulang dengan cepat untuk mengambil balik gelangnya berikut uang, maka ia memberikan pujian. Katanya:

"Ini nona kecil benar-benar dapat mewariskan kepandaian keluarganya, dia pandai sekali!"

"Jikalau aku dibandingkan sama Biauw Ciu Sie-seng yang menjadi guru nomor dua dari engko Ceng, kepandaianku ini sungguh tidak berharga setengah peserpun!" kata si nona tertawa.

"Oh, ada orang yang demikian lihay?" kata Pek Thong. "Aku ingin bertemu dengannya!"

Sementara itu terlihat sakitnya Ang Cit Kong bertambah berat sedang di kota itu tidak ada tabib terkenal, maka Kwee Ceng bertiga menyewa sebuah kereta keledai untuk Pak Kay, dengan itu mereka berangkat menuju ke utara, ke kota Lim-an.

Pada suatu hari tibalah mereka di sungai Cian Tong, darimana mereka pergi ke luar kota Lim-an. Mereka tidak keburu masuk ke dalam kota karena cuaca mulai gelap, burung-burung gowak tengah terbang pulang. Karena itu mereka memikir mencari rumah penduduk, buat menumpang bermalam. Mereka melihat tidak jauh dari situ ada aliran air yang mengitari tujuh atau delapan rumah.

"Kampung itu bagus, mari kita singgah di sana?" Oey Yong mengajak.

"Bagus apa?" tanya Pek Thong, matanya mencilak.

"Kau lihat, bukankah pemandangannya indah bagaikan gambar?" si nona bilang.

"Kalau indah bagaikan gambar, habis bagaimana?" tanya Loo Boan Tong.

Si nona heran, hingga ia melengak. "Jikalau kau bilang jelek, kita jangan singgah di sini," katanya kemudian. "Tapi kita tidak dapat pergi ke lain tempat…"

"Kalau kamu tidak pergi perlu apa aku pergi sendiri?" berkata si orang tua yang lagi kumat berandalannya.

Sementara itu mereka sudah tiba di kampung itu. Nyata itulah sebuah kampung rudin, sebab di sana sini telihat tembok-tembok runtuh. Di muka kampung sebelah timur terlihat sebuah warung arak, maka mereka menuju ke sana. Di bawah payon ada dua buah meja papan, mejanya tebal debunya.

"Hallo!" Pek Thong lantas memanggil.

Dari dalam muncul seorang nona umur tujuh - atau delapanbelas tahun, rambutnya awut-awutan tetapi rambut itu ditancap sebatang tusuk konde. Dia mementang matanya lebar-lebar mengawasi ketiga orang itu.

"Kasihkan aku nasi dan arak," Oey Yong minta.

Si nona menggeleng kepalanya.

"Kau tidak punya arak dan nasi, habis untuk apa kau membuka rumah makan?" menegur Pek Thong.

"Aku tidak tahu," sahut si nona, yang kembali menggoyang kepalanya. "Ah, kau benar-benar nona tolol!" kata Pek Thong.

Si nona tertawa. "Memang aku si Sa Kouw!" sahut nona itu.

"Sa Kouw" berarti "nona tolol"! Mendengar jawaban itu Oey Yong bertiga girang. Oey Yong terus masuk ke dalam menuju dapur untuk melihat-lihat. Ia mendapatkan banyak galagasi. Nasi tinggal nasi dingin. Di atas pembaringan, tikarnya pun tikar butut. Itulah tanda kemelaratan, maka ia terharu.

"Apakah kau sendirian saja di sini?" ia menanya si nona rumah. Sa Kouw mengangguk sambil tersenyum.

"Ibumu?" Oey Yong tanya pula.

"Sudah mati," sahut si nona. Ia mengusap matanya, seperti mau menangis.

"Ayahmu?" Nona itu menggeleng kepala tanda tak tahu. Oey Yong melihat tangan dan muka orang kotor, seperti sudah beberapa bulan tidak pernah ketemu air, maka di dalam hatinya ia berkata: "Taruh kata dia masak nasi, tentu aku tak dapat mendaharnya…." Tapi ia toh menanya:

"Ada beras?"

Nona itu mengangguk, kembali ia tersenyum. Ia pergi mengeluarkan paso besar, yang isinya separuh. Oey Yong lantas turun tangan sendiri, mencuci beras dan memasaknya.

Kwee Ceng lantas pergi ke kampung sebelah barat dimana ia membeli dua ekor ikan serta seekor ayam, terus bersama Oey Yong ia kerjakan itu. Waktu nasi dan barang makanan matang dan disajikan, sang malampun tiba.

Oey Yong minta minyak, untuk memasang lampu, tapi Sa Kouw menggeleng kepala. Terpaksa nona Oey mencari sebatang cemara, ia sulut itu. Ia pergi ke dapur, mencari mangkok dan sumpit. Ketika ia membuka lemari, ia mencium bau busuk. Ia menyuluhi, maka terlihatlah tujuh atau delapan mangkok hijau yang sudah sombeng di sana sini. Di sininya ada belasan bangkai cecurut….

Kwee Ceng membantu mengambil mangkok.

"Pergi kau cuci bersih sekalian ambil beberapa batang cabang pohon untuk dipakai sebagai sumpit," berkata Oey Yong.

Si anak muda menurut, ia berlalu dengan mangkok kotornya. Oey Yong menjumput mangkok yang terakhir ketika ia merasakan mangkok itu dingin seperti es, beda dari mangkok biasa. Ia mengangkatnya, tapi mangkok itu diam di tempatnya seperti terpaku. Ia menjadi heran. Ia tidak berani memaksa mengambil, khawatir mangkok itu pecah. Ia hanya mencoba lagi tetapi kembali gagal.

"Mustahilkah karena dibiarkan lama di sini, mangkok ini penuh debu dan jadi nempel lengket karenanya?" ia berpikir. Maka itu ia mengawasi terus, sampai ia lihat mangkok itu karatan, sebab mangkok itu ternyata terbuat dari besi. Dengan sendirinya nona itu tertawa geli.

"Mangkok emas, mangkok perak, mangkok kumala, semuanya aku pernah lihat," katanya di dalam hati. "Tetapi belum pernah aku dengar ada mangkok besi."

Ia mencoba menarik dengan menggunakan sedikit tenaga, tetap mangkok itu tak bergeming. Ia heran bukan main. Mestinya mangkok itu dapat terangkat berikut papannya. Maka ia menduga papannyapun besi. Ia lantas menyentil. Ia mendengar suara nyaring. Benarlah dugaannya.

Oey Yong pegang mangkok itu, ia memutar ke kiri. Mangkok diam saja. Ia mencoba memutar ke kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar terus. Tiba-¬tiba mendengar suara keras, sebagian tembok memutar ke kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar terus. Tiba-tiba ia mendengar suara keras, sebagian tembok dapur terbelah dua, memperlihatkan lobang yang gelap. Dari situ lantas menghembus bau busuk, sampai si nona mau muntah, lekas-lekas ia lompat ke samping.

Kwee Ceng bersama Ciu Pek Thong mendengar suara si nona, mereka lantas datang melihat.

"Jangan-jangan ini rumah makan gelap," berkata Oey Yong, yang menjadi curiga. "Mungkin Sa Kouw berpura-pura tolol." Tiba-tiba ia berlompat ke samping nona tolol itu, yang berada di ruang dapur, kedua tangannya diulur untuk menangkap lengan orang.

Ruang itu gelap tetapi Sa Kouw mendengar suara angin, ia menarik tangannya dengan jurus "Melepas jubah menyerahkan kedudukan," setelah bebas, ia membalas menyerang, ke arah pundak orang.

Oey Yong menduga mungkin tidak bermaksud jahat hanya ia tidak menyangka nona itu demikian gesit dan serangannya pun ganas, ia menjadi kaget. Dengan tangan kiri ia menangkis, terus membangkol dengan tangan kanan ia menyerang dua kali beruntun. Setelah menyakinkan Ie-kin Toan-kut-pian, ia menjadi sebat sekali dan tenaganya bertambah, maka Sa Kouw lantas saja menjerit kesakitan karena lengannya kena terpukul, meski begitu, ia melawan terus.

Sungguh Oey Yong tidak menyangka, di dusun sepi itu ada rumah makan gelap, bahkan pelayannya seorang nona jorok, bahkan dia cukup gagah karena dia dapat bertahan sampai tujuh atau delapan jurus.

Kwee Ceng dan Pek Thong turut menjadi heran. Kemudian Pek Thong dengar suara anginnya Oey Yong berubah hebat, lantas ia berteriak:

"Eh, nona Oey, jangan kau ambil jiwanya!"

Selagi begitu, Kwee Ceng berjaga-jaga di sisinya Ang Cit Kong, ia khawatir ada penghuni jahat lainnya, yang bisa membokong gurunya. Beberapa jurus lagi, Oey Yong menghajar lengan orang hingga lengan itu dikasih turun, tak dapat digerakkan lagi. Kalau mau, ia dapat membinasakan, tetapi ia merasa kasihan.

"Berlutut!" ia menitah. "Akan aku beri ampun dirimu!"

"Aku tidak sudi!" menjawab nona itu, yang mendadak menyerang pula dengan tangan kanannya, bahkan jurusnya ada jurus "Lok Eng Ciang-hoat" ajarannya Oey Yok Su.

Oey Yong kaget dan heran. Sambil menangkis, ia menanya: "Darimana kau pelajari jurus Lok Eng Ciang-hoat? Siapakah gurumu?"

Nona tolol itu tertawa. "Aku tidak suka menjawab. Habis kau mau apa?" ia menantang.

Melihat suara orang tak lagi seperti orang tolol, Oey Yong mengulang serangannya, kedua tangannya bergerak saling susul dua kali, kemudian disusul serangan yang kelima, untuk menggertak, sebab berbareng dengan itu, kakinya bekerja.

"Bruk!" demikian Sa Kouw roboh terguling.

"Ah, kau memakai akal!" serunya. "Mari kita bertempur pula!" Ia terus merayap bangun.

Oey Yong tidak sudi memberi kesempatan, ia menubruk dan menindih, lalu merobek baju orang untuk dipakai mengikat tangannya.

"Bukankah Lok Eng Ciang-hoatku lebih baik daripada kepunyaanmu?" ia bilang.

"Kau menggunakan akal, aku tidak terima!" nona itu membelar. Dan ia mengulanginya perkataan itu.

Melihat si tolol sudah kena dibikin tidak berdaya, Kwee Ceng lari keluar, terus melompat naik ke atas wuwungan, mengawasi sekelilingnya. Ia tidak melihat apapun. Tapi ia turun ke bawah, ia jalan mengitari rumah makan itu. Rumah itu mencil dan pintunya pun cuma satu. Dengan merasa lega, ia masuk pula ke dalam.

Oey Yong tengah mengancam Sa Kouw dengan pisaunya diarahkan ke mata orang. "Siapa yang mengajari kau ilmu silat?" demikian tanyanya. "Lekas bilang! Kalau kau tidak suka bicara, nanti aku tikam mampus!"

Sa Kouw tidak menjadi takut, bahkan ia tertawa haha-hihi. Dia seperti tidak kenal bahaya, dia rupanya menyangka nona tetamunya tengah main-main dengannya. Oey Yong penasaran, ia ulangi pertanyaannya.

"Aku tidak mempunyai guru," sahut si tolol akhirnya. "Siapa yang membilang ada orang yang mengajar aku?"

"Budak ini tidak suka bicara, mari kita masuk ke dalam lobang ini untuk memeriksa," berkata Oey Yong kemudian. "Ciu Toako, tolong lindungi guruku serta menjaga budak ini. Engko Ceng, mari kau bersamaku…"

"Tidak, tidak!" Pek Thong menggoyangkan tangannya. "Aku pergi bersama kau!"

Si nona mengerutkan keningnya. "Tidak, aku tidak mau pergi bersama kau!" ia menolak.

Pek Thong lihay, usianya pun tinggi, entah kenapa, terhadap si nona tak berani membantah, bahkan sebaliknya, ia lantas memohon.

"Nona yang baik, lain kali aku tidak berani pula…" katanya.

Oey Yong lantas saja tertawa melihat kejenakan orang tua. Ia mengangguk. Pek Thong jadi sangat girang, lekas ia mencari dua cabang cemara, untuk disulut menyala, untuk dipakai ia menyuluhi ke dalam gua, yang ia asapkan sekian lama.

Oey Yong sendiri malah melemparkan sebatang cemara yang apinya menyala ke dalam lobang itu, setelah itu ia mendengar suara bentroknya batang itu dengan dinding. Maka teranglah tempat rahasia itu tidak dalam.

Dengan memimjam penerangan obor kayu cemara, orang memandang ke dalam gua. Tidak ada bayangan orang di dalam situ, tidak ada suara apa-apa. Maka tanpa bersangsi lagi, Ciu Pek Thong lantas bertindak masuk. Dia disusul oleh Oey Yong. Setelah memperhatikan beberapa saat, nyata gua itu ada sebuah kamar kecil.

"Kita terjebak, kita terjebak!" Pek Thong berseru-seru. "Tak bagus!"

Oey Yong sebaliknya mengeluarkan suara kaget. Dia melihat ke bawah dan nampak tulang belulang seorang manusia, yang rebah celentang. Pakaiannya sudah rusak, hingga tak dapat dikenali, semasa hidupnya dia orang macam apa. Di pojok timur pun ada tulang-belulang serupa, terletak di atas sebuah peti besi. Sebatang golok tajam panjang satu kaki tengah menancap di punggung tutup peti besi itu.

Pek Thong mendapatkan ruang kecil kotor dan seram dengan adanya tulang-belulang itu, tidak ada apa-apa yang luar biasa, tetapi karena Oey Yong masih memperhatikan segalanya, ia berlaku sabar untuk menemani, hanya kemudian, ia tak dapat menahan sabar pula.

"Nona yang baik," katanya, "Hendak aku pergi keluar, bolehkah?"

"Baiklah," menjawab si nona. "Pergi kau menggantikan engko Ceng, supaya ia datang ke mari."

Pek Thong girang bukan main, ia keluar seperti burung terbang, dilain saat Kwee Ceng datang masuk. Oey Yong mengangkat obor kayu cemaranya, untuk menyuluhi, supaya Kwee Ceng dapat melihat segalanya terutama tulang-belulang manusia, kemudian ia menanya bagaimana atau apa yang menyebabkan kematian dua orang itu.

"Dia ini tentu lagi hendak membuka besi itu, lantas ada orang yang membokong dari belakang," kata Kwee Ceng seraya menunjuk tulang-tulang di atas peti besi. "Yang di tanah itu, karena tulang-tulangnya pada patah, mesti diserang dengan tangan kosong."

"Aku juga menduga demikian, hanya masalahnya hal-hal disini membuat aku tidak mengerti," menyatakan si nona.

"Apa yang kau maksudkan?"

"Umpama Sa Kouw," sahut si nona. "Dia mengerti ilmu silat Lok Eng Ciang-hoat, benar ia menyakininya belum sempurna tetapi itu adalah pelajaran sejati. Darimana ia dapatkan itu? Dua orang ini mati disini, ada hubungan apakah di antara mereka dan Sa Kouw? Sebelum diketahui jelas semua ini, tak tentram hatiku…"

"Baiklah kita tanya pula nona itu," Kwee Ceng mengusulkan. Ia tidak mau menyebut nona itu nona tolol, karena ia sendiri sering dikatakan tolol.

"Menurut penglihatanku, dia memang benar-benar tolol," kata Oey Yong. "Dia tidak suka bicara, percuma kita menanya padanya. Mari kita memeriksa lagi dengan seksama, barangkali saja kita mendapat sesuatu."

Maka ia angkat obornya, menyuluhi dua perangkat tulang-belulang manusia itu. Ketika ia menyuluhi ke peti besi, di kaki itu ada suatu benda yang bergemerlap. Ia lantas jumput, sebuah pay emas dan di tengahnya ditabur dengan sebutir batu permata sebesar jempot tangan. Ia membalik pay itu, menampak sebaris ukiran huruf-huruf, bunyinya: "Cio Gan Keng, panglima kota Tiongciu, gelar Bu Kong Tayhu".

"Pay ini kepunyaan ini setan mati, pangkatnya bukan kecil," kata si nona.

"Seorang berpangkat tinggi terbinasa di sini, sungguh aneh," Kwee Ceng mengutarakan keherannnya.

Oey Yong memeriksa pula tulang-tulang di tanah, ia tidak dapatkan apa-apa, hanya tulang punggung itu rada munjul, maka ia mengoreknya dengan ujung cabang cemara, waktu debunya sudah berkisar, di bawah itu ada selembar besi. Ia kaget hingga berseru, cepat sekali ia sambar besi lempengan itu. Kwee Ceng pun berseru saking heran kapan ia telah melihat benda itu.

"Kau kenal ini?" Oey Yong tanya.

"Ya. Ini patkwa besi kepunyaan Liok Chungcu di Kwie-in-chung."

"Tapi belum tentu kepunyaan Liok Suheng sendiri."

"Mungkin. Melihat rusaknya pakaian, mayat ini mestinya sudah berada di sini sepuluh tahun."

Oey Yong berdiam akan tetapi otaknya bekerja. Habis itu ia sambar golok di atas peti besi itu, ia bawa ke depan matanya, melihat dengan teliti. Ia mendapatkan ukiran sebuah huruf "Kiok". Atas itu dengan kaget ia berseru: "Yang rebah di tanah ini adalah kakak seperguruanku!"

Kembali Kwee Ceng memperdengarkan suara heran.

"Menurut Liok Suheng, Kiok Suheng masih hidup, siapa tahu dia telah terbinasa di sini," berkata Oey Yong kemudian. "Engko Ceng, coba kau lihat ini tulang kakinya."

Kwee Ceng berdongko. "Kedua tulang pahanya patah," ia berkata. "Ah, ia telah dihajar patah oleh ayahmu…"

Si nona mengangguk. "Kakak seperguruan ini bernama Liok Leng Hong," ia memberi keterangan. "Pernah ayah menerangkan, di antara enam muridnya, Kiok Suheng ini paling pandai dan ia pun paling disayang…"

Belum habis ia berkata, Oey Yong sudah lompat untuk lari ke luar dari ruang rahasia itu. Kwee Ceng, yang merasa heran lari mengikuti. Oey Yong lari kepada Sa Kouw.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar