Rabu, 23 Desember 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 087

Atas pertanyaan Auwyang Hong tidak ada jawaban. Di atas pohon sepi saja. Maka See Tok lantas mengawasi ke atas, kupingnya pun dipasang. Tiba-tiba ia mendengar suara desiran angin dari gunung belakang, suara angin dari orang yang tengah bertempur. Ia menjadi heran, lekas-lekas ia lari untuk melihat. begitu lekas ia menampaknya, ia menjadi kaget. Di sana Ang Cit Kong lagi bertempur sama Kwee Ceng, hebat gerakan tangan dan kaki keduanya.

Oey Yong pun menyaksikan, ia juga heran bukan main. Ia hanya heran bercampur girang. Rupanya tenaga gurunya sudah pulih kembali, maka ia bisa bersilat dan dapat berlatih kembali dengan Kwee Ceng.

"Anak Ceng, hati-hatilah kau dengan jurus ini!" terdengar pemberian ingat dari Pak Kay ketika ia hendak menyerang. Ia terus saja menolak.

Kwee Ceng menggerakkan tangannya menangkis, hanya belum lagi tangan mereka beradu, ia sudah mencelat mundur seperti yang tertolak dengan keras, bahkan tubuhnya membentur sebuah pohon di belakangnya.

"Bruk!" demikian satu suara keras. Pohon itu roboh dan tubuh si anak muda terpelanting.

Pohon itu tidak terlalu besar, kira-kira sebesar mulut mangkok, tetapi toh heran telah roboh terbentur tubuh Kwee Ceng. Menyaksikan itu, Auwyang Hong berdiri tercengang, mulutnya menganga.

"Suhu!" Oey Yong berteriak. "Pukulan lihay dari Pek¬kong-ciang!"

Ang Cit Kong tidak menjawab muridnya, hanya ia serukan Kwee Ceng: "Anak Ceng, luruskan napasmu, menjaga kau tidak sampai terluka dalam!"

"Teecu tahu, suhu!" menyahut Kwee Ceng, yang sementara itu sudah maju pula, untuk melanjutkan pertempuran. Hanya beberapa jurus, kembali ia terpelanting mundur, bahkan kembali membentur pohon hingga pohon itu roboh seperti yang semula tadi.

Auwyang Hong terus berdiri diam. Ia mengawasi latihannya guru dan murid itu. Hebatnya saban-saban Kwee Ceng kena dihajar mental mundur, saban mental dia membentur pohon, pohonnya roboh seketika. Dari itu, cepat sekali, sepuluh pohon sudah rebah di tanah.

Oey Yong menghitung. "Sepuluh pohon!" dia berseru.

Kwee Ceng bernapas sengal-sengal, agaknya ia letih sekali. "Teecu tidak kuat berlatih lebih lama lagi…" katanya susah.

Ang Cit Kong tertawa, ia berkata: "Ilmu silat Kiu Im Cin¬keng ini benar-benar luar biasa! Aku tengah terluka parah tetapi pagi ini, sekali saja berlatih, aku berhasil!"

Auwyang Hong heran dan curiga, maka ia dekati pohon-pohon yang roboh itu, untuk memeriksa. Ia mendapatkan, bagian yang patah itu meninggalkan bekas yang licin seperti bekas dipotong atau digergaji.

"Benarkah kitab ini begini lihay?" ia berpikir. "Kelihatannya si pengemis bangkotan ini menjadi lebih lihay daripada yang sudah-sudah…. Kalau mereka bergabung menjadi satu, mana sanggup aku melawan mereka? Tidak boleh ayal lagi, aku pun mesti lekas berlatih!"

Ia melirik kepada tiga orang itu, terus ia memutar tubuhnya untuk lari ke gua. Setibanya, ia keluarkan bungkusan dimana terisi naskah kitab Kiu Im Cin-keng, yang ditulis Kwee Ceng, ia buka untuk dibaca, untuk memahaminya, untuk nanti melatih diri.

Cit Kong dan Kwee Ceng menanti sampai See Tok lenyap dari pandangan mata mereka, lantas tertawa terbahak-bahak.

Oey Yong menghampirkan mereka. "Suhu, ini hebat!" pujinya. "Luar biasa isi kitab itu!"

Cit Kong tengah tertawa tak sempat ia menyahuti muridnya. "Kami sedang bersandiwara!" Kwee Ceng memberitahu.

Si nona heran, ia mengawasi. Si pemuda tidak menanti lama untuk membeberkan rahasianya. Mereka berlatih kosong, sedang semua pohon itu, lebih dulu sudah dipotong, ditinggalkan sedikit bagian tengahnya agar tidak roboh, maka dengan ditabrak Kwee Ceng, robohlah semua dengan segera. Kwee Ceng pun terpental bukan karena serangan, hanya berbareng diserang, ia mencelat mundur seperti terpelanting, sengaja ia membentur setiap pohon itu. Auwyang Hong tidak tahu rahasianya itu, tentu ia kena diakali.

Mendengar itu, kalau tadinya ia tertawa, Oey Yong menjadi berdiam, sepasang alisnya pun dikerutkan.

Ang Cit Kong tertawa, ia berkata: "Aku si tua bangka bisa menggerakkan pula tangan dan kakiku, untuk berjalan, ini pun sudah membuatku beruntung. Sekarang ini aku tidak memikirkan ilmu silat yang tulen atau yang palsu! Yong-jie, adakah kau berkhawatir kemudian See Tok bakal mengetahui rahasia kita ini?" Oey Yong mengangguk. Jitu terkaan gurunya itu. "See Tok sangat bermata tajam dan cerdas, memang tak selayaknya dia dapat diakali. Tapi, segalanya sukar diduga-duga, maka sekarang ini tak usahlah kita berkhawatir. Aku sekarang ingat Kwee Ceng, di situ ada bahagian pelajaran ' menukar urat menguatkan tulang' itulah luar biasa, aku pikir, selagi kita luang tempo, baik kita sama-sama meyakinkannya."

Sabar bicaranya sang guru, tetapi Oey Yong menginsyafi artinya. "Baik, suhu," katanya. "Mari kita mulai!"

Cit Kong menitahkan Kwee Ceng membaca di luar kepala hingga dua kali bagian itu yang berfasal "Ie Kin Toan Kut Pian", lalu ia memberikan penjelasan, terus ia suruh kedua muridnya berlatih, sesudah itu, ia pergi untuk memancing ikan, kemudian menyalakan api dan mematangai ikannya. Ia melarang kedua muridnya membantu, ia mewajibkan kedua muridnya berlatih terus.

Dengan lekas tujuh hari sudah berlalu, Oey Yong dan Kwee Ceng telah memperoleh kemajuan. Berbareng dengan mereka, Auwyang Hong pun berbuat keras dengan kitab Kiu Im Cin-keng yang palsu buatan Kwee Ceng. Hari kedelapan, sambil tertawa Ang Cit Kong menanya Oey Yong,

"Yong-jie, bagaimana rasanya daging kambing panggangan gurumu?" Oey Yong tertawa sambil mainkan mulutnya, menggeleng-geleng kepala. "Ya, aku juga memakannya tak turun…" Cit Kong berkata pula, tetapi sambil tertawa. Kemudian ia menambahkan: "Pelajaranmu babak pertama sudah selesai, sekarang kamu mesti beristirahat, jikalau tidak, pernapasanmu bisa tertutup dan akan merusak kesehatanmu. Sekarang begini: Yong-jie, pergi kau memasak, aku bersama Ceng-jie akan pergi membikin getek."

"Membikin getek?" tanya Kwee Ceng dan Oey Yong berbareng.

"Memang!" menjawab sang guru."Apakah kamu pikir kita dapat berdiam terus di pulau kosong ini sambil menemani si bisa bangkotan itu? Tidak!"

Kedua muda-mudi itu menjadi sangat girang. "Bagus!" seru mereka.

Kedua pihak lantas berpisahan. Kwee Ceng pergi ke tumpukan pohon yang seratus buah itu. Dadungnya pun sudah tersedia, bekas menolongi Auwyang Kongcu. Ia lantas bekerja mengikat batang-batang pohon itu. Ketika ia menarik dadung, tiba-tiba dadung itu terputus. Ia mengulangi lagi, dadung putus lagi. Ia menjadi heran. Ia merasa tidak menggunakan tenaga terlalu besar. Mungkinkah dadungnya yang tak kuat? Saking heran, ia menjadi berdiam saja.

Sementara itu Oey Yong mendatangi sambil berlari¬-lari, tangannya membawa seekor kambing. Si noa pergi berburu, ia bertemu sama kambing itu. Ia menyediakan beberapa butir batu, dipakai menimpuk batok kepala kambing. Ketika ia berlari untuk mengubar, rasanya baru beberapa tindak, tahu-¬tahu ia telah datang dekat sang kambing, maka batal menimpuk, ia berlompat menyambar. Hanya dengan sekali saja ia dapat mencekuknya. Inilah diluar dugaannya, maka ia girang berbareng heran dan segera lari pulang untuk memberitahukan pengalamannya itu.




Mendengar itu, Ang Cit Kong tertawa. "Jikalau begitu adanya, terang sudah Kiu Im Cin-keng bukannya untuk main-main saja," bilangnya. "Pula tidaklah penasaran itu beberapa orang kosen yang telah berkorban jiwa untuk kitab ini…"

"Suhu," menanya Oey Yong girang, "Apakah sekarang kita bisa menghajar si tua bangka berbisa itu?"

"Masih jauh, anak," menyahut Cit Kong menggoyang kepala. "Kau masih memerlukan tempo peryakinan tiga sampai lima tahun lagi. Kau harus ketahui hebatnya Kuntauw Kodok dari si bangkotan itu. Kecuali It-yang-cie dari Ong Tiong Yang, tidak ada lain ilmu yang dapat memecahkannya…"

Si nona membikin monyong mulutnya. "Kalau begitu percuma kita belajar lagi lima tahun, kita toh tak dapat mengalahkan dia!" katanya mendelu.

"Tentang itu tak dapat dikatakan pasti," Cit Kong membilang. "ada kemungkinan yang isinya kitab jauh terlebih lihay daripada dugaanku."

"Sudah, Yong-jie, jangan kau terburu nafsu," Kwee Ceng campur bicara. "Tidak ada salahnya jikalau kita meyakinkan terus."

Tujuh hari lagi telah lewat, sekarang kedua murid itu sudah selesai dengan babak yang kedua. Pula telah selesai pembuatan geteknya Kwee Ceng. Untuk mendapatkan layar, mereka membuat bahannya dari babakan pohon. Bahkan air minum serta lainnya makanan sudah disiapkan juga.

Selama itu Auwyang Hong mengawasi saja orang bekerja dan bersiap-siap. Ia tidak membilang apapun, malah mengawasinya pun secara acuh tak acuh, membiarkan orang repot bekerja.

Datanglah sang malam dengan segala persiapannya yang sudah sempurnya. Tinggal menanti besok pagi, Cit Kong bertiga bakal pergi berlayar. Selagi hendak tidur, Oey Yong tanya, apa besok perlu mereka pamitan dari Auwyang Hong.

"Bahkan kita harus membuat perjanjian akan bertemu lagi dengannya sepuluh tahun kemudian," menjawab Kwee Ceng. "Kita telah diperhina begini rupa, mana bisa kita berdiam saja?"

"Benar!" si nona bertepuk tangan. "Aku mohon kepada Thian supaya dua jahanam itu dipayungi hingga dapat mereka kembali ke Tionggoan! Semoga si tua bangka berbisa diberi umur panjang lagi sepuluh tahun!"

Besok paginya, Ang Cit Kong yang bangun paling dulu. Ia berkuping terang, lantas saja mendengar suara di tepi laut. Ia bangun untuk berduduk, ia memasang kuping pula. Itu suara air.

"Ceng-jie, dengar!" ia memanggil Kwee Ceng. "Suara apa itu di tepian?"

Kwee Ceng sadar, segera ia melompat turun dari pohon, terus lari ke tempat yang tinggi, dari sana ia memandang ke laut, apa yang ia saksikan membuatnya mengutuk dan mencaci kalang kabutan, lalu ia berlari-lari ke arah tepian.

Oey Yong pun turut mendusin dan berlari-lari. "Ada apa engko Ceng?" tanyanya sambil lari menyusul.

"Kedua jahanam itu telah pakai getek kita!" sahut Kwee Ceng sengit sekali.

Oey Yong kaget sekali. Lekas mereka tiba di tepian, Auwyang Hong sudah memondong keponakannya naik getek, yang terus saja ditolak, hingga sekejap kemudian getek itu sudah terpisah beberapa tombak dari daratan… Saking murkanya Kwee Ceng hendak melompat ke air, untuk berenang mengejar.

Oey Yong tarik tubuh orang. "Tak dapat mereka disusul!" berkata si nona, mencegah.

Segera terdengar tertawa lebar dari Auwyang Hong. "Terima kasih untuk persiapan kamu dari getek ini!" katanya mengejek.

Kwee Ceng berjingkrakan, ia melampiaskan kemendongkolannya dengan mendupak sebuah pohon di sampingnya. Ketika pohon itu bergoyang karena dupakan, tiba-tiba Oey Yong ingat sesuatu.

"Ada jalan!" serunya. Ia pun sudah lantas menjumput sebuah batu besar. Ia bawa itu ke pohon, untuk diselipkan di batangnya. Ia kata pula, "Kau tarik pohon ini, kita menjepret menembak padanya!"

Kwee Ceng girang. Ia hampiri pohon, menjambret batangnya bagian atas ia menariknya hingga melengkung, sesudah itu ia melepaskannya, maka pohon itu mejepret balik, membuat batu besar itu terlempar, tepat ke arah getek. Hanya jatuhnya di samping, airnya muncrat, suaranya berdeburan hebat.

"Sayang!" Oey Yong mengeluh. Tapi lekas-lekas ia "mengisikan" pula meriamnya yang istimewa itu.

Serangan yang kedua ini mengenai tepat kepada getek, hanya karena pembuatannya tangguh, getek itu tak rusak karenanya. Serangan diulangi hingga tiga kali, yang dua gagal. melihat kegagalannya itu, Oey Yong mendapat pikiran pula.

"Mari, aku yang akan menjadi pelurunya!" ia berseru.

Kwee Ceng melengak, sedetik kemudian ia sadar. Bukankah si nona lihay ilmunya meringankan tubuh dan pandai berenang? Maka lekas-lekas ia menyerahkan pisau belatinya.

"Hati-hati!" ia memesan. Segera ia menarik pula batang pohon itu. Oey Yong sendiri segera memanjatnya.

"tembak!" berseru si nona setelah siap.

Kwee Ceng menurut, ia melepaskan cekalannya. Maka dalam sekejap tubuh si nona terlempar melesat, di tengah udara ia berjumpalitan. Tetapi getek sudah berlayar terus, ia kecebur di air terpisah jauhnya tiga tombak. Bagus cara jatuhnya itu dan air muncrat bagaikan bunga rontok tersebar.

Auwyang Hong dan keponakannya kagum hingga mereka tercengang. Oey Yong tidak menjadi putus asa. Segera ia selulup, berenang di dalam air untuk menyusul getek itu. Sebentar saja ia tiba di bawahnya getek.

Auwyang Hong mencoba membela diri, dengan galah kejennya ia menyerang di empat penjuru, menyerang ke air, tetapi ia tidak berhasil menusuk atau mengemplang si nona. Di dalam air, Oey Yong sudah lantas bekerja. Mulanya ia membabat dadung, untuk meloloskan semua balok pohon itu, atau mendadak ia ingat suatu akal, maka ia batal membabat, ia cuma menggurat perlahan-lahan di sana-sini. Ia hendak membikin perahu istimewa itu tiba di tengah laut, nanti setelah digempur gelombang pergi datang, dadung itu bakal putus dengan sendirinya.

Habis bekerja, si nona tetap selulup, berdiam di dalam air, setelah sekian lama, baru ia timbul di muka air. Sekarang ia terpisah sepuluh tombak lebih dari getek itu, lalu ia berteriak-teriak bahwa ia tidak dapat menyandak….

Auwyang Hong tertawa berkakakan, ia membiarkan geteknya berlayar terus, maka lewat sedikit lama, ia sudah terpisah jauh dari daratan pulau terpencil itu. Oey Yong berenang ke pinggir, ketika ia mendarat, Cit Kong pun tiba di sana, guru ini bersama Kwee Ceng masih mencaci kalang kabutan kepada See tok yang jahat dan licik. Mereka heran menampak roman si nona bergembira.

"kenapa kau girang?" tanya sang guru. Kwee Ceng pun turut menanya. Oey Yong menuturkan perbuatannya barusan. "Bagus!" berseru Ang Cit Kong dan Kwee Ceng. Mereka pun girang sekali.

"Walaupun kita sudah kirim mereka itu untuk terkubur di tengah lautan, kita sendiri harus bekerja dari awal lagi," berkata si nona kemudian.

"Tidak apa, mari kita bekerja lagi!" kata Kwee Ceng.

Mereka balik, untuk sarapan setelah itu dengan semangat penuh, mereka pergi memotong pepohonan, mengumpul balok-balok diikat satu dengan lain dijadikan getek. Mereka membuat lagi tali. Berselang beberapa hari rampung sudah getek mereka, Maka sekali lagi mereka membuat persiapan.

Tepat di harian angin tenggara mulai meniup keras, Kwee Ceng memasang layarnya untuk memulai dengan pelayarannya. Tujuan mereka ialah barat. Oey Yong memandang ke pulau yang nampak makin lama makin kecil. Akhirnya ia menghela napas.

"Hampir kita bertiga mengorbankan jiwa di pulau kosong itu," katanya. "Hanya hari ini, dengan kepergian ini, aku merasa berat juga…"

"Lain hari, jikalau waktu kita luang, boleh pesiar ke sini!" berkata Kwee Ceng.

"Bagus!" berseru si nona gembira. "Lain kali kita datang lagi ke mari! Tapi ingat, jangan kau salah janji! Sekarang mari kita memberi nama dulu pulau ini. Suhu, kau pilih nama apa yang bagus?"

"Kau menggunakan batu besar, menindih bangsat cilik itu," menyahut Ang Cit Kong si guru, "Maka itu baiklah diberi nama Ap Kwie To, yaitu pulau menggencet iblis."

"Nama itu kurang menarik," kata si nona.

"Kau hendak cari yang menarik? Kalau begitu, tak usah kau tanya aku si pengemis tua bangka!" berkata sang guru. "Tapi si bisa bangkotan itu pernah merasakan air kencingku, lebih baik kita namakan saja Pulau Minum Kencing!"

Oey Yong tertawa tetapi menggoyang-goyangkan tangan, lalu ia miringkan kepalanya untuk memikir. Ia melihat sinar layung yang indah, yang menaungi pulau terpencil itu.

"Baiklah kuberi nama Beng Hee To," katanya kemudian. Artinya Pulau Sinar Layang.

Tetapi Cit Kong menggeleng kepala. "Tak tepat itu," katanya. "Nama itu terlalu bagus."

Kwee Ceng membiarkan murid dan guru berkutat berdua, ia cuma tersenyum saja. Mereka berlayar terus, sampai dua hari lamanya, tujuan angin masih belum berubah. Dimalam kedua, Ang Cit Kong dan Oey Yong tidur, Kwee Ceng memegang kemudi. Mendadak di antara siuran angin, ia mendengar teriakan:

"Tolong! Tolong!" Suara itu keras seperti bergeram, seperti cecer pecah dikapruki satu dengan lain.

Ang Cit Kong pun dapat mendengar teriakan itu, maka ia bangun berduduk. "Itu suara si tua bangka berbisa!" katanya.

Kembali mereka mendengar jeritan itu. Oey Yong, yang terbangun, menjambret tangan gurunya.

"Hantu! Hantu!" katanya.

Ketika itu akhir bulan keenam, di langit tidak ada si putri malam, bahkan bintang pun jarang, maka sang laut menjadi gelap gulita. Memang juga, dalam suasa seperti itu, jeritan itu menyeramkan.

"Apakah kau si tua bangka berbisa?" kemudian Ang Cit Kong menanya. Tetapi ia telah runtuh tenaga dalamnya, suaranya tak terdengar jauh.

Kwee Ceng mengumpulkan semangat, lalu ia pun berseru: "Apakah paman Auwyang di sana?"

"Benar, aku Auwyang Hong!" menjawab orang yang berteriak minta tolong itu. "Tolong….!" ia mengulangi jeritannya.

"Tidak peduli dia manusia atau iblis, mari kita jalan terus!" berkata Oey Yong.

"Tolong padanya!" tiba-tiba Cit Kong berkata.

"Jangan, jangan!" mencegah si nona. "Aku takut!"

"Dia bukan iblis," kata Cit Kong.

"Biarpun begitu tidak seharusnya dia ditolong!"

"Menolong orang itu aturan kami kaum Kay Pang," kata gurunya. "Kita berdua adalah Pangcu Kay Pang dari dua turunan, tidak dapat kita merusak aturan kita yang dihormati itu."

Oey Yong terpaksa berdiam, ia mengawasi Kwee Ceng menggunakan pengayuh menuju ke arah darimana datangnya jeritan minta tolong itu. Setelah datang mendekat, daalm suasana gelap itu, dengan remang-remang terlihat dua kepala orang yang lagi terombang-ambing sang gelombang, disampingnya ada sebatang pohon, yang terang adalah lepasan getek. Karena pertolongan batang pohon itu, Auwyang Hong dan keponakannya tidak sampai kelelap mampus.

Kwee Ceng membungkuk, menyambar lehernya Auwyang Kongcu, diangkat naik ke geteknya. Cit Kong baik budi, sampai melupakan dirinya sendiri. Ia mengulur tangannya, menolong Auwyang Hong. See Tok mengerahkan tenaganya, dengan meminjam tenaga Pak Kay, ia menggenjot tubuhnya hingga mencelat naik. Tapi celaka buat Cit Kong, dia kena tertarik hingga kecebur ke air!

Kwee Ceng dan Oey Yong kaget sekali, keduanya segera terjun untuk menolong. Gusar si nona, maka ia menegur See Tok:

"Guruku baik hati, dia yang menolong kamu, kenapa kau justru menarik dia kecebur ke laut?!"

"Aku… aku tidak sengaja," menyahut Auwyang Hong perlahan. Ia tahu Cit Kong musnah kepandaiannya, tetapi ia pun sudah sangat lelah saking letih, lapar dan haus, terpaksa ia mesti merendahkan diri. "Saudara Cit, aku menghanturkan maaf kepadamu."

Pak Kay tertawa tergelak. "Bagus, bagus katamu!" katanya. "Hanya sayang, rahasia kepandaianku si pengemis tua telah pecah di hadapanmu....!"

Semua orang basah kuyup pakaiannya, tidak ada pakaian lain untuk menukarnya, maka itu mereka membiarkannya.

"Nona yang baik, kau bagilah kami sedikit makanan," Auwyang Hong meminta. "Sudah beberapa hari kami kelaparan dan dahaga…"

"Persediaan makanan di sini cuma cukup untuk kami bertiga," menyahut Oey Yong. "Membagi kamu tidaklah sukar. Hanya, kita mesti dahar apa?"

"Kalau begitu, nona kau membagi sedikit saja kepada keponakanku," berkata pula Auwyang Hong. "Dia pun sakit kedua kakinya, dia tak bakalan sanggup bertahan……"

"Jikalau demikian, marilah kita berjual beli," berkata si nona. "Ularmu yang jahat telah melukai guruku, sampai sekarang guruku masih belum sembuh. Kau keluarkan obat pemunah bisa ular."

Auwyang Hong segera merogoh ke dalam sakunya, mengeluarkan dua peles kecil. Ia mengangsurkan kepada si nona.

"Kau lihat sendiri, nona," katanya. "Peles ini telah kemasukan air, obatnya lumer dan habis…"

Oey Yong periksa kedua peles ini yang berisikan air. Ia menggoyang-goyangnya, ia membauinya juga.

"Sekarang kau beritahukan saja resepnya," katanya kemudian. "Mari kita mendarat untuk membeli bahan-¬bahan obatnya."

"Jikalau aku hendak menipu makanan, dapat aku menulis resep ngaco-belo," Auwyang Hong memberi keterangan. "Kau toh tidak tahu resep itu tulen atau palsu? Apakah kau sangka aku demikian hina? Baiklah aku omong terus terang padamu. Ularku adalah ular paling luar biasa di kolong langit ini, bisanya bukan main hebatnya, siapa terpagut satu kali saja, biar orang sangat gagah dan kuat, selewatnya delapanpuluh delapan hari, kendati dia tidak mati, dia mestinya bercacad, dan menjadi piansiewie, bercacad seumur hidup. Pula tidak ada halangannya untuk memberikan resep padamu, tetapi kau mesti mengerti juga, bahan-bahannya sangat sukar dicari, bahkan memerluka musim dingin dan musim panas selama tiga tahun berturut-¬turut, setelah itu barulah dapat dibikin obatnya. Aku telah bicara, andaikata kau menghendaki aku mengganti jiwanya kakak Cit ini, terserah kepadamu…!"

Oey Yong dan Kwee Ceng mau percaya keterangan orang itu, pun mereka mengagumi ketulusan orang, yang tidak takut mati.

"Yong-jie, dia tidak berdusta," Cit Kong juga bilang. "Hidup manusia itu telah ditakdirkan, maka itu aku si pengemis tua tidak takut apapun. Kau bagilah mereka makanan."

Oey Yong menjadi sangat berduka, ia mau percaya gurunya tidak bakalan sembuh. Meski begitu, dengan terpaksa ia memberikan sepaha daging kambing kepada paman dan keponakannya.

Auwyang Hong membeset beberapa potong untuk keponakannya, baru ia membeset untuknya sendiri. Selagi ia menggayem, Oey Yong berkata padanya:

"Paman Auwyang, kau telah lukai guruku, maka diwaktu pertemuan yang kedua kali di gunung Hoa San, kau pasti bakal menjagoi! Maka sekarang aku beri selanat lebih dulu padamu!"

"Itu belum tentu, nona," berkata See Tok. "Di kolong langit ini masih ada serupa benda yang dapat menyembuhkan sakitnya kakak Cit ini…"

Oey Yong dan Kwee Ceng berjingkrak mendengar perkataan orang ini, sampai getek mereka miring sebelah.

"Benarkah itu?" keduanya menanya, berbareng.

Auwyang Hong menggerogoti paha kambingnya. Ia mengangguk. "Cuma benda ini sangat sukar didapatkannya," ia menyahut. "Gurumu pastilah mengetahui benda apa itu." Kedua murid itu segera menoleh, mengawasi guru mereka.

Cit Kong tertawa. "Memang aku tahu, tapi apa gunanya menyebutkannya?" katanya.

Oey Yong menarik ujung baju gurunya itu. "Suhu, bilanglah," ia memohon. "Biar bagaimana kita akan mencarinya sampai dapat! Aku nanti minta bantuan ayahku, pasti dia suka membantu kita mencarinya!"

"Hm!" Auwyang Hong bersuara hidung.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar