Selasa, 22 Desember 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 086

Oey Yong menurut, ia berhenti di bawah sebuah pohon yang teduh. Di atas pohon itu ada dua ekor bajing tengah berlari¬an di cabang-cabang, lari turun naik, matanya mengawasi ketiga orang itu. Berani mereka itu, mereka berani datang dekat kira-kira tiga kaki.

Oey Yong tertarik kepada kedua bajing itu. Seekor bajing berani sekali, dia datang dekat dan mencium-cium nona itu. Kawannya lebih berani pula, dia turun dan merayap di ujung bajunya Ang Cit Kong!

Oey Yong menghela napas, ia berkata: "Terang sudah di sini tak pernah ada manusia. Lihat, binatang ini tidak takut orang." Mendengar suara orang, bajing itu lari naik ke atas.

Oey Yong mengawasi, ia dapat melihat banyak cabang-cabang pohon yang besar, yang terlibat-libat oyot otan. Daun pohon itu pun lebat sekali.

"Sudah engko Ceng, tak usah kau pergi mencari tempat lagi," berkata nona ini. "Mari kita naik saja ke atas pohon ini."

Kwee Ceng sudah bertindak ketika ia mendengar suara si nona. Ia mengangkat kepalanya, melihat ke atas. Benar-benar ia mendapatkan sebuah tempat perlindungan. Sampai disitu keduanya naik ke atas pohon. Mereka menekan cabang-cabang, mereka pun membuat palangan, hingga di situ terdapat ruangan seperti lauwteng, di mana orang bisa duduk atau rebah.

Setelah selesai, mereka turun untuk mengangkat Ang Cit Kong naik ke atas. Mereka tak usah manjat lagi, cukup dengan mendukung gurunya di kiri dan kanan, dengan berbareng mereka menggenjot tubuh berlompat ke atas. Maka dilain saat, Pak Kay sudah dapat dipernahkan dengan baik.

"Untuk sementara kita berdiam di atas pohon ini bagai burung!" berkata si nona tertawa. "Biarlah mereka itu berdiam di dalam gua bagai binatang-¬binatang berkaki empat!"

"Bilang Yong-jie, kau hendak memberikan makanan atau tidak kepada mereka?" Kwee Ceng tanya.

"Sekarang ini kita belum mendapat jalan, kita pun tidak dapat melawan si tua bangka berbisa itu," menyahut si nona, "Maka untuk sementara kita menurut saja…"

Kwee Ceng berdiam. Ia mendongkol berbareng masgul sekali. Oey Yong mengajak pemuda itu pergi ke belakang bukit, untuk berburu. Mereka berhasil merobohkan seekor kambing gunung, yang mereka terus sembelih, dijadikan dua potong. Mereka menyalakan api untuk membakarnya.

Setelah dibakar matang, Oey Yong lemparkan yang separuh ke tanah. "Kau kencingin!" ia kata pada Kwee Ceng.

Si anak muda tertawa. "Ah, dia tentu mendapat tahu nanti…"

"Jangan kau pedulikan! Kau kencinginlah!" berkata si nona.

Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. "Aku tidak bisa…." sahutnya.

"Kenapakah?"

"Sekarang aku belum ingin membuang air kecil…"

Mendengar itu si nona tertawa terpingkal-pingkal. Tiba-tiba terdengar suara Ang Cit Kong di atas pohon.

"Kau lemparkan ke atas, nanti aku yang kerjakan!" kata si tua bangkotan yang jenaka itu.

Kwee Ceng tertawa, ia berlompat naik dengan daging kambing itu. Pak Kay sudah lantas membuktikan perkataannya. Sembari tertawa Kwee Ceng lompat turun pula, terus ia bertindak ke arah gua.

"Tunggu dulu!" Oey Yong mencegah. "Mari itu yang sepotong lagi!"

"Apa? Yang bersih?" tanya si anak muda. Ia menggaruk-garuk kepalanya saking heran.

"Benar!" menyahut si nona. "Kita berikan si tua bangka yang bersih…"

Walaupun ia tidak mengerti, Kwee Ceng toh berbuat seperti kata si nona yang ia sangat percayai itu. Ia menukar daging bersih dengan daging yang telah diberi air kencing itu. Oey Yong memanggang pula daging yang kotor itu, kemudian ia pergi mencari bebuahan. Juga Ang Cit Kong tidak mengerti perbuatannya si murid, ia menjadi heran berbareng masgul.

Oey Yong memanggang daging hingga menyiarkan baunya yang lezat, yang membangkitkan nafsu berdahar. Demikian Auwyang Hong di dalam guanya, hidungnya dapat mencium bau itu, lekas-lekas ia keluar, setibanya di mulut gua, tidak menanti Kwee Ceng - yang membawakan daging - dekat padanya, ia sudah memburu untuk menyambuti separuh dirampas. Hebat nafsu dahar dari See Tok ini tetapi mendadak air mukanya berubah.

"Mana yang sebelah lagi?" mendadak ia bertanya.

Si anak muda tidak menjawab dengan mulutnya, ia cuma menunjuk ke belakang. Tanpa membilang apapun, Auwyang Hong bertindak cepat ke bawah pohon di sana ia sambar daging kambing yang sebelahnya, sedang yang berada di tangannya ia lemparkan ke tanah. Tetap dengan tidak membilang suatu apapun, kecuali ketawa dingin, ia memutar tubuhnya kembali ke guanya.

Kwee Ceng cepat-cepat berpaling ke arah lain, kalau tidak, pastilah akan terlihat wajahnya yang menahan tawa. Ia anggap lucu sekali perbuatan Auwyang Hong itu, yang telah terjebak Oey Yong. Baru setelah orang pergi jauh, ia lari kepada Oey Yong, wajahnya tersungging senyum.

"Yong-jie!" katanya tertawa, "Kenapa kau ketahui dia bakal menukarnya?"

Si nona itu pun tertawa. "Bukannya ilmu perang ada membilang," menyahut si noa, "Bahwa yang kosong itu berisi, dan yang berisi ialah kosong? Si tua bangka berbisa itu pasti menduga kita menaruh racun di daging yang kita berikan padanya, dia tak sudi kena diakali, tetapi aku, aku justru menghendaki dia terpedaya!"

"Hebat!" memuji si anak muda, yang terus membeset daging itu, untuk dibawa naik ke ranggon pohonnya yang istimewa, untuk menyuguhkan kepada gurunya, kemudian bersama si nona ia pun turut dahar.

Auwyang Hong dan keponakannya dahar daging panggang itu dengan bernafsu. See Tok merasakan bau engas, ia menyangka daging itu memang demikian bau asalnya, ia menangsal terus.




Bertiga Oey Yong berhadar dengan hati riang gembira. "Yong-jie," berkata Kwee Ceng kemudian. "Akalmu ini bagus tetapi berbahaya…"

"Mengapa?" tanya si nona.

"Umpama kata si tua bangka berbisa tidak menukar, bukankah kita bakal makan daging yang kotor dan bau itu?"

Oey Yong tertawa terpingkal-pingkal, hingga tubuhnya miring dan jatuh ke tanah, tetapi ia dapat jatuh berdiri, maka dilain detik ia sudah berada di atas pula.

"Benar, benar, memang berbahaya sekali!" katanya.

Ang Cit Kong bersenyum, tetapi ia menghela napas ketika ia berkata: "Anak-anak yang tolol, kalau benar dia tidak menukarnya, apakah kamu tidak dapat makan daging bau pesing itu?"

Kwee Ceng melengak, lalu ia tertawa hingga ia pun terguling-guling dari tempat duduknya, jatuh ke tanah seperti si nona tadi. Setelah sang gelap petang datang, Auwyang Kongcu merintih karena rasa nyerinya, sedang Auwyang Hong pergi ke bawah pohon.

"Budak kecil, kau turun!" ia memanggil Oey Yong, suaranya bengis.

Si nona terkejut. Ia tidak menyangka orang datang demikian lekas. "Mau apa?!" ia terpaksa menyahuti.

"Keponakanku menghendaki air teh, pergi kau melayani dia!" menitah See Tok.

Kaget ketiga orang di atas pohon itu, berbareng dengan itu, panas hari mereka.

"Lekas!" terdengar pula suara Auwyang Hong. "Kau mau tunggu apa lagi?!"

"Mari kita mengadu jiwa dengannya!" berkata Kwee Ceng perlahan.

"Lebih baik kamu berdua kabur ke belakang gunung," Ang Cit Kong bilang. "Jangan kau pedulikan aku lagi…"

Dua-dua jalan itu, mengadu jiwa dan merat, telah dipikirkan Oey Yong. Dua-dua jalan itu pasti akan mengakibatkan kebinasaan Ang Cit Kkong. Ini ia tidak menginginkannya. Maka akhirnya ia pikir baik mereka mengalah saja. demikian ia lompat turun.

"Baiklah, nanti aku lihat lukanya!" ia kata.

"Hm!" See Tok mengasih dengar suaranya yang dingin. "Eh, bocah she Kwee, kau juga turun!" ia menambahkan, membentak. "Apakah kau ingin enak¬-enak tidur nyenyak?! Bagus betul!"

Dengan menahan sabar sebisanya, Kwee Ceng berloncat turun.

"Malam ini kau mesti menyediakan untukku seratus potong balok yang besar," menitah si Bisa dari Barat, "Kalau kurang sepotong saja, kakimu sebelah akan kuhajar patah! Kalau kurang dua, dua-duanya kakimu patah semua!"

"Buat apa balok itu?!" Oey Yong tanya. "Laginya malam gelap buta rata seperti ini, cara bagaimana orang mencarinya dan mengerjakannya?!"

"Budak cilik, kau banyak bacot! Lekas kau rawat keponakanku! Ada apa hubungannya kau dengan urusan si bocah cilik ini? Pergi kau, kalau kau main gila, siksaan akan menjadi bagianmu!" Ia mengancam pada Kwee Ceng.

Oey Yong memberi tanda kepada si anak muda untuk bersabar, lantas ia bertindak pergi, diikuti si Bisa dari Barat. Kwee Ceng mengawasi sampai orang tak terlihat lagi, ia lantas menjatuhkan diri, duduk dengan memegangi kepalanya. Ia berpikir keras, gusarnya dan mendongkol dan berduka juga, hampir air matanya turun mengucur.

Tiba-tiba terdengar suara Ang Cit Kong: "Kakekku, ayahku, juga aku semasa kecilku, kita menderita sangat dari bangsa Kim, kita menjadi budak, maka itu apakah artinya kesengsaraan seperti ini?"

Kwee Ceng terkejut, ia sadar. "Kiranya dulu suhu pernah menjadi budak…" hatinya bekerja. "Siapa sangka kemudian suhu menjadi ahli silat kenamaan dan ketua dari Partai Pengemis! Kalau sekarang aku bersabar, boleh apakah?"

Karena ini, si anak muda mengambil ketetapannya. Dengan membawa obor kayu cemara, ia pergi ke gunung belakang. Ia bekerja dengan menggunakan pukulan Hang Liong Sip-pat Ciang, merobohkan pohon-pohon sebesar mulut mangkok yang besar. Ia berbesar hati, ia berlaku ulet. Ia percaya betul Oey Yong bakal dapat meloloskan diri, sebagaimana dulu si nona lolos dari istana Chao Wang.

Ilmu silat Hap Liong Sip-pat Ciang itu memerlukan tenaga besar dan keuletan, inilah berat untuk Kwee Ceng yang masih muda, yang tenaga dalamnya masih meminta latihan. Belum sejam lamanya, ia sudah berhasil merobohkan duapuluh satu pohon, ketika ia menghajar pohon yang keduapuluh dua, ia merasakan tangannya sakit, maka itu pohon tidak roboh, sebaliknya dadanya sakit pula. Ia terkejut, lekas-lekas ia duduk bersila, memusatkan semangatnya, untuk meluruskan nafasnya.

Setelah satu jam lamanya ia beristirahat seperti itu, ia berbangkit untuk memulai dengan pekerjaannya. Pohon itu dapat juga dirobohkan. Tetapi, ketika ia hendak mulai lagi kali ini ia merasa lemas sekali. Ia mengerti bahwa ia tidak bisa memaksakan diri, atau ia bakal terluka di dalam. Hanya ia menjadi bingung. Di pulau kosong ini di mana ia bisa dapat golok atau kampak! Dengan tangan kosong, bagaimana ia dapat bekerja terus? Ia jadi berkhawatir sekali untuk kedua kakinya. Ia masih membutuhkan hampir delapanpuluh batang lagi.

"Keponakannya telah patah kedua kakinya," kemudian ia berpikir lebih jauh, "Karena itu tentu dia sangat membenci sekali padaku, kalau malam ini aku bisa menyediakan seratus batang, mungkin lain malam akan meminta seribu batang lagi. Kapan habisnya pekerjaan ini? Dia pun tidak dapat dilawan. Di sini pasti tidak bakal ada penolong untuk kita…" Pemuda ini menghela napas, ia berputus asa.

"Taruh kata tempat ini bukan pulau kosong, siapa yang dapat menolongi kita?" ia ngelamun pula. "Suhu telah runtuh ilmu silatnya, nasibnya belum ketahuan bagaimana. Ada ayahnya Yong-jie tetapi ia pun sangat membenciku. Coan Cit Cit Cu dan keenam guruku dari Kanglam juga bukan tandingannya See Tok ini. Tinggallah kakak angkatku, Ciu Pek Thong, tetapi ia pun sudah terjun ke laut di mana dia membunuh diri…"

Mengingat Ciu Pek Thong, Kwee Ceng jadi bertambah benci dan murka kepada Auwyang Hong. Ia merasa berkasihan kepada kakak angkatnya itu, yang paham Kiu Im Cin-keng tetapi yang tidak hendak menggunakannya. Kakak itu pun pandai ilmu silat memecah diri menjadi dua orang - dua pikiran. Sayang kepandaian itu menjadi tidak ada gunanya.

"Ah, Kiu Im Cin-keng! Kepandaian dua tangan kiri dan kanan saling berkelahi sendiri…."

Berpikir sampai di situ, Kwee Ceng seperti melihat bintang terang di langit yang gelap. "Memang sekarang aku tidak dapat melawan See Tok," demikian ia mendapat pikiran baru, "Tetapi Kiu Im Cin-keng adalah pelajaran istimewa seperti istimewanya cara berkelahi dengan dua tangan. Kenapa aku tidak hendak meyakinkan itu bersama Yong-jie, menyakinkan terus bersama-sama siang dan malam, sampai tiba saatnya mengadu jiwa dengan si tua bangka berbisa itu?" Keras Kwee Ceng berpikir, ia tidak memperoleh kesudahan yang memuaskan.

"Ah, mengapa aku tidak mau menanyakan pikiran suhu?" kemudian ia ingat lagi. "Suhu kehilangan kepandaiannya tetapi tidak ingatannya, ia dapat memberi petunjuk padaku…"

Tidak ayal lagi, Kwee Ceng pulang. Di atas pohon, ia utarakan apa yang ia pikir barusan terhadap gurunya. Agaknya Ang Cit Kong setuju pikiran muridnya ini.

"Sekarang coba kau membaca perlahan-lahan bunyi Kiu Im Cin-keng," berkata sang guru ini, "Nanti aku lihat ada daya apa yang dapat mempercepat peryakinanmu….."

Kwee Ceng menurut, ia mulai membaca. Tempo si anak muda membaca bagian "Orang tahu dengan duduk berdiam dia akan memperoleh kemajuan, tetapi dia tahu untuk mencapai kemahiran dibutuhkan keinsyafan, ketenangan dan kecerdasan, tubuh dan pikiran harus bekerja berbareng. Kita harus bergerak seperti berdiam, walaupun kita dibentur, kita tetap tenang," mendadak Cit Kong berlompat bangun seraya mulutnya berseru: "Oh…!"

"Kenapa, suhu?" tanya Kwee Ceng heran.

Pak Kay tidak menyahuti, ia hanya terus berpikir. Ia memahamkan artinya kata-kata dari Kiu Im Cin-keng itu.

"Coba kau mengulangi satu kali lagi," katanya kemudian.

Kwee Ceng girang, ia percaya gurunya ini sudah memperoleh sesuatu ilham, maka ia membaca lagi.

"Benar," Cit Kong berkata sambil mengangguk¬-angguk. "Kau melanjuti terus…."

Kwee Ceng menurut, ia menghapal terus-terusan, di dekat akhirnya, ia membaca: “Mokansukojie pintek kim-coat-ouwsongsu kosannie…"

"Apa kau bilang?" tanya Cit Kong heran. Dia memotong.

"Aku pun tidak tahu artinya," sahut Kwee Ceng. "Ciu Toako tidak menjelaskannya."

"Nah, kau bacalah terus."

Kwee Ceng membaca pula, "Kiatjie-hoatsu katlo…" demikian seterusnya, untuk itu ia mengeluarkan suara gigi dan lidah.

"Oh, kiranya kitab itu pun memuat mantera menangkap iblis…" berkata Cit Kong kemudian. Hampir ia meneruskan mengatakannya, "Kiranya si imam busuk gemar main gila untuk memperdayakan orang…" tetapi ia dapat membatalkan itu. Ia mengerti Kiu Im Cin-keng mestinya istimewa sekali.

"Anak Ceng," katanya selang sesaat, "Kitab Kiu Im Cin-keng memuat ilmu yang lihay luar biasa, tak dapat itu dipahamkan hanya semalam dan seharian…"

Kwee Ceng menyesal, ia putus asa. "Sekarang pergilah lekas kau membuat duapuluh batang pohon itu menjadi sebuah getek," kata Cit Kong. "Daya yang paling utama untukmu ialah menyingkirkan diri. Aku akan berdiam bersama Yong¬jie di sini, aku akan melihat selatan."

"Tidak suhu!" berkata Kwee Ceng. "Mana dapat aku meninggalkan kau…"

"See Tok jeri terhadap Oey Lao Shia, tidak akan dia mencelakakan Yong.jie," Cit Kong memberi penjelasan. "Aku sendiri, sudah tidak berguna lagi…."

Kwee Ceng menjadi panas hatinya dan mendongkol, saking penasaran ia melampiaskannya dengan menghajar batang pohon di depannya. Hebat serangannya itu, suaranya sampai terdengar jauh dan berkumandang.

"Eh, anak Ceng," tanya Cit Kong heran. "Barusan kau memukul dengan tipu silat apa itu?"

"Kenapa, suhu?"

"Kau menghajar hebat tetapi batang pohon itu tak bergeming…"

Si anak muda menjadi merah mukanya. Ia mengaku karena kehabisan tenaga, ia tidak dapat memakai tenaga lagi.

"Bukan, bukannya begitu," kata guru itu. "Pukulan itu sedikit aneh. Coba kau mengulanginya sekali lagi!"

Kwee Ceng tetap heran tetapi ia menurut. Ia menghajar pula. Hebat suara hajaran itu tetapi tetap pohon itu tidak gempur. Sekarang ia sadar sendirinya. Maka ia lantas berkata:

"Sebenarnya ini pukulan Kong-beng-kun yang terdiri dari tujuhpuluh dua jurus yang diajarkan oleh Ciu Toako."

"Kong-beng-kun?" tanya Cit Kong. "Belum pernah aku dengar itu…"

"Kong-beng-kun" ialah pukulan Tangan Kosong. Arti sebenarnya yaitu "kosong terang". "Selama Ciu Toako dikurung di Tho Hoa To," Kwee Ceng memberi keterangan, "Dia menganggur tiap hari. Lantas ia menciptakan ilmu pukulannya itu. Dia mengajarkan aku enambelas huruf yang menjadi rahasia tipu silatnya itu, ialah 'Berhasil besar seperti pecah, kegunaannya tak buruk, terlalu penuh seperti meletus, kegunaannya tak habisnya.' Baiklah kalau sekarang muridmu menjalankannya untuk suhu lihat?"

"Sekarang ini malam gelap, tidak dapat aku melihatnya," menyahut sang guru. "Lagi pula ini ilmu silat mahir, tidak usah dijalankan lagi. Kau menuturkan saja aku mendengarnya."

"Kwee Ceng lantas menutur, mulai dari jurus pertama "Mangkok kosong diisi nasi", jurus kedua "Rumah kosong ditinggali orang", demikian seterusnya. Ia pun menjelaskan maknanya setiap huruf. Ciu Pek Thong berandalan dan jenaka, maka jenaka juga nama semua jurusnya itu.

Ang Cit Kong cerdas sekali, setelah mendengar sampai di jurus kedelapanbelas ia memegat:

"Sudah cukup tidak usah kau menuturkan terlebih jauh. Sekarang kita dapat menempur See Tok!"

"Dengan menggunakan Kong-beng-kun ini?" tanya Kwee Ceng heran. "Aku khawatir belum berlatih mahir."

"Aku ketahui ini tetapi kita mesti mencari kehidupan di antara kematian, kita harus mencoba menempur bahaya. Bukankah kau membawa pisau belati pengasih Khu Cie Kee?"

Kwee Ceng menghunus pisaunya itu, yang di dalam gelap masih berkelebat sinarnya. "Sekarang kau pergi menebang pohon dengan memakai pisau ini dengan menggunakan ilmu silat Kong-beng-kun itu," menitah Cit Kong.

Kwee Ceng bersangsi. Pisaunya itu panjangnya cuma sekaki lebih dan bagian tajamnya pun tipis.

"Aku mengajarkan kau Hang Liong Sip-pat Ciang," berkata gurunya. "Itu ilmu silat pihak Luar, Gwa¬kee. Kong-beng-kun sebaliknya ilmu silat pihak Dalam, Lay-kee. Maka kalau kau gunakan kedua ilmu silat itu dengan dirangkap, pisau ini tajam sehingga dapat memotong emas dan kumala! Apakah artinya baru pohon? Ingat, asal diwaktu menggunakan tenaga kau mengutamakan itu huruf rahasia 'kosong'."

Kwee Ceng lantas saja mengerti, maka ia lompat turun. Ia mencari sebuah pohon yang besar. Untuk menghajar, ia menggunakan tenaga dari Kong¬beng-kun, tenaga yang ringan, seperti acuh tak acuh. Ia hanya mengurat bongkot pohon, menggurat ke sekitarnya, tetapi kesudahannya, pohon itu roboh. Bukan main girangnya ia. Ia mencoba terus, sebentar saja ia sudah dapat belasan pohon. Dengan begitu, tak usah sampai terang tanah, ia sudah berhasil menyediakan seratus pohon yang diminta itu.

"Anak Ceng, mari naik!" tiba-tiba Cit Kong memanggil. Murid itu melompat naik.

"Benar berhasil, suhu!" ia berseru. "Sedikit pun aku tak usah menggunakan tenaga besar."

"Dengan menggunakan tenaga besar artinya tak berhasil, bukan?"

"Benar, suhu."

"Untuk menebang pohon, tenagamu berlebihan," berkata sang guru. "Untuk melawan See Tok, masih kurang. Maka itu kau mesti meyakinkan dulu Kiu Im Cin-keng, baru ada ketikanya untuk menangkan dia. Mari kita memikirkan daya untuk melawannya…"

Bicara dari hal berpikir, atau mencari akal, Kwee Ceng tidak dapat ebrbuat apa-apa, maka itu, ia berdiam saja.

"Aku juga belum dapat memikir," kata Cit Kong selang sekian lama. "Kita tunggu saja besok, biar Yong-jie yang memikirkannya. Anak Ceng, mendengar kau membaca Kiu Im Cin-keng aku ingat sesuatu, setelah aku memikirkannya, rasanya aku tidak salah. Sekarang mari kau pegangi aku, hendak aku turun untuk bersilat….."

Kwee Ceng terkejut. "Jangan, suhu!" ia mencegah. "Lukamu masih belum sembuh! Mana bisa suhu berlatih?"

"Tetapi kitab toh menyebutnya, '…tubuh dan pikiran harus bergerak berbareng, bergerak tapi seperti diam, walaupun dibentur, kita tetap tegar'. Maka marilah kita turun."

Kwee Ceng masih tetap tidak mengerti tetapi dia toh memondong gurunya. Ang Cit Kong berdiri sambil memusatkan pikirannya, sesudah itu ia memasang kuda-kuda. Ketika ia meninju, dengan samar-samar Kwee Ceng melihat tubuh gurunya terhuyung, ia segera maju untuk menolong, tetapi begitu lekas juga, guru itu sudah berdiri lagi, hanya napasnya sedikit memburu.

"Tidak mengapa," berkata sang guru.

Dilain saat, Cit Kong meninju dengan tangan kirinya. Kwee Ceng melihat kembali gurunya terhuyung, kali ini dia diam saja, ia mengawasi terus. Cit Kong meninju pula, berulang-ulang dari perlahan hingga sedikit cepat. Nyatanya makin lama dia semakin tetap. Mulanya ia bernapas keras, kemudian napasnya lurus. Diwaktu memutar tubuh, kuda-¬kudanya pun tetap. Bersilat terus, Ang Cit Kong bisa menjalankan habis Hang Liong Sip-pat Ciang, karena ia merasa masih kuat, ia meneruskan dengan Hok Houw Kun, ilmu silat Menaklukkan Harimau.

Begitu gurunya sudah berhenti bersilat, karena girangnya Kwee Ceng berseru, "Kau telah sembuh, suhu!" Ia girang bukan kepalang.

"Pondong aku naik!" Ang Cit Kong meminta.

Kwee Ceng menurut, ia bawa gurunya berlompat ke atas. "Bagus, suhu, bagus!" ia memuji.

"Bagus apa!" kata guru itu, menghela napas. "Apa yang aku jalankan barusan cuma bagus dipandang, gunanya tak ada…" Kwee Ceng heran.

"Setelah terluka, aku cuma beristirahat saja," menerangkan gurunya itu, "Tidak tahunya sebenarnya semakin berlatih dan banyak bergerak, semakin baik. Sekarang ini sudah terlambat, walaupun jiwaku ketolongan, kepandaianku tidak bakal pulih kembali."

Kwee Ceng hendak bicara, tak tahu ia harus bicara apa, maka kemudian ia bilang saja. “Sekarang hendak aku memotong kayu pula."

Murid ini belum berlompat turun ketika gurunya berkata: "Anak Ceng, sekarang aku dapat akal untuk menggertak si tua bangka berbisa itu. Coba kau lihat, akalku bakal berjalan atau tidak?" Guru ini terus menuturkan akalnya itu.

"Bagus, suhu!" Kwee Ceng berseru. "Ini tentu berhasil!" Sampai di situ, murid ini pergi turun pula, untuk bekerja dan bersiap-siap.

Besok paginya, Auwyang Hong muncul memeriksa jumlah pohon, ia mendapatkan cuma sembilanpuluh, masih kurang sepuluh lagi. Ia tertawa dingin, terus ia berteriak:

“He, anak campur aduk, lekas kau menggelinding keluar! Mana yang sepuluh pohon lagi?!"

Perih rasa hati Oey Yong mendengar perkataan orang yang kotor itu. Semenjak sore ia mendampingi Auwyang Kongcu, merawatnya dengan terpaksa. Kapan ia mendengar rintihan pemuda itu, hatinya menjadi lemah. Sebaliknya, mengingat kecewirisan orang, ia jemu. Ketika pagi itu Auwyang Hong keluar, diam-diam ia keluar juga, maka itu, ia dapat dengar suara yang kasar dari See Tok.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar