Sabtu, 19 Desember 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 084

Auwyang Hong dan Kwee Ceng tenggelam terbawa perahu mereka yang masuk ke dasar laut terbawa oleh usar-usaran air. Memang perahu itu, yang tinggal sebelah, telah kemasukan banyak air. Segera juga mulut dan hidung mereka menyedot air asin, hingga keduanya menjadi kaget. Mereka menginsyafi bahaya. Karena itu mereka tidak berkutat terlebih jauh, sama¬-sama melepaskan tangan mereka, sebaliknya dipakai menekap hidung dan kuping. Mereka pun terbawa arus hingga jauh.

Ketika Kwee Ceng timbul di muka air, untuk bernapas, ia melihat jagat gelap, perahu kecil entah pergi ke mana. Ia menjerit-jerit, tidak ada yang menyahuti, meskipun sebenarnya Oey Yong tengah mencari-cari padanya. Damparan gelombang sangat berisik, angin juga tak kurang ributnya.

Selagi Kwee Ceng berteriak-teriak, ia merasa ada yang menarik kakinya yang kiri, atau dilain saat muncullah Auwyang Hong di sisinya. Dia ini tidak pandai berenang, maka itu, kecebur di laut, ia habis daya. Syukur dia dapat mencekal kakinya si anak muda, dia terus tidak mau melepaskannya, bahkan ia memegang juga kaki yang kanan. Sia-sia Kwee Ceng meronta-ronta. Mereka berkutat pula, hingga mereka tenggelam kembali. Tak lama, keduanya mengambang lagi.

"Lepaskan tanganmu!" Kwee Ceng berseru. "Aku tidak akan tinggalkan kau!"

Auwyang Hong tidak mau melepaskannya, baru sesaat kemudian, ia melepaskan kaki yang sebelah. Rupanya ia ingat, dengan bergulat terus, mereka bakal mati bersama. Kwee Ceng lantas berenang, sembari berenang ia mengangkat sedikit rusuk jago tua itu. Untung untuk mereka, tidak lama mereka membentur sepotong balok, maka si anak muda berpegang pada balok itu. Dengan begitu tak usah ia memakai banyak tenaga lagi.

"Lekas peluk balok ini!" ia berteriak. "Jangan lepas!"

Auwyang Hong menurut. Bukan main girangnya pemuda ini. Mereka terombang-ambing di laut sehingga sang fajar datang. Sekarang ternyata balok itu ada patahan tiang layar mereka. Hanya melihat kelilingan, mereka tak nampak perahu.

Auwyang Hong sangat berduka. Tongkatnya pun sudah lenyap, hingga ia menjadi sangat berkhawatir.

"Kalau ada ikan cucut di sini, mana bisa aku melawan seperti Ciu Pek Thong…?" pikirnya. "Ketika itu ada aku yang menolong dia, tetapi sekarang, siapa yang menolongi aku…?"

Mereka lapar dan berdahaga. Syukur, untuk dahar mereka bisa mengunyah ikan mentah. Kalau ada ikan yang lewat disampingnya, Kwee Ceng menikam dengan pisau belatinya, dan Auwyang Hong menghajar dengan tangannya. Hebat rasanya untuk menggerogoti ikan mentah itu.

Sekarangb mereka tidak bergulat lagi. Maka hari itu, sampailah mereka di tepian pulau di mana Cit Kong, Oey Yong dan Auwyang Kongcu telah tiba. Mereka mendarat untuk beristirahat. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berbicara sambil tertawa-¬tawa. Keduanya heran, Auwyang Hong yang berlompat paling dulu melihat orangnya. Tepat ia melihat batu lagi jatuh turun dan keponakannya lagi terancam, maka ia melesat menyambar keponakannya. Ia masih terlambat, sebab kesudahannya kedua kaki Auwyang Kongcu kena tertindih batu raksasa itu, anak muda itu menjerit untuk terus pingsan.

Untuk sejenak Auwyang Hong memandang sekelilingnya, setelah merasa pasti tidak ada ancaman bahaya lainnya, ia menghampiri keponakannya. Ia mendapat kenyataan sang keponakan cuma pingsan, maka hatinya menjadi sedikit lega. Ketika mencoba mendorong batu, ia tidak berhasil, tidak peduli tenaganya besar luar biasa.

"Paman…" memanggil keponakannya perlahan, setelah ia sadar, sedang pamannya lagi membungkuk.

"Tahan sakit," menyahut paman itu. Ia lalu memeluk, untuk menarik.

Auwyang Kongcu menjerit, kembali pingsan. Hebat tarikan itu sedang kaki tidak bergeming. Paman itu menjublak.

"Mana suhu?" tanya Kwee Ceng, yang menarik tangan Oey Yong. Ia seperti tidak ingat itu paman dan keponakannya.

"Di sana," sahut si nona, tangannya menunjuk.

Lega hatinya si anak muda. Selagi ia mau minta si nona mengajak pergi kepada gurunya, ia mendengar jeritan Auwyang Kongcu. Dasar hatinya mulia, ia menjadi tidak tega.

"Mari aku bantu padamu!" ia berkata kepada Auwyang Hong.

Oey Yong menarik tangan pemuda itu. "Mari kita lihat suhu!" ia mengajak. "Kita jangan pedulikan manusia jahat!"

Auwyang Hong tidak tahu bahwa batu besar itu jatuh karena ulahnya si nona, meski begitu ia gusar mendengar perkataan orang. Ia pun mengingat sesuatu akan mendengar Ang Cit Kong masih hidup serta berada di tempat itu. Ia membiarkan orang pergi, kepada keponakannya ia berbisik.

"Kau tahan sabar, aku nanti cari akal untuk menolongmu." Ia berlompat naik ke atas pohon, mengawasi ke arah muda-¬mudi itu pergi. Panas hatinya menyaksikan orang jalan rapat asyik sekali. "Jikalau aku tidak dapat menyiksa kamu berdua bangsat cilik hingga kau mati tidak hidup juga tidak, percuma aku disebut See Tok!" katanya dalam hati dengan sengit sekali. Habis itu ia lompat turun dari pohon, untuk menguntit.

Kwee Ceng berdua bersama Oey Yong berjalan terus sampai di mulut gua. Mereka tidak tahu bahwa mereka ada yang membayangi.

"Suhu!" memanggil si anak muda.

Cit Kong kelihatan lagi menyender di batu, matanya tertutup rapat, mukanya sangat pucat. Karena di ganggu Auwyang Kongcu, penyakitnya yang baru baikan kumat pula. Karena itu ia berdiam saja mendengar panggilan muridnya. Kwee Ceng dan Oey Yong menghampiri, yang satunya membuka kancing baju, yang lainnya menguruti tangan dan kakinya.

Akhirnya Ang Cit Kong membuka mata. Melihat Kwee Ceng, ia segera mengenalinya, ia girang. Ia tersenyum.

"Anak Ceng, kau pun datang!" katanya lemah.

Kwee Ceng hendak menyahuti gurunya tatkala ia terkejut mendengar suara nyaring dibelakangnya:

"Pengemis tua, aku juga datang!"

Itulah suaranya Auwyang Hong, yang telah menguntit sampai di luar gua. Kwee Ceng bangun memutar tubuh dan berlompat maju, ia menghalang di pintu dengan sikapnya "Sin liong pa bwee" atau "Naga sakti menggoyang ekornya". Oey Yong sendiri menyambar tongkat gurunya terus ia berlompat ke samping pemudanya.

Auwyang Hong tertawa "Pengemis bangkotan, keluar!" katanya nyaring. "Jikalau kau tidak keluar, nanti aku yang masuk ke dalam!"

Kwee Ceng menoleh kepada Oey Yong dan mengedipkan mata, maksudnya memberitahu, apapun yang bakal terjadi, hendak ia membela gurunya.




Auwyang Hong tidak memperoleh jawaban, ia tertawa lalu ia mju. Atas itu tanpa bersangsi lagi, Kwee Ceng menyerang. Inilah See Tok telah duga, malah ia menerka juga orang akan menggunakan Hang Liong Sip¬pat Ciang, dari itu ia sudah bersiaga untuk itu. Ia berkelit dengan berlompat ke kanan. Tapi di sini ia dipapaki tongkat, kelihatannya tongkat menyontek ke atas, tidak tahunya menyapu ke bawah berulang-ulang, hingga ia tidak dapat menduga tepat arah serangan orang. Diam-diam hatinya terkesiap. Ia lantas melindungi dirinya, untuk mencegah serangan apapun. Tapi hebat tongkat itu, tongkatnya Oey Yong. paling akhir ujung tongkat mencari jalan darah di pinggang.

Saking kaget, Auwyang Hong berlompat mundur, segera ia melirik. Ia tidak menyangka si nona menjadi begini lihay. Oey Yong mendapat hati melihat musuh mundur.. Ia telah menggunakan tipu-tipu dari Pa-kauw-pang, yang ia belum dapat menguasai dengan mahir. Sebaliknya See Tok belum pernah melihat ilmu silat itu.

"Hm!" berseru si Bisa dari Barat sambil ia berlompat maju, tangannya diulur untuk merampas tongkat si nona.

Oey Yong dapat berkelit, ketika ia dirangsak, masih ia bisa menyingkir dari pelbagai serangan. Kwee Ceng girang berbareng heran menyaksikan ilmu silat kawannya. Ia tidak menonton lebih lama, ia lantas maju, untuk menyerang dari samping.

Auwyang Hong menjadi sangat gusar, ia berlompat mundur, lalu ia berdongko, menyusul itu kedua tangannya menyerang dengan berbareng hingga anginnya berdesir. Hebat serangan itu, serangan menurut Kuntauw Kodok. Debu pun sampai kena dibikin terbang.

Kwee Ceng melihat ancaman bahaya, dengan cepat ia menolak pundaknya Oey Yong - orang yang diserang itu - hingga si nona terhuyung, tetapi dengan begitu ia terhindar dari bahaya.

Auwyang Hong penasaran, ia maju dua tindak, kembali menolak dengan sepasang tangannya. Memang hebat Kuntauw Kodok dari See Tok ini, sebagaimana ternyata, Ang Cit Kong yang begitu lihay cuma bisa bertarung seri dengannya.

Segera juga Kwee Ceng dan Oey Yong kena didesak mundur, sebab mereka main berkelit saja. Auwyang Hong dapat memasuki gua. Ketika ia menyerang gagal ke kiri, ia menghantam pinggiran gua hingga batu dan tanahnya gugur. Setelah itu ia menyerang dengan tangan kanannya ke arah Ang Cit Kong.

Pak Kay sedang menutup mata ketika ia mendengar desiran angin dari pukulan-pukulan yang dahsyat itu, lantas ia membuka matanya.

"Ilmu silat yang bagus sekali!" pujinya. "Tangan yang hebat!"

Muka Auwyang Hong menjadi merah, ia merasa diejek. Bukankah ia sedang melayani segala bocah? Maka tangannya itu tak dapat diteruskan.

"Guruku menolong jiwamu, kau sekarang hendak mencelakai guruku? Oey Yong berteriak. "Sungguh kau tidak mempunyai muka?!"

Batal menyerang, Auwyang Hong menolak dengan perlahan tubuhnya si Pengemis dari Utara. Ia merasakan dada dan daging yang lembek, hingga dada itu kentop. Biasanya, ditekan begitu, tubuh seorang ahli silat mesti membal untuk melawan, tapi ini sebaliknya, maka tahulah See Tok bahwa kepandaian orang telah lenyap. Ia lantas membungkuk, berniat mengangkat tubuhnya si pengemis.

"Kamu membantu aku menolong keponakanku, maka aku beri ampun jiwanya ini penegemis tua!" ia berkata bengis. Ia mengancam si pemuda dan pemudi.

"Thian yang menurunkan batu itu menindih dia, kau melihatnya dengan matamu sendiri!" berkata Oey Yong, menyahuti. "Siapa sanggup menolong dia? Jikalau kau berbuat jahat, nanti Thian pun melemparkan batu besar itu untuk menindih padamu sampai mampus!"

Auwyang Hong angkat tubuhnya Ang Cit Kong tinggi-¬tinggi, ia mengancam hendak melemparkannya.

Kwee Ceng sangat mulia hatinya, ia tidak tahu bahwa orang lagi menggertak. "Lekas turunkan guruku!" ia berseru. "Nanti kita bantu kau!"

Sebenarnya Auwyang Hong ingin lekas-lekas menolong keponakannya, tetapi ia tidak sudi kentarakan itu, ia justru membawa aksi. Kemudian ia menurunkan tubuh Cit Kong dan meletakkannya dengan baik.

"Untuk membantu kau menolongi dia tidaklah sukar!" berkata Oey Yong. Ia masih penasaran, ia menyebutnya Auwyang Kongcu dengan "dia". Tetapi kita harus membuat dulu tiga perjanjian!"

"Eh, budak perempuan, kesulitan apa lagi kau hendak mengajukannya?!" See Tok mendongkol.

"Sesudah kami membantu kau menolongi keponakanmu, kita tinggal bersama-sama di pulau ini," menjawab Oey Yong. "Selama itu kau tidak boleh mengganggu kami guru dan murid bertiga!"

Auwyang Hong terus mengangguk, karena ia sudah lantas ingat keponakannya tidak bisa berenang, untuk dapat pulang ke daratan, mereka mengandalkan bantuan tiga orang ini.

"Baik!" ia memberikan janjinya. "Selama berada di pulau ini, aku pasti tidak akan turun tangan terhadap kamu, tetapi nanti di daratan, itu sukar untuk membilangnya…"

"Sampai itu waktu, biarnya kau tidak turun tangan, kami yang bakal turun tangan terhadapmu!" kata Oey Yong menantang. "Sekarang yang kedua. Ayahku telah menjodohkan aku dengan dia, kau melihatnya sendiri, kau mendengarnya sendiri juga, maka itu kalau di belakang hari keponakanmu itu menggerembengi pula padaku, ia lah binatang yang tak mirip-miripnya sekalipun dengan anjing babi!"

"Hm!" terdengar suara tawar dari See Tok. "Baiklah, tetapi ini pun terbatas selama kita berada di pulau ini, seberlalunya kita dari sini, kita lihat saja nanti!"

Oey Yong tersenyum. "Sekarang syarat yang ketiga!" ia berkata pula. "Kami akan membantu kau dengan sungguh-sungguh akan tetapi umpama kata Thian hendak mengantarkan jiwa keponakanmu itu pulang ke alam baka, itu bukannya tenaga manusia yang dapat mencegahnya, maka itu kau tidak boleh menimbulkan lain urusan lagi!"

Kedua mata Auwyang Hong mendelik dan berputar. "Jikalau keponakanku sampai mati, si pengemis tua jangan harap dapat hidup lebih lama!" katanya bengis. "Budak cilik, jangan kau ngaco belo lebih lama! lekas kau tolongi keponakanku!"

Habis berkata, jago dari Barat ini lantas lompat keluar dari gua, berlari-lari keras ke arah lembah.

Kwee Ceng hendak lompat menyusul tetapi si nona tarik tangannya. "Engko Ceng," ia berkata, memesan, "Kalau sebentar See Tok membantu mendorong batu besar itu, kau gunakan saat itu untuk membokongnya biar habis jiwanya!"

"Cara membokong itu bukan cara terhormat," berkata Kwee Ceng.

"Dia bikin celaka suhu, adalah itu caranya terhormat?" tanya si nona. Agaknya ia mendelu.

"Tetapi kita telah mengeluarkan kata-kata, harus kita pegang itu," Kwee Ceng mengasih mengerti. "Sekarang kita tolong dulu keponakannya, nanti di belakang hari kita mencari jalan untuk membuat pembalasan."

Mendengar itu, si nona tertawa. "Baiklah," katanya. "Kau seorang nabi, suka aku mendengar kata-katamu!"

Setelah memesan gurunya untuk menanti, kedua muda-mudi ini lari ke lembah. Di sana mereka mendengar Auwyang Kongcu merintih, suaranya sangat mengenaskan, menandakan ia sangat menderita.

"Lekas, lekas!" Auwyang Hong memanggil seraya membentak.

Kwee Ceng dan Oey Yong lantas mendekati batu, memasang kuda-kuda. Auwyang Hong sendiri sudah bersiap terlebih dulu. Dengan satu tanda, berbareng enam buah tangan memegang batu dan menolaknya. Auwyang Hong adalah yang berseru;

“Angkat!"

Ditolak oleh enam tangan yang kuat, batu itu tergerak, tetapi cuma sebentar, sehabisnya tenaga orang, batu itu jatuh pula, pulang ke tempat asalnya.

"Aduh!" menjerit Auwyang Kongcu yang tak sempat menarik kedua kakinya. Ia ketimpa pula, lantas ia pingsan kembali.

Auwyang Hong kaget, ia berdongkol melihat keponakannya, napas siapa empas-empis selekasnya dia sadar pula, dia menahan sakit hingga ia menggigit keras bibirnya, sampai bibirnya mengeluarkan darah.

See Tok menjadi sangat bingung. Terang sudah tenaga mereka bertiga tidak cukup kuat mengangkat batu raksasa itu. Lama-lama keponakannya bisa mati karena sakitnya. Ia menjadi lebih bingung lagi ketika ia merasakan kakinya dingin, ketika mengangkat sebelah kakinya, nyata sepatunya sudah basah, tanah pasir yang ia injak kerendam air. Air laut pasang, yang naik sampai ke lembah itu.

"He, budak cilik!" See Tok membentak Nona Oey. "Jikalau kau hendak menolongi jiwa gurumu, lekas kau tolong keponakanku ini!"

Oey Yong lagi berpikir keras ketika ia ditegur itu. Batu begitu berat, di pulau ini tidak ada orang lain yang dapat membantu. Bagaimana? Ia mendongkol atas teguran itu.

"Coba kalau guruku tidak terluka, pasti dia dapat membantu!" katanya. "Ilmu luar dari guruku lihay sekali, tenaganya besar luar biasa, dengan kita berempat bekerja sama, mestinya batu ini dapat digeser. Sekarang…" Ia angkat kedua tangannya, ia menggoyang-¬goyangkannya, tanda ia putus asa.

Auwyang Hong tidak senang mendengar itu tetapi itulah kenyataan, ia tidak bisa bilang apapun. Ia pikir, memang benar kalau Ang Cit Kong tidak terluka, pengemis itu pasti dapat membantu mereka. Maka maulah ia memikir itu adalah takdir, kebetulan keponakannya bercelaka, kebetulan Pak Kay terluka…

"Paman," terdengar suaranya Auwyang Kongcu perlahan. "Kau hajar saja aku supaya lantas mati…" "Aku….aku tidak dapat bertahan lagi…."

Auwyang Hong mengawasi, lantas ia mencabut pisau belatinya. "Kau tahan sakit sedikit," katanya seraya terus menggigit gigi. "Tanpa sepasang kakimu, kau masih dapat hidup…!" Ia maju mendekati, hendak menguntungi kedua kaki orang.

"Paman, paman!" berteriak-teriak si keponakan. "Jangan, jangan! Lebih baik kau tolong aku dengan membunuh saja…!"

Marah paman itu. "Percuma aku mendidik kau beberapa tahun, kenapa kau tidak mempunyai semangat laki-laki?!" bentaknya.

Keponakan itu menutup mulutnya, dengan kedua tangannya ia mendekap dadanya. Dengan begitu ia mencoba menahan sakit. Menyaksikan itu, hati Oey Yong lemas juga. Ia lantas berpikir pula, hingga ia ingat cara ayahnya bekerja di Tho Hoa To waktu ayahnya mengangkat batu dengan balok.

"Tunggu!" ia berkata kepada Auwyang Hong. "Kalau kau kutungi kedua kakinya, apakah itu bukan berarti kau mengantarkan jiwanya? Aku mempunyai satu daya, entah berhasil atau tidak, mari kita coba dulu."

"Lekas bilang, lekas bilang, apa itu?" See Tok lantas mendesak. "Nona yang baik, kali ini tentulah kau berhasil…"

"Hm," pikir Oey Yong. "Kau sangat ingin menolongi keponakanmu, sekarang kau tidak mencaci dan membentak-bentak aku pula, bahkan memanggil aku nona yang baik." Ia lantas tersenyum, terus ia berkata: "Baiklah! Sekarang kau mesti dengar titahku. Lekas kau keset pohon itu, kau membuatnya dadung yang panjang untuk menarik batu besar…"

"Siapakah yang menariknya?" Auwyang Hong memotong. Ia heran. Bukankah mendorong dan menarik sama saja sebab mereka tetap bertiga?

"Kita bekerja seperti di perahu ketika mengangkat jangkar," Oey Yong bilang.

Auwyang Hong mengerti, tiba-tiba ia jadi mendapat harapan. "Cocok, cocok!" katanya. "Kita menarik sambil berputaran!"

Kwee Ceng tidak tahu caranya Oey Yong akan bekerja, begitu mendengar si nona minta babakan pohon untuk diambil tali seratnya, ia lantas saja mengeluarkan pisau, terus bekerja memotong babakan pohon.

Auwyang Hong dan Oey Yong juga turut bekerja. Tidak lama mereka sudah mendapatkan beberapa puluh lembar babakan yang panjang. Auwyang Hong bekerja sambil mengawasi keponakannya, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata dengan putus asa:

"Sudahlah, tak usah kita memotong lebih jauh…."

"Kenapa?" tanya Oey Yong heran. "Kenapa tidak jadi?"

See Tok menunjuk ke arah keponakannya. Oey Yong dan Kwee Ceng mengawasi. Mereka melihat air pasang telah naik hingga tubuh Auwyang Kongcu sudah kerendam separuhnya. Maka jangan kata membikin tambang, memotong babakan saja sudah tidak keburu…. Auwyang Kongcu sendiri berdiam, ia tidak bergerak, tidak bersuara.

"Jangan putus asa!" kata nona Oey kemudian. "Lekas potong terus!"

Auwyang Hong si iblis yang biasanya malang-¬melintang, mendengar suara si nona, sudah lantas bekerja pula. Ia bekerja dengan cepat sekali. Oey Yong sendiri lompat dari atas pohon, ia lari kepada Auwyang Kongcu. Ia angkat tubuh orang, ia mengganjalnya dengan satu batu besar. Secara begini, pemuda itu tidak kerendam mukanya, maka dapatlah ia bernapas terus.

"Adik yang baik, terima kasih banyak-banyak untuk pertolonganmu," berkata Auwyang Kongcu dengan perlahan. "Aku tidak bakal hidup lebih lama pula, akan tetapi melihat kau begini sungguh-sungguh menolongku, kalau aku nanti mati, aku mati senang…."

"Jangan mengucap terima kasih padaku," kata Oey Yong yang karena jujurnya merasa jengah dengan sendirinya. "Kau terjebak karena aku yang mengaturnya, kau tahu?"

"Hus, jangan omong keras-keras!" mencegah Auwyang Kongcu. "Kalau pamanku mendengar, dia tidak akan melepaskanmu! Sudah sedari siang-¬siang aku dapat mengetahui perbuatanmu ini, tetapi terbinasa di tanganmu, sedikit juga aku tidak menyesal…."

Oey Yong menghela napas, hatinya berpikir; "Meski orang ini menjemukan tetapi terhadapku dia tidak buruk…" Ia lantas kembali ke bawah pohon, untuk mulai bekerja. Ia melara, membuatnya sebuah dadung kasar. Ini rupanya belum cukup kuat, maka empat helai itu ia melaranya pula menjadi satu helai yang besar.

Auwyang Hong bersama Kwee Ceng tidak hentinya memotong babakan pohon, untuk diambil seratnya, dan si nona pun tak henti-hentinya melara. Semua bekerja cepat dan sungguh-sungguh. Mereka mesti berlomba sama sair pasang. Air baru saja naik, tak gampang-gampang lekas surut.

Belum Oey Yong dapat melara kira-kira setombak panjangnya, air sudah naik hingga dipinggir mulutnya Auwyang Kongcu, setelah ia dapat lagi beberapa kaki, air itu sampai di pinggiran bibir, ya, ke bibir, hingga dilain saat terlihat saja liang hidungnya si anak muda.

Menampak itu Auwyang Hong lompat turun dari atas pohon. "Menyingkirlah kamu!" katanya pada Kwee Ceng dan Oey Yong. "Aku hendak bicara sama keponakanku. Kamu sudah berbuat apa yang kamu bisa, aku mengerti kebaikanmu ini."

Kwee Ceng pun merasa bahwa harapan sudah lenyap, ia lompat turun, dengan jalan berendeng sama si nona, ia bertindak pergi jauhnya lebih dari sepuluh tombak.

"Mari kita pergi ke belakang batu besar itu, kita mencuri dengar perkataannya," bisik Oey Yong si cerdik.

"Urusan toh tidak mengenai kita?" berkata si anak muda. "Laginya si tua bangka yang lihay itu tentu mengetahuinya…."

"Semampusnya keponakannya itu, mungkin dia akan mengganggu suhu," kata Oey Yong. "Kalau kita ketahui niatnya, dapat kita bersiaga. Umpama kata si tua bangka beracun itu memergoki kita, kita bilang saja kita kembali untuk mengambil selamat berpisah dari keponakannya itu…"

Kwee Ceng mengangguk. Ia anggap alasan itu tepat. Bersama-sama mereka lantas jalan terus, memutar dengan diam-diam, selekasnya mereka tak nampak lagi oleh Auwyang Hong, mereka menghampiri ke arah batu. Tentu sekali mereka tak sudi memperdengarkan tindakan kaki mereka.

Tepat mereka sampai, mereka dapat mendengar kata-¬katanya Auwyang Hong: "Kau pergilah dengan baik, aku mengerti maksud hatimu. Kau berkeinginan menikahi putri Oey Lao Shia sebagai istrimu, pasti aku akan membikin keinginanmu itu terkabul."

Kedua muda-mudi di belakang batu itu heran bukan main. "Dia bakal segera mampus, cara bagaimana keinginan itu dapat dikabulkan?" mereka berpikir. "Apakah artinya kata-kata si tua bangka berbisa ini?"

Mereka memasang kuping terlebih jauh, setelah mana mereka jadi kaget dan gusar, punggung mereka dialiri peluh dingin. Auwyang Hong itu berkata: "Akan aku bunuh putrinya Oey Lao Shia, nanti aku masukkan tubuhnya dalam satu liang kubur bersamamu! Bukankah semua orang mesti mati? Kau dan dia tak dapat hidup bersama, tetapi mati dapat dikubur menjadi satu, kau tentu merasa puas juga…" Mulutnya Auwyang Kongcu telah kerendam air, tidak dapat ia menjawab.

Oey Yong memencet tangannya Kwee Ceng, yang ia tarik, dengan perlahan ia bertindak. Maka bersama¬-sama mereka menyingkir dari situ. Auwyang Hong tengah berduka sangat, ia tidak mendengar suara apapun.

Tiba di tempat dimana mereka sudah berpisah cukup jauh, Kwee Ceng berkata dengan sengit. "Yong-jie, lebih baik kita hampiri si bisa bangkotan itu untuk mengadu jiwa dengannya!"

"Bertempur sama dia, kita melawan dengan kecerdikan, tidak dengan tenaga," menyahut si nona tenang.

"Bagaimana caranya?"

"Aku lagi memikirkannya." Mereka jalan terus, sampai di tikungan. Di situ si nona melihat gombolan pohon gelaga. "Jikalau dia tidak jahat dan kejam, aku dapat jalan untuk menolong keponakannya itu," berkata Oey Yong.

Kwee Ceng heran. "Bagaimana?" dia tanya.

Oey Yong menghampiri gombolan gelaga itu, ia memotong sebatang, di antaranya lalu ia angkat, dimasukkan ke dalam mulutnya, untuk menyedot dan bernapas.

"Bagus!" Kwee Ceng bertepuk tangan. "Oh, Yong-jie yang baik bagaimana kau dapat memikirkan ini? Bagaimana sekarang, kita menolongi atau jangan?"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar