Senin, 14 Desember 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 082

Hati Oey Yong tidak tentram tetapi ia menyilangkan kedua tangannya, ia menelad Cit Kong untuk menjura ke arah utara. Pak Kay menghela napas panjang, dari wajahnya nampak letih sekali, tetapi ia bersemangat, tanda dari riang hatinya.

Oey Yong mempepayang, membantu gurunya merebahkan diri. "Sekarang kau menjadi Pangcu, dengan begitu aku menjadi tianglo," kata Cit Kong. "Tianglo masih dihormati oleh Pangcu tetapi dalam urusan besar dan penting, tianglo tunduk kepada titah pangcu. Ini aturan yang menjadi pesan Couwsu-ya, yang sekali-sekali tak dapat disangkal. Asal tongkat Lek-tiok-thung ini berada di tanganmu, begitu kau memberikan titah maka semua pengemis di negeri kita ini mesti menerima dan menurut segala titah."

Oey Yong masgul berbareng gugup, ia bingung. Apa artinya guru ini dengan tiba-tiba mewariskan kedudukan raja pengemis padanya? Mana ada alasannya? Tapi gurunya tengah terluka parah, ia pun sudah memberikan janjinya, tidak dapat ia menampik. Penampikan berarti menambah susah hati gurunya. Ia juga memikir: "Kita sekarang berada di pulau kosong… di bulan dan tahun kapan kita dapat kembali ke tanah Tionggoan? Laginya, engko Ceng sudah meninggal dunia, aku tidak ingin hidup lebih lama… Sekarang suhu menyuruh aku mengepalai pengemis dari seluruh negeri…" Maka ia menjadi berdiam saja.

Ang Cit Kong berkata pula; "Tahun ini tanggal limabelas bulan tujuh adalah tanggal rapat besar setahun sekali yang bakal diadakan di kota Gakyang di tepi telaga Tong Teng Ouw, di sana akan berkumpul semua kepala pengemis dari pelbagai tempat. Rapat itu diutamakan untuk semua pemimpin mendengar aku menunjuk bakal gnatiku sebagai Pangcu, siapa sangka sekarang aku terbengkalai di sini. Kau telah menjadi penggantiku, kau dapat pergi ke sana memegang pemimpin. Dengan kau mencekal dan membawa tongkat ini, semua saudara akan segera mengerti maksudku. Di dalam urusan Kay Pang, keempat tianglo lainnya akan membantu kamu, maka tak usahlah aku memesan banyak. Hanya aku menyesal sekali, tanpa sebab dan secara begini mendadak aku memaksakan kau, satu nona yang manis, merendahkan diri masuk ke dalam kalangan bangsa pengemis…."

Walaupun ia mengucap demikian, Pak Kay toh tertawa girang. Tapi, karena tertawanya itu, ia merasakan lukanya nyeri, setelah meringis, ia batuk-batuk tak henti-hentinya. Oey Yong mengusap-usap punggung gurunya.

"Aku si pengemis tua benar-benar sudah tak punya guna," kata Cit Kong setelah berhenti batuk-batuk. "Karena aku tidak tahu kapan bakal berpulang ke lain dunia, mesti aku lekas-lekas menurunkan ilmu silat Pa-kauw-pang kepadamu…!"

Sudah puluhan macam ilmu silat didapat Oey Yong dari gurunya ini, belum pernah ia mendengar Pa-kauw¬pang, yang berarti ilmu silat pentungan menghajar anjing. Ia memikir-mikir, kenapa tak enak sekali disebutnya nama ilmu silat itu - mementung anjing….

"Bagaimana galaknya seekor anjing, dia dapat dihajar mampus dengan sebuah kepalan," ia berpikir pula, "Maka itu, untuk apa mesti mempelajari pula ilmu silat menemplang anjing? Tapi suhu bicara dengan sikap begini sungguh-sungguh, baiklah aku menurut…" Maka mengangguklah ia, bersedia menerima warisan ilmu silat yang ia anggap aneh itu.

Ang Cit Kong mengawasi muridnya, ia tertawa. "Meskipun kau menjadi Pangcu, kau tak usah mengubah macam atau dandanmu, tak usah mengubah tabiat atau sifatmu," berkata ia menjelaskan. "Kau doyan guyon bergurau, tetap kau boleh berpesta pora dengan kenakalanmu itu! Kami bangsa pengemis, justru paling kemaruk sama kemerdekaan dan kebebasan, sebab tanpa kebebasan, tak dapat kami menjadi pengemis. Kalau tidak demikian, kenapa kita tidak menjadi saja pembesar negeri atau seoarng hartawan? Nampaknya kau tidak puas dengan Pa-kauw-pang, benarkah? Kau bilanglah terus terang!"

Oey Yong tersenyum. "Muridmu sebenarnya memikirkan berapa ketangguhannya seekor anjing.." ia menyahut. "Muridmu memikir untuk apa mesti diciptakan semacam ilmu silat.."

"Sekerang kau telah menjadi kepala pengemis, kau harus memikir sebagai pengemis juga!" katanya. "Tapi pakaianmu indah, romanmu mentereng sebagai nona hartawan, kalau ada anjing melihat, mesti anjing itu mengangguk-angguk dan menggoyang-goyang ekor terhadapmu. Dengan begitu, apa perlunya menghajar anjing itu? Tetapi kalau si pengemis tulen bertemu sama anjing, hebatlah akibatnya, sungguh menyedihkan! Bukankah pepatah kuno ada membilang, 'Seorang miskin melarat tanpa pentungan dia diperhina oleh anjing'? Kau belum pernah menjadi seorang miskin, kau tidak mengerti kesengsaraannya si miskin."

Mendengar itu Oey Yong tertawa seraya bertepuk tangan. "Suhu, kali ini kau keliru!" katanya gembira.

Cit Kong heran, ia melengak. "Kenapa keliru?" tanyanya.

"Ketika pada bulan ketiga yang baru lalu ini aku minggat dari Tho Hoa To dan aku pergi ke Utara, di sana aku telah menyamar sebagai pengemis!" sahut si nona. "Disepanjang jalan ada saja anjing yang menggonggong dan mengikutiku, hendak menggigit, selalu aku hajar dia dengan dupakan, lantas dia lari sambil menggoyang-goyang ekornya!"

"Ya, itu benar," berkata Ang Cit Kong. "Hanya kalau anjing sangat galak hingga sukar ditendang, tidak dapat tidak, tongkat harus dipakai untuk mementungnya!"

Si nona menjadi berpikir. "Di mana ada anjing demikian galak dan hebat?" Tapi hanya sejenak, lantas ia insyaf. Maka ia menambahkan: "Benar! Manusia jahat pun sama dengan anjing galak!"

Cit Kong tersenyum. "Kau sungguh cerdas!" pujinya. "Jikalau…." Ia sebenarnya hendak menyebut Kwee Ceng pasti tidak dapat menebak, tetapi ia berduka, ia batal melanjutkannya. Ia bahkan terus berdiam.

Oey Yong dapat menerka hati orang, ia berpura-pura tidak tahu. ia pun sangat berduka.

"Pa-kauw-pang terdiri dari tigapuluh enam jurus," kemudian Cit Kong berkata pula, memberi penjelasan. "Itu ilmu silat yang diciptakan sendiri oleh Couwsa¬ya. Sampai sebegitu jauh, menurut aturan dan kebiasaan, ilmu silat ini cuma diajari dan diwariskan kepada Pangcu, tidak kepada orang yang kedua. Katanya dulu Pangcu yang nomor sebelas, waktu ia berada di gunung Pak Kouw San, ia telah dikepung banyak orang kosen, dengan sepasang kepalannya, ia telah menghajar mati lima di antaranya. Ketika itu, ia menggunakan ilmu silat Pa-kauw-pang."




Oey Yong tertarik, tetapi ia menghela napas. "Suhu," tanyanya, "Ketika di perahu besar itu kau menempur See Tok Auwyang Hong, kenapa kau tidak menggunakan ilmu silatmu?"

"Menggunakan ilmu silat ini adalah urusan besar dari Partai kita," menyahut sang guru. "Sekalipun aku tidak menggunakan, See Tok tak dapat mengalahkan aku! Siapa sangka dia sangat hina dina, aku sudah tolong, dia justru membokong menyerang punggungku…"

Diwaktu mengucap demikian, wajah Pak Kay muram. Oey Yong dapat menduga kemendongkolan dan kemasgulan gurunya, hendak ia menyimpang pembicaraan.

"Suhu," ia berkata, "Sekarang kau ajarkanlah ilmu silat tongkat itu kepada Yong-jie, sesudah Yong-jie bisa, nanti Yong-jie pakai untuk membunuh See Tok guna membalaskan sakit hati suhu!"

Cit Kong tertawa tawar. Ia menumput sebatang cabang kering, setelah mana mulutnya membaca, tangannya digerak-gerakkan. Ia tetap rebah tetapi dapat menjalankan tigapuluh enam jurus dari Pa-kauw¬pang itu. Yang mana kurang jelas, ia menambahkan dengan keterangannya. Dengan cara itu ia menurunkan ilmu silat mementung anjing itu. Ia tahu Oey Yonng cerdas sekali, ia mengajari dengan sungguh-sungguh. Dilain pihak ia khawatir umurnya tidak panjang lagi…..

Nama ilmu silat pentungan itu tak sedap didengarnya, tetapi ilmu silatnya sendiri lihay, banyak perubahannya, kalau tidak, tidak nanti ilmu itu menjadi ilmu istimewa dalam Kay Pang dan diwariskan secara turun temurun. Maka itu, mesti Oey Yong cerdas luar biasa dan ia dapat menjalankan, tak semuanya segera ia dapat menangkap maksudnya. Habis memberi pelajaran, Cit Kong menghela napas, ia bermandikan keringat.

"Aku mengajari kau terlalu singkat," ia berkata, "Itu tidak bagus. Sebenarnya, tidak dapat aku mengajari lebih jauh…" Mendadak ia menjerit, "Aduh!" dan tubuhnya roboh rebah.

Oey Yong kaget, ia berlompat menubruk. "Suhu!" ia memanggil. Ia pun mengasih bangun.

Tangan dan kaki Cit Kong dingin, napasnya jalan sangat perlahan. Nampaknya ia tidak dapat ditolong pula…

Selama beberapa hari ini hebat penderitaan si nona, maka ia mendekam di tubuh gurunya, ia menangis tanpa dapat mengeluarkan suara. Ia masih dapat mendengar denyutan jantung gurunya. Lantas ia menggunakan kedua tangannya, memegang kedua bagian rusuk, untuk membantu sang guru bernapas. Saat itu saat genting untuk gurunya, ia mendengar satu suara perlahan di belakangnya. lantas sebuah tangan diangsurkan ke lengannya.

Dalam kedukaan dan kekhawatiran, Oey Yong cuma ingat menolong gurunya, maka itu tahu ia kapannya Auwyang Kongcu masuk ke dalam gua, hingga ia seperti lupa yang di belakangnya ada seekor anjing yang galak.

"Berat sakitnya suhu, lekas kau pikirkan daya untuk menolong," ia berkata pada pemuda itu. Ia berpaling, mengawasi dengan air mata berlinang-linang.

Melihat roman orang yang sangat menyedihakan itu, Auwyang Kongcu merasa kasihan. Ia berjongkok untuk melihat Ang Cit Kong, kulit mukanya pucat dan kedua matanya terbalik. Melihat keadaan orang, ia justru menjadi girang sekali. Ia berdampingan sama si nona, ia mendapat cium bau harum dari tubuh si nona, sedang mukanya kena rambut orang. Betapa menyenangkan?

Kembali pemuda ini tidak dapat mengendalikan diri. Kalau tadi ia cuma menyentuh lengan si nona, sekarang ia mengulur tangan kirinya merangkul pinggang orang. Oey Yong terkejut, ia menyikut dengan meninju, si anak muda berkelit, ia berlompat bangun. Auwyang Kongcu jeri kepada Ang Cit Kong, sekarang ia mendapatkan orang tengah rebah sebagai mayat, hatinya menjadi besar. Kalau tadinya ia takut menggunakan kekerasan terhadap Oey Yong, sekarang ia berani. Hendak ia memaksa. Maka ia berlompat ke mulut gua, untuk menghalang. Ia tertawa.

"Adik yang baik," katanya manis, "Terhadap orang lain aku tak biasanya menggunakan kekerasan, tetapi kau begini cantik manis, kau botoh sekali, tidak dapat aku menguati hati lagi. Marilah, adik, kau mengasihkan aku satu cium…" Sembari mengucap demikian, pemuda itu mementang tangan kirinya, ia maju setindak demi setindak.

Hatinya Oey Yong bergoncang keras. "Ancaman bencana atas diriku hari ini berlipat sepuluh kali daripada ancamana bahaya semasa aku berada di istana Chao Wang," berpikir si nona ini. "Kalau tidak dapat membinasakan dia, aku mesti membunuh diri. Hanya, mana aku puas…?" Hanya dengan satu kali menggerakkan tangan, Oey Yong sudah siap dengan tempuling dan jarumnya.

Auwyang Kongcu lantas tersenyum. Ia lantas meloloskan bajunya, untuk dipakai sebagai cambuk lemas. Kembali ia maju dua tindak.

Oey Yong berdiri diam, matanya mengawasi tajam. Ia menanti orang mengangkat kaki. Belum lagi kaki itu diturunkan ke tanah, tiba-tiba ia melompat ke kiri. Menampak itu, Auwyang Kongcu meneruskan berlompat ke kiri juga, untuk merintangi si nona. Tapi justru itu Oey Yong mengayunkan tangannya. Lihay si anak muda, dia menggerakkan sabuk bajunya, menangkis serangan jarum. Tapi si nona pun lihay, ia memang menggunakan siasat, maka tengah pemuda itu membela diri, ia berlompat, melesat ke luar gua!

Auwyang Kongcu benar-benar lihay, walaupun dia repot, toh dapat berlaku gesit luar biasa. Dia berlompat untuk menyusul, maka itu tengah lari, Oey Yong mendengar desiran angin di belakangnya. Itulah desiran pukulan ke arah punggung. Ia tidak takut, sebaliknya, ia menjadi girang. Bukankah ia memakai baju lapis berduri? Bukankah ia pun sudah nekat? Ia tidak takut mati, asal ia dapat melukai musuh. Maka itu, ia tidak mau menangkis, hanya memutar tubuhnya untuk membarengi menyerang!

Auwyang Kongcu tidak berniat membinasakan si nona, kalau ia menyerang, hanya mengancam, ia hendak menggoda saja, maka ketika serangan itu datang, ia batal menyerang terus, ia menangkis serangan itu, lalu ia melompat lebih jauh, untuk mendahului tiba di mulut gua.

Oey Yong berkelahi seperti kalap. Ia menyerang tanpa mengingat pembelaan diri. Dengan begini, kegagahannya seperti tambah satu kali lipat.

Adalah maksud Auwyang Kongcu membuat si nona itu letih, tetapi sekarang ia mesti menghadapi serangan bertubi-tubi, terpaksa ia mesti melayani juga. Di dalam keadaan seperti itu, walaupun ia lebih kosen, toh kewalahan juga, kesatu ia memang tidak berniat mengambil nyawa si noa, kedua ia mesti berkelahi dengan sebelah tangan, sedang tangan yang lain lagi sakit. Pertempuran telah berlangsung kira-kira enampuluh jurus ketika mendadak Oey Yong menubruk, sambil menubruk, ia menimpuk dengan jarumnya.

Auwyang Kongcu repot menangkis jarum, untuk itu ia mesti mengebas dengan sabuk bajunya. Disamping itu, hebat tubrukkan Oey Yong, yang menikam ke arah tangan kanannya yang sakit itu. Hendak ia menangkis pula dengan tangan kirinya tetapi sudah tidak keburu, ujung tempuling telah mengenai lukanya.

Tapi juga Oey Yong tidak dapat bergirang karena hasil tikamannya. Baru ia menikam merasakan tangannya kesemutan, terus senjatanya terlepas jatuh ke tanah. Sebab di luar sangkaannya, walaupun dia kena ditikam, Auwyang Kongcu mengubah tangkisannya menjadi totokan kepada lengan nona itu dan tepat totokannya itu. Si nona kaget, ia berlari terus. Ia lari sembari membungkuk.

Auwyang Kongcu tidak hendak melepaskan bakal mangsanya ini. Ia berlompat dengan pesat, ia juga membungkuk, tangan kirinya dilonjorkan ke depan, untuk menotok kaki orang, yang lagi diangkat untuk berlari. Ia berhasil, dua kali ia dapat menotok jitu, mulanya di jalan darah koanciong-hiat di kaki kiri si nona, kemudian di jalan darah tiongtouw-hiat di kaki kanan. Maka tak ayal lagi, baru bertindak dua kali, nona itu sudah lantas terguling roboh!

Sekali lagi Auwyang Kongcu berlompat, bahkan dia mendahului, untuk membeber bajunya, hingga si nona terjatuh di atas hamparan baju itu. Pemuda itu pun menggoda, sembari tertawa ia berkata:

"Ah, jangan sampai kau merasa nyeri!"

Oey Yong mendapat pelajaran langsung dari ayahnya, Auwyang Kongcu mewariskan kepandaian pamannya, yang menyayang ia sebagai anak sendiri, maka itu mereka sama-sama mempunyai kepandaian yang lihay. Oey Yok Su gagah, begitu juga dengan Auwyang Hong, bahkan mereka berdua ini berimbang. Dengan demikian, pemuda dan pemudi ini seharusnya sama kosennya juga. Tapi toh Oey Yong kalah! Kenapa? Waktu itu ada terselip selisih usia dan waktu latihan. Oey Yong baru berumur limabelas tahun, Auwyang Kongcu sudah lebih dari tigapuluh tahun, maka itu, perbedaan waktu belajar mereka adalah kira-kira duapuluh tahun. Benar Oey Yong mendapat pelajaran juga dari Ang Cit Kong tetapi belum lama dan latihannya belum sempurna. Karenanya, walaupun si pemuda terluka tangannya, ia tetap lebih unggul.

Oey Yong kaget tetapi pikirannya tidak kacau. Begitu ia jatuh, ia berbalik sambil menimpuk dengan jarumnya. Kemudian ia gerakkan tubuhnya untuk berlompat bangun. Tidak beruntung untuknya, kedua kakinya tidak mau menurut perintah, maka tidak dapat ia berlompat bangun untuk berlari. Ia baru bergerak sedikit ia terguling pula.

Ketika itu Auwyang Kongcu mengulur sebelah tangan dengan maksud mengasih bangun. Dalam murkanya, Oey Yong meninju dengan tangan kirinya. Tapi si anak muda dapat melihat serangan itu, dengan leluasa menyambut dengan tangan kirinya, dengan totokan, maka matilah tangan kiri si nona, seperti tangan kanannya yang ditotok juga, hingga kaki tangannya tak dapat bergerak semua. Ia mirip orang yang dibelenggu.

Bukan main panasnya hati nona ini, ia sangat menyesal yang barusan ia tidak membunuh diri saja, hingga sekarang jadi kena tertawan. Ia ada begitu murka dan mendongkol. Mendadak ia merasakan matanya gelap dan kepalanya pusing, seketika itu juga ia rebah tak sadarkan dirinya.

"Jangan takut, jangan takut," berkata Auwyang Kongcu sambil tertawa, suaranya halus. Ia bertindak seraya mengulur tangan, berniat memondong nona itu. Tetapi mendadak

"Kau mau hidup atau mati?!" demikian satu suara keras dan kejam, suara dingin yang disusul tertawa ejekan.

Pemuda itu terperanjat, dengan cepat ia menoleh. Betapa kagetnya, melihat Ang Cit Kong berdiri di mulut gua, tangannya memegang tongkat, matanya melirik tajam. Disaat itu pada otaknya berkelebat penuturan pamannya hal Ong Tiong Yang berpura-pura mati untuk mengalahkan lawannya.

"Hai, kiranya si pengemis tua ini berpura-pura mampus!" pikirnya. "Ah, habislah aku hari ini!" Ia ketahui baik sekali kegagahan Ang Cit Kong, ia putus asa. Tanpa berpikir lagi, ia menekuk kedua kakinya sambil berlutut ia berkata: "Aku cuma bermain-¬main saja sama adik Oey, tidak ada niatku untuk berbuat jahat terhadapnya…."

"Hm!" Pak Kay mengasih dengar suara bengis. "Bangsat bau, masih kau tidak hendak menotok bebas jalan darahnya? Apakah aku si orang tua harus turun tangan?"

Auwyang Kongcu jeri. "Ya, ya," ia menyahut seraya terus menotok kaki tangannya si nona.

"Satu kali lagi kau menginjak gua ini, jangan kau sesalkan aku!" Ang Cit Kong mengancam. "Lekas pergi!" Sembari berkata begitu, jago tua itu bertindak ke samping.

Keponakan See Tok bagaikan menerima putusan pengampunan, cepat-cepat ia ngeloyor pergi.

Oey Yong tak tahu apa yang sudah terjadi, ketika ia sadar, ia sadar dengan perlahan-lahan. Ia membuka kedua matanya seraya merasa bagaikan tengah bermimpi. Ang Cit kong tidak dapat berdiri lama-lama, ia roboh dengan sendirinya. Melihat gurunya jatuh, Oey Yong kaget. Ia lupa pada tangan atau kakinya bekas ditotok, ia menekan tanah untuk berlompat bangun, menghampiri gurunya, segera ia pegangi untuk dikasih bangun. Ia melihat mulut gurunya berlumuran darah, sebab ternyata tiga buah giginya sudah copot bekas kebentur tanah. Ia menjadi sangat berduka.

"Suhu!" ia memanggil.

Ang Cit Kong sadar, ia pegang ketiga buah giginya itu, terus tertawa. "Gigiku, gigiku!" katanya. "Kau tidak mensia-siakan aku! Kau telah membuat aku si pengemis tua dapat mencicip segala macam barang hidangan paling lezat dan sedap di kolong langit ini! Sekarang aku si pengemis sudah sampai pada usiaku, kau telah mendahului meninggalkan aku…!"

Memang hebat sekali lukanya Pak Kay kali ini, cuma saking kuat tubuhnya, ia tidak mati lantas di bawah tangan jahat dari Auwyang Hong. Celaka untuknya, ia tidak dapat obat untuk mengobati luka-lukanya, luka racun ular dan gempuran kuntauw Kodok yang dahsyat. Cit Kong melihat kedukaan muridnya.

"Selama napasku masih ada, jahanam itu tidak akan berani datang mengganggumu lagi," ia menghibur si nona.

Tapi Oey Yong memikir lain. "Kita berada di dalam gua, memang jahanam itu tidak berani masuk ke mari," demikian pikirnya. "Tetapi bagaimana dengan makan dan minum kita?"

Cit Kong pun sudah merasakan lapar. Ia melihat si nona tunduk saja. "Bukankah kau sedang memikirkan daya mencari makanan?" ia menanya. Oey Yong tidak menjawab, ia hanya mengangguk. "Mari kau pepayang aku ke pesisir untuk menjemur di matahari," menyuruh orang tua itu.

Oey Yong cerdik sekali, ia lantas mengerti maksud orang. "Bagus!" serunya kegirangan. Ia pun tertawa. "Kita menangkap ikan!"

Maka bukan lagi ia pepayang gurunya itu, ia menggendong, cuma jalannya perlahan-lahan. Hari ini cuaca terang berderang, angin meniup halus. Begitu berjodoh sinar matahari, Ang Cit Kong merasa segar, hingga semangatnya jadi terbangun. Ia pun melihat Auwyang Kongcu lagi berdiri di tempat jauh dari mereka, ketika pemuda itu mendapatkan mereka keluar dan mengawasi dirinya, dia bertindak pergi lebih jauh sedikit. Rupanya ia jeri. Dari tempat jauh ia terus mengawasi.

Cit Kong dan Oey Yong berduka, hati mereka berpikir: "Jahanam itu sangat cerdas, lama-lama pasti dia dapat mengetahui keadaan kita yang tidak berdaya…" Karena itu, mereka pun membawa sikap tenang.

Auwyang Kongcu pun agaknya lega melihat ia tidak dihampiri. Oey Yong sudah lantas bekerja. Lebih dulu ia pernahkan Ang Cit Kong, supaya gurunya dapat duduk sambil menyender pada sebuah batu besar, kemudian ia mencari cabang pohon yang panjang untuk dijadikan joran. Talinya ia mencari babakan pohon, ia menekuk sebatang jarum hingga ujungnya bengkok. Sebagai umpan, ia mencari udang di tepian. Maka tak lama kemudian, ia sudah mulai memancing.

Satu jam dipakai untuk memancing, akhirnya si nona memperoleh tiga ekor ikan, cukuplah untuk mereka berdua menangsal perut. Ikan itu dipanggang seperti biasa kaum pengemis memanggang ayam. Setelah beristirahat sebentar, Cit Kong mengajari Pak¬kauw-pang. Ia memberi petunjuk sambil duduk menyender terus cuma tangannya digerak-gerakkan. Tapi ini pun menolong banyak untuk si nona yang otaknya terang, hingga dia dapat mengerti lebih banyak.

Demikian mendekati sore, Oey Yong telah dapat menjalankan ilmu tongkat itu dengan baik, hingga tinggal berlatih terus untuk memahirkannya. Sesudah hilang letihnya, Oey Yong membuka baju luarnya, terus nyebur ke laut membersihkan tubuh. Ia berenang pergi datang hingga ia ingat suatu cerita dongeng jaman Tong katanya di dalam laut ada istana raja naga serta putrinya yang elok sekali.

"Mungkin engko Ceng telah pergi ke sana?" ia ngelamun.

Karena ini ia lantas menyelam. Tiba-tiba ia merasakan kakinya sakit, lekas-lekas ia menarik pulang. Ia mendapat kenyataan kakinya dijepit sesuatu. Ia tidak kaget, ia menduga kepada simpling atau kerang besar. Ia lantas membungkuk, untuk melihat. Baru sekarang ia terkejut. Kakinya dijempit simping yang besar sekali, yang beratnya mungkin duaratus kati. Sia-sia ia menarik kakinya, sia-sia ia mencoba memengkang membuka kedua batok simping itu. Bahkan kakinya dijepit semakin keras, sampai ia merasakan sakit sekali. Saking kerasnya ia berkutatan, dua kali ia kena menenggak air laut asin.

Tentu sekali nona ini menjadi sangat penasaran. Tidak ikhlas ia mati di tangan binatang laut, walaupun sebenarnya ia bersedia mati bersama gurunya andaikata tetap mereka tak berdaya untuk berlalu dari pulau kosong itu. Ia memikir akal. Ia mencoba memungut batu ketoki batok simping itu. Ini pun tidak memberi hasil. Batoknya simping telalu keras dan batunya terlalu kecil.

Sekali lagi ia menenggak air. Baru sekarang ia ingat suatu akal. Maka ia lepaskan batunya, sebagai gantinya ia meraup pasir, ia kasih masuk di sela-sela mulut simping. Nyata binatang laut itu takut sekali pasir, begitu dia merasakan pasir masuk ke dalam mulutnya, dia pentang mulutnya.

Begitu merasakan jepitan kendor, lekas Oey Yong menarik keras kakinya. Kali ini bebaslah ia, maka terus saja ia berenang untuk muncul di muka air. Paling dulu, ia membuang napas, untuk melegakan diri.

Cit kong di darat berkhawatir melihat si nona menyelam demikian lama, ia menduga muridnya menghadapi bahaya. Ia menyesal tidak dapat bergerak hingga tak bisa menolong. Ia hanya bisa mengawasi ke laut dengan jantung berdenyutan. Akhirnya muncul juga si nona, maka legalah hatinya guru ini, sampai ia bersorak.

Oey Yong tidak naik ke darat, sesudah mengulapkan tangan kepada gurunya itu, ia selulup pula. Ia telah mendapat satu pikiran. Ia pergi ke tempat tadi, tapi sekarang sudah bersiap. Ia turun di dekat simping itu tanpa si simping dapat mencakop dirinya. Nyata binatang itu nempel batoknya dengan batu karang, dia jadi tidak bisa berenang pergi.

Si nona mencoba menggempur karang itu, setelah berhasil, ia memegang simping dari bawah, terus ia bawa naik ke atas. Ia menampah seraya kakinya menjejak dasar laut, terus berenang ke tempat yang dangkal. Di sini simping itu tak berdaya lagi. Hanya saking beratnya binatang laut itu, tidak kuat Oey Yong mengangkat dibawa ke gua, maka ia mengambil saja batu besar ia pakai mennghajar batoknya. Hanya dengan beberapa kali hajaran, remuklah batok simping itu.

Puas hatinya si nona, yang kakinya sakit bekas dijepit. Bahkan malam itu bersama gurunya ia bisa menangsal perut secara memuaskan karena adanya daging simping yang lezat sekali.

Besok paginya, Ang Cit Kong merasai sakit pada tubuhnya berkurang. Ia mencoba memainkan napasnya, ia merasakan lega. Tanpa merasa ia berseru dengan girangnya.

Oey Yong terbangun untuk segera duduk. "Suhu, kenapa?" ia menanya, kaget.

"Setelah tidur semalaman, aku merasai lukaku mendingan," sahut sang guru. "Sakitnya tidak sehebat kemarin."

Oey Yong menjadi girang. "Mungkin ini disebabkan guru makan daging simping!" katanya.

Maka berlari-larilah ia keluar gua, ke tepi laut, untuk memotong sisa daging simping itu. Saking kegirangan, ia sampai lupa Auwyang Kongcu. Ia baru memotong dua keping tatkala ia melihat bayangan orang mendekati perlahan-lahan ke arahnya. Ia kaget tetapi ia mengerti ancaman bahaya. Baru sekarang ia ingat keponakannya See Tok itu. Diam-diam ia memungut batok simping, lalu dengan sekonyong-konyong menimpuk ke belakang, tubuhnya sendiri terus berlompat setombak lebih hingga ia berada di pinggiran air.

Auwyang Kongcu dapat berkelit. Dia tidak gusar, sebaliknya ia tertawa. Sekian lama pemuda ini tidak pergi jauh, terutama ia memperhatikan gerak-¬gerik Ang Cit Kong, hingga timbullah kecurigaannya bahwa raja pengemis itu tidak berdaya, tak dapat berjalan karena lukanya yang hebat. Meski begitu, ia tidak mempunyai nyali yang cukup besar untuk menyerbu ke dalam gua. Maka ia terus memasang mata.

Pagi itu ia melihat Oey Yong keluar sendirian, pergi ke pasir, ia mengikuti. Ia girang bukan main, ia anggap dikaruniai sesuatu yang baik sekali oleh Thian. Maka ia menghampiri si nona sambil berindap-indap. Hanya sayang, bayangannya telah menggagalkan maksudnya.

"Adik yang baik, jangan pergi!" ia berkata dengan manis. "Aku hendak bicara denganmu!"

"Orang tidak menggubrismu, apa perlunya kau menggerembengi orang?" si nona menanya. "Apakah kau tidak tahu malu?"

Melihat orang tidak gusar, senang hatinya Auwyang Kongcu. Ia jadi semakin berani. Ia mendekati pula dua tindak. Lagi-lagi ia tertawa.

"Semuanya dasar kau!" katanya. "Siapa suruh kau begini cantik dan manis, hingga kau membikin hati orang terbetot keras?"

Oey Yong tertawa. "Aku bilang tidak menggubrismu, tetap aku tidak mau memperdulikan!" katanya. "Percuma saja kau mengambil-ambil hatiku, membaiki padaku!"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar