Minggu, 13 Desember 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 081

Bukan main berduka dan sakitnya hati Oey Yong. Ia percaya ia tidak bakal bertemu pula dengan Kwee Ceng. Mendadak saja ia pingsan lagi. Auwyang Kongcu duduk diam dengan sebelah tangannya keras-keras memegangi perahu, yang terombang-ambing itu.

Lewat sekian lama, Oey Yong sadar dengan sendirinya. Ia benar-benar putus asa, hingga tawar untuk hidup lebih lama lagi. Ketika ia menoleh kepada Auwyang Kongcu timbullah rasa muak dan bencinya. Pemuda itu lagi memperlihatkan roman ketakutan.

"Mana bisa aku mati bersama-sama binatang ini?" pikir si nona sesaat kemudian. Maka ia segera berlompat bangun.

"Lekas lompat ke laut!" ia membentak bengis.

Auwyang Kongcu kaget bukan main. "Apa?!" dia menanya.

"Lompat ke laut!" sahut Oey Yong dengan bentakannya. "Kau tidak mau lompat? Baik! Akan aku balikkan perahu ini!"

Lantas si nona lompat ke kanannya, maka kontan perahu itu miring ke kanan, dari situ ia lompat pula ke kiri, membuatnya perahu turut miring ke kiri, bahkan miringnya terlebih hebat.

Auwyang Kongcu ketakutan, ia menjerit keras. Senang Oey Yong mendengar teriakan itu, sengaja ia menggoncang pula perahu itu lagi. Dalam takutnya, Auwyang Kongcu masih dapat berpikir. Biar bagaimana, ia pun seorang lihay. Terpaksa ia mengambil tindakan. Setiap kali si nona lompat ke kanan, ia lompat ke kiri, demikian sebaliknya. Ia senantiasa mengimbangi nona itu.

Oey Yong kewalahan, tidak dapat ia menggoda terlebih jauh. "Baik!" katanya kemudian. "Hendak aku membocorkan perahu, ingin aku lihat, kau bisa bikin apa!" Ia menghunus pisau belatinya, ia lompat ke tengah¬ perahu.

Justru itu, Oey Yong melihat Ang Cit Kong lagi rebah tengkurup tanpa bergerak. Ia menjadi kaget sekali. Baru sekarang ia ingat pula akan gurunya. Segera ia mendekati, memasang kupingnya. Ia mendengar suara napas perlahan, hatinya menjadi sedikit lega. Ia lantas mengangkat bangun tubuh orang, untuk dibalik, hingga ia dapat melihat wajah gurunya.

Muka Cit Kong sangat pucat, dadanya bergerak turun naik perlahan-lahan, jantungnya berdenyutan perlahan juga, tanda dari kelemahannya. Keras keinginan si nona untuk menolong gurunya, ia tak pedulikan lagi Auwyang Kongcu. Ia lantas membukai baju gurunya, memeriksa lukanya. Tiba-tiba saja perahu itu bergerak keras.

"Tepian! Tepian!" Auwyang Kongcu pun berseru-seru kegirangan.

Oey Yong segera menoleh. Ia melihat pepohonan yang lebat. Perahunya sudah berhenti bergerak. Perahu kandas di tepian pulau yang berpasir. Masih jauh ke darat, tetapi air ke arah sana dangkal sekali, dasarnya tampak. Mungkin dalamnya tak sebatas dada.

Dalam girangnya Auwyang Kongcu lompat turun dari perahu. Ia lantas jalan beberapa tindak. Tiba-tiba ia berpaling kepada Oey Yong, terus ia berjalan kembali.

Oey Yong melihat pada tulang belikat kanan dari gurunya ada tapak tangan yang hitam, tapak itu dalam membekas di daging, seperti bekas dibakar. Di sekitar itu ada tanda hangus. Ia kaget sekali.

"Kenapa sehebat ini tangannya See Tok?" ia menanya di dalam hatinya.

Ia melihat punggung sebelah kanan dan leher, di sana ada dua lubang kecil sekali, hampir tak terlihat. Ia meraba dengan jari tangannya, ia merasakan sakit seperti terkena hawa panas, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya.

"Suhu, bagaimana?" ia menanya.

Ang Cit Kong bersuara, "Hm!" perlahan, ia tidak menyahut.

"Eh, mari keluarkan obat pemunahmu!" Oey Yong tegur Auwyang Kongcu.

Pemuda itu menggerakkan kedua tangannya, tanda putus asa. "Semua obat ada di tangan pamanku," sahutnya.

"Aku tidak percaya!" berkata si noa.

"Kau geledah saja!" Auwyang Kongcu menyerah. Ia buka bajunya, ia keluarkan semua isi sakunya.

Oey Yong mengawasi dengan melongo. "Nah, mari bantu aku mengangkat guruku ke darat!" ia berkata kemudian.

Auwyang Kongcu menurut. Maka Ang Cit Kong lantas dikasih bangun, untuk dapat didukung. Kedua muda-¬mudi itu memasang pundak masing-masing, menahan si orang tua. Kemudian Oey Yong memegang tangan kiri Auwyang Kongcu untuk tangan mereka saling disilang, hingga si orang tua dapat duduk di tangan mereka yang terpalang melintang. Hati Oey Yong cemas sekali. Ia merasakan tubuh gurunya gemetar.

Auwyang Kongcu sebaliknya girang. Ia merasakan tangan yang halus dan empuk memegang erat-erat tangannya. Ini kejadian yang sekalipun di dalam mimpinya ia tidak berani mengharapkan. Maka ia amat menyesal cepat sekali mereka sudah tiba di darat.

Sambil berdongko dan membungkuk, Oey Yong menurunkan gurunya. "Lekas ambil papan perahu!" ia menitahkan Auwyang Kongcu. "Jaga jangan basah!"

Habis menurunkan Ang Cit Kong, Auwyang Kongcu membawa tangan ke bibirnya, ia berdiri menjublak. Itulah bagian tangan yang sejak tadi dipegang erat-erat oleh tangan yang halus dan empuk dari si nona. Karena itu, ia seperti tidak mendengar perkataan si nona. Syukur untuknya, Oey Yong tidak menyangka jelek terhadapnya, cuma sambil mendelik si nona mengulang perintahnya.

Dengan cepat Auwyang Kongcu mengambil papan. Waktu itu Oey Yong telah tengkurapkan tubuh gurunya di rumput yang empuk, ia mencoba meringankan sakitnya. Maka diam-diam pemuda ini dapat lari ke tanjakan yang tinggi. Sembari lari ia menanya dirinya sendiri: "Tempat apakah ini?" Ketika ia sudah melihat ke sekelilingnya, ia kaget berbareng girang.

Itulah sebuah pulau kecil, yang lebat dengan pepohonan, hingga ia tidak tahu, pulau itu ada penghuninya atau tidak. Ia kaget ketika mengingat, kalau pulau itu kosong, darimana mereka dapat makanan dan pakaian, dimana mereka bisa bernaung? Ia girang ketika ingat bahwa ia berada berduaan sama si nona manis, sedang si pengemis tua, ia percaya sukar dapat ditolong lagi.

"Sama si cantik aku berdiam di sini, pulau kosong pun bagaikan sorga!" pikirnya. "Kalau toh aku mesti mati dalam sehari atau semalam, aku puas…"

Seking girangnya, ia berjingkrakan seperti orang menari. Hanya ia kaget tatkala angkat tangan kanannya. Baru sekarang ia ingat lengannya itu telah patah. Karena ini lekas-lekas ia menggunakan lengan kirinya mematahkan dua cabang pohon, ia pun merobek ujung bajunya. Maka dilain saat ia sudah dapat menggantung tangannya itu.




Oey Yong sendiri telah memencet keluar darah hitam dari luka gurunya. Itulah darah bercampur racun. Habis itu, ia tidak tahu harus berbuat apalagi. Di situ tidak ada obat. Ia cuma bisa pindahkan gurunya ke tempat di mana ada dua potong batu besar, untuk gurunya beristirahat.

"Coba kau lihat tempat ini tempat apa!" kemudian si nona teriaki Auwyang Kongcu. "Coba cari tahu kalau-¬kalau dekat sini ada rumah orang atau pondokan…"

"Ini sebuah pulau," menyahut Auwyang Kongcu sambil tertawa. "Terang disini tidak ada pondokan. Tentang rumah orang, lihat saja peruntungan kita…"

Oey Yong terperanjat. "Pergilah kau periksa!" ia menitah pula.

Senang si anak muda menerima titah si nona manis, ia lantas pergi. Ia masih dapat menggunakan ilmunya ringan tubuh walaupun tangannya sakit. Mulanya ia lari ke timur di mana tempat lebat dengan pepohonan dan oyot berduri. Ia tidak mendapatkan apa-apa, maka ia putar ke utara. Di sini pun ia tidak melihat rumah orang atau gubuk, hanya dengan menggunakan batu ia berhasil menimpuk roboh dua ekor kelinci, lantas ia bawa kembali.

"Benar-benar sebuah pulau kosong!" katanya.

Oey Yong melihat orang tersenyum, ia mendongkol. "Pulau kosong? Habis, apanya yang lucu?!" ia menegur.

Pemuda itu mengulur lidahnya, ia tidak berani banyak omong, ia mengeset kulit kelinci, setelah itu ia menyerahkannya kepada si nona.

Oey Yong merogoh sakunya, mengeluarkan terkesannya. Syukur ia menyimpannya dibungkus dengan kertas minyak, alat penyala api itu tidak basah, maka dilain saat, ia sudah menyalakan api dengan dua ekor kelinci itu dipanggang. Sesudah matang, yang seekor ia lemparkan kepada si anak muda, yang seekor lagi ia beset sebelah pahanya, untuk diberikan kepada gurunya.

Ang Cit Kong terluka parah, ia masih belum sadar betul, tetapi begitu ia memcium bau daging, segera terbangun napsu daharnya. Memang ia penggemar gegares. Segera juga ia sudah mulai menggerogoti dan mengunyah daging kelinci itu. Habis sepaha, ia menunjuk sikap masih ingin pula, maka muridnya, yang hatinya girang, memberikan pula sepaha yang lain. Setelah makan habis dua paha, Cit Kong menjadi lemah, malah dilain saat ia terus tidur pulas. Oey Yong melihat cuaca mulai remang-remang, tandanya sang malam sudah tiba, dari itu lekas-lekas ia pergi mencari lubang gua, untuk memernahkan gurunya.

Auwyang Kongcu membantu tanpa diperintah atau diminta. Ia mencari rumput kering guna diampar sebagai kasur. Ia pun membantu memodong orang tua itu. Kemudian ia mencari rumput lagi, guna mengampar dua tempat, buat dia sendiri dan si nona.

Selama itu Oey Yong hanya melirik saja, ia tidak ambil peduli pemuda itu, hanya disaat orang telah selesai bekerja dan lagi mengulet, untuk merebahkan diri, mendadak ia menghunus pisau belatinya.

"Pergi keluar!" ia mengusir.

Pemuda itu tertawa. "Aku tidur disini toh tidak mengganggumu?" katanya. "Kenapa kau begini galak?"

"Kau pergi atau tidak?!" si nona menegaskan, alisnya bangkit.

"Aku akan tidur baik-baik, kau jangan takut," berkata pula si anak muda tersenyum.

Oey Yong habis sabar, ia berbangkit untuk mengambil puntung api, ia bawa itu ke tempat si anak muda, ia bakar orang punya rumput amparan, maka sebentar saja habislah itu menjadi abu.

Auwyang Kongcu menyeringai, dengan terpaksa ia mengeloyor keluar dari gua itu. Di pulau seperti itu ia tidak takut ada binatang beracun atau buas, ia berlompat naik ke atas sebuah pohon di mana ia mencari cabang untuk memernahkan tubuhnya. Tapi tak gampang untuk tidur pulas, ia bergelisah, maka belasan kali ia naik turun, di pohon itu. Saban-saban ia menoleh ke arah gua di mana ada cahaya tabunan. Ia telah memikir untuk menyerbu ke dalam gua, senantiasa ia gagal, hingga ia mengatakan dirinya, kenapa ia demikian bernyali kecil. Biasanya pekerjaan mencuri, atau memaksa kesenangan seperti itu, sudah umum baginya, hanya terhadap nona ini, ia ¬segan.

Sebenarnya, walaupun hanya dengan sebelah tangan, dapat ia melawan nona itu. Bukankah tak ada halangannya Ang Cit Kong berada bersama tapi si raja pengemis sudah tidak berdaya? Entah bagaimana, ia jerih sendirinya…. Dengan mata mendoleng, Auwyang Kongcu mengawasi Oey Yong merebahkan diri. Cahaya tabunan membuatnya ia dapat melihat. Ia cuma memandang, lain tidak.

Oey Yong sendiri rebah dengan mata meram tetapi tidak pernah pulas. Ia tidak mempercayai keponakannya Auwyang Hong itu, ia khawatir nanti menyerbu selagi ia tidur. Ia juga keras memikirkan lukanya Ang Cit Kong, yang belum tentu bisa diobati. Maka lega hatinya ketika sang pagi muncul. Baru sekarang ia berani tidur hingga lamanya satu jam. Ia bangun ketika bermimpi gurunya merintih.

"Suhu, bagaimana?" ia menanya seraya ia melompat bangun, untuk berduduk.

Cit Kong mengangkat tangannya, menunjuk mulutnya, berkelemak-kelemik. Si nona mengerti gurunya lapar, ia lantas memeriksa sisa daging semalam. Habis dahar, agaknya Cit Kong memperoleh tenaga. Ia bisa bergerak untuk duduk, maka itu terus ia bersemadhi, membikin lurus jalan napasnya.

Oey Yong mengawasi. Ia tidak berani membuka mulut, khawatir mengganggu pemusatan pikiran gurunya. Beberapa kali ia melihat sinar dadu di muka yang pucat dari sang guru, lalu terganti dengan pucat pasi pula. Perubahan itu terjadi berulang-kali. Itu tanda bekerjanya pemusatan pikiran. kemudian embun-embun si jago tua mengeluarkan hawa seperti asap, disusul sama mengucurnya peluh dingin di dahinya. Banyak peluh yang keluar. Diakhirnya tubuh orang tua ini bergemetaran seperti menggigil.

Disaat itu di mulut gua terlihat berkelebatnya satu bayangan orang. Itulah Auwyang Kongcu, yang melongok untuk masuk ke dalam. Oey Yong mengerti saat penting dari gurunya, kalau ia kena dibikin kaget, mungkin gagal pemusatan pikirannya, maka ia lantas membentak perlahan:

"Lekas pergi!"

Pemuda itu tertawa. "Aku ingin berdamai sama kau, bagaimana kita harus melewati hari di pulau kosong ini," katanya. Ia tidak lantas menyingkir, hanya bertindak maju.

Ang Cit Kong membuka matanya. Ia rupanya dapat mendengar perkataan orang. "Pulau kosong apa ini?" ia menanya.

"Kau berlatih terus, suhu!" Oey Yong memegat. "Jangan pedulikan dia!" Ia berpaling kepada si anak muda sambil berbangkit. "Mari turut aku, kita pergi keluar!" katanya.

Auwyang Kongcu menjadi girang, ia turut pergi. Pagi itu cuaca terang sekali. Oey Yong memandang ke sekitarnya, ia mendapatkan laut biru, langit seperti nempel dengan air. Ia melihat beberapa gumpal awan putih bagaikan tergantung di udara. Sama sekali tak nampak daratan lainnya. Ia bertindak ke tempat di mana kemarin mereka mendarat. Mendadak ia terjaga.

"Mana perahu kita?!" ia menanya sambil berseru.

"Ah ya, ke mana perginya, ya?" balik tanya si pemuda. "Ah, tentu juga kena didampar air pasang………."

Oey Yong mengawasi muka orang, yang tak kaget dan merasa aneh seperti dia, maka maulah ia menduga, tentulah tadi malam pemuda ini yang mendorong perahu itu untuk dibikin terbawa gelombang. Dengan begitu si anak muda hendak membikin mereka tidak dapat berlalu dari pulau kosong ini.

"Sungguh dia jahat!" katanya dalam hatinya. Ia menjadi tidak takut. Ia memang sudah memikirkan akan sulit kembali dengan masih bernyawa. Lagian perahu kecil itu tak mungkin dapat membawa orang ke darat. Hanya sekarang ia memikirkan gurunya, yang tentunya tak dapat pula pulang lagi ke Tionggoan…

Kembali si nona mengawasi Auwyang Kongcu dengan tenang. Ia tidak mengentarakan sesuatu. Pemuda itu tidak berani bentrok sama sinar mata si nona, lekas-lekas ia tunduk. Oey Yong lompat naik ke atas sebuah batu tinggi, di situ ia bercokol sambil memeluk dengkul, matanya memandang jauh ke depan. Auwyang Kongcu mengawasi, hatinya bekerja.

"Kalau tidak sekarang aku mencoba membaiki dia, hendak aku menanti sampai kapan lagi?" pikirnya. Maka ia pun berlompat naik ke batu itu, untuk duduk dekat si nona.

Oey Yong berdiam saja, ia tidak gusar, ia pun tidak menggeser tubuhnya. Menampak demikian, si anak muda menjadi mendapat hati. Diam-diam ia memindahkan tubuhnya, untuk lebih dekat kepada si nona.

"Adikku," katanya, perlahan. "Kita berdua bakal hidup bersama di sini hingga di hari tua, hidup sebagai dewa-¬dewi. Aku tidak tahu, di penitisan yang sudah, kebaikan apa itu yang telah aku lakukan…"

Oey Yong tidak gusar, sebaliknya, ia tertawa geli. "Di pulau ini, bersama guruku kita cuma bertiga. Tidakkah itu sepi?"

Lega hatinya si anak muda melihat orang tertawa. "Ada aku yang menemani kau, mana bisa sepi?" katanya. "Laginya, kalau kemudian kita mendapat anak, bukankah itu menjadi lebih-lebih tak sepi?"

"Siapa toh yang melahirkan anak?" si nona tanya, tertawa. "Aku sendiri tak bisa…"

Auwyang Kongcu tertawa. "Nanti aku ajari kau!" katanya. Ia lantas mengulur tangannya yang kiri, merangkul si nona.

Tiba-tiba ia merasakan hawa yang hangat di tangannya. Sebab, tahu-tahu si nona sudah menyodorkan tangannya sendiri, untuk mencekal tangannya itu. Tanpa merasa, hatinya jadi berlompatan. Inilah ia tak sangka, hingga ia lupa akan dirinya.

Oey Yong menyenderkan tubuhnya di dada orang, sembari berbuat begitu tangannya yang kiri berkisar ke nada orang itu.

"Ada yang bilang," katanya perlahan, "Kehormatan enci Bok Liam Cu dirusak kau, benarkah itu?"

Pemuda itu tertawa lebar. "Perempuan she Bok itu tak tahu diri!" sahutnya. "Dia tidak sudi ikut padaku. Aku Auwyang Kongcu, kau tahu orang macam apa? Mustahil aku sudi memaksa dia?"

Si nona menghela napas. "Kalau begitu, nyata orang keliru mempersalahkan kau," katanya.

"Anak itu terlalu besar kepalanya, sayang, sayang!" Auwyang Kongcu bilang.

Mendadak Oey Yong berpaling ke laut, tangannya menunjuk. "Eh, apakah itu?!" katanya, agak terperanjat.

Auwyang Kongcu memandang ke arah yang ditunjuk itu, ia tidak melihat apapun, maka ia berpaling lagi, untuk menanya, atau mendadak ia rasakan tangannya tercekal keras dan sakit, sampai ia tidak dapat berkutik. Ia justru mengandalkan tangan kirinya itu. Tangan Oey Yong yang sebelah lagi memegang tempuling, ia ayunkan itu ke belakang, untuk menikam perut si anak muda.

Mereka berada sangat dekat satu dengan lain, si anak muda pun tercengang, sedang tangan kanannya mati, tentu saja ia tidak dapat menangkis, bahkan untuk berkelitpun susah. Tapi ia murid seorang pandai, tak percuma ia berlatih silat duapuluh tahun di Pek To San, maka di saat seujung rambut itu, ia masih ingat untuk membela diri. Bukan menangkis atua berkelit, justru dengan dadanya ia membentur punggungnya si nona.

Oey Yong tidak menyangka, maka begitu kena dibentur, tubuhnya terpelanting jatuh dari atas batu. Saking kagetnya, cekalan kepada tangan orang terlepas. Tikamannya juga meleset, cuma tidak sampai kosong. Sebagai ganti perutnya, tempuling nyrempet di paha kanan si anak muda.

Auwyang Kongcu sudah lantas lompat turun juga dari batu itu, ketika menghadapi si nona, ia dapatkan nona itu lagi berdiri mengawasi sambil tertawa haha-hihi, tangannya tetap memegang tempulingnya. Ia pun lantas merasakan sakit pada dadanya yang dipakai membentur itu. Ia mengerti, walaupun berusan ia lolos dari bahaya maut, ia tidak bebas dari durinya baju lapis joan-kwie-kah dari nona itu.

"Kau aneh!" nona itu menegur. "Selagi enak-enak kita bicara, kenapa kau membentur aku? Sudah masa bodoh!" Dan dia memutar tubuhnya untuk angkat kaki.

Auwyang Kongcu berdiri bengong. Ia mendongkol berbareng ketarik hatinya kepada si nona, ia kaget berbareng girang. Ia tidak dapat menyelami hati nona itu. Sampai sekian lama, masih ia menjublak saja.

Oey Yong balik ke gua, ia menyesal bukan main. Ia menyesal ilmu silatnya belum sempurna. Ia telah membikin hilang satu kesempatan yang sangat baik? Ia tiba di dalam mendapatkan gurunya lagi rebah dengan disampingnya melulahan darah bekas muntah. Ia menjadi sangat kaget.

"Suhu!" ia memanggil seraya berdongko. "Kau kenapa suhu? Apa kau merasa baikan?"

Guru itu menghela napas perlahan. "Aku ingin minum arak…" sahutnya.

Sakit Oey Yong merasakan hatinya. Di mana bisa mendapatkan arak di pulau kosong ini? Terpaksa ia mesti menghibur gurunya itu. Maka ia menyahuti:

"Nanti aku dayakan suhu. Bagaimana kau rasakan lukamu, apakah tidak ada halangannya?" Tanpa merasa ia mengucurkan air mata.

Menghadapi kemalangan lebih besar, belum pernah Oey Yong menangis, tetapi sekarang ia bersedih bukan main. Ia mendekam di dada gurunya, ia menangis menggerung-gerung.

Cit Kong mengusap-usap rambut orang serta punggungnya juga, Ia pun bingung. Ia seorang tua, sudah puluhan tahun malang melintang di dunia kangouw, segala macam bahaya pernah ia menempuhnya, tidak habis daya seperti sekarang menghadapi murid yang disayanginya ini.

"Jangan menangis, anak yang baik," katanya. "Gurumu sangat menyayangi kau. Anak yang baik tidak menangis. Ya, gurumu tidak mau minum arak…"

Oey Yong tetap bersedih, ia menangis terus, selang sesaat, tangisannya itu membuat hatinya lega. Ia angkat kepalanya. Ia lihat dada gurunya basah air matanya. Tiba-tiba ia tertawa. Ia menyingkap rambut di mukanya.

"Tadi aku telah tikam itu jahanam, sayang gagal," katanya. Terus ia menuturkan apa yang ia barusan lakukan terhadap keponakannya Auwyang Hong itu.

Cit Kong tunduk, ia tidak membilang suatu apapun. "Gurumu sudah tidak berguna lagi," katanya. "Bangsat jahat itu jauh lebih menang daripadaku. Untuk melawan dia tak dapat kita menggunakan tenaga tetapi harus dengan kecerdikan…"

"Suhu," berkata sang murid, yang hatinya cemas, "Baiklah suhu beristirahat beberapa hari, memelihara dirimu. Kalau suhu sudah sehat, tidakkah baik apabila suhu menghajar dia satu kali saja, membikin dia habis?"

"Aku telah dipagut ular dua kali, aku juga terkena pukulan kuntauw Kodok dari See Tok," katanya berduka, "Dengan menghabiskan seluruh tenaga dalamku, dapat aku mengusir racun, mana aku masih bisa menyambung jiwaku beberapa tahun lagi, hanya karena aku mesti mengerahkan semua tenagaku, musnahlah ilmu silatku dari beberapa puluh tahun, musnah dalam satu hari saja. Gurumu adalah seorang yang bercacad, telah habis semua kebisaannya…"

Oey Yong kaget dan bingung. "Tidak, suhu, tidak!" serunya. "Itu tidak bisa jadi!"

Cit Kong tertawa. "Aku si pengemis tua bersemangat akan tetapi sekarang, setelah sampai di akhirnya, tidak dapat aku tidak melegakan hati," katanya. Ia berhenti sebentar, lalu ia memperlihatkan roman sungguh-sungguh. Ia menambahkan: "Anak, gurumu terpaksa meminta kau melakukan sesuatu yang sulit sekali. Itulah permintaan yang bertentangan dengan rasa hatimu. Dapatkah kau melakukannya?"

"Dapat, dapat, Suhu!" si nona menjawab cepat. "Silahkan suhu sebutkan!"

Cit Kong menghela napas. "Sayang berkumpulnya kita guru dan murid sangat pendek harinya," berkata ia masgul. "Aku menyesal tidak dapat memberikan pelajaran apa-apa kepadamu sedang sekarang aku hendak memaksakan hal yang sulit untukmu, suatu tanggung jawab yang berat hendak aku bebankan di pundakmu. Sebenarnya di dalam hal ini hati gurumu tak tentram…."

Oey Yong heran atas sikap ragu-ragu gurunya, biasanya Pak Kay paling terbuka dan paling cepat mengambil keputusan. Maka ia percaya, tugas itu mesti penting dan berat sekali. Tapi ia tidak jeri.

"Silahkan bilang, Suhu!" ia mendesak. "sekarang Suhu terluka pun disebabkan untukku karena kau mendatangi pulau Tho Hoa To, untuk budimu itu, meskipun tubuhku hancur lebur, belum dapat aku membalasnya. Hanya muridmu khawatir sekali, khawatir usianya yang masih muda, ia tidak sanggup menjalankan pesanmu ini."

Mendengar begitu, Ang Cit Kong memperlihatkan roman girang. "Dengan begitu kau jadinya telah menerima baik?" ia menegaskan.

Oey Yong mengangguk. "Silahkan Suhu menitahkan," sahutnya.

Dengan tiba-tiba Ang Cit Kong berbangkit bangun, untuk berdiri tegar. Ia rangkapkan kedua tangannya, bersilang di depan dadanya, lalu ia menjura dalam ke arah utara. Lantas ia berkata,

"Cauwsu-ya, kau telah membangun Kay Pang hingga sekarang ini telah diwariskan kepada muridmu ini, sayang sekali muridmu tidak mempunyai kemampuan hingga tak dapat membuat Partai kita jadi semakin besar dan bercahaya. Hari ini keadaan sangat mendesak, mau tidak mau, muridmu mesti melepaskan tanggung-jawab, maka dengan berkah pelindungan Cauwsu-ya, muridmu mohon supaya anak ini dijaga hingga kalau toh ada bahaya bisalah ia terbebas dan memperoleh keselamatan karenanya, supaya selanjutnya ia dapat berbuat kebaikan untuk orang-orang Partai kita yang bersengsara." Habis mengucap begitu, kembali ia menjura.

Selama mendengarkan, Oey Yong bengong saja, kemudian barulah ia tercengang.

"Anak, kau berlutut," berkata Cit Kong kemudian.

Oey Yong menurut, ia menekuk lutut.

Ang Cit Kong mengambil tongkatnya, yang dinamakan Lek-tiok-thung, atau Tongkat Bambu Hijau, ia angkat itu tinggi melewati kepalanya, kedua tangannya dirangkap, lalu ia menyerahkan itu ke tangannya si nona.

Oey Yong terbenam dalam keragu-raguan. "Suhu, kau menyuruh aku menjadi…menjadi…" tanyanya gugup.

"Benar!" Cit Kong menjawab. "Aku angkat kau sebagai Pangcu, kepala dari Kay Pang, Partai Pengemis. Akulah Pangcu yang kedelapan belas, maka turun kepada kau, kau menjadi Pangcu yang kesembilanbelas. Sekarang mari kita menghanturkan terima kasih kepada Couwsu-ya."







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar