Rabu, 09 Desember 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 079

"Anak Ceng," ia lalu berkata, "Kalau sebentar tiang patah, kau merosotlah turun. Jaga supaya kau tidak terjatuh ke laut…"

Kwee Ceng heran. Di matanya, cuaca sekarang bagus, mustahil bencana bakal datang? Tetapi ia biasa sangat mempercayai gurunya itu, ia mengangguk. Belum lama, mendadak terlihat mega hitam bergumpal bagaikan tembok tebal melayang menghampiri, datangnya dari arah tenggara, bergerak sangat cepat. Sebab itu segera mereka terdampar, di antara satu suara nyaring, tiang layar benar-benar patah pinggang, kemudian tubuh perahu bergerak bagaikan terbalik.

Kwee Ceng memeluk erat-erat tiang, ia menahan napas. Tanpa berbuat begitu, angin dapat membawa terbang entah ke mana. Ketika kemudian ia membuka matanya, sekarang ia melihat air bergerak bagaikan tembok, air muncrat tinggi sekali.

"Anak Ceng, merosot turun!" terdengar teriakan Cit Kong.

Kwee Ceng menurut, dengan mengendorkan pelukannya, tubuhnya lansung merosot turun. Ia menahan diri setelah merosot kira-kira dua tombak. Ia mendapat kenyataan, layar berikut tiangnya sebelah atas, yang patah entah dibawa kemana oleh sang gelombang. Di lantai tidak terlihat lagi ular, rupanya semua binatang berbisa telah disapu sang badai dan gelombang. Si tukang kemudi rebah dengan kepala pecah, jiwanya sudah melayang pergi. Perahu sendiri terputar-putar di tengah laut, miring ke kiri dan ke kanan bergantian. Lainnya barang di muka perahu pun tersapu habis ke laut.

"Anak Ceng, kendalikan perahu!" kembali terdengar suaranya sang guru.

Memang kenderaan itu terancam terbalik dan karam. Kwee Ceng lompat turun ke buntut perahu, untuk memegang kemudi. Ia disambar sepotong kayu yang terbawa angin, ia berkelit. Untuk mempertahankan diri, ia lantas menyambar rantai. Ia orang Utara, belum pernah ia mengemudikan perahu, tetapi karena ia bertenaga besar, bisa juga menguasai perahu, untuk mencegah bergoncang keras. Ia mendengar suara angin dahsyat, ia melihat perahunya berlayar pesat mengikuti dorongan sang angin.

Tiang layar bagian atas telah patah, layar diterbangkan angin dahsyat itu, tetapi di antaranya, masih ada layar yang utuh. Cit Kong berdaya menurunkan layar itu. Sudah ada dadung ia berhasil memutuskannya. Tengah ia berkutat, tiba-tiba kupingnya mendengar suara menantang:

"Saudara Cit, mari Pak Kay dan See Tok sama-sama mengeluarkan kepandaian!" Di sebelah sana Auwyang Hong mencekali keras ujung yang lain dari layar itu.

"Turun!" Cit Kong berseru sambil mengerahkan tenaganya, ia menarik dengan keras.

Di pihak Auwyang Hong, See Tok pun menggunakan tenaganya. Hebat tenaga kedua jago ini, layar kena ditarik roboh. Dengan begitu, sampokan angin menjadi berkurang, tubuh perahu tidak lagi bergoncang keras seperti tadi, hingga lenyaplah ancaman bahaya perahu itu karam. Sebagai ganti badai, sekarang turun hujan lebat, butir-butirnya besar, menimpa muka, rasanya sakit. Hanya syukur, mendekati cuaca gelap, angin dan hujan itu mulai reda.

"Saudara Cit!" berkata pula Auwyang Hong tertawa. "Jikalau tidak ada muridmu yang lihay itu, pasti kita sudah mati masuk ke dalam perut ikan! Maka marilah kita sama-sama mengeringkan satu cawan, guna melepaskan hawa dingin! Jangan takut, jikalau aku hendak meracunimu, biarlah aku Auwyang Hong menjadi buyutmu turunan ke delapanbelas!"

Ang Cit Kong turut tertawa. Kali ini mau percaya See Tok sebab sebagai ketua sebuah partai besar di jamannya, satu kali dia mengeluarkan kata-kata, dia mesti pegang itu.

"Mari!" ia berkata kepada Kwee Ceng, yang ia suruh gantikan seorang anak buah guna mengendalikan kemudi. Dengan begitu mereka masuk ke dalam gubuk perahu untuk makan dan minum.

Pak Kay minum dan makan sampai kenyang, habis itu ia dan muridnya kembali ke kamar mereka untuk tidur. Tapi tengah malam ia terbangun, mendengar suara ular sar-ser tak hentinya.

"Celaka!" ia berseu.

Kwee Ceng pun sudah lantas sadar. Maka keduanya berlompat bangun, sama-sama membuka pintu untuk melihat ke luar. Sekarang perahu itu sudah terjaga rapi oleh rombangan-rombongan ular, yang memenuhi bagian depan dan belakang. Auwyang Kongcu, dengan kipas di tangan, berdiri di tengah-¬tengah ularnya. Ia memperlihatkan wajah tersungging senyuman.

"Paman Ang, saudara Kwee!" ia berkata. "Pamanku cuma hendak meminjam lihat Kiu Im Cin-keng sekali saja, ia tidak mengharap yang lainnya!"

"Dasar bangsat, dia tidak mengandung maksud baik!" mendamprat Cit Kong, perlahan. Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran, tetapi pada parasnya ia tidak kentarakan sesuatu perasaan.

"Hai, bangsat cilik!" ia mengasih dengar suaranya, "Nyata aku si tua kena diperdayakan akal busuk paman anjingmu itu. Baiklah, sekarang aku mengaku kalah. Lekas kau siapkan dulu hidangan dan arak, kami mau makan dulu, urusan boleh dibicarakan besok pagi!"

Nampaknya Auwyang Kongcu girang, ia tertawa, ia benar-benar menyuruh orang menyajikan hidangan, yang mesti dibawakan kepada kedua musuhnya itu. Cit Kong mengunci pintu, ia terus makan dan minum, menggerogoti paha ayam.

"Apakah kali ini pun tidak ada racunnya?" Kwee Ceng menanya berbisik.

"Anak tolol!" sang guru menyahut. "Jahanam itu hendak menitahkan kau menulis kitab, mana bisa mereka mencelakai jiwamu? Mari makan sampai kenyang, nanti kita memikirkan daya upaya pula!"

Kwee Ceng percaya gurunya benar, ia pun lantas bersantap dengan bernapsu. Ia menghabiskan empat mangkok nasi. Ang Cit Kong menyusuti bibirnya yang minyakan, lalu ia berbisik di kuping muridnya.

"Si bisa bangkotan menghendaki yang tulen, kau tulis yang palsu," demikian ajarannya.

"Yang palsu?" murid itu menegasi, heran.

"Ya, yang palsu! Di jaman ini hanya kau seorang yang tahu kitab tulen, dari itu apa pun yang kau kehendaki, kau boleh tulis! Siapa yang akan ketahui itu kitab yang tulen atau yang palsu? Kau menulis jungkir balik bunyinya kitab, biar ia mempelajarinya menurut bunyi kitab yang palsu itu, dengan begitu kendati pun sampai seratus tahun, ia tak akan berhasil meyakinkan sekalipun satu jarus….!"

Girang Kwee Ceng mendengar ajaran itu. "Kali ini benar-benar si bisa bangkotan kena batunya!" pikirnya. Tapi sesaat kemudian ia berkata: "Auwyang Hong sangat mahir ilmu suratnya, kalau teecu menulis sembarangan, lantas ia ketahui, bagimana nantinya?"

"Kau harus menggunakan siasat halus," Cit Kong mengajari. "Tulis tiga baris yang benar lalu selipkan sebaris yang ngaco. Di bagian latihannya, kau boleh tambahkan dan kurangi, umpama kitab menyebut delapanbelas kali, kau tulis duabelas kali atau duapuluh empat kali, biar si bisa bangkotan sangat cerdik, tidak mungkin ia dapat melihatnya. Biar aku tidak makan dan minum tujuh hari tujuh malam, suka aku menonton si bisa bankotan itu mempelajari kitab palsu!" Habis berkata, Cit Kong tertawa dengan sendirinya, hingga muridnya turut tertawa juga.

"Jikalau ia menyakinkan kitab yang palsu," kata Kwee Ceng kemudian, "Bukan saja dia akan menyia-nyiakan waktu, ada kemungkinan dia nanti mendapat celaka karenanya." Cit Kong tertawa pula. "Sekarang bersiaplah kau untuk memikirannya!" ia menganjurkan. "Kalau sampai ia curiga, artinya itu gagal…."

Kwee Ceng menurut, lantas kerjakan otaknya. Ia menghapal Kiu Im Cin-keng, ia pikirkan tambalannya untuk menghambat dan mengacau. Ketika ia sudah memikir puas, ia menghela napas.

"Inilah cara mempermainkan orang, Yong-jie dan Ciu Toako paling menggemarinya," pikirnya. "Sayang yang satu berpisah hidup, yang lainnya berpisah mati…. Kapan aku bisa bertemu pula dengan mereka, supaya aku bisa menuturkan bagaimana aku mempermainkan si bisa bangkotan ini…?"




Besoknya pagi-pagi, begitu ia bangun Ang Cit Kong pentang bacotnya kepada Auwyang Kongcu. Katanya: "Aku si pengemis tua, ilmu silatku telah menjadi satu partai tersendiri, maka aku tidak memahami Kiu Im Cin-keng, umpama kata kitab itu dibeber di depan mukaku, aku tak akan meliriknya! Cuma mereka yang tidak berguna, yang ilmu silatnya sendiri tidak karuan, dia ingin sekali mencurinya! Sekarang kau kasih tahu paman anjingmu, Kiu Im Cin.keng bakal ditulis untuknya, biar ia menutup pintu, mengeram diri, untuk memahaminya! Nanti, sepuluh tahun kemudian, biar muncul untuk mencoba menempur aku si pengemis tua! Kitab itu memang kitab bagus tetapi aku si pengemis tidak menghiraukannya! Lihat saja sesudah dia mendapatkan kitab itu, apa dia bisa bikin kalah aku si pengemis tua!"

Auwyang Hong berdiri diam di samping pintu, ia dengar semua ocehan si pengemis. Ia menjadi girang sekali. Pikirnya: "Kiranya si pengemis bangkotan sangat jumawa, dia sangat mengandalkan kepandaiannya, hingga ia suka menyerahkan kitab padaku, kalau tidak, ia tidak dapat dipaksa…"

Akan tetapi Auwyang Kongcu menyangkal. "Paman Ang, kata-katamu barusan keliru sekali!" demikian bantahnya. "Ilmu kepandaian pamanku sudah sampai dipuncak kemahiran! Paman boleh pandai tetapi paman tidak nanti nempil dengannya! Perlu apakah dia mempelajari Kiu Im Cin-keng? Sering pamanku mengatakan kepadaku, ia percaya Kui Im Cin-keng kitab kosong belaka, hanya untuk mendustai orang, maka ia hendak melihatnya, untuk ditunjukkan bagian yang ngaco belo itu, supaya semua ahli silat di kolong langit dapat mengetahui kekosongannya! Tidakkah pembeberan itu ada faedahnya untuk kaum Rimba Persilatan?"

Ang Cit Kong menyambutnya dengan tertawa terbahak. "Hahaha…., kau tengah meniup kulit kerbau apa?" senggapnya. "Anak Ceng, kau tulislah Kiu Im Cin-keng dan kau serahkan pada mereka! Jikalau si bisa bangkotan dapat menemukan kekeliruan-kekeliruan dari kitab itu, nanti aku si pengemis tua berlutut dan mengangguk-angguk di depannya!"

Kwee Ceng menyahuti sambil ia muncul, maka Auwyang Kongcu lantas ajak ia ke dalam gubuk besar, kemudian mengeluarkan pit dan kertas, bahkan dia sendiri yang menggosok bak, membikin siap sedia segalanya untuk penulisan kitab mujizat itu.

Kwee Ceng belajar surat tak banyak, tulisannya sangat jelek, sekarang pun ia mesti mengubah bunyinya kitab asli, menulisnya jadi sangat perlahan. Ada kalanya ia pun tidak dapat menulis sebuah hurufpun, ia minta Auwyang Kongcu yang menuliskannya. Sampai tengah hari, waktu bersantap, kitab bagian atas baru tercatat separuhnya. Selama itu Auwyang Hong sendiri tidak pernah muncul menyaksikan orang bekerja, hanya setiap lembar yang telah ditulis rampung, Auwyang Kongcu lantas membawa kepadanya di lain ruang dari perahu mereka itu.

Setiap kali ia menerima sehelai tulisan, Auwyang Hong memeriksanya dengan seksama. Ia tidak dapat mengerti, tetapi memperhatikan bunyinya, ia tidak curiga. Ia bahkan menduga, itulah huruf-huruf yang dalam artinya. Maka ia telah berpikir, nanti sekembalinya ke See Hek, hendak ia memahamkannya dengan ketekunan. Ia percaya akan otaknya yang cerdas dapat menguasai isi kitab, hingga terwujudlah cita-citanya beberapa puluh tahun akan mendapatkan pelajaran Kiu Im Cin¬keng. Ia tidak mengambil mumat tulisan Kwee Ceng yang tidak karuan itu, ia hanya menerka orang tidak dapat menulis dengan bagus, sama sekali tidak pernah menyangka, Kwee Ceng tengah menjalankan ajaran gurunya untuk membikin kitab Kiu Im Cin-keng jungkir balik….!

Kwee Ceng menulis terus dengan keuletannya, maka ketika cuaca mulai gelap, ia berhasil menulis hingga separuhnya lebih bagian bawah dari Kiu Im Cin-keng itu.

Auwyang Hong tidak menghendaki anak muda itu balik ke gubuk perahunya berkumpul sama Ang Cit Kong, dia khawatir si pengemis merubah ingatannya dan menyulitkan padanya. Masih ada kira-kira separuh kitab berarti ia masih dapat dipersukar. Maka ia lantas perintah orangnya menyajikan hidangan untuk si anak muda, agar ia berdiam terus tanpa bersantap bersama gurunya.

Ang Cit Kong menanti sampai jam sepuluh, ia mendapatkan muridnya belum kembali, ia merasakan hatinya tak tentram. Ia pun berkhawatir muridnya mendapat susah apabila Auwyang Hong bercuriga. Maka diam-diam ia keluar dari gubuknya. Ia dapat keluar karena sekarang tidak ada lagi penjagaan ular. Hanya tak jauh dari pintu ada dua orang berpakaian serba putih tengah berjaga sebagai penunggu pintu. Tidak sulit baginya untuk melewati dua orang itu. Dengan tangan kiri ia menyerang ke arah layar, layar itu menerbitkan suara hingga mereka itu berpaling, di waktu mana ia melompat ke arah kanan, maka lewatlah dia.

Dari jendela perahu terlihat molosnya sinar terang, Cit Kong menghampiri jendela itu, mengintai ke dalam. Ia melihat Kwee Ceng asyik duduk menulis. Dua nona dengan pakaian putih berdiri di sampingnya, melayani memasang dupa, menuang air teh serta menggosok bak. Jadi muridnya itu dilayani dengan baik. Hal ini membuat hatinya lega. Tiba-tiba pengemis ini merasakan hidungnya bau arak yang harum sekali. Ia lantas mengawasi. Ia mendapatkan arak ditaruh di depan muridnya.

"Si bisa bangkotan sangat pandai menjilat!" pikirnya. "Muridku menulis kitab untuknya, ia menyuguhkan arak jempolan, tetapi untuk aku si pengemis tua, ia menyediakan arak yang tawar seperti air!" Ia jadi ingin mendapatkan arak itu. Ia berpikir pula: "Mestinya si bisa bangkotan menyimpan araknya di dasar perahu, baik aku meminumnya hingga puas, habis itu tahangnya aku isi dengan air kencingku, biar nanti ia mencicipinya!"

Pengemis tua ini tersenyum. Ia merasa puas. Untuk pekerjaan mencuri arak, ia sangat pandai. Dulupun di Lim-an, di dalam dapur istana kaisar, ia dapat menyekap diri hingga tiga bulan, semua arak dan santapan untuk kaisar ia dapat mencicipinya terlebih dahulu! Penjagaan di istana rapat sekali tetapi ia dapat berdiam di situ dengan leluasa, dapat datang dan pergi dengan merdeka.

Demikian dengan berindap-indap ia pergi ke belakang. Ia tidak melihat siapapun di situ. Dengan hati-hati membongkar papan lantai. Dengan menggunakan hidungnya yang tajam, tahulah ia di mana arak disimpan.

Ruang perahu itu gelap remang-remang tetapi tidak menghalangi pengemis yang lihay ini. Hidungnya dapat membaui barang masakan dan arak. Ia bertindak dengan berhati-hati. Untuk melihat tegas, ia menyalakan api tekesannya. Di pojok ia melihat tujuh tahang arak, girangnya bukan kepalang. Segera ia mencari sebuah mangkok sempoak. Ia padamkan apinya, ia simpan itu di dalam sakunya, terus ia menghampiri tahang.

Dengan menggoyang tahang, ia tahu yang pertama kosong. Yang kedua ada isinya. Ketika ia mengulur tangan kirinya, untuk membuka tutup tahang, mendadak ia mendengar tindakan kaki dua orang. Ringan sekali tindakan itu, hingga ia menduga Auwyang Hong dan keponakannya. Ia lantas menduga mungkin paman dan keponakan itu hendak melalukan sesuatu yang licik. Kalau tidak, perlu apa malam-malam mereka pergi ke belakang? Maka ia lantas bersembunyi di belakang tahang.

Kapan pintu gubuk telah dibuka, terlihatlah sinar api. Dua orang tadi pun bertindak masuk, berdiri di depan tahang. Cit Kong tidak dapat melihat akan tetapi kupingnya dapat mendengar. Kembali ia menduga-duga: "Mungkinkah mereka hendak minum arak? Tapi kenapa mereka tidak menitahkan orangnya?"

Lalu terdengar suara Auwyang Hong; "Apakah semua minyak dan belerang di semua ruang perahu ini sudah siap sedia?"

Terdengar tertawanya Auwyang Kongcu, yang terus menjawab: "Semua sudah siap! Asal api dipakai menyulut, kapal besar ini akan segera menjadi abu, hingga si pengemis tua bangka itu pun bakal mampus ketambus!"

Cit Kong kaget. "Ah, mereka hendak membakar perahu?" katanya dalam hati.

Lalu terdengar pula suaranya Auwyang Hong: "Pergi kau kumpuli semua gundik yang paling disayang. Sebentar kalo si bocah Kwee sudah tidur pulas, kau ajak semua ke perahu kecil, aku sendiri yang akan menyalakan api."

"Ular kita dan mereka yang merawatnya bagaimana?" Auwyang Kongcu menanya.

Auwyang Hong menjawab dengan dingin: "Si pengemis busuk adalan jago silat kenamaan, kepala dari suatu partai, pantas ada orang-orang yang berkorban untuknya…."

Habis itu keduanya bekerja membuka sumpalan tahang, Ang Cit Kong dapat mencium bau minyak. Dari dalam peti-peti kayu, paman dan keponakan itu mengeluarkan banyak bungkusan terisi belerang. Ketika minyak telah dituang melulahan, tatal atau hancuran kayu disebar di atasnya. Di atas itu ada palangan-palangan peranti meletakkan bungkusan belerang. Selesai kerja, keduanya pergi ke luar.

Cit Kong masih mendengar suara Auwyang Kongcu, yang berbicara sambil tertawa: "Paman, satu jam lagi maka bocah she Kwee itu bakal dikubur di dasar laut, setelah itu di dunia ini tinggallah kau seorang yang mengetahui isi kitab Kiu Im Cin¬keng!"

"Tidak, ada dua!" sahut sang paman. "Mustahilkah aku tidak mewariskannya kepadamu?" Auwyang Kongcu girang dan tangannya menutup pintu.

Ang Cit Kong gusar berbareng kaget. "Kalau tidak malaikat menyuruhku mencuri arak, mana aku tahu akan kejinya dua orang ini?" pikirnya. "Kalau api dilepas, bagaimana kami bisa menyingkir?"

Ia menanti sampai tindakan kaki kedua orang itu sudah jauh, diam-diam ia keluar dari tempat bersembunyi. Ia lantas kembali ke gubuk perahunya, di mana ia mendapatkan Kwee Ceng sudah tidur pulas. Hendak ia mengasih bangun muridnya itu tatkala ia mendengar satu suara di luar pintu. Ia menduga Auwyang Hong tengah mengawasi, lantas ia bersuara nyaring berulang-ulang:

"Arak yang wangi, arak yang wangi! Mari lagi sepuluh poci!"

Auwyang Hong, orang di luar kamar itu, tercengang. "Ah, dia masih saja minum!" pikirnya. Lalu ia mendengar pula suara si pengemis;

"Tua bangka yang berbisa, mari kita bertempur sampai seribu jurus, untuk memastikan siapa tinggi, siapa rendah! Oh, oh, bocah yang baik, akur, akur!"

Mendengar sampai di situ, Auwyang Hong tahu orang sebenarnya lagi mengigau atau ngelindur di dalam tidurnya.

"Lihat si pengemis bau, tinggal mampusnya saja masih ngaco belo!" katanya.

Cit Kong pura-pura ngigau tetapi kupingnya dipasang. Auwyang Hong boleh lihay meringankan tubuhnya tetapi tindakan kakinya yang sangat perlahan masih terdengar si raja pengemis, yang mengetahui orang pergi ke kiri. Lekas-lekas ia menghampiri muridnya, pasang mulutnya di kuping orang, ia bentur pundaknya dengan perlahan. Terus ia memanggil:

"Anak Ceng!" Kwee Ceng bangun seketika, agaknya ia terkejut.

"Kau bertindak menuruti aku!" Cit Kong berbisik singkat. "Jangan menanyakan sebabnya! Jalan dengan hati-hati, supaya jangan ada yang dapat melihat!"

Kwee Ceng merayap bangun, sedangkan gurunya menolak pintu, lalu menarik tangan bajunya. Mereka menuju ke kanan. Mereka pun berjalan sambil melapai. Auwyang Hong lihay, mereka khawatir nanti terdengar si racun dari Barat itu. Kwee Ceng heran tetapi ia mengikuti tanpa membuka mulut. Lekas juga mereka berada di luar.

Ang Cit Kong menggunakan kepandaiannya "Cecak memain di tembok", untuk bergerak turun, matanya mengawasi muridnya. Ia berkhawatir juga sebab papan perahu licin. Kalau tangan mereka terlepas, pasti mereka bakal tercebur ke laut dan mengasih dengar suara berisik.

Ilmu "Cecak memain di tembok" itu mungkin tepat di tembok kasar, tetapi dinding perahu ini dicat mengkilap dan licin, basah pula, maka tak gampang untuk merayap di situ, apapula perahu tengah dipermainkan ombak. Syukur untuk Kwee Ceng, Ma Giok telah melatih sempurna selama mereka berada di gurun di mana dia diwajibkan naik turun jurang.

Ang Cit Kong merayap terus, separuh tubuhnya berada di dalam air. Muridnya tetap mengikutinya. Tiba di belakang, di tempat kemudi, Cit Kong melihat di situ ada ditambat sebuah perahu kecil. Ia menjadi girang sekali.

"Mari kita naik perahu itu!" ia mengajak muridnya, segera bertindak. Ia mengenjot tubuhnya, menyambar perahu kecil itu, ketika ia dapat memegang pinggirannya, ia jumpalitan untuk naik ke dalamnya. Ia tidak mengasih dengar suara apapun. Begitupun Kwee Ceng, yang menyusul gurunya. "Lekas putuskan dadungnya!" Ang Cit Kong menitah.

Kwee Ceng menurut, dengan cepat ia menggunakan pisau belatinya. Maka dilain saat, perahu kecil itu sudah terombang-ambing dipermainkan sang ombak. Cit Kong menggunakan pengayuhnya untuk membikin perahu tak goncang hebat.

Dengan lewatnya sang waktu, perahu besar lenyap dari pandangan mata. Hanya dilain saat, di sana terlihat api lentera yang dicekal Auwyang Hong, bahkan See Tok terus menjerit keras sebab ia mendapatkan perahu kecilnya lenyap. Kemudian jeritan itu disusul dengan kutukan, tanda dari kemurkaan hebat.

Ang Cit Kong mengumpulkan tenaga dalamnya, lalu ia tertawa keras dan panjang. Mendadak waktu itu, di arah kanan ada sebuah perahu ringan menerjang gelombang, menuju cepat ke arah perahu besar.

Heran Ang Cit Kong, hingga ia menanya dirinya sendiri: "Eh, perahu apakah itu?"

Waktu itu terlihat berkelebatnya dua burung rajawali putih, yang terbang berputaran di atasan layar besar. Dari dalam perahu itu pun berlompat satu tubuh dengan pakaian putih mulus, berlompat ke perahu besar itu. Samar-samar terlihat berkilauannya gelang rambut emas di kepala orang itu.

"Yong-jie!" Kwee Ceng berseru perlahan.

Memang orang itu Oey Yong adanya. Ketika ia melihat kuda merah, ia ingat sepasang rajawali. Di laut kuda tidak diperlukan, lain dengan burung. Maka ia lantas bersuit keras memanggil dua burung piaran Kwee Ceng. Bersama burung itu, ia layarkan perahunya. Kalau burung itu, yang matanya tajam, sudah lantas melihat perahu besar, maka keduanya lantas terbang pergi. Dengan begitu bertemulah mereka dengan tuannya, hingga Kwee Ceng bisa mengirim warta kepada si nona, untuk mengabarkan dia berada dalam bahaya. Oey Yong lantas melayarkan perahunya dengan cepat sekali. Akan tetapi ia masih terlambat, Cit Kong dan Kwee Ceng keburu naik perahu kecil kepunyaan Auwyang Hong itu.

Oey Yong mengingat keselamatan Kwee Ceng, maka itu begitu lekas melihat burungnya terbang berputaran di atas layar, ia lantas lompat dari perahunya naik ke perahu besar. Ia telah menyiapkan jarum dan tempulingnya ketika berlompat itu. Justru itu di perahunya, Auwyang Kongcu lagi kelabakan seperti semut di atas kuali panas.

"Mana Kwee Sieheng?!" tanya si nona. "Kau bikin apa terhadapnya?"

Auwyang ong sendiri tengah mengeluh. Dia telah membawa api, menyulut minyak, tatkala mengetahui lenyapnya perahu kecilnya, perahu yang hendak ia pakai untuk menyingkirkan diri. Dalam keadaan seperti itu, kupingnya mendapat dengar tertawanya Ang Cit Kong dari tengah laut. Maka mengertilah ia bahwa dia telah gagal mencelakai orang dan berbalik mencelakai diri sendiri. Tentu sekali ia menjadi sangat menyesal dan bingung, mendongkol dan berkhawatir. Tapi justru itu, dia melihat datangnya Oey Yong. Sekejab itu juga timbul harapannya - di otaknya muncul pikiran yang sesat. Dia berlompat sambil berseru:

"Lekas naik ke perahu itu!" Dia maksudkan perahunya Oey Yong.

Akan tetapi perahu itu adalah perahu yang dikemudikan oleh anak buah yang gagu. Dia tidak dapat bicara tetapi dapat berpikir. Pula dia memang bangsa licik. Selama berada dengan Oey Yong, dia takut, dia menurut saja titah si nona. Begitu lekas nona itu lompat ke perahu besar, ia memutar perahunya, dikayuh dengan segera, dipasang layarnya. Maka dilain saat, dia sudah terpisah jauh dari perahu besar itu.

Cit Kong dan Kwee Ceng dapat melihat Oey Yong berlompat ke perahu besar, diwaktu mana dari arah belakang perahu terlihat asap mengepul naik disusul sama berkobarnya api. Mereka kaget karena mereka insyaf bahwa Auwyang Hong sudah bekerja.

"Api! Api!" berteriak-teriak anak muda ini dalam kagetnya.

"Si bisa bangkotan sudah membakar perahunya!" Ang Cit Kong pun berteriak. "Dengan caranya itu ia hendak membakar kita!"

"Lekas tolongi Oey Yong!" Kwee Ceng berteriak pula.

"Dekati perahu!" Cit Kong menyuruh.

Kwee Ceng menggunakan tenaganya, untuk mengayuh. Perahu kecil itu pun bergerak menyusul perahu besar, untuk mendekati. Di atas perahu besar sendiri keadaan kacau disebabkan semua pengikutnya Auwyang Hong - laki-laki dan perempuan lari serabutan karena takut api, suara teriakan atau jeritan mereka riuh sekali.

"Yong-jie!" terdengar teriakan Cit Kong. "Bersama Ceng-jie aku berada di sini! Mari lekas berenang! Lekas berenang ke mari!"

Langit gelap, laut pun bergelombang, tetapi Cit Kong perdengarkan teriakannya itu oleh karena ia tahu si nona pandai berenang. Pula di saat sepereti itu tidak dapat mereka berlaku nekat untuk menolong diri.

Oey Yong dapat mendengar suara gurunya itu, ia girang. Tentu saja tidak sudi ia memperdulikan pula Auwyang ong dan keponakannya itu, bahkan tanpa bersangsi lagi ia bertindak ke tepi perahu, untuk segera menggenjot tubuhnya guna terjun ke laut!

Sekonyong-konyong nona Oey merasakan lengannya ada yang cekal dengan keras sekali. Tubuhnya sudah mencelat tapi karena cekalan itu, ia tidak dapat terjun terus, ia kena ditarik kembali ke perahu. Ia terkejut sekali ketika ia menoleh mendapatkan orang yang mencekalnya adalah Auwyang Hong, si Bisa dari Barat yang lihay dan ganas itu.

"Lepaskan!" ia berteriak seraya dengan tangan kirinya meninju.

Hebat sekali Auwyang Hong, tangannya bergerak bagaikan kilat, maka tahu-tahu si nona telah tercekal pula tangan kirinya. Sementara itu See Tok melihat perahu kecil sudah pergi jauh hingga tidak ada lagi harapan untuk menyusulnya. Sebaliknya perahunya sendiri mulai terbakar hebat. Api telah melulahan menyambar tiang layar yang lantas patah karenanya. Di muka perahu, kekacauan berjalan terus. Agaknya perahu bakal segera karam, maka pertolongan untuk mereka tinggallah perahu yang diduduki Kwee Ceng dan Cit Kong itu.

"Pengemis busuk, Nona Oey ada di sini!" See Tok berseru. "Kau lihat tidak?!"

Ia mengerahkan tenaganya, kedua tangannya di angkat naik, dengan begitu tubuh Oey Yong pun turut terangkat tinggi. Dengan begitu ia hendak mengasih lihat tubuh nona itu. Ketika itu api telah berkobar besar dan mendatangkan sinar terang maka Ang Cit Kong dan Kwee Ceng dapat melihat tegas Oey Yong berada di tangannya si Bisa dari Barat yang jahat itu. Ang Cit Kong menjadi gusar sekali.

"Dengan menggunakan Oey Yong, dia hendak memaksa kita!" katanya sengit. "Dia ingin naik ke perahu kita! Nanti aku merampas Yong-jie!"

"Aku turut, suhu!" berkata Kwee Ceng, Ia berkhawatir melihat api.

"Tidak!" mencegah si guru. "Kau melindungi perahu ini supaya tidak sampai kena dirampas si tua bangka yang berbisa itu!"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar