Selasa, 08 Desember 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 078

See Tok terkejut tetapi telah menduga, itu mesti perbuatan Ang Cit Kong, ia mengangkat kepalanya, nampak Pak Kay muncul di ambang pintu dengan masing-masing tangannya menentang setahang air. Ia menginsyafi lihaynya si Pengemis dari Utara, tentu tenaga banjuran air itu hebat, kalau ia kena dibanjur, meski ia tidak terluka parah, luka sedikit itu pasti. Maka itu sebat luar biasa ia menjejak dengan kedua kakinya, berlompat ke kiri. Sambil berlompat, menenteng tubuhnya si anak muda. Ia tidak mau melepaskan cekalannya yang kuat itu. Hebat banjuran itu, air muncrat ke segala penjuru.

Auwyang Konngcu tak sesebat pamannya, sedang ia kaget, sudah kena dicekuk leher bajunya oleh Ang Cit Kong, yang sambil memanjur lompat maju, hingga ia pun kena ditenteng tanpa berdaya. Segera si pengemis tua mengasih dengar tertawanya yang panjang.

"Makhluk beracun bangkotan!" katanya, "Dengan segala daya kau hendak mencelakai aku, syukur Thian tidak mengijinkannya!"

Benar-benar licik si Bisa dari Barat ini. Begitu ia melihat keponakannya tertawan, ia lantas tertawa.

"Saudara Cit," katanya, "Apakah kau hendak menguji kepandaianku? Kalau benar, nanti saja di darat kita mengukur tenaga, waktunya masih belum kasep."

Ang Cit Kong juga tertawa, sedikit pun ia tidak menunjukkan kegusarannya. "Kau demikian baik sekali dengan muridku, hingga kau mencekal erat-erat dan tidak hendak melepaskan tanganmu!" katanya.

Auwyang Hong tidak sudi mengadu bicara, ia merasa keteter. "Aku telah bertaruh dengan Loo Boan Tong, aku telah menang, bukan?" ia menanya, menyingkir dari saling ejek. "Bukankah kau saksiknya? Loo Boan Tong menyalahi janji, maka sekarang terpaksa aku mesti menanyakan kepadamu, bukankah?"

Cit Kong mengangguk berulang-ulang. "Tidak salah," sahutnya. "Mana Loo Boan Tong?"

Kwee Ceng tidak dapat menahan diri. "Ciu Toako dipaksa terjun mati ke laut!" ia memotong.

Cit Kong kaget, dengan menenteng Auwyang Kongcu ia pergi ke luar. Ia melihat ke laut di sekitarnya. Ia tidak lihat Pek Thong, di sana hanya tampak sang ombak. Sambil menuntun Kwee Ceng, Auwyang Hong pun turut keluar, sampai di luar, ia kendorkan cekalannya.

"Kwee Sieheng," katanya, "Kepandaianmu belum terlatih mahir! Kau lihat, secara begini kau dituntun orang, kau mengikuti saja. Pergi kau ikuti pula gurumu, akan belajar lagi sepuluh tahun, sesudah itu baru kau merantau."

Kwee Ceng sangat memikirkan Pek Thong, tidak sudi ia melayani bicara. Ia terus merayap naik ke tiang layar, dari sana memandang ke sekelilingnya.

Cit Kong mencekuk belakang lehernya Auwyang Kongcu, lalu melemparkan keponakan orang itu kepada sang paman, sembari berbuat begitu, ia berkata dengan membentak:

“Makhluk beracun bangkotan, kau memaksakan kematian Loo Boan Tong, buat itu nanti ada orang-orang Coan Cin Kauw yang membuat perhitungan denganmu! Kau harus ketahui, biar kau sangat lihay, kau berdua dengan keponakanmu tidak mungkin sanggup melayani pengurungan Coan Cin Cit Cu!"

Auwyang Kongcu tidak menanti tubuhnya terlempar jatuh atau membentur pamannya, ia mengulur tangannya untuk menekan lantai, maka dilain saat ia sudah bangun berdiri. Di dalam hatinya ia mencaci: "Pengemis bau, tak usah sampai duabelas jam, kau bakal bertekuk lutut di hadapanku untuk memohon ampun….!"

Auwyang Hong pun tersenyum. Katanya, "Sampai waktu itu, sebagai saksi kau bakal tidak dapat meloloskan diri!"

Kembali Ang Cit Kong tertawa. "Baiklah!" jawabnya. "Sampai waktu itu aku nanti mencoba-coba lagi denganmu!"

Kwee Ceng sudah lompat turun. Sekian lama ia memandangi laut tanpa ada hasilnya. Sekarang ia tuturkan kepada gurunya bagaimana barusan Auwyang Hong menawan dia dengan memencet nadinya memaksa ia menulis bunyinya Kiu Im Cin¬keng.

Ang Cit Kong mengangguk-angguk, ia tidak membilang suatu apapun. Ia malah masgul di dalam hati, karena pikirnya: "Mahkluk berbisa bangkotan ini biasa tak melepaskan kehendaknya sebelum terpenuhi, maka sebelum ia memperoleh kitab, tidak mungkin ia mau sudah. Ini artinya muridku bakal dilibat terus olehnya…"

"Mari," ia mengajak muridnya masuk ke dalam perahu. Ia tahu kendaraan ini lagi menuju ke barat, tak usah sampai dua hari, mereka bakal tiba di darat, dari itu tak sudi ia memperdulikan Auwyang Hong. Ia pergi ke belakang untuk mengambil nasi tanpa meminta lagi, ia ajak Kwee Ceng bermakan dengan kenyang. Ia tidak meminta sayur atau lauk pauk lainnya, yang ia khawatir dicampuri racun. Habis menangsal perut, ia ajak muridnya merebahkan diri untuk beristirahat.

Auwyang Hong dan keponakannya menanti sampai besoknya lohor, itu artinya sudah lewat empat - atau limabelas jam semenjak mereka meracuni Ang Cit Kong dan Kwee Ceng, sampai waktu itu, si pengemis dan muridnya masih tidak kurang suatu apapun. Mereka menjadi heran dan curiga. See Tok sendiri khawatir, kalau mereka itu nanti mati keracunan, ia jadi tidak dapat meminta atau memaksa Kwee Ceng menulis kitab yang ia kehendaki….

Kemudian si Racun dari Barat itu pergi mengintai di sela-sela bilik perahunya. Ia melihat Cit Kong dan Kwee Ceng lagi duduk memasang omong. Ia menjadi lebih heran lagi.

"Jikalau bukan si pengemis licik hingga mereka tidak kena makan racun, tentulah mereka mempunyai obat pemunah racun," pikirnya. Karena ini ia jadi memikir lain cara yang lebih kejam lagi….

Ang Cit Kong berbicara dengan muridnya menuturkan aturan Kay Pang, partainya dalam hal memilih ahli waris atau pangcu yang baru andaikata Pangcu yang lama sudah waktunya mengundurkan diri.




"Sayang kau tidak suka menjadi pengemis," berkata guru ini, "Kalau tidak, kau sungguh tepat. Di dalam partai kita tidak ada orang yang berbakat lebih baik darimu. Asal aku menyerahkan tongkatku ini peranti mementung anjing, maka kecuali aku si pengemis tua, cuma kamulah yang paling besar kekuasaannya!"

Ang Cit Kong menyebutkan tongkatnya sebagai Pa¬kauw-pang, yaitu tongkat peranti pengemplang anjing. Tepat mereka bicara sampai di situ, kuping mereka mendadak mendengar suara dakdak-dukduk seperti orang tengah mengampak kayu.

Cit Kong kaget hingga ia lompat berjingkrak. "Celaka!" serunya. "Si bangsat tua hendak menenggelamkan perahu ini!" Ia berseru kepada Kwee Ceng: "Lekas kau rampas perahu kecil di belakang!"

Belum berhenti suara pengemis ini, papan perahu telah kena dibikin bobol dengan gempuran martil, maka berbareng dengan itu, segera terdengar suara sasss-sussssus, lalu tertampak, bukannya air yang menerobos masuk hanya puluhan ekor ular.

Cit Kong tertawa tetapi dia berseru: "Si makhluk tua yang berbisa menyerang dengan ularnya!" Sambil berseru, tangannya pun bekerja, menimpuk dengan puluhan batang jarumnya, hingga binatang-binatang merayap itu tertancap perutnya dan mengasih dengar suara kesakitan.

Menyaksikan ilmu menimpuk jarum gurunya itu, Kwee Ceng kagum bukan main. "Yong-jie sudah lihay tetapi ia masih kalah dengan guruku ini," pikirnya.

Selagi anak muda ini berpikir, terlihat masuknya puluhan ular lainnya, dan Ang Cit Kong segera menyambutnya dengan jarumnya lagi, hingga semua ular itu menjadi korban seperti rombongan yang pertama, berisik suara kesakitannya. Hanya celakanya, habis itu muncul pula yang lainnya.

"Bagus betul!" berseru Ang Cit Kong. "Si tua bangka beracun memberikan aku sasaran untuk melatih diri!" Ia lantas merogoh sakunya. Waktu tanganya mengenai isi sakunya, ia kaget jarumnya tinggal hanya tujuh atau delapan puluh batang lagi. Ini berbahaya sedang ular itu seperti tidak ada habisnya. Tengah ia berdiam, tiba-tiba terdengar suara menjeblak ke dalam disusul sama sambaran angin yang keras ke punggung.

Kwee Ceng berada di belakang gurunya, ia merasakan sambaran yang hebat itu, lekas-lekas ia bergerak menangkis. Ia merangkap kedua tangannya. Masih ia merasakan tolakan yang hebat karenanya ia mesti kerahkan semua tenaganya. Dengan begitu baru ia dapat mempertahankan diri, mencegah gurunya dibokong.

Penyerang gelap itu Auwyang Hong adanya. Ia heran hingga menyerukan suara "Ih!" perlahan, sebab pemuda itu sanggup menahan serangannya yang dahsyat. Lantas ia maju satu tindak dengan diputar balik, tangannya dipakai menyerang lagi.

Kwee Ceng melihat cara jago tua itu menyerang, ia mengerti bahwa tak bakal sanggup menangkis secara langsung, dari itu sambil menangkis dengan tangan kirinya, tangan kanan ia membalas menyerang. Ia mengarah rusuk kanan dari See Tok. Dalam keadaan seperti itu, tak gentar ia menghadapi musuh lihay ini.

Auwyang Hong tidak berani meneruskan serangannya. Ia menarik pulang tangannya dengan cepat, lalu dengan cepat juga ia pakai menyerang lagi, dari atas turun ke bawah, merupakan bacokan.

Kwee Ceng mengerti ancaman bahaya bagi dia dan gurunya. Kalau Auwyang Hong dapat menguasai pintu itu, tentu sang ular tak dapat dibendung lagi. Maka itu dengan terpaksa ia membuat perlawanan terus. Dengan tangan kiri ia menangkis serangan, dengan tangan kanan ia menyerang membalas. Terus menerus ia menggunakan siasatnya. Karena ia sangat lincah, sedang ilmu silat semacam itu belum pernah Auwyang Hong melihatnya, See Tok menjadi heran, hingga ketika ia tercengang, ia berbalik kena terdesak.

Dalam keadaan wajar, biarpun ia bergerak dengan dua tangan yang berlainan gerak-geriknya, hingga ia menjadi dua melawan satu, Kwee Ceng bukan tandingan dari Auwyang Hong, hanya karena anehnya ilmu silatnya ini, See Tok terdesak tanpa dia menginsyafinya.

Walau bagaimanapun, si Bisa dari Barat adalah jago kawakan. Cuma sebentar ia terdesak, segera bisa memperbaiki diri. Ia lantas menyerang dengan dua tangan berbareng. Tentu saja satu penyerangan yang hebat. Tidak dapat Kwee Ceng menangkis serangan itu dengan hanya sebelah tangan kirinya. Sudah begitu, disaat ia bakal terdesak, rombongan ular itu menggeleser di arah belakangnya.

"Bagus, bagus sekali, mahkluk berbisa bangkotan!" berseru Ang Cit Kong dengan ejekannya. "Sekalipun muridku, kau tidak sanggup melayaninya, maka mana dapat kau menyebut dirimu enghiong, seorang gagah perkasa?"

Pak Kay bukan saja mengejek, berbareng menggerakkan tubuhnya. Ia mengenjot tubuhnya dengan kedua kaki, lantas tubuh itu melesat tinggi, melewati Kwee Ceng dan Auwyang Hong, tiba di lain bagian di mana dengan satu tendangan ia terus merobohkan Auwyang Kongcu, hingga orang jungkir balik, setelah itu ia menyusuli dengan sikutnya, hingga tubuh pemuda itu terpental terlebih jauh ke arah pamannya.

Mau tidak mau, Auwyang Hong mesti berkelit, supaya ia terhindar benturan dengan tubuh keponakannya. Karena berkelit, dengan sendirinya ia seperti menarik pulang serangannya, dengan begitu Kwee Ceng jadi diperingan ancaman bahaya untuknya.

Pemuda ini berkelahi dengan berbesar hati. Ia telah memikirnya: "Dia ini seimbang dengan guruku, sekarang keponakannya bukan lagi tandinganku, bahkan si keponakan sedang terluka, dari itu dua lawan dua, mestinya pihakku yang menang." Maka dengan itu ia menyerang Auwyang Hong secara hebat sekali. Tadi ia dibokong, dengan gampang ia tercekuk, sekarang ia waspada.

Ang Cit Kong berkelahi dengan mata dipentang ke empat penjuru, dari itu ia melihat belasan ular lagi mendekati muridnya. Celaka kalau muridnya diterjang binatang berbisa itu dan kena dipagut.

"Anak Ceng, lekas keluar!" ia berteriak dan sambil berteriak ia merangsak Auwyang Hong, guna memberi kebebasan kepada muridnya.

Auwyang Hong merasakan sulitnya diserang dari depan dan belakang, atas rangsakan Pak Kay, terpaksa ia berkelit, dengan begitu, Kwee Ceng jadi terlepas dan bisa lompat ke luar gubuk perahu. Ia sekarang melayani Cit Kong seorang.

Sementara itu sang ular, jumlahnya ratusan lebih, mulai mendekati. "Sungguh tak punya muka!" mengejek Cit Kong. "Satu laki-laki berkelahi mesti dibantui segala binatang!"

Di mulut pengemis ini menegur, di hati ia khawatir juga. Ia mainkan tongkatnya hebat sekali, dengan begitu selain melayani Auwyang Hong, dapat juga ia mengemplang mampus belasan ular, setelah itu ia berlompat untuk terus mengajak Kwee Ceng lari ke tiang layar.

Auwyang Hong terkejut. Ia mengerti, kalau musuh sampai dapat memanjat layar, sementara tak dapat ia berbuat sesuatu terhadap mereka. Maka ia berlompat pesat sekali, dengan maksud menghalangi.

Ang Cit Kong dapat menerka maksud orang, ia menyerang dengan kedua tangannya. Hebat serangannya itu, hingga Auwyang Hong mesti menyambut.

Kwee Ceng hendak membantu gurunya ketika si guru teriaki padanya: "Lekas naik ke atas tiang layar!"

"Hendak aku membikin mampus keponakannya untuk membalaskan sakit hati Ciu Toako!" berkata Kwee Ceng.

Tapi Cit Kong tidak memperdulikannya. "Ular! Ular!" teriaknya memperingatkan.

Kwee Ceng pun melihat mendekatinya binatang-¬binatang merayap yang berbisa itu, maka setelah ia menanggapi sebatang Hui-yan ginso yang ditimpuki Auwyang Kongcu kepadanya, ia berlompat ke tiang layar yang terpisah darinya setombak lebih.

Ia menyambar tiang dengan tangan kirinya. Justru itu ada sambaran angin dan senjata rahasia, ia menimpuk dengan torak musuh yang berada di dalam cekalannya, maka sebagai kesudahan dari itu kedua torak bentrok keras mental ke kiri dan kanan menyemplung ke laut. Dengan kedua tangannya merdeka, Kwee Ceng terus memanjat. Dengan cepat sekali ia telah sampai di tengah-tengah tiang.

Ang Cit Kong sebaliknya tidak berhasil menyampai tiang layar. Ia dirintangi oleh Auwyang Hong yang merangsak dengan serangan-serangan bertubi-¬tubi.

Kwee Ceng melihat tegas kesulitan gurunya, sedang ular datang semakin dekat. Tiba-tiba saja ia berseru, tubuhnya merosot turun, tangannya tetap memeluk tiang. Berbareng dengan itu, Cit Kong menjejak dengan kaki kirinya, untuk mengapungkang tubuhnya, sementara kaki kanannya dipakai menendang musuh. Sambil berlompat menyerang itu, tongkatnya diulur ke depan.

Inilah yang Kwee Ceng harap. Pemuda ini mengulur sebelah tangannya, menyambar tongkat gurunya, setelah dapat mencekal, ia menarik dengan keras. Ang Cit Kong tengah mengapungkan tubuhnya, terus tertarik terangkat naik oleh muridnya.

Pak Kay lantas saja tertawa panjang. Tengah tubuhnya terangkat, tangan kirinya menyambar layar, maka dilain saat, ia seperti sudah tergantung di tengah udara, berada di sebelah atas dari muridnya. Sampai waktu itu, guru dan murid telah berada di atas tiang layar, di atas dari kedua lawan mereka. Dengan begitu mereka jadi menang di atas angin.

Auwyang Hong tidak berani lompat naik ke tiang layar, guna menyusul. Ia tahu kedudukannya yang tak menguntungkan.

"Baiklah!" ia berseru, bersiasat. "Mari kita bersiap! Putar haluan ke timur!"

Benar saja, hanya dalam waktu sedetik, arah perahu telah berputar. Sementara itu di kaki tiang layar, kawanan ular sudah berkumpul. Ang Cit Kong duduk bercokol, agaknya ia gembira sekali, karena ia sudah lantas menyanyikan lagu "Lian Hoa Lok", atau "Bunga teratai rontok", nyanyian istimewa bangsa pengemis. Sebenarnya di dalam hati, ia sangat masgul. Ia menginsyafi bahwa mereka masih terancam bahaya.

"Berapa lama aku dapat berdiam di sini? Bagaimana kalau si mahluk beracun menebang tiang ini?" Demikian pikirnya. "Kalau ular itu tak mau bubar, mana bisa aku turun dari sini? Mereka boleh makan dan tidur enak, kita berdua mesti makan angin….." Mendadak ia ingat sesuatu.

"Anak Ceng, kasih mereka minum air kencing!" tiba-¬tiba ia serukan muridnya seraya ia sendiri lantas mengendorkan ikat celananya.

Dasar masih kekanak-kanakan, Kwee Ceng turut itu anjuran "Nah, silahkan minum! Silahkan minum!" serunya.

Maka berdua mereka menyiram ke bawah! "Lekas singkirkan ular!" teriak Auwyang Hong kaget. Ia sendiri segera berlompat mundur beberapa tindak, hingga ia tak usah kena tersiram air harum itu.

Auwyang Kongcu heran atas seruan pamannya, ia tercengang. Justru itu, air kencing mengenai mukanya! Ia menjadi sangat mendongkol dan gusar sekali. Ia memangnya satu pemuda yang resik. Berbareng dengan itu, ia pun ingat bahwa ularnya takut air kencing.

Segera terdengar suara seruling kayunya, rombongan ular di kaki tiang lantas bergerak, merayap pergi, meski begitu, beberapa puluh ekor ular itu basah kuyup, terus mereka bergulingan dan mulutnya dipentang, menggigit satu dengan yang lain, hingga mereka jadi kacau sekali.

Ular itu semua adalah ular Auwyang Hong yang dikumpulkan dari lembah ular di gunung Pek To San, gunung Unta Putih, di See Hek, Wilayah Barat. Semua ular beracun, tetapi ada pula kelemahannya yaitu jeri terhadap kotoran atau kencingnya orang atau binatang kaki empat. Inilah sebabnya mereka menjadi korban dan kacau.

Ang Cit Kong dan Kwee Ceng menyaksikan sepak terjang kawanan ular, mereka tertawa lebar.

"Jikalau Ciu Toako ada di sini, dia tentu sangat gembira," berpikir Kwee Ceng, yang ingat kakak angkatnya. "Ah, sayang ia terjun ke laut yang luas ini, ia tentu menghadapi lebih banyak bencana daripada keselamatan…."

Auwyang Hong pun pandai menguasai diri. Ia tidak mengambil mumat lawannya kegirangan. Ia membiarkan waktu lewat kira-kira dua jam, selagi cuaca mulai gelap, ia menitah orangnya menyiapkan hidangan serta arak, sengaja ia makan di tempat terbuka, bukan di dalam gubuk perahu, dengan begitu, harumnya arak dan wangi lezat hidangan terbawa angin, melulahan hingga ke atas tiang layar, menyampok hidung kedua orang di atas tiang itu.

Cit Kong seorang yang gemar minum dan makan, napsu makannya segera kena juga dipancing, maka itu ia lantas mengambil cupu-cupunya, menenggak arak hingga cupu-cupu menjadi kering seketika.

Untuk menjaga diri, Pak Kay bergilir dengan Kwee Ceng, tidur atau beristirahat bergantian. Akan tetapi di bawah, beberapa orang memasang obor terang-terang dan rombongan ular diatur mengurung kaki tiang, hingga tak ada jalan untuk turun dari tiang layar itu.

Auwyang Hong menempatkan diri di dalam gubuknya, ia tidak mengambil peduli Ang Cit Kong mencoba membangkitkan hawa marahnya dengan mencaci-maki kalang kabutan, dengan mengangkat juga leluhurnya beberapa turunan! Ang Cit Kong mengoceh sampai letih dengnan sendirinya dan mulutnya kering, lalu ia tertidur.

Ketika sang malam telah lewat, Auwyang Hong menitahkan orangnya berteriak-teriak di bawah tiang layar:

"Ang Pangcu! Kwee Siauwya! Auwyang Looya sudah menyajikan hidangan piliha serta arak yang wangi, silahkan pangcu dan siauwya turun untuk bersantap!"

"Kau suruh Auwyang Hong keluar, kami mengundang ia minum air kencing!" Kwee Ceng menyahut.

Jawaban ini tidak dipedulikan, hanya sebentar kemudian di kaki tiang itu orang mengatur meja serta barang-barang hidangan, sayurnya masih mengepulkan asap, hingga wangi lezat sayur, serta harumnya arak, menghembus naik tinggi. Kursi disediakan hanya dua, diperuntukkan khusus buat Ang Cit Kong dan Kwee Ceng. Dalam panasnya hati, Cit Kong mencaci pula dengan menyebut-nyebut "biang bangsat" dan anjing.

Dihari ketiga Cit Kong dan muridnya merasakan kepala mulai pusing karena menahan lapar dan dahaga.

"Coba murid wanitaku ada di sini," berkata Ang Cit Kong, "Dia sangat cerdik, pasti dapat mencari akal untuk menghadapi si racun tua ini. Kita berdua cuma bisa membuka mata dan mengeluarkan ilar…."

Kwee Ceng menghela napas, ia memandang ke sekitarnya. Di tiga penjuru tak nampak apa-apa kecuali laut tetapi di barat, di sana terlihat dua titik putih yang bergerak, mulanya samar seperti gumpalan mega kecil, ketika ia mendapatkan dua titik itu makin tegas, ia menjadi girang sekali. Itulah dua ekor rajawali putih, yang lekas juga datang dekat hingga suaranya terdengar.

Tanpa ayal sedetikpun, Kwee Ceng masuki jari tangan kirinya ke dalam mulut, memperdengarkan suara nyaring dan panjang. Atas itu kedua burung itu terbang berputaran, lalu menukik, menceklok di pundak si anak muda. Merekalah dua ekor rajawali, yang Kwee Ceng pelihara dari kecil di gurun pasir.

"Suhu!" berseru Kwee Ceng girang. "Mungkin Yong-jie mendatangi dengan naik perahu!".

"Itulah bagus!" seru Ang Cit Kong. "Kita terkurung dan tidak berdaya, biar dia datang menolong kita!"

Kwee Ceng mencabut pisau belatinya, ia memotong dua helai kain layar, di atas itu ia mencoret dua huruf "dalam bahaya", serta gambar cupu-cupu, terus ia ikat di kaki kedua burung itu, ia berkata: "Lekas kamu terbang lagi, ajak Nona Yong ke mari!"

Dua ekor burung itu mengerti, keduanya berbunyi nyaring, terus mereka terbang pergi, sesudah berputaran di atasan kepala, mereka menuju ke barat, dari arah mana mereka datang.

Belum ada satu jam sejak berlalunya kedua ekor rajawali, Auwyang Hong kembali mengatur meja perjamuan makan di bawah tiang layar. Untuk ke sekian kalinya ia memancing supaya Ang Cit Kong dan Kwee Ceng tidak dapat menahan lapar dan nanti terpaksa turun untuk makan pula. Menyaksikan lagak orang itu, Cit Kong tertawa.

"Di antara empat arak, paras elok, harta dan napsu, aku si pengemis tua cuma menyukai satu ialah arak!" ia berkata. "Dan kau justru menguji aku dengan arak! Di dalam hal ini, latihanku menenangkan diri ada sedikit kelemahannya…. Anak Ceng, mari kita turun menghajar mereka kalang kabutan. Setujukah kau?"

"Sebaiknya sabar, suhu," Kwee Ceng menyahut. "Burung rajawali sudah membawa surat kita, sebentar lagi mesti ada kabar."

Cit Kong tertawa. Ia nyata suka bersabar. "Eh, anak Ceng!" ia berkata, "Di kolong langit ini ada suatu barang yang sari atau rasanya paling tidak enak, kau tahu apakah itu?"

"Aku tidak tahu, suhu. Apakah itu?" sahut sang murid sambil balik menanya.

"Satu kali aku pergi ke Utara," berkata sang guru, memberi keterangan, "Di sana di antara hujan salju besar, aku kelaparan hingga delapan hari. Jangan kata bajing, sekalipun babakan kayu, tak aku dapatkan di sana. Dengan terpaksa aku menggali sana dan menggali sini di dalam salju, akhirnya aku dapat menggali juga lima makhluk berjiwa. Syukur aku si pengemis tua berhasil mendapatkan makhluk itu, dengan begitu jadi ketolongan untuk satu hari itu. Di hari kedua, aku beruntung mendapatkan seekor serigala hingga aku dapat makan kenyang."

"Apakah lima makhluk bernyawa itu, suhu?"

"Cianglong dan gemuk-gemuk pula!"

Mendengar disebutkannya nama binatang itu, Kwee Ceng belenak sendirinya, hendak ia muntah¬-muntah. Cit Kong sebaliknya tertawa terbahak-bahak. Karena sengaja ia menyebutkan binatang paling kotor dan paling bau itu untuk melawan napsu makan yang merangsak-rangsak mereka yang disebabkan harum wangi arak dan lezat yang tersajikan di kaki tiang layar itu.

"Anak Ceng," berkata pula Cit Kong, "Kalau sekarang ada cianglong di sini, hendak aku memakannya pula. Cuma ada serupa barang yang paling kotor dan paling bau hingga aku segan memakannya, aku si pengemis tua lebih suka makan kaki sendiri daripada memakan itu! Tahukah kau, barang apa itu?"

Kwee Ceng menggeleng-geleng kepalanya, atau mendadak ia tertawa dan menyahuti: “aku tahu sekarang! Itulah najis!"

Tetapi sang guru menggoyangkan kepalanya. "Ada lagi yang terlebih bau!" katanya.

Kwee Ceng mengawasi. Ia menyebut beberapa rupa barang, ia masih salah menerka. Akhirnya Ang Cit Kong tertawa.

"Nanti aku memberitahukan kepadamu!" katanya keras-keras. "Barang yang paling kotor dan bau di kolong langit ini ialah See Tok Auwyang Hong!"

Mengertilah Kwee Ceng maka ia pun tertawa berkakakan. "Akur! Akur!" serunya berulang-ulang.

Maka cocok benarlah guru dan murid itu, hingga membuat See Tok menjadi sangat mengeluh. Ketika itu hawa udara kebetulan memepatkan pikiran, di empat penjuru angin meniup perlahan. Memang perahu bergerak perlahan, dengan berhentinya sang angin, akhirnya kendaraan air itu menjadi berhenti dengan sendirinya. Semua orang di atas perahu mengeluarkan peluh. Di muka air pun kadang-kadang tampak ikan meletik naik, suatu tanda air laut juga panas. hawanya. Cit Kong memandang ke sekelilingnya. Ia tidak menampak awan, langit bagaikan kosong. Maka heranlah ia. Ia menggeleng kepala.

"Suasana aneh sekali," katanya perlahan.

Berselang sekian lama, ketika Cit Kong tengah memandang ke arah tenggara, ia menampak ada mega hitam yang mendatangi dengan sangat cepat. Melihat itu, ia menjadi keget hingga ia mengeluarkan seruan tertahan.

"Ada apakah, suhu?" tanya Kwee Ceng terperanjat.

"Ada angin aneh!" menyahut Cit Kong. "Tidak aman kita berdiam di tiang ini… Di bawah ada demikian banyak ular….Bagaimana sekarang?" Ia menjadi seperti menggerutu ketika ia berkata lebih jauh perlahan sekali: "Biar umpama kata kita bekerja sama mati-matian, masih belum tentu kita bisa lolos dari ancaman ini, apapula jikalau kita melanjutkan pertempuran…"

Ketika itu ada angin yang menyambar ke muka. Cit Kong lantas merasa segar. Ia pun merasa dadung layar bergerak sedikit.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar