Jumat, 04 Desember 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 077

Begitu lekas Ang Cit Kong, Ciu Pek Thong dan Kwee Ceng tiba di luar gubuk perahu, mereka merasakan kaki basah. Nyata mereka telah menginjak air, atau kaki mereka kena kerendam air. Tentu mereka menjadi sangat kaget sekali. Tapi mereka sadar, maka dengan menjejak tanah, mengenjot tubuh, mereka lompat naik ke tiang layar. Cit Kong bahkan sambil menenteng dua bujang gagu. Ketika ia memandang ke sekitarnya, yang nampak hanya lautan luas, perahunya sudah tergenang air.

"Pengemis tua, Oey Lao Shia benar hebat!" berteriak Pek Thong. "Bagaimana perahu ini dibuatnya?"

"Aku juga tidak tahu!" menjawab Ang Cit Kong. "Eh, anak Ceng, kau peluk tiang, jangan kau lepaskan….!"

Kwee Ceng belum menjawab ketika mendadak di antara suara keras, badan perahu terbelah menjadi dua. Kedua anak buah kaget sekali, sampai pelukannya kepada tiang layar terlepas dan tubuhnya kecebur.

"Loo Boan Tong, kau bisa berenang atau tidak?" Cit Kong tanya.

"Coba-coba saja!" sahut Pek Thong tertawa. Suaranya tersampok angin hingga tak terdengar nyata. Mereka terpisah.

Perlahan perahu tenggelam, sebagaimana tiang layar melesak perlahan ke dalam air. Hanya pasti, tidak lama lagi, tiang itu bakal tenggelam juga.

Ang Cit Kong mendapat pikiran. "Anak Ceng!" ia berkata, "Tiang ini menjadi satu dengan tubuh perahu, mari kita patahkan!"

Kwee Ceng menurut, keduanya lantas mengerahkan tenaga. Dengan berbareng mereka menebas dengan tangan. Tidak peduli tangguhnya tiang, serangan dua orang itu membuatnya patah. Maka keduanya dengan memeluk terus hingga mereka jatuh ke air. Dengan terus memegang tiang, mereka tidak kelelap. Mereka pun bisa berenang.

Cit Kong mengeluh di dalam hati. Mereka sudah terpisah jauh dari tepian, di sekitarnya tak nampak daratan. Tanpa pertolongan, biar bagaimana kosenpun, mereka akan mati haus dan kelaparan. Di sebelah selatan, di tengah laut, terdengar suara tertawa berkakakan. Itulah suaranya Ciu Pek Thong.

"Anak Ceng, mari kita hampiri dia!" Cit Kong mengajak.

Kwee Ceng menurut, maka dengan berpegangan tiang, sambil mengayuh, mereka berenang ke arah si tua berandalan itu. Beberapa kali mereka terdampar balik ombak yang keras. Angin keras, gelombang berisik, suaranya Pek Thong toh masih terdengar lapat-lapat. Maka mereka mencoba berenang terus. Tidak lama, terdengar pula suaranya Pek Thong:

"Loo Boan Tong telah berubah menjadi anjing kecemplung air! Inilah sup asin yang dipakai untuk menggodok si anjing tua…!"

Mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa. Masih saja kakaknya itu bergurau, berguyon. Tidakkah mereka lagi menghadapi bahaya maut? Sekarang terbukti benar¬-benar artinya "Loo Boan Tong", si bocah bangkotan yang nakal. Mereka mencoba terus, akhirnya tidaklah sia-sia percobaan mereka. Tidak lama berselang, mereka datang dekat satu sama lain. Sekarang terlihat nyata, Pek Thong menolong diri dengan mengikat kakinya pada papan perahu, dengan begitu ia menjadi bisa berdiri di atas air dan berjalan dengan bantuan ilmunya meringankan tubuh, sang gelombang tidak menjadi rintangan. Pantas ia bisa berkelakar seperti tidak menghiraukan bahaya kehausan dan kelaparan.

Kwee Ceng menoleh ke belakang. Perahunya sudah lenyap dari muka laut. Dengan begitu pasti hilang sudah semua anak buah perahu itu terkubur di dasar laut. Disaat itu, sekonyong-konyong terdengar teriakan Ciu Pek Thong:

"Ayo! Hebat!"

Cit Kong dan Kwee Ceng menoleh dengan cepat, mereka pun menanya ada apa. Pek Thong menunjuk ke arah jauh:

"Lihat di sana! Cucut! Sebarisan ikan cucut!"

Kwee Ceng besar di gurun pasir, tak tahu ia hebatnya ikan cucut atau hiu, maka ia heran menampak gurunya berubah air mukanya. Kenapa guru itu nampak jeri begitu pun Pek Thong, sedang keduanya sangat lihay?

Cit Kong menhajar tiang layar, membikin patah, lalu potongan yang satu ia pegangi sendiri, yang lain menyerahkannya pada Kwee Ceng. Hampir waktu itu, air laut di depan mereka menjublar, lalu tampak munculnya seekor ikan cucut yang mulutnya dipentang, hingga nampak dua baris giginya yang putih mirip gergaji, berkilau di bawah sinar matahari. Hanya sebentar saja, dia sudah selam lagi.

"Hajar kepalanya!" kata Cit Kong pada Kwee Ceng sambil menyerahkan potongan tiang layar, untuk dijadikan pentungan.

Tapi Kwee Ceng merogoh sakunya. "Teecu punya pisau belati!" sahutnya. Dan ia lemparkan pentungan itu kepada Ciu Pek Thong, yang menyambutnya.

Lalu datang empat atau lima ekor ikan mengurung mereka. Mungkin belum jelas, binatang laut itu tidak segera menyerang. Pek Thong membungkuk, tangannya terayun. Hanya sekali kemplang, pecahlah kepala seekor ikan. Begitu membaui darah, ikan-ikan itu menyambar tubuh kawannya, kemudian mereka disusul sama yang lainnya, mungkin puluhan atau ratusan ekor. Mereka tak kenal kawan, cuma tahu daging harus dicaplok.

Kwee Ceng terkejut melihat keganasan binatang¬-binatang itu! Selagi ia mengawasi, ia merasakan kakinya ada yang membentur. Lekas-lekas ia tarik kakinya. Dengan bergeraknya air, seekor cucut menyambar kepadanya. Ia mendorong tiang layar dengan tangan kirinya, berkelit ke kanan, sebaliknya tangan kanan menyerang. Tepat serangan itu, pisau belatinya pun pisau mustika, maka sekali tikam saja, berlobanglah tubuh ikan, darahnya mengucur keluar. Maka ia pun lantas diserbu kawan--kawannya…!

Demikian tiga orang itu bertempur dengan kawanan ikan galak itu, mereka main berkelit, saban hajarannya terus meminta korban. Bagausnya untuk mereka, asal ada korban, korban itu dikepung ramai-ramai oleh ikan yang lainnya. Hanya menyaksikan keganasan ikan-¬ikan itu, hati mereka terkesiap juga.




Yang hebat, ikan itu banyak sekali, tak dapat semuanya dibunuh habis. Mungkin mereka sudah membinasakan duaratus ikan ketika mereka mendapatkan matahari mulai doyong ke barat….

"Pengemis tua bangka! Adik Kwee!" berseru Ciu Pek Tong. "Kalau sebentar langit gelap, tubuh kita bertiga, sepotong demi sepotong bakal masuk ke dalam perut ikan! Sekarang mari kita bertaruh, siapakah yang bakal paling dulu di gegares cucut…?" Cit Kong nyata tak kurang jenakanya.

"Yang digegares cucut itu yang menang atau yang kalah?" tanyanya.

"Tentu saja dia yang menang!" ia mendapat jawaban.

"Oh!" berteriak Cit Kong. "Kalau begitu, lebih suka aku kalah!"

Kata-kata ini disusuli sebatan tangan dengan jurus "Naga sakti menggoyang ekor", maka seekkor cucut, yang mendadak menyambar kepadanya, kena terhajar mampus, setelah dua kali meletik, ikan itu berdiam, tubuhnya mengambang, kelihatan perutnya yang putih. Besar sekali ikan itu.

"Tangan yang lihay!" Pek Thong memuji. "Hayo, kau sebenarnya mau bertaruh atau tidak?!"

"Maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau!" Cit Kong menolak, tetapi ia tertawa lebar.

Pek Thong pun tertawa terbahak-bahak. "Eh, adik, kau takut atau tidak?" ia tanya adik angkatnya.

"Mulanya takut, tapi sekarang tidak lagi," sahut Kwee Ceng. Sebenarnya ia jeri tetapi menyaksikan keberanian guru dan kakak angkatnya, yang demikian gembira, ia pun jadi ketarik hatinya. Ia tengah berkata begitu ketika seekor ikan menyambar ke arahnya. Ia lantas berkelit, tangan kirinya diangsurkan. Itulah pancingan. Ikan itu kena dijebak. Dia berlompat ke muka air dan menubruk!

Kwee Ceng menyingkirkan tangan kirinya yang hendak disambar itu, berbareng dengan itu, tangan kanannya menikam. Pada tangan kanan ini ia mencekal pisau belatinya. Tepat pisau ini menancap di tenggorokan ikan. Tapi ikan lagi berlompat, pisau itu nyrempet ke bawah sampai di perutnya, hingga dia seperti terbelek. Segera ia mati, perutnya udal-udalan, darahnya mengalir ke luar.

Waktu itu Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong juga telah dapat membinasakan masing-masing seekor lagi, hanya kali ini, Pek Thong merasakan dadanya sakit. Ini sebab sakitnya belum pulih bekas dihajar Oey Yok Su. Tapi ia tertawa ketika ia berkata:

“Pengemis tua, adik Kwee, maaf, tidak dapat aku menemani kau lebih lama lagi. Hendak aku berangkat lebih dulu ke perutnya si cucut!" Habis berkata, Pek Thong berpaling, justru ia melihat sebuah layar putih dan besar lagi mendatangi.

Cit Kong juga sudah lantas mendapat lihat layar itu, bahkan segera mengenali kayar perahunya Auwyang Hong. Tiga orang ini mendapat harapan, maka semangat mereka seperti terbangun. Kwee Ceng mendekati Pek Thong, untuk membantu kakak angkatanya itu.

Lekas sekali, perahu besar telah tiba, dari situ lantas dikasih turun dua perahu kecil, untuk menolongi tiga orang itu. Pek Thong memuntahkan darah tetapi ia masih bicara sambil tertawa, suatu tanda nyalinya sangat besar, kematian dipandang sebagai berpulang…. Ia menunjuk kepada kawanan hiu itu dan mencaci maki kalang kabutan.

Auwyang Hong dan keponakannya menyambut di kepala perahunya. Hati mereka gentar menyaksikan di laut situ berkumpul demikian banyak ikan hiu itu…. Tapi Auwyang Hong menjadi ketarik hatinya. Ia suruh beberapa orangnya memancing, umpannya daging, maka lekas sekali mereka dapat mengail delapan ekor ikan ganas itu.

"Bagus!" tertawa Ang Cit Kong sambil menuding ikan itu. "Kau tidak dapat gegares kami, sekarang kamilah yang bakal gegares dagingmu!"

Auwyang Kongcu tertawa. "Keponakanmu mempunyai daya untuk peehu membalas sakit hati!" katanya. Ia perintah orangnya mengambil bambu, yang terus diraut lancip dan tajam, kemudian dengan tombak mulut ikan dipentang, tonggak bambu itu dikasih masuk ke dalam mulut ikan, yang akhirnya dilepas pulang ke laut.

"Inilah cara untuk membikin mereka selamanya tidak dapat makan!" berkata si anak muda sambil tertawa. "Berselang delapan atau sepuluh hari, mereka bakal mampus dengan sendirinya!"

"Inilah kekejaman!" pikir Kwee Ceng. "Cuma kau yang dapat memikir akal ini. Ikan yang doyan gegares ini bakal mati kelaparan, sungguh hebat!"

Ciu Pek Thong melihat sikap tak puas dari Kwee Ceng, ia tertawa dan berkata: "Anak, kau tidak puas dengan cara ini, kejam sekali bukan? Ini dia yang dibilang, kalau pamannya jahat mesti keponakannya jahat juga."

Adalah biasa bagi See Tok Auwyang Hong, jikalau orang mengatakan dia jahat, dia tidak menjadi kurang senang, bahkan sebaliknya, dia girang sekali. Maka itu mendengar perkataan Ciu Pek Thong, dia tersenyum.

"Loo Boan Tong," dia berkata, "Permainan kecil ini apabila dipadu sama kepandaiannya si mahkluk berbisa bangkotan bedanya masih sangat jauh. Kamu bertiga telah dikeroyok sekawanan cucut cilik, tetapi kamu sudah lelah hingga tak dapat bernapas. Untukku, itulah keroyokan tidak berarti."

"Oh, si mahluk berbisa bangkotan sedang mengepul!" berkata Ciu Pek Thong. "Jikalau kau dapat mengeluarkan ilmu kepandaianmu dan sanggup membuat semua cucut ini terbasmi habis, maka aku si bocah bangkotan bakal berlutut dan mengangguk-angguk di hadapanmu dan tigaratus kali aku akan memanggil engkong padamu!"

"Sampai begitu, itulah aku tidak berani terima," berkata Auwyang Hong. "Jikalau kau tidak percaya, bolehlah kita berdua bertaruh!"

"Bagus, bagus!" berseru Pek Thong. "Bertaruh kepala pun aku berani!"

Ang Cit Kong sebaliknya bersangsi. "Biarnya ia pandai mengukir langit, tidak nanti dia dapat membunuh ikan ratusan itu semua," pikirnya. "Aku khawatir dia mengandung maksud jahat lainnya…"

Auwyang Hong tertawa. "Bertaruh kepala orang, itu tak usah!" katanya. "Jikalau aku menang, cukup aku minta kau melakukan satu apa yang kau tidak dapat tampik, dan jikalau aku yang kalah, terserah kepadamu kau hendak menitahkan apa padaku. Kau lihat, tidakkah ini bagus?"

"Taruhan apa juga yang kau kehendaki, aku terima!" menjawab Ciu Pek Thong.

Auwyang Hong segera berpaling kepada Ang Cit Kong. "Aku minta saudara Cit menjadi saksi!" katanya.

"Baik!" Cit Kong menerima. "Hanya hendak aku menanya, kalau seorang menang dan apa yang dia kehendaki, orang yang kalah tidak dapat melakukannya atau dia menolak untuk melakukannya, bagaimana?"

"Dia harus terjun ke laut supaya digegares cucut!" berkata Ciu Pek Thong.

Auwyang Hong tersenyum, ia tidak membilang suatu apapun, dia hanya menitah orangnya membawakan dia sebuah cangkir kecil terisi arak, lalu dengan dua jari kanannya ia menjepit leher ular di kepala tongkatnya, untuk mementang mulutnya, maka dari mulut itu mengalir keluar racunnya, masuk ke dalam cawan itu, setelah itu cawan ia sambut. Di situ terlihat bisa ular memenuhi separuh cangkir, warnanya hitam. Kemudian ia meletakkan ularnya, ia ambil seekor lagi, dikeluarkan juga racunnya seperti tadi.

Habis dikuras bisanya, kedua ular itu melilit di ujung tongkat, tubuhnya tak berkutik, rupanya keduanya sangat letih dan tenaganya habis. Auwyang Hong memerintah mengambil seekor cucut, diletakkan di lantai perahu. Dengan tangan kiri ia pegang mulut ikan bagian atas, bagian bawah ia injak dengan kakinya, begitu ia mengerahkan tenaganya, mulut ikan itu terpentang lebar. Tidak tempo lagi, bisa ular di dalam cawan dituang ke dalam mulut ikan. Setelah itu, mulut ikan dilepaskan hingga menjadi tertutup pula. Akhirnya, See Tok memperlihatkan kepandaiannya yang lihay. Ia gerakkan tangan kirinya, ia menyolok menampak ke perut ikan itu, lalu ia mengangkat dengan kaget, menyusul mana tubuh ikan yang besar itu terlempar ke laut, suaranya menjublar hebat, air lautnya muncrat tinggi.

"Ah, aku mengerti sekarang!" Pek Thong berseru tertawa. "Ini caranya si pendeta tua bangka mematikan kutu busuk!"

"Toako, apakah artinya si pendeta tua bangka mematikan kutu busuk?" Kwee Ceng tanya.

"Kau belum tahu?" menyahut sang toako. "Di waktu dulu di kota Pianliang ada seorang pendeta yang jalan mengitar di jalan-jalan besar sambil berteriak-teriak menjual obat peranti membinasakan kutu busuk, katanya obatnya sangat manjur, umpama kata obatnya itu tidak dapat membinasakan kutu busuk hingga habis bersih, ia suka mengganti kerugian si pembeli dengan harganya obat sepuluh kali lipat. Dengan caranya ini ia dapat banyak pembeli, obatnya sangat laku. Tinggal si pembeli obat. Satu pembeli pulang untuk menyebar obatnya di pembaringan. Malamnya? Haha! Kawanan kutu busuk tetap datang bergumul-gumul, dia digigiti hingga setengah mampus! Besoknya dia cari si pendeta, dia minta ganti kerugian. 'Tidak mungkin obatku tidak mujarab!' kata si pendeta. 'Kalau benar gagal, tentu kau salah memakainya….'Si pembeli tanya, 'Habis bagaimana cara memakainya?' Si pendeta menyahut: 'Kau tangkap si kutu busuk, kau pentang bacotnya, kau cekuki dia obat ini. Jikalau kutu busuk itu tidak mampus, besok baru kau datang pula padaku…' Pembeli itu jadi mendongkol. Katanya, 'Kalau aku dapat tangkap kutu busuk itu, asal aku pencet, masa dia tidak mampus? Kalau begitu, untuk apa aku beli obatmu?' Lalu si pendeta menyahuti secara enak saja, 'Memangnya aku pun tidak larang kau memencetnya!'"

Mendengar itu Kwee Ceng, Ang Cit Kong dan Auwyang Kongcu juga tertawa berkakak. Hanya See Tok si Bisa dari Barat meneruskan berkata: "Obatku tidak sama dengan obat peranti mematikan kutu busuk dari pendeta itu."

"Coba kau menjelaskannya," minta Ciu Pek Thong.

Auwyang Hong menunjuk ke laut. "Nah, kau lihat di sana!" sahutnya.

Cucut tadi, setelah jatuh di air, dia timbul pula, perutnya lebih dulu. Dia mati dengan cepat. Segera setelah itu, tujuh atau delapan ekor cucut lainnya datang, untuk menyambar menggigit, menggerogoti dagingnya, disusul oleh yang lainnya lagi. Sebentar saja, cucut itu habis tinggal tulang-tulangnya yang tenggelam ke dasar laut. Hanya aneh semua cucut yang menggerogoti itu, berselang beberapa menit, pada timbul pula dengan perut di atas, tubuhnya mengambang. Sebab semuanya telah mati. Lalu mereka dikeroyok pula oleh yang lain-lainnya, yang masih hidup.

Kejadian ini terulang lagi. Setaip cucut yang memakan daging kawannya lantas mati, dia digegaresi kawan lainnya, kawan ini pun mati dan menjadi makanan kawannya lagi. Demikian seterusnya, matilah setiap cucut yang makan daging kawannya sendiri. Maka juga selang sekian lama, bukan puluhan melainkan ratusan mayat cucut pada mati ngambang. Mungkin itu akan menjadi ribuan korban….

Menyaksikan itu, Ang Cit Kong menghela napas. "Tua bangka beracun, tua bangka beracun!" katanya. "Dayamu sungguh-sungguh sangat jahat! Cuma bisanya dua ekor ular, korbannya begini banyak…."

Auwyang Hong tidak menjawab hanya mengawasi Ciu Pek Thong, dia tertawa girang sekali, tanda hatinya sangat puas. Pek Thong membanting-banting kakinya, tangannya mencabuti kumisnya. Di muka air, di sana sini, terlihat hanya mengambangnya bangkai-bangkai cucut.

"Saudara Hong," kata Cit Kong kemudian, "Ada satu hal yang aku tidak mengerti, ingin kau menerangkannya."

"Apa itu saudara Cit?" tanya Auwyang Hong.

"Racunmu secangkir, kenapa lihaynya begitu rupa dapat membinasakan cucut begini banyak?"

"Itu sederhana saja!" Auwyang Hong tertawa. "Ini disebabkan ularku berbisa luar biasa. Kalau bisa ini dimakan seekor ikan, ikan itu keracunan, lantas semua dagingnya menjadi beracun juga, kalau dia dimakan oleh cucut yang lain, cucut itu pun mati keracunan. Keracunan ini terjadi terus-menerus, racunnya bahkan jadi semakin hebat, bukannya menjadi berkurang. Dan bekerjanya racun tak habis--habisnya."

Kata-kata See Tok ini dibuktikan dengan cepat. Kecuali bangkai cucut, di situ tidak ada cucut lainnya lagi yang masih hidup. Mungkin ada yang telah kabur. Ikan-ikan kecil pun menjadi korban cucut atau kabur juga…. Laut lantas menjadi tenang seperti biasa.

"Lekas, lekas menyingkir!" berkata Cit Kong. "Hawa racun di sini sangat hebat!"

Auwyang Hong memberikan titahnya maka tiga buah layar perahu dikerek naik, hingga di lain saat perahunya sudah menggeleser menuruti sampokan angin Selatan menuju ke barat laut.

"Tua bangka berbisa, benar-benar bisamu hebat," berkata Pek Thong kemudian. "Sekarang kau menghendaki aku berbuat apa? Kau bilanglah!"

Auwyang Hong tertawa. "Silahkan tuan-tuan masuk ke dalam dulu untuk menyalin pakaian," ia berkata. "Kita pun perlu dahar dan beristirahat. Tentang pertaruhan, kita boleh bicarakan perlahan-lahan."

"Tidak, tidak bisa!" berkata Pek Thong, yang tidak sabaran. "Kau mesti menyebutkannya sekarang juga!"

Auwyang Hong tertawa. "Kalau begitu, saudara Pek Thong, silahkan ikut aku!" katanya.

Kwee Ceng dan Ang Cit Kong melihat Pek Thong diajak Auwyang Hong dan keponakannya ke perahu bagian belakang, mereka sendiri di minta datang ke gubuk depan dimana empat nona berseragam putih muncul untuk melayani.

Cit Kong tertawa, dia berkata; "Seumurku, aku si pengemis tua, belum pernah begini beruntung….!" Ia lantas dibukai pakaiannya, tubuhny digosoki dengan sabun.

Muka Kwee Ceng merah, ia tidak berani meloloskan pakaiannya.

"Takut apa?" kata Ang Cit Kong tertawa. "Masa kau nanti digegares?"

Dua nona menghampiri, akan membukai sepatu dan ikat pinggangnya. Pemuda ini lantas mendahului membuka sepatunya, ia menutupi diri dengan seprai, dengan cara itu ia menukar baju dalam. Cit Kong tertawa lebar, begitu pun keempat nona pelayan itu….

Setelah mereka berdandan, dua nona datang membawa masing-masing penampan berisikan arak, sayur dan nasi putih. Katanya, majikan mereka mempersilahkan keduanya dahar seadanya saja,

Kwee Ceng sudah lapar, ia lantas menyeret kursi. "Mari, suhu!" ia mengajak.

"Kamu pergi dulu," kata Cit Kong kepada kedua nona itu, tangannya diangkat, "Aku si pengemis tua tidak dapat dahar, apabila aku melihat nona-nona cantik manis!" Kedua nona itu tertawa, mereka berlalu seraya menutup pintu perahu perlahan-lahan.

"Lebih baik jangan makan ini," ia bilang. "Si tua bangka berbisa sangat licin dan licik. Kita makan nasi putih saja."

Habis berkata, Cit Kong menurunkan cupu-cupu araknya, ia membuka tutupnya dan menggelogoki dua ceglukan, setelah itu, ia mulai dahar, nasi saja. Kwee Ceng turut dahar. Mereka makan tiga mangkok. Sayurannya mereka tuang ke bawah lantai perahu.

"Entah dia minta apa dari Ciu Toako," kata Kwee Ceng kemudian.

"Entahlah, tetapi pasti bukan urusan benar!" sahut Cit Kong.

Ketika itu pintu dibuka perlahan-lahan, satu nona berdiri di depan pintu. "Ciu Loo-ya-cu mengundang tuan Kwee ke belakang," kata dia.

Kwee Ceng mengawasi gurunya, terus ikut budak itu. Mereka jalan dari samping pergi ke belakang. Angin mulai meniup keras, perahu terombang-ambing. Si nona bertindak perlahan, tetapi terang ia mengerti ilmu silat. Di belakang, ia mengetok pintu tiga kali, perlahan-lahan, lalu ia menanti sebentar, kemudian membuka pintu dengan perlahan juga. Ia pun kata dengan perlahan:

"Tuan Kwee sudah datang!"

Kwee Ceng masuk ke dalam, lantas pintu di belakang ditutup rapat. Ia lihat sebuah ruang kosong, tidak ada orangnya. Ia heran. Tengah ia berpikir, pintu di samping kiri ditolak, di situ muncul Auwyang Hong serta keponakannya.

"Mana Ciu Toako?" tanya Kwee Ceng.

Auwyang Hong tidak lantas menyahuti, ia hanya menutup dulu daun pintu, lalu ia maju satu tindak. Mandadak saja ia mengulur sebelah tangannya menyambar tangan kiri Kwee Ceng. Pemuda ini tidak menyangka jelek, orang pun sangat sebat, tak dapat ia menghindarkan diri. Bahkan ia terus dipencet nadinya hingga tak dapat berkutik lagi. Di lain pihak Auwyang Kongcu dengan sangat gesit menyambar pedang di dinding perahu, menghunus itu, ujungnya terus diancamkan ke tenggorokan orang!

Kwee Ceng berdiri menjublak. Ia bingung hingga merasakan kepalanya pusing. Ia tidak mengerti, apa maksudnya paman dan keponakan ini. Lalu terdengar Auwyang Hong tertawa tawar.

"Loo Boan Tong telah kalah bertaruh denganku," katanya, "Tetapi ketika aku titahkan ia melakukan sesuatu, ia menolak!"

"Oh…!" Kwee Ceng berseru tertahan. Ia mulai mengerti.

"Aku menyuruh ia menulis Kiu Im Cin-keng untuk aku lihat," Auwyang Hong memberikan keterangan. "Lalu ia membilangnya bahwa itu tidak masuk hitungan!"

Kwee Ceng pun berpikir, "Tentu sekali mana toako sudi mengajarimu…?" Ia lalu menanya: "Mana Ciu Toako?"

Auwyang Hong tertawa pula dengan dingin. "Dia telah membilang, jikalau dia tidak bicara, nanti terjun ke laut untuk tubuhnya dipakai memelihara ikan cucut," ia menyahut. "Kali ini dia tidak menyangkal."

Kwee Ceng kaget tidak terkira. "Dia…dia…" serunya. Ia mengangkat kakinya, berniat lari keluar. Tapi keras cekalannya See Tok, ia terus ditarik kembali.

Auwyang Kongcu pun menggerakkan tangannya maka ujung pedangnya membuat baju orang pecah dan membentur tubuh. Auwyang Hong menuding ke meja di mana ada alat-¬alat tulis.

"Di jaman ini cuma kau satu orang yang mengetahui seluruh isi kitab," ia berkata bengis, "Maka lekaslah kau tulis semua itu!"

Anak muda itu menggeleng kepala.

Auwyang Kongcu tertawa. "Kau tahu," katanya, "Sayur dan arak yang tadi kau gegares bersama si pengemis tua telah dicampuri racun, jikalau kamu tidak makan obat pemunah istimewa buatan kami, dalam tempo duabelas jam diwaktu racunnya bekerja, kamu akan mampus seperti ikan-ikan hiu itu! Asal kau sudah menulis, jiwa kamu berdua bakal diberi ampun…."

Kwee Ceng kaget. "Baiknya suhu cerdik, kalau tidak, tentulah kita celaka!" pikirnya.

Menampak orang berdiam saja, kemabali Auwyang Hong tertawa dingin. "Kau telah mengingat baik bunyinya kitab, kau tulislah, untukmu tidak ada ruginya sedikitpun," ia membujuk. "Apa lagi yang kau sangsikan?"

Mendadak kwee Ceng memberikan penyahutan yang berani: "Kau sudah membikin celaka kakak angkatku, denganmu aku mendendam sakit hati dalamnya seperti lautan! Jikalau kau hendak bunuh, kau bunuhlah! Untuk memikir aku menyerah, itu pikiran yang tidak-tidak!"

"Hm, bocah yang baik!" kata Auwyang Hong dingin. "Kau benar bersemangat! kau tidak takut, baik, tetapi apakah kau juga tidak hendak menolongi jiwa gurumu?"

Belum lagi Kwee Ceng memberikan jawabannya, pintu perahu bagian belakang itu bersuara sangat nyaring, lalu daun pintunya ambruk dan pecah berantakan, disusul sambarannya air yang mengarah ke muka Auwyang Hong.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar