Senin, 30 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 074

Ang Cit Kong dan Auwyang Hong bersorak memuji menyaksikan indahnya tubuh yang ringan dari si Sesat Timur ini. Tapi ketika Oey Yok Su menaruh kakinya di luar gua, kakinya memperdengarkan satu suara, sebab kaki itu melesak masuk ke dalam sebuah liang.

Kaget Tong Shia. Ia merasakan kakinya basah atau demak. Kembali ia mencelat naik. Waktu itu ia melihat Cit Kong dan Auwyang Hong beramai telah tiba di muka mulut gua di mana mereka menginjak tanah tanpa kurang suatu apapun, karena itu ia lantas turun di samping putrinya. Waktu itu, ia mencium bau busuk. Ia menunduk untuk melihat. Ia sangat mendongkol, kedua kakinya penuh dengan kotoran manusia. Semua orang menjadi heran, kenapa Oey Yok Su kena diakali orang.

Dalam murkanya Oey Yok Su menyambar sebatang cabang pohon, ia menyerang tanah ke barat dan ke timur, mencari tahu tanah kosong semua atau tidak. Habisnya kecuali tiga tempat yang ia injak tadi, lainnya tanah berisi dan keras. Maka tahulah ia sekarang, ketika Ciu pek Thong meloloskan diri, dia sudah menginjak tanah dengan hebat, membuat tiga liang itu, ketiga liang dipakai jongkok untuk membuang kotoran dari dalam perutnya….

Dengan penasaran, Oey Yok Su bertindak masuk ke dalam gua. Tidak ada barang lainnya di situ kecuali beberapa botol dan mangkok. Hanya di tembok terlihat huruf-huruf yang samar-samar.

Auwyang Hong tertawa di dalam hati menyaksikan Tong Shia "terjebak", tetapi sekarang, melihat orang memperhatikan tembok, ia heran, maka mendekati hingga dekat sekali. Di tembok gua itu tampak ukiran huruf-huruf yang berbunyi:

"Oey Lao Shia! Kau telah menghajar patah kedua kakiku, kau sudah mengurung aku limabelas tahun di dalam gua ini, sebenarnya aku pun mesti menghajar patah juga kedua kakimu, baru aku puas, tetapi kemudian, setelah aku mikir masak-masak, sukalah aku memberi ampun, dan urusan kita boleh disudahi saja. Hanya dengan ini aku menyuguhkan kau tumpukan-¬tumpukan besar dari kotoran serta beberapa botol air kencing. Silahkan kau memakainya. Silahkan….!"

Di bawah itu diletakkan daun, hingga empat huruf ukiran itu menjadi ketutupan. Oey Yok Su ingin tahu, ia pegang daun itu, untuk diangkat. Dibawah daun ada sehelai benang, karena daun diangkat, benang itu kena terpegang dan ketarik. Mendadak saja terdengar suara di atas kepala mereka. Oey Yok Su sadar, segera ia berlompat menyingkir ke kiri.

Auwyang Hong, si licik sudah lantas turut melompat ke kanan. Hanya berbareng dengan itu, terdengarlah suara nyaring di atas kepala mereka, dari sana jatuh beberapa botol yang mengeluarkan air, maka mereka lantas kena tersiram, hingga kepala mereka basah dan bau air kencing.

Menyaksikan itu Ang Cit Kong tertawa berkakakan. "Sungguh harum! Sungguh harum!" katanya.

Oey Yok Su murka dan mendongkol sekali kemudian ia mementang mulutnya untuk mencaci.

See Tok juga sangat mendongkol tetapi pandai bersandiwara, ia tidak mengutarakan kemurkaannya, sebaliknya ia tertawa, seperti juga ia pandang itulah lelucon.

Oey Yong sudah lantas lari pulang, mengambil pakaian untuk ayahnya menukar pakaiannya yang basah dan bau itu. Ia pun membawa sepotong baju lain, baju ayahnya juga, yang mana ia serahkan pada Auwyang Hong.

Selesai dandan, kembali Oey Yok Su masuk ke dalam gua. Ia memeriksa dengan teliti. Sekarang tidak ada lagi jebakan. Ia periksa huruf-huruf tadi, di bagian yang ditutupi daun, di situ ia melihat dua baris huruf-huruf yang halus, bunyinya:

Daun ini jangan sekali-kali diangkat atau ditarik, sebab di atas ini ada air kencing yang bau yang dapat mengalir turun. Hati-hatilah, hati-hati, jangan menganggap bahwa kau tidak diberi ingat terlebih dulu!"

Oey Yok Su mendongkol berbareng geli di hati. Sebab ia telah menjadi korban dari keteledorannya sendiri. Tapi sekarang ini ia ingat sesuatu, ia seperti baru sadar. Ia ingat, diwaktu kena kesiram, ia merasakan air kencing itu masih rada hangat. Itu artinya orang pergi belum lama. Maka ia lantas lari keluar seraya berkata: "Loo Boan Tong belum pergi jauh, mari kita susul!"

Kwee Ceng terkejut. Ia tahu dengan baik, apabila mereka bertemu, pasti mereka bertempur. Hendak ia mencegah mertuanya. Tapi sudah kasep, Oey Yok Su sudah kabur ke timur.

Semua orang tahu jalanan di pulau ini luar biasa, mereka menyusul dengan lari sekeras-kerasnya. Kalau mereka ketinggalan jauh, mereka bisa mendapat susah. Mereka berlari-lari tidak lama tampak Ciu Pek Thong di sebelah depan mereka, jalannya perlahan-lahan.

Oey Yok Su menjejak tanah, tubuhnya lantas mencelat pesat dan jauh. Maka di lain saat ia sudah tiba di belakang orang kurungannya itu, sebelah tangannya dipakai untuk menyambar ke arah leher.

Ciu Pek Thong rupanya tahu datangnya serangan, ia berkelit ke kiri seraya membalikkan tubuhnya, sembari memandang penyerangnya ia berkata: "Oh Oey Lao Shia yang harum semerbak!"

Sambarannya Oey Yok Su adalah sambaran yang ia telah latih selama beberapa puluh tahun, sebatnya luar biasa, akan tetapi Ciu Pek Thong dapat mengegosnya secara demikian sederhana, hatinya menjadi terkesiap. Ia tidak menyerang terlebih jauh, hanya mengawasi orang. Ia lantas menjadi heran. Ternyata kedua tangan Ciu pek Thong terikat di depan dadanya, akan tetapi muka orang tersungging senyuman, sikapnya menyatakan orang bergembira sekali, saking puasnya hati.

Kwee Ceng sudah lantas maju setindak. "Toako!" ia memanggil. "Sekarang ini tocu telah menjadi mertuaku, maka kita pun menjadi orang sendiri!"

Pek Thong menghela napas. "Ah, mengapakah kau tidak dengar kataku?" katanya menyesal. "Oey Loa Shia ini sangat licik dan aneh, maka bisakah anak perempuannya boleh dibuat sahabat olehmu? Nanti, seumur hidupmu, akan kau merasakan kepahitan…."

Oey Yong maju mendekati, ia tertawa. "Ciu Toako, lihat itu di belakangmu, siapa yang datang?" ia berkata.

Pek Thong segera menoleh, ia tidak melihat siapapun. Justru itu tangannya si nona melayang, menimpuk dengan baju bau dari ayahnya yang ia telah gumpal, mengarah punggung orang.

Loo Boan Tong benar-benar lihay. Ia mendengar suara angin, segera berkelit. Maka bungkusan itu jatuh ke tanah. Melihat itu Pek Thong tertawa berlenggak-lenggak.

"Oey Lao Shia," ia berkata, "Sudah kau kurung aku limabelas tahun, sudah kau siksa aku limabelas tahun juga, tetapi aku cuma membikin kau menginjak kotoran dua kali dan membanjur kepalamu satu kali, kalau sekarang kita menyudahinya, apakah itu tidak pantas?"

Oey Yok Su tidak menjawab, ia hanya menanya; "Kau telah merusak kawat-kawat kurunganmu, kenapa sekarang kau mengikat kedua tanganmu?" Ini hal yang membikin ia tidak mengerti.

Pek Thong tertawa pula. "Dalam hal ini aku mempunyai alasanku sendiri," sahutnya singkat.

Ketika Ciu pek Thong baru-baru ini di dalam gua, beberapa kali hendak menerjang keluar untuk mengadu jiwa dengan Oey Yok Su, ia seperti sudah tidak dapat menahan sabar, hanya kemudian, ia mendapat satu pikiran baru. Ia pun sangsi dapat mengalahkan tocu dari Tho Hoa To itu. Lantas ia mencari kawat membuat pagar di depan guanya, dengan itu mengurung dirinya sendiri, kawat itu rapat seperti sarang laba-laba. Ia pun mengendalikan dirinya supaya jangan menuruti saja hatinya yang panas. Ia anggap beradat berangasan dapat merugikan diri sendiri.

Sampai ia bertemu dengan Kwee Ceng dan mendengar perkataan anak muda ini, yang ia angkat jadi saudaranya, ia mendapat ilham. Maka ia lantas menciptkan ilmu silatnya berkelahi seorang diri, kemudian bersama Kwee Ceng, ia bertempur dengan menggunakan empat tangan mereka tetapi mereka memecah hati, hingga mereka jadi seperti empat orang…

Maka sekarang, walaupun Oey Yok Su sangat lihay, tidak dapat ia melawan Pek Thong, yang bertubuh satu tetapi seperti terdiri dari dua Pek Thong. Setelah itu, Pek Thong memikirkan daya untuk membalas sakit hati pada Oey Lao Shia, yang sudah menyiksa dirinya.




Seperginya Kwee Ceng, ia duduk bersila di dalam guanya, dengan berdiam diri secara begitu, ia lantas teringat pada pengalamannya puluhan tahun yang lalu, pengalaman senang dan susah, budi dan permusuhan, cinta dan benci. Ia tengah melayangkan pikirannya itu tatkala mendengar suara seruling serta suara ceng dicampur sama siulan panjang. Mendadak semangatnya menjadi terbangun hampir tak dapat ia menguasai diri. Ia menjadi murang-¬maring. Tapi iapun lantas ingat pula sesuatu.

"Adik angkatku kalah ilmunya denganku tetapi kenapa ia tidak dapat tergoda bujukan seruling Oey Lao Shia?" demikian ia berpikir. Tadinya ia belum mengetahui sifatnya Kwee Ceng, setelah pergaulannya sekian lama, ia bagai sadarkan.

"Ya,ya!" mengertilah ia. "Dia sangat jujur dan polos, dia tidak punya pikiran sesat, tetapi aku, yang sudah berusia tinggi, masih berkutat memikir daya upaya untuk membalas dendam! Kenapa aku menjadi begini cupat pikiran? Sungguh lucu!"

Pek Thong bukan penganut Coan Cin Kauw tetapi ia toh mengenal baik tujuan partai itu, yang bersikap tenang dan "tak berbuat sesuatu" (bu-wi), maka itu ia gampang sadar, pikirannya gampang terbuka. Begitulah sambil tertawa lama, ia berbangkit bangun. Ia melihat cuaca terang, mega putih memain di atas langit, dengan begitu hatinya pun menjadi terang. Hanya sekejap, hilang ingatannya yang Oey Lao Shia sudah menyiksa selama limabelas tahun, ia pandang itu urusan tetek bengek. Tetapi dasar ia berandalan dan jenaka, ia toh berpikir: "Kali ini aku pergi, tidak nanti aku datang pula ke pulau Tho Hoa To, jikalau aku tidak meninggalkan sesuatu untuk Oey Lao Shia, si tua bnagka sesat itu, cara bagaimana nanti dia dapat mengingat hari kemudian?"

Segera setelah itu ia mendapat pikiran untuk mempermainkan pemilik Tho Hoa To itu. Dengan gembira ia membuat liang, menyetor kotoran perutnya di situ. Ia pun mengisi beberapa botol dengan air kencingnya, yang ia gantung dengan sehelai benang, ia membuat pesawat rahasianya. Dengan mengungkit batu, ia meninggalkan surat peringatan. Habis itu baru ia pergi keluar dari gua. Baru jalan beberapa tindak, kembali ia ingat sesuatu.

"Jalanan di Tho Hoa To ini sangat aneh," demikian pikirannya, "Kalau nanti Oey Lao Shia tahu lebih cepat aku kabur, dia dapat menyusul. Haha, Oey Lao Shia, jikalau kau hendak berkelahi, kau tidak akan sanggup melawanku….”

Gembira orang tua ini, mendadak ia mengibas tangannya ke arah sebuah pohon kecil di sampingnya, terdengar suara ambruk keras, suara robohnya pohon yang terpapas kutung. Ia menjadi kaget dengan sendirinya.

"Ah, bagaimana aku maju begini pesat?" ia tanya dirinya sendiri. Ia menjadi berdiam. Tidak lama, ia menyerang pula pohon di sampingnya, sampai beberapa pohon dan semua itu tertebas kutung, tanpa ia menggunakan senjata tajam. Ia heran bukan main, hingga berseru: "Bukankah ini ilmu Kiu Im Cin-keng? Kapankah aku melatihnya?"

Pek Thong menaati pesan Ong Tiong Yang, kakak seperguruannya itu, ia tidak berani mempelajari bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng, akan tetapi mengajari Kwee Ceng, tanpa merasa ia seperti berlatih dengan sendirinya. Diluar dugaannya ia telah berhasil. Saking kaget, ia berteriak-teriak seorang diri: "Celaka! Celaka! Ini dia yang dibilang setan masuk ke dalam tubuh, yang tak dapat di usir lagi!"

Maka ia lantas mengambil beberapa lembar babakan pohon yang ulet, ia membuatnya menjadi tambang, lalu dengan bantuan mulutnya, mengikat sendiri kedua tangannya. Di dalam hatinya ia berjanji: "Semenjak hari ini, jikalau aku tidak dapat melupakan bunyinya kitab itu, seumurku tidak akan berkelahi sama siapapun juga! Biar Oey Lao Shia dapat menyandak aku, aku tidak bakal membalas, supaya aku tidak melanggar pesan suheng…!"

Sudah tentu Oey Yok Su tidak tahu janjinya Pek Thong kepada dirinya sendiri, ia menyangka si tua bangka jenaka ini lagi bergurau. Maka itu ia berkata, memperkenalkan: "Loo Boan Tong! Inilah saudara Auwyang, kau telah kenal….dan ini…."

Belum lagi habis Oey Lao Shia berbicara, Ciu Pek Thong sudah jalan mengitari mereka, ia mencium tubuh setiap orang, kemudian ia berkata sambil tertawa: "Ini tentunya si pengemis tua Ang Cit Kong, aku dapat menerkanya! Sungguh Thian maha adil, maka juga air kencing cuma membajur Tong Shia serta See Tok berdua saja! Saudara Auwyang, tahun dulu itu pernah kau menghajar aku dengan tanganmu, sekarang aku membalasnya dengan banjuran air kencingku, dengan begitu impaslah kita, tidak ada salah satu yang rugi!"

Auwyang Hong tersenyum, ia tidak menjawab, hanya ia berbisik kepada Oey Yok Su: "Saudara Yok, orang ini sangat lincah, terang sudah kepandaiannya berada di atas kita, maka lebih baik kita jangan ganggu dia."

Oey Yok Su tapinya berpikir; "Kita sudah tidak bertemu lamanya duapuluh tahun, mana kau tahu kemajuanku tidak dapat melayani dia?" Maka terus ia berkata kepada Ciu Pek Thong: "Pek Thong, telah aku bilang padamu, asal kau mengajari aku Kiu Im Cin¬keng, habis aku menyembahyangi istriku almarhum, akan aku merdekakan kau. Sekarang kau hendak pergi ke mana?"

"Sudah bosan aku berdiam di pulau ini, aku hendak pergi pesiar," menyahut Pek Thong.

Oey Yok Su mengulurkan tangannya. "Mana kitab itu?" dia minta.

"Bukankah sudah dari siang-siang aku memberikannya pada kau," sahut Pek Thong.

"Kau ngaco belo! Kapan kau memberikannya?"

Pek Thong tertawa. "Kwee Ceng khan baba mantumu, bukan?" dia balik menanya. "Apa yang menjadi kepunyaannya, bukankah menjadi kepunyaanmu juga? Aku telah ajari dia Kiu Im Cin-keng dari kepala sampai buntut, apa itu bukan sama saja seperti aku mengajari sendiri?"

Kwee Ceng terkejut. "Toako!" tanyanya. "Benarkah itu Kiu Im Cin-keng?"

Ciu Pek Thong tertawa berkakakan. "Mustahilkah yang palsu?" ia membaliki.

Oey Yok Su tetap heran. "Kitab bagian atas memang ada pada kau," ia berkata, "Habis darimana kau dapatinya yang bagian bawah?"

Lagi-lagi Pek Thong tertawa. "Bukankah itu telah diberikan kepadaku oleh tangannya baba mantumu sendiri?" ia menanya pula.

Panas hatinya Tong Shia, ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng, matanya tajam. Ia telah kata dalam hatinya: "Kwee Ceng bocah cilik, kau telah mempermainkan aku! Bukankah Bwee Tiauw Hong, si buta sampai sekarang masih berkutat mencari kitab itu?" Tapi lekas ia menoleh pula pada Pek Thong seraya berkata: "Aku menghendaki kitab yang tulen!"

Pek Thong tidak menyahut, ia hanya menghadapi Kwee Ceng. "Saudara, coba kau keluarkan kitab di dalam sakuku ini," ia berkata kepada adik angkatnya.

Kwee Ceng menurut, ia merogoh ke saku kakak angkatnya. Ia mengeluarkan sejilid buku tebal kira-kira setengah dim. Pek Thong mengulurkan tangannya menyambut kitab itu. Sekarang ia berpaling kepada Oey Yok Su.

"Inilah kitab Kiu Im Cin-keng yang tulen bagian atas," ia berkata. "Kitab bagian bawahnya terselip di dalamnya. Jikalau kau ada mempunyai kepandaian, nah kau ambillah!"

"Kepandaian apa yang harus aku gunakan?" tanya Oey Yok Su.

Pek Thong menjepit buku dengan kedua tangannya, lalu ia memiringkan kepalanya. "Nanti aku pikir dulu!" sahutnya. Ia terus berdiam sekian lama. Kemudian ia tertawa dan berkata: "Kepandaiannya si tukang tempel!"

"Apa?!" Oey Yok Su menegaskan, heran.

Pek Thong tidak menyahut, ia angkat kedua tangannya ke atas kepala, maka berterbanganlah hancuran kertas, bagaikan kupu-kupu berselibaran, mengikuti tiupan angin, berhamburan ke empat penjuru, maka hanya sekejap habis semuanya buyar, entah kemana parannya….

Oey Yok Su murka berbareng kaget. Ia tidak menyangka begini hebat tenaga dalam dari Pek Thong, yang sanggup menjepit hancur kitab itu secara demikian hebat.

"Hai, bocah bangkotan yang nakal, kau mempermainkan aku!" dia membentak. "Hari ini jangan harap dapat berlalu dari pulauku ini!" Dan ia berlompat maju dengan serangannya.

Tubuh Pek Thong berkelit, lalu terhuyung ke kiri dan kanan, dengan begitu lewatlah serangan Oey Yok Su di samping tubuhnya.

Tong Shia heran orang tidak melakukan pembalasan. Ia pun heran caranya orang mengegos tubuh itu. Dilain pihak, ia pun sadar. Maka bertanyalah ia kepada dirinya sendiri. "Aku Oey Yok Su, apakah dapat aku melayani seorang yang kedua tangannya diikat?" Maka segera ia berlompat mundur tiga tindak.

"Loo Boan Tong, kakimu sudah sembuh atau belum?" ia menanya nyaring. "Aku terpaksa mesti berbuat tak pantas terhadapmu! Lekas kau putuskan ikatan pada kedua tanganmu, hendak aku belajar kenal dengan kau punya Kiu Im Cin-keng!"

Pek Thong berlaku sabar ketika ia menyahut: "Tidak hendak aku mendustai kau. Aku mempunyai kesulitanku sendiri yang sukar untuk aku memberitahukannya. Ikatan pada tanganku ini, biar bagaimanapun juga, tidak dapat aku meloloskannya."

"Biarlah aku yang memutuskannya!" kata Oey Yok Su. Dia maju, dia ulur tangannya.

Mendadak saja Pek Thong menjerit-jerit: "Tolong! Tolong!" Tapi di mulut ia berkoakan, tubuhnya sendiri lompat berjumpalitan, jatuh ke tanah, terus menggelinding beberapa gulingan.

Kwee Ceng kaget. "Gakhu!" ia memanggil mertuanya. Ia pun maju, niatnya untuk mencegah.

Ang Cit Kong menarik tangan pemuda itu. "Jangan berlaku tolol!" katanya perlahan.

Kwee Ceng berdiam, matanya mengawasi Ciu Pek Thong. Si tua bangka jenaka dan berandalan itu bergulingan terus, bukan main lincahnya gerakannya itu. Oey Yok Su maju terus, dia memukul, menendang, tetapi tidak pernah mengenai sasarannya.

"Perhatikan gerak-geriknya!" Ang Cit Kong berbisik pula kepada muridnya.

Kwee Ceng terus memandang pula, segera ia menginsyafi kepandaian bergulingan dari Ciu Pek Thong itu. Itulah dia tipu silat yang di dalam kitab disebutnya "Coa heng lie hoan" atau "Ular menggeleser, rase jumpalitan". Maka ia memasang matanya terus, ia memperhatikannya. Kapan ia menyaksikan di bagian yang indah, tanpa merasa ia berseru: "Bagus!"

Oey Yok Su menjadi penasaran sekali pelbagai serangannya menemui kegagalan, hatinya semakin panas, maka ia menyerang makin hebat. Dan hebatlah kesudahannya. Tubuh Ciu Pek Thong tidak terkena pukulan tetapi bajunya saban-saban robek sepotong demi sepotong, bahkan rambut dan kumisnya juga ada yang terputuskan serangan dahsyat tocu dari Tho Hoa To. Lama-lama ia pun menginsyafi bahaya yang mengancamnya. Salah sedikit saja, ia bisa celaka, tidak mati tentu terluka parah. Maka diakhirnya ia mengerahkan tenaganya, ia membuat ikatannya puus, habis itu dengan tangan kiri ia menangkis serangan, tangan kanan meraba ke punggungnya, menangkap seekor tuma, terus ia masukkan ke dalam mulutnya untuk digigit, menyusul ia berteriak-teriak: "Aduh! Aduh! Gatal sekali!"

Oey Yok Su terkejut juga disaat sangat terancam itu Pek Thong masih sanggup menangkap tuma dan terus bergurau, tetapi karena ia sangat penasaran, ia tidak menghentikan penyerangan, bahkan tiga kali beruntun menggunakan pukulan-pukulan lawan.

Segera terdengarlah suara Ciu Pek Thong: "Dengan sebelah tanganku tidak dapat aku menangkis, mesti aku pakai dua-dua tanganku berbareng!" kata-kata ini disusul sama gerakan dari kedua tangannya; Tangan kanan dipakai menangkis, tangan kiri menyambar kopiah lawan!

Didalam halnya tenaga dalam, sebenarnya Ciu Pek Thong kalah dari Oey Yok Su, maka ketika Tong Shia menangkis tangan kanan itu, dia lantas saja terhuyung, dia roboh setelah beberapa tindak. Tapi ia pun sebat, tangan kirinya sudah berhasil menyambar kopiahnya pemilik dari Tho Hoa To itu! Oey Yok Su berlompat maju, dalam murkanya ia menyerang dengan kedua tangannya.

"Gunakan kedua tanganmu!" dia berseru. "Sebelah tangan saja tak cukup!"

"Tidak bisa!" Pek Thong pun berseru. "Cukup dengan satu tangan!"

Oey Yok Su bertambah gusar. "Baiklah!" serunya sengit. "Kau coba saja!" Ia melanjutkan menyerang dengan dua tangannya, menghajar sebelah tangan lawan, yang dipakai menangkis.

Begitu kedua tangan bentrok, begitu terdengar suara keras. Begitu lekas juga Ciu Pek Thong jatuh terduduk, kedua matanya ditutup rapat.

Melihat begitu, Oey Yok Su tidak menyerang pula. Cuma lewat sedetik, Ciu Pek Thong mengasih dengar satu suara, dari mulutnya muncrat darah segar, mukanya pun menjadi pucat pasi.

Semua orang heran dan tercengang. Mungkin Pek Thong tidak menang, tetapi belum tentu dia kalah. Maka, kenapa dia tidak hendak menggunakan kedua tangannya? Habis muntah darah, Pek Thong berbangkit dengan perlahan-lahan.

"Aku mempelajari Kiu Im Cin-keng diluar tahuku, tetapi meskipun demikian aku telah melanggar juga pesan kakak seperguruanku. Jikalau aku menggunakan kedua tanganku, Oey Lao Shia, kau pasti tidak sanggup melawanku."

Oey Yok Su percaya kata-kata itu, ia membungkam. Ia pun merasa tidak enak dengan sendirinya. Bukankah tanpa sebab sudah mengurung orang limabelas tahun dipulaunya dan sekarang ia melukainya? Maka itu ia merogoh sakunya mengeluarkan satu kotak kumala, dari dalam situ ia mengambil tiga butir obat pulung warna merah, yang mana terus ia angsurkan kepada lawannya itu. Ia berkata:

"Pek Thong, obat luka di kolong langit ini tidak ada yang melebihi pil Siauw-hun-tan dari Tho Hoa To. Kau makan ini setiap tujuh hari sekali, lukamu bakal tidak mendatangkan bahaya. Sekarang, mari aku antar kau keluar dari pulauku ini."

Pek Thong mengangguk. Ia sambuti pil itu, satu di antaranya ia lantas telan. Habis itu ia meluruskan napasnya.

Kwee Ceng sudah lantas berjongkok di samping toakonya ini, menggendongnya, setelah mana ia berjalan mengikuti mertuanya hingga di tepi laut. Di muara tertampak enam atau tujuh buah perahu, besar dan kecil.

Auwyang Hong, yang mengikuti berkata kepada Oey Yok Su: "Saudara Yok, tidak usah kau menggunakan perahu lain untuk mengantarkan Ciu Toako keluar dari pulau ini, aku minta dia suka naik perahuku saja."

"Dengan begitu aku membikin kau berabe, saudara Hong", menyahut Oey Yok Su menerima tawaran. Ia lantas memberi tanda kepada bujang gagu, maka bujang itu pergi masuk ke dalam sebuah perahu besar darimana dia membawa keluar sebuah penampan yang berisikan uang goanpo emas.

"Pek Thong, sedikit emas ini pergilah kau bawa untuk kau pakai," berkata Oey Yok Su pada Loo Boan Tong. "Kau benar lebih lihay dari Oey Lao Shia, aku takluk padamu!"

Pek Thong meram sejak tadi, perlahan-lahan ia membuka matanya. Kembali ia perlihatkan kenakalannya. Ia melihat ke perahu Auwyang Hong, di kepala perahu itu dipancar bendera putih di mana ada sulam dua ekor ular-ularan. Menyaksikan itu ia tidak senang.

Auwyang Hong menepuk tangannya, terus ia mengeluarkan seruling kayu yang ia tiup beberapa kali. Tidak lama setelah situ, dari dalam rimba terdengar suara berisik sekali. Lalu terlihat dua bujang gagu memimpin beberapa pria berpakaian putih keluar dari rimba, mereka menggiring rombangan ularnya. Dengan menggeleser di beberapa lembar papan, yang dipasang di antara perahu dan pinggiran, semua binatang berlegot naik ke dalam perahu, berkumpul di dasarnya.

"Aku tidak mau duduk di perahunya See Tok!" berkata Pek Thong. "Aku takut ular!"

Oey Yok Su tersenyum. "Kalau begitu, kau naiklah perahu itu!" ia kata, menunjuk ke sebuah perahu kecil di samping.

Ciu Pek Thong menggeleng kepala. "Aku tidak sudi duduk di perahu kecil, aku menghendaki yang besar!" katanya sambil tangannya menunjuk.

Oey Yok Su agaknya terkejut. "Pek Thong, perahu itu sudah rusak, belum dibetulin!" ia memberitahu. "Tidak dapat perahu itu dipakai."

Semua orang melihat perahu itu besar dan indah, buntutya tinggi, catnya yang kuning emas berkilauan. Terang itu sebuah perahu baru, tidak ada tanda-¬tandanya rusak.

Pek Thong sudah lantas membawa tingkahnya si bocah cilik. "Tidak, tidak dapat aku tidak menaiki perahu itu!" katanya bersikeras. "Oey Lao Shia, mengapa kau begini pelit?"

"Perahu itu perahu sialan," Oey Yok Su berkata, "Siapa mendudukinya, dia mesti celaka, kalau tidak sakit tentu dapat halangah, maka sudah lama dibiarkan saja tidak dipakai. Siapa bilang aku pelit? Jikalau kau tidak percaya, sekarang aku bakar untuk kau lihat!"

Ia benar-benar memberi tanda kepada orang-¬orangnya, maka keempat bujang gagu lantas menyalakan api bersiap membakar perahu yang indah itu.

Mendadak Ciu Pek Thong menjatuhkan diri duduk di tanah, sambil mencabuti kumisnya ia menangis menggerung-gerung. Melihat itu, semua orang bengong. Cuma Kwee Ceng yang kenal tabiat orang, di dalam hatinya ia tertawa. Habis menarik-narik kumisnya, Pek Thong terus bergulingan. Masih menangis.

"Aku hendak duduk di perahu baru itu! Aku hendak duduk di perahu baru itu!" teriaknya berulang-ulang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar