Sabtu, 21 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 069

Kwee Ceng berjalan ke arah dari mana suara ular datang. Setelah puluhan tindak, ia dapat melihat ularnya. Ia heran sekali. Di bawah cahaya rembulan, nampak ular dalam jumlah ribuan atau puluhan ribu, berbaris bagai satu pasukan tentara, menuju ke Utara. Penggembalanya ada beberapa pria dengan seragam putih, yang tangannya memegang galah panjang. Barisan ular ini lebih hebat daripada barisan ularnya Auwyang Kongcu.

"Mungkinkah See Tok sendiri yang datang ke mari?" si anak muda menanya diri sendiri. Ia kaget. Ia menyembunyikan tubuhnya di belakang pohon, lalu ia menguntit barisan ular itu. Syukkur untuknya, semua penggembala ular itu biasa saja kepandaiannya, mereka tidak ketahui dirinya ada yang mengikuti.

Di paling depan ada berjalan satu bujang gagu. Dialah yang memimpin. Di dalam rimba itu orang berjalan berliku-liku jauhnya kira-kira duapuluh lie, setelah melintasi sebuah bukit, tibalah mereka di sebuah tegalan luas dengan rumput hijaunya. Di Utara tegalan rumput itu ada rimba pohon bambu.

Setibanya di situ, semua ular tidak berjalan lebih jauh, bahkan dengan menuruti petunjuk galah penggembalanya, semua pada berdiam melingkar dengan rapi, kepala mereka diangkat tinggi.

Kwee Ceng berlaku waspada, tidak mau ia memperlihatkan dirinya. Ia nelusup ke Timur, yang merupakan rimba, dari situ ke Utara, ke hutan bambu. Di situ ia sembunyi sambil memasang kuping dan mata. Rimba itu sunyi. Ia bertindak secara enteng sekali. Di dalam rimba itu ada sebuah paseban yang terbuat dari bambu, menurut mereknya yang tergantung, namanya Cek Cui Teng. Di samping kedua mereka itu ada sepasang lian. Di dalam paseben ada meja dan kursi terbuat dari bambu, semua barang bikinan dari banyak tahun, bambunya sudah mengkilap, warnanya kuning muda. Sangat sunyi suasa di sekitar paseban itu.

Mengintai keluar, Kwee ceng melihat rombongan ular itu masih mendatang. Semua ular itu bukan ular hijau hanya ular yang kepalanya besar dan ekornya panjang, cahayanya kekuning-kuningan seperti emas. Habis ular kuning, baru ular hitam. Semua lidah mereka bergerak keluar masuk.

Semua ular terpecah ke Timur dan Barat, di tengahnya terbuka satu jalanan. Di situ terlihat beberapa puluh wanita dengan seragam putih dan tangan masing-masing mencekal tengloleng merah, bertindak dengan perlahan. Di belakang mereka berjalan satu orang dengan jubah terikat di pinggang, yang tangannya mengebas-ebas kipas. Dialah Auwyang Kongcu. Dia jalan di muka, sikapnya menghormat. Segera terdengar suaranya yang terang dan nyata; "Auwyang Sianseng dari Wilayah Barat datang menjenguk Oey Tocu dari Tho Hoa To!"

"Ah, benar-benar See Tok yang datang!" kata Kwee Ceng dalam hatinya. "Pantaslah rombongan ini begini besar dan agung-agungan sikapnya."

Memang, di belakangnya Auwyang Kongcu ada berjalan seorang lain, tubuhnya tinggi dan besar, yang pun berpakaian putih mulus. Kwee Ceng cuma dapat melihat belakang orang, tidak mukanya. Dia berhenti bertindak, begitupun Auwyang Kongcu selagi pemuda itu mengasih dengar suaranya.

Dari dalam hutan bambu lantas muncul dua orang. Melihat mereka itu, hampir Kwee Ceng menjerit. Itulah Oey Yok Su sendiri yang menuntun tangan putrinya, Oey Yong.

Auwyang Hong bertindak maju, ia menjura kepada Oey Yok Su, yang membalasinya. Auwyang Kongcu sendiri sudah lantas berlutut di depan pemilik dari Tho Hoa To itu, untuk memberi hormat sambil mengangguk empat kali. Ia kata: "Mantu yang tidak berharga menghadap gakhu tayjin, semoga gakhu tayjin sehat-sehat saja!" "Gakhu tayjin" itu berarti "Ayah mertua yang dihormati".

"Sudah, kau bangunlah!" kata Oey Yok Su, yang mengulurkan tangannya mengasih bangun pemuda itu, yang menyebut dirinya mantu dan memanggil orang sebagai mertuanya.

Auwyang Kongcu ketahui bahwa ia tentulah bakal diuji, maka itu ia sudah bersiap sedia. Ia mempertahankan diri begitu lekas tangan kirinya dipegang untuk untuk diangkat tetapi ketika ia bangkit, tubuhnya terhuyung juga hingga ia mengeluarkan seruan perlahan. Tubuhnya lantas berjumpalitan, kepala di atas, kakinya di bawah, jatuh ke tanah. Tapi Auwyang Hong sudah lantas menggerakkan tongkat di tangannya, ditempel pada punggung keponakannya itu, disontek dengan perlahan, maka kesudahannya sang keponakan dapat berjumpalitan pula, untuk berdiri tegar.

"Ha, bagus sekali, saudara Yok!" Auwyang Hong tertawa. "Kau membuat mantumu berjumpalitan sebagai tanda menghormat menghadapnya yang pertama kali?" Tidak sedap suaranya See Tok masuk ke dalam telinga Kwee Ceng.

"Dia telah menghina muridku yang buta matanya, aku ingin melihat sampai di mana kepandaiannya," menyahut Oey Yok Su.

Auwyang Hong tertawa lebar. "Bagaimana sekarang, apakah dia cocok untuk dipasangkan dengan putrimu?" dia menanya, sedangkan matanya melirik kepada Nona Oey, setelah mana ia mengasih dengar pujiannya: "Saudara, sungguh hebat! Beruntunglah kau yang telah mendapatkan putri yang begini cantik molek!" Ia lantas merogoh ke dalam sakunya, menarik keluar sebuah kotak, yang mana ia terus buka tutupnya, maka dari dalam itu memancar keluar cahaya terang indah. Di dalam kotak itu terletak empat mutiara sebesar buah lengkeng. Ia lantas menghadap Oey Yong, untuk berkata pula: "Ayahmu pernah malang melintang di kolong langit ini untuk banyak tahun, ada permata apakah yang aneh-aneh yang dia tidak pernah melihatnya? Maka itu ini bingkisanku berasal dari desa, sebagai hadiah pertemuan kita yang pertama ini, pastilah akan dibuat tertawaannya…!"

Sembari berkata begitu, See Tok mengangsurkan permata mulianya itu. Menampak itu, hatinya Kwee Ceng berdenyut keras. Katanya dalam hati: "Dia menerimanya atau tidak…?"

Segera juga terdengar suara tertawanya Oey Yong. "Terima kasih!" berkata si nona, yang mengulur tangannya menyambut hadiah itu.

Melihat kulit orang yang putih dan cantik itu, semangat Auwyang Kongcu meninggalkan tubuh raganya, sekarang ia mendengar tertawa orang yang manis merdu, goncangan hatinya bertambah hebat. Di dalam hatinya ia berpikir: "Ayahnya telah sudi menyerahkan dia kepadaku, maka sekarang sikapnya terhadapku beda banyak daripada dulu-dulu…."

Tengah pemuda ini tersengsam dan bagaikan bermimpi, mendadak ia melihat menyambarnya suatu cahaya kuning emas ke arahnya, saking kagetnya, ia menjerit, "Celaka!" Walaupun demikian, ia masih sempat melenggakkan tubuh, akan menjalankan tipu silat Tiat-poan-kio atau Jembatan Besi, hingga tubuhnya jadi terlentang lempang, untuk menyelamatkan diri.

"He, kau bikin apa?!" Oey Yok Su pun membentak seraya tangan kirinya mengibas, untuk membikin terdamparnya jarum emas dari putrinya, ialah orang yang menyerang Auwyang Kongcu dengan senjata rahasia itu, sedang tangan kanannya, ia menekan bahu putrinya.

Oey Yong lantas saja menjerit menangis. "Ayah. lebih baik kau bunuh saja aku!" demikian suaranya. "Tidak sudi aku menikah dengannya!"




Auwyang Hong tidak menjadi kaget menyaksikan itu semua. Dengan satu tangan ia menjejalkan mutiara ke dalam telapak tangan Oey Yong, dengan tangan lain ia sampok tangan Oey Yok Su yang ditekankan ke bahu putrinya.

"Putrimu tengah menguji keponakanku, kenapa kau memandangnya bersungguh-sungguh?" dia berkata sambil tertawa kepada tuan rumah.

Auwyang Kongcu sudah berdiri tegak pula akan tetapi ia merasakan sakit pada dadanya, maka tahulah dia telah terkena jarum rahasia itu. Dasar ia seorang yang berkepala besar, yang suka menang sendiri, ia menahan sakit, berpura-pura seperti tidak terjadi sesuatu, melainkan wajahnya tak dapat ia menenangkannya. Ia nampak jengah.

Auwyang Hong berkata pula sambil tertawa: "Saudara Yok, semenjak kita berpisah di gunung Hoa San sudah duapuluh tahun kita tidak pernah saling bertemu maka pertemuan ini sungguh membikin aku girang sekali. Saudara, setelah hari ini kau memandang mata kepadaku dengan menerima baik jodoh keponakanku dengan jodoh putrimu, maka selanjutnya apa juga titahmu, tidak nanti aku menolaknya!"

"Siapakah yang berani main gila terhadapmu, racun tua bangka?" menyahut Oey Yok Su. "Untuk duapuluh tahun kau berdiam diri di Wilayah Barat, kepandaian apa saja yang kau telah pahamkan, coba sekarang kau tunjukkan padaku."

Dasar sifatnya yang kekanak-kanakan, mendengar ayahnya hendak menyuruh orang mempertunjukkan kepandaiannya, Oey Yong menjadi tertarik, ia lantas berhenti menangis, ia menyender pada tubuh ayahnya, matanya diarahkan kepada Auwyang Hong, kepandaian siapa yang ia ingin saksikan.

See Tok si Racun Barat memegang sebatang tongkat berwarna putih, tongkat ini banyak tekukannya mirip dengan rotan. Ujung tongkat diukir sebuah kepala orang yang mulutnya tertawa. Di dalam mulutnya terlihat barisan gigi yang tajam dan putih bersih. Yang aneh adalah kepala tongkat itu ada menangkel melingkar dua ekor ular panjang, yang kulitnya berkilauan putih seperti perak. Kedua ular itu merayap turun naik.

Auwyang Hong tertawa ketika ia menjawab: "Dulu kepandaianku tidak dapat menyamakan kepandaianmu, sekarang setelah mensia-siakan selama duapuluh tahun, pasti sekali aku kalah jauh lebih banyak. Sekarang ini kita menjadi sanak, aku memikir untuk menumpang tinggal beberapa hari di pulau Tho Hoa To ini, untuk aku memperoleh kesempatan meminta pengajaran darimu."

Ketika pertama kali Auwyang Hong mengirim utusan kepada Oey Yok Su melamar Oey Yong, Oey Yok Su berpikir, dijamannya itu, orang yang dapat menandinginya sudah tidak seberapa lagi dan Auwyang Hong adalah salah satu diantaranya. Ia tahu putrinya sangat nakal, jikalau dia mendapat suami sembarangan, anaknya bakal menghina suaminya, dari itu senang ia melihat kepandaian Auwyang Kongcu yang berani melayani Bwee Tiauw Hong. Ia anggap, Auwyang Kongcu melebihkan Kwee Ceng yang menjadi pilihan putrinya sendiri, sedang di samping itu, ia sebal terhadap pemuda she Kwee itu. Inilah sebabnya dengan gampang ia menerima baik lamaran Auwyang Hong.

Tapi sekarang, mendengar suara See Tok, yang putar balik, merendah dan berjumawa, ia menjadi curiga. Ia menduga-duga apa mungkin Auwyang Hong telah pulih kesehatannya dan kepandaiannya setelah dulu ilmu kepandaiannya dipecahkan Ong Tiong Yang. Ia ketahui baik See Tok ini mulutnya tajam dan hatinya berbisa, licin dan licik. Tentu saja, ia tidak sudi mengalah, karena ia pun seorang yang besar kepala. Maka itu ia sudah lantas menarik keluar serulingnya sambil berkata: "Tetamu yang terhormat telah datang dari tempat yang jauh, baiklah aku bunyikan sebuah lagu untuk menyenangkan hati. Silakan duduk, sahabatku supaya kau dapat mendengarnya perlahan-lahan."

Auwyang Hong tersenyum. Ia bisa menerka tuan rumah hendak memperdengarkan lagu "Thian Mo Bu Kiok" atau "Lagu tarian hantu langit" untuk mempengaruhinya. Ia lantas mengibas dengan tangannya yang kiri, kemudian tigapuluh wanita berseragam putih, yang memegang tengloleng, bertindak maju sambil menekuk lutut, mereka memberi hormat pada tuan rumah. Ia lantas berkata: "Tigapuluh dua nona-nona ini adalah yang aku menitahkan murid-muridku mencari di pelbagai tempat, sebagai bingkisan yang tidak berharga, aku menghadiahkan mereka kepada kau, saudara Yok. Mereka ini pernah mendapat pengajaran guru-guru yang pandai, mereka dapat menari, bernyanyi dan menabuh khim secara lumayan. Hanya sayangnya mereka adalah nona-nona asal Wilayah Barat, kecantikan mereka kalah jauh dibandingkan dengan nona-nona dari Kanglam!"

Oey Yong memandang nona-nona itu. Mereka mempunyai kulit yang putih bersih, tubuh mereka tinggi dan besar. Wajah mereka berlainan, ada yang hidungnya mancung dan matanya dalam, sedang rambutnya kuning dan matanya biru. Mereka beda sekali dari nona-nona Tionggoan.

Auwyang Hong menepuk tangan tiga kali, lantas delapan nona-nona itu mengasih keluar alat-alat tetabuhan, sesaat kemudian mereka mulai memainkan lagu, diikuti dengan tarian dari duapuluh empat nona lainnya. Mereka berdiri lempang, lalu berputar ke kiri dan kanan, gerak-gerik mereka halus dan lembut. Ada kalanya mereka berdiri berbaris seperti tubuh seekor ular panjang, lalu jari tangan mereka dikutik-¬kutik.

Oey Yong ingat kepada ilmu silat "Kim Coa Kun" atau "Ular emas" dari Auwyang Kongcu, ia lantas melirik kepada pemuda itu. Justru itu ia mendapatkan orang tengah mengawasi dirinya. Ia menjadi sebal, maka lantas memikir jalan untuk menghajarnya pula. Ia menyesal sekali usahanya tadi sudah digagalkan ayahnya. Ia anggap lagak orang itu sangat menjemukan.

"Kalau aku berhasil membunuh dia, biar ayah maksa aku menikah, toh sudah tidak ada orangnya dengan siapa aku dapat menikah," demikian ia pikir pula. Karena ini puas hatinya, dengan sendirinya ia bersenyum.

Senang Auwyang Kongcu menampak senyuman si nona itu. Ia menduga hatinya si nona sudah berubah. Saking girangnya, sejenak ia melupakan rasa nyeri pada dadanya.

Nona-nona yang tengah menari itu, menjadi semakin cepat, tetapi tetap lembut gerak-geriknya. Dilain pihak orang-orang lelaki yang memegangi galah, si penggembala-penggembala ular, semua sudah menutup rapat-rapat mata mereka. Mereka takut, dengan menyaksikan tarian itu, hati mereka tidak cukup kuat untuk bertahan dan nanti runtuh…..

Oey Yok Su sendiri menonton dengan bersenyum berseri-seri, selang sekian lama barulah ia bawa serulingnya ke bibirnya, untuk meniup, mengasih dengar lagunya. Baru beberapa kali ia meniup, tarian si nona-nona tampaknya kacau. Dan tempo tuan rumah meniup terus, mereka menari menuruti iramanya seruling.

Auwyang Kongcu kaget bukan main. Ia pernah merasakan hebatnya lagu seruling orang. Kalau seruling berlangsung terus, bukannya saja si nona-noa bakal menari terus-menerus hingga mati, dia sendiri juga tidak akan luput turut menjadi korban juga. Mau tidak mau, ia berseru: "Paman….!"

Justru Auwyang Hong menepuk tangan, lantas seorang nona, dengan memegang tiat-ceng, atau alat tetabuhan yang bertali duabelas, maju menghampiri.

Ketika itu hatinya Auwayang Kongcu sudah goncang keras, sedang pria si tukang angon ular sudah mulai berlari-lari atau berlompatan di antara barisan ularnya.

Auwyang Hong lantas mementil alat tetabuhannya itu, ia mengasih dengar suara umpama kata: "Tombak¬-tombak emas saling beradu dan besi kaki kuda berketoprakan" Hanya beberapa kali saja suara itu terulang, lantas nada halus dari seruling kena dibikin buyar bebarapa bagian.

Oey Yok Su tertawa. "Mari, mari!" katanya. "Mari kita berdua bersama-sama memainkan lagu!"

Hebat kesudahan sambutannya Tong Shia si Sesat dari Timur. Mereka yang menari menjadi sangat kacau, gerak-geriknya seperti orang-orang edan.

"Semua menutup kuping!" berteriak Auwyang Hong menyaksikan kehebatan itu. "Nanti aku mainkan lagu bersama-sama Oey Tocu!"

Semua orang seperti kalap tetapi mereka mendengar suara majikan mereka, mengerti ancaman bahaya yang bakal datang, maka dalam ketakutannya, mereka pada merobek ujung baju untuk menggunakan robekan itu menyumbat kuping.

Auwyang Kongcu yang sudah cukup lihay turut juga menyumpal kupingnya. Menyaksikan kelakuan mereka itu, Oey Yong tertawa. Ia sendiri tidak terpengaruh suara kedua seruling dan tiat-ceng itu. Ia berkata: "Lain orang memainkan lagu-¬lagu, khawatir orang tidak dapat mendengarnya, tetapi kamu sebaliknya, semua justru menutupi kuping! Tidak, aku sendiri tidak sudi menyumbat kupingku!"

Oey Yok Su dapat mendengar perkataan putrinya, ia menegur: "Ilmu kepandaian mementil tiat-ceng dari pamanmu ini sangat kesohor di kolong langit, kau mempunyai kepandaian apa maka kau berani mendengarnya? Apakah kau kira dapat mencoba-coba?!"

Dari sakunya, ayah ini mengeluarkan sehelai sapu tangan, ia robek menjadi dua potong, terus ia pakai menyumpal kedua kuping anaknya.

Kwee Ceng menjadi heran sekali, hingga ia menjadi tertarik hatinya, ingin ia mendengar lagu tetabuhannya Auwyang Hong itu. Tanpa mengenal bahaya, ia justru maju beberapa tindak, supaya dapat mendengar dengan lebih nyata…..

Oey Yok Su perpaling kepada tetamunya. "Semua ularmu tentu tidak dapat menutup kuping," katanya. Ia menoleh kepada bujangnya yang gagu, ia mainkan kedua belah tangannya.

Bujang gagu itu mengerti, ia mengibas-ngibaskan tangannya kepada kawanan gembala ular itu, memberi tanda untuk mereka menyingkirkan diri. Mereka ini memang menghendaki itu. Tapi mereka mengawasi dulu majikan mereka, sampai Auwyang Hong memberi tanda sambil mengangguk, baru lekas-lekas mereka menggiring ular menyingkir dari situ, mengikuti petunjuk si bujang gagu.

"Jikalau aku tidak sanggup, sukalah saudara Yok mengalah sedikit," kata Auwyang Hong kemudian. Terus dengan kelima jari tangan kanannya, ia mulai mementil alat tetabuhannya.

Nyaring suara tiat-ceng itu. Kwee Ceng merasakan, setiap pentilan membuat hatinya goncang, dan selagi lagu bertambah cepat, goncangan hatinya bertambah cepat juga, dadanya bergerak-gerak, ia merasa tak enak sendiri. Ia terkejut, segera ia menginsyafinya. Katanya dalam hati: "Kalau suara jadi hebat, tidakkah hatiku pun akan goncang hingga mati?" Karena ini lekas-lekas ia menjatuhkan dirinya untuk duduk bersila, memusatkan pikirannya, mengempos tenaga dalamnya. Cuma sesaat saja, suara tiat-ceng tidak dapat lagi menggoncangkan hatinya.

Suara tiat-ceng benar-benar makin lama jadi makin keras, bagaikan tambur dan gembreng berbunyi berbareng, seperti laksaan ekor kuda bercongklang bersama. Atau dilain saat terdengar suara yang perlahan-lahan dan halus, suara dari seruling yang seperti menembusi suara tiat-ceng.

Mendadak Kwee Ceng merasa hatinya goncang dan mukanya panas. Ia lekas-lekas memusatkan pula perhatiannya, hingga hatinya menjadi tenang. Ia sekarang mendapat kenyataan, walaupun hebat suaranya tiat-ceng, suara itu tidak dapat menindih seruling, yang perlahan tetapi tegas. Maka juga heran, dua suara terdengar berbareng. Kalau suara tiat-ceng bagaikan pekiknya kera diatas gunung atau mengalunnya hantu iblis di tengah malam buta, suara seruling laksana bunyi burung hong atau kasak-kusuknya si nona manis di dalam kamar. Kedua suara itu tinggi dan rendah, keras dan perlahan, maju dan mundur, sama-sama tidak mau mengalah…..

Oey Yong ketarik hatinya, ia menonton sambil tertawa geli. Ia mengawasi orang memintil tiat-ceng dan meniup seruling. Lama-lama, ia pun merasa aneh. Lama-lama, wajah kedua orang yang tengah mengadu tetabuhan itu berubah menjadi bersungguh¬sungguh, menjadi tegang. Ia lantas melihat ayahnya dari duduk menjadi bangun berdiri, meniup serulingnya sambil bertindak ke delapan penjuru menuruti kedudukan pat-kwa, segi delapan. Ia tahu itulah dasar kedudukan ayahnya setiap waktu ayahnya melatih diri dalam ilmu dalam. Teranglah musuhnya lihay sekali maka ayahnya mengambil tindakan itu.

Kemudian si nona memandang ke arah Auwyang Hong. Juga jago dari Barat ini menunjukkan wajah dan sikap bersungguh-sungguh. Dari kepalanya terlihat hawa mengepul naik seperti uap, itulah hawa panas mengkedus yang keluar naik. Dengan kedua tangannya terus menerus mementil alat tetabuhannya, sampai ujung bajunya menerbitkan suara angin. Nyata sekali dia tidak berani berlaku alpa.

Kwee Ceng di tempat persembunyiannya memasang kuping, ia tidak mengerti apa hubungannya antara seruling dan tiat-ceng. Ia heran kenapa masing-masing suara alat tetabuhan itu dapat mempengaruhi orang menjadi tidak tenang. Di dalam ketenangan, perlahan-lahan ia dapat membedakan juga. Kedua suara itu seperti lagi serang, keras lawan lemah, lemah melawan keras. Sebentar kemudian, lantas ia mengerti seluruhnya.

"Tidak salah lagi, Oey Tocu dan Auwyang Hong tengah mengadu ilmu dalam mereka," pikirnya. Karena ini, ia lantas menutup rapat kedua matanya, ia mendengar terus dengan penuh perhatian.

Tadinya Kwee Ceng mesti mengeluarkan banyak tenaga melawan desakan tiat-ceng dan seruling, sekarang tidak demikian. Sekarang dengan tenang ia bisa mendengar kedua suara itu. Ia merasa bagaimana seruling seperti berkelit sana dan berkelit sini dari rangsakan tiat-ceng yang hebat, atau setiap kali ada lowongan, seruling lantas membalas menyerang. Satu kali ia mendengar, suara tiat-ceng menjadi lemah, sebaliknya seruling menjadi kuat.

Tiba-tiba Kwee Ceng ingat ajarannya Ciu Pek Thong "Keras tak dapat bertahan lama, lemah tak dapat menjaga terus." Ia lantas menduga, tiat-ceng bakal membalas menyerang. Benar-benar, berselang sesaat suara tiat-ceng menjadi keras pula. Ketika Kwee Ceng menghapali ajaran Ciu Pek Thong, ia tidak tahu bahwa itulah rahasia dari Kiu Im Cin-keng, dan ia pun tidak mengerti jelas maksudnya.

Baru sekarang ia merasakan ada hubungannya ajaran itu dengan pertarungan Oey Yok Su dan Auwyang Hong. Karena insyaf ini, ia menjadi girang sekali. Hanya ia masih belum mengerti akan jalannya pertempuran itu. Ada kalanya seruling dapat menghajar, ketika baik itu dilewatkan dengan begitu saja, demikian juga sebaliknya. Toh itu tidak mirip-¬miripnya dengan orang yang bersikap saling mengalah.

Mendengari terlebih jauh, Kwee Ceng jadi menanya dirinya sendiri; "Mungkinkah pengajaran Ciu Toako lebih lihay daripada kepandaian Oey Tocu dan Auwyang Hong? Mungkinkah mereka ini tidak dapat melihat cacad masing-masing sehingga kelemahan itu mereka sama-sama tidak dapat menggunakannya? Tapi heran! Kalau benar Ciu Toako lebih lihay, mestinya pada limabelas tahun yang lalu dia sudah dapat mencari Oey Tocu di sini untuk menghajarnya, tidak peduli pulau ini banyak terjaga dengan barisan sesat patkwa itu, tidak nanti ia membiarkan dirinya terkurung di dalam gua…."

Masih Kwee Ceng mendengar. Lagi-lagi ia mendapat kenyataan telah tiba saat yang sangat genting, hingga ada kemungkinan kali ini bakal datang keputusan siapa menang dan siapa kalah. Ia khawatir untuk Oey Tocu…

Justru waktu itu dari arah laut, dari tempat yang jauh, terdengar siulan panjang dan lama. Suara itu samar-¬samar tetapi toh Oey Yok Su dan Auwyang Hong terkejut hingga dengan sendirinya suara seruling dan tiat-ceng berubah menjadi kendor. Siulan pun terdengar semakin nyata. Itu tandanya orang semakin dekat.

Auwyang Hong mementil dua kali, keras sekali, suara tiat-ceng sampai terdengar seperti suara cita terobek. Habis itu, suara siulan terdengar bernada tinggi. Rupanya siulan dan tiat-ceng bentrok.

Tidak berapa lama, suara seruling dari Oey Yok Su pun nyebur dalam bentrokan siulan dan tiat-ceng itu. Maka selanjutnya, sering terdengar, siulan bentrok tiat¬ceng, siulan bentrok seruling, atau seruling bentrok tiat-ceng. Atau lagi, ketiganya bentrok berbareng.

Sekarang Kwee Ceng menduga pasti ada seseorang yang lihay telah datang ke pulau Tho Hoa To. Ia biasa main-main bertarung empat tangan dengan Ciu Pek Thong, karena itu ia dapat menbedakan suara bentrokan ketiga lawan ini: seruling, tiat-ceng dan siulan….

Setelah memperhatikan terlebih jauh. Kwee Ceng merasa orang yang bersiul itu sudah tiba di rimba. Ia mendengar lebih nyata siulan orang itu, yang tinggi dan rendah bergantian, yang selalu berlainan. Ketika ia merasa, bentrokan menjadi demikian hebat, saking kagumnya, tanpa merasa ia berseru: "Bagus!". Kemudian ia terkejut sendiri. Bukankah ia lagi bersembunyi? Ia lantas memikir untuk menyingkir. Tapi sudah kasep. Satu bayangan lantas berkelebat di depannya. Di situ berdiri Oey Yok Su.

"Anak yang baik, mari!" berkata Tocu dari Tho Hoa To itu.

Ketika itu semua tetabuhan sudah berhenti. Dengan membesarkan hati, Kwee Ceng ikut Tong Shia pergi ke paseban. Oey Yong tersumpal kupingnya, ia tidak mendengar seruan si anak muda, maka heran nampak munculnya pemuda itu. Ia pun menjadi sangat girang, maka ia lari memapaki, menyambar kedua tangan orang.

"Engko Ceng, akhirnya kau datang juga…!" serunya. Tapi ia girang bercampur sedih, tanpa merasa air matanya meleleh turun.

Melihat pemuda ini, panas hatinya Auwyang Kongcu. Maka, menyaksikan kelakuan si nona, ia panas berbareng gusar sekali. Tidak dapat ia mengendalikan diri, sambil berlompat ia menghajar kepala si anak muda.

"He, bocah busuk, kau pun datang ke mari!" ia mendamprat.

Kwee Cneg melihat datangnya serangan, dengan sebat ia berkelit. Sekarang ilmu silatnya sudah maju jauh, beda dengan waktu ia masih di rumah abu Keluarga Lauw di Poo-eng, dimana ia menempur pemuda she Auwyang. Ia tidak cuma berkelit, terus ia membalas menyerang. Dengan tangan kiri memainkan "Naga sakti menggoyang ekor", tangan kanan menggunakan "Naga Menyesal", dua-¬duanya merupakan jurus-jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang lihay. Sejurus saja sudah hebat, apapula dua jurus itu hampir berbareng.

Auwyang Kongcu terkejut merasakan tangan kiri orang tahu-tahu menekan iga kanannya. Ia mengerti lihaynya Hang Liong Sip-pang Ciang, yang cuma dapat diegos, tidak ditangkis, dari itu lekas-lekas ia menyingkir ke kiri. Celaka untuknya, karena berkelit, justru tangan yang lain dari lawannya tiba. Tidak ampun lagi, dada kirinya kena terpukul, bahkan sebuah tulangnya patah.

Sebenarnya Auwyang Kongcu sudah cukup lihay dan ia mengerti lihaynya lawan, ketika serangan sampai, ia mencoba berkelit pula. Kali ini ia berkelit dengan mengapungkan diri, berlompat tinggi naik ke atas pohon bambu, habis itu baru ia lompat turun. Tapi ia tidak bisa membebaskan diri. Ia turun dengan muka merah malu, dadanya juga dirasakan sakit. Ia bertindak dengan perlahan.

Menyaksikan perlawanan Kwee Ceng, Oey Yok Su dan Auwyang Hong heran berbareng murka. Oey Yong sebaliknya, nona ini bertepuk-tepuk tangan saking girangnya.

Sebenarnya, Kwee Ceng sendiri kurang mengerti. Inilah kemenangan di luar dugaannya. Ia bukan menginsyafi bahwa ia sudah maju jauh, ia menyangka si anak muda lawannya itu sudah beralpa atau kurang sebat bergeraknya hingga kena terhajar. Ia khawatir pemuda ini nanti menyerang pula secara kejam, ia mundur setindak sambil memasang mata, untuk bersiap-siap.

Auwyang Hong melirik pemuda itu dengan mata merah saking mendongkolnya. Kemudian ia berkata dengan nyaring: "Pengemis she Ang, aku beri selamat padamu yang sudah mendapatkan murid yang jempol!"

Oey Yong sudah membuka sumpalannya ketika ia mendengar suara Auwyang Hong itu, ia lantas mengetahui Ang Cit Kong telah tiba, maka itu, ia lupa segalanya dan lari ke arah rimba sambil memanggil¬-manggil: "Suhu! Suhu!" Ia kegirangan karena ia tahu bintang penolong sudah datang.

Mendengar suara putrinya itu, Oey Yok Su melengak. "Eh, mengapa anakku memanggil guru kepada si pengemis tua?" pikirnya.

Waktu itu sudah lantas terlihat munculnya Ang Cit Kong si ketua pengemis. Di punggungnya menggondol cupu-cupu merah, tangan kanannya memegang tongkat, tangan kirinya menuntuk Oey Yong. Ia berjalan sambil tertawa haha-hihi.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar