Sabtu, 21 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 068

Kwee Ceng terus bergembira. Ia mematahkan secabang pohon, buat dicekal tangan kanan bagaikan pedang. Dengan begitu mereka mulai bertempur, mulanya perlahan-lahan. Terus Pek Thong memberikan keterangan, sampai adik angkatnya itu mengerti betul-betul. Dengan begitu, adik angkat itu dapat lagi semacam ilmu yang luar biasa.

Hari terus berjalan, setelah lewat beberapa hari pula, Pek Thong ajak adik angkatnya itu bergerbrak pula. Mereka berkelahi seperti empat orang. Dalam kegembiraannya, Pek Thong berkelahi sambil tertawa. Kwee Ceng sebaliknya repot, ia terdesak, maka kalau tangan kanannya kewalahan, tangan kirinya membantu, begitu sebaliknya. Kalau ia terdesak, mereka jadi seperti berkelahi bertiga. Tapi biar bagaimana, Kwee Ceng toh mengerti juga.

"Ah, kau tidak pakai aturan!" Pek Thong mentertawakan adiknya, yang berkelahi seperti sendiri itu.

Kwee Ceng tidak membilang apapun, hanya selang beberapa jurus, tiba-tiba ia lompat mundur, terus ia berdiam.

"Toako!" katanya, habis berpikir, "Aku ingat sesuatu…"

Pek Thong heran. "apakah itu?" dia menegasi.

"Kedua tangan toako menjadi seperti dua orang, kalau kedua tangan itu dipakai melawan satu orang, bukankah berarti dua lawan satu? Kita sekarang hanya main-main tetapi aku pikir itu dapat dipakai buat berkelahi benar-benar…"

Pek Thong tak usah berpikir lama untuk menyadari itu. Mendadak ia lompat keluar dari gua, dia menjambret cabang pohon, mematahkan dua batang. Habis itu ia jalan mondar-mandir di mulut gua, sambil tertawa terus.

"Toako, kau kenapa?" menegur Kwee Ceng heran. Kakak itu seperti edan. "Kau kenapakah?"

Pek Thong tidak menjawab, ia tertawa terus. Selang sekian lama, baru ia kata: "Adik, aku keluar dari gua!"

"Ya," Kwee Ceng menyahut, dia lompat ke mulut gua. "Nanti aku gantikan kau menjaga di sini. Asal jangan toako pergi jauh…."

Pek Thong tertawa, dia menyahut: "Sekarang ini kepandaianku yang nomor satu di kolong langit, perlu apa aku takut pula Oey Yok Su? Sekarang aku tinggal menantikan dia, untuk menghajarnya kalang-kabutan!"

Kwee Ceng heran.

"Toako, pastikah kau bakal menang?"

"Sebenarnya aku masih kalah seurat," sahut Pek Thong, "Tetapi sekarang aku dapat memecah diri, dengan dua lawan satu, di kolong langit ini tidak bakal ada lain orang yang dapat menangi aku! Oey Yok Su, Ang Cit Kong dan Auwyang Hong, boleh mereka lihay sekali, akan tetapi dapatkah mereka melayani dua Loo Boan Tong?"

Kwee Ceng girang. Beralasan perkataan kakak angkat ini.

"Adikku," kata pula Pek Thong, "Kau sudah mengerti ini ilmu memecah diri, untukmu tinggal latihan terlebih jauh untuk memahirkannya. Beberapa tahun kemudian, sesudah kau bisa meyakinkan seperti kakakmu ini, kau pasti akan tambah hebat!"

Girang dua saudara angkat ini. Bahkan Ciu Pek Thong mengharap munculnya Oey Yok Su, yang baru beberapa saat di muka ia takuti. Coba tidak Oey Yok Su mempunyai jalan rahasianya itu, yang menyesatkan orang, ia sudah pergi mencari.

Sore itu ketika si bujang tua datang membawa makanan, Pek Thong cekal tangan orang. "Pergi lekas panggil Oey Yok Su kemari, bilang di sini aku menantikan dia, suruh dia mencoba tanganku!"

Selama orang berbicara, bujang tua itu terus menggoyangkan kepala, ketika Pek Thong sudah habis bicara, baru ia sadar sendiri, "Aah, aku lupa dia tuli dan gagu!" katanya, berludah. Maka ia menoleh kepada Kwee Ceng: "Sore ini kita mesti dahar sampai kenyang!" Ia lantas membuka tutup makanan.

Kwee Ceng dapat mencium bau makanan yang sedap. Ketika ia sudah memeriksa, ia dapat kenyataan, di antara sayuran ada ayam tim yang ia doyan sekali. Ia jadi berpikir. Kemudian ia mencoba. Ia merasa itu seperti masakannya Oey Yong. Lantas hatinya berdebaran. Tahulah ia, itulah masakannya si nona untuknya. Ia lantas memperhatikan yang lainnya. Dari belasan bakpauw, ada satu yang ukirannya seperti buli-buli, rupanya itu sengaja dibikin dengan kuku tangan, ukirannya cetek, tidak gampang untuk melihat itu. Ia heran, maka ia jumput bakpauw itu, untuk dibelah dua. Di dalam situ ada sepotong lilin. Lekas¬ ia masuki ke sakunya selagi Pek Thong dan si bujang tidak memperhatikannya.

Kali ini dua orang itu dahar dengan masing-masing pikirannya. Pek Thong gembira karena berhasil menciptakan ilmu silat baru, sembari mencaplok, ia seperti bersilat. Kwee Ceng mengharapkan lekas dahar cukup supaya ia bisa baca suratnya Oey Yong. Ia percaya si nona punya kabar untuknya.

Akhirnya Pek Thong telah dahar habis bakpauwnya, lalu ia tenggak kuah supnya, habis itu si bujang berbenah dan berlalu.

Sampai di situ Kwee Ceng keluarkan lilinnya, untuk dipecahkan. Benar di dalamnya ada surat, dari Oey Yong. Si nona menulis:

"Engko Ceng, jangan khawatir. Ayah sudah baik lagi denganku. Kau tunggulah, perlahan-lahan aku nanti minta supaya ayah melepaskan kau."

Habis membaca, surat itu dikasih lihat pada Pek Thong. Kakak itu tertawa.

"Di sini ada aku, dia tidak melepaskanmu pun tidak bisa!" katanya.

Ketika itu cuaca mulai gelap. Kwee Ceng duduk bersemadhi, tetapi ia senantiasa memikirkan Oey Yong, tidak bisa ia berdiam tenang. Selang sekian lama, baru ia merasa tentram. Tapi justru ia tenang, dapat berpkir bahwa untuk dapat memisahkan diri, ia mesti berkatih. Dengan kedua tangannya bergantian ia tutup kedua lubang hidungnya, untuk bikin napasnya pun menjadi dua….

Kira-kira satu jam dia melatih diri, Kwee Ceng merasakan mendapat kemajuan. Tiba-tiba ia mendengar suara mendesir keras, lekas-lekas ia membuka matanya. Cuaca sudah gelap tetapi di situ terlihat rambut dan kumis putih bergerak-gerak, maka ia mengawasi. Terlihatlah olehnya Ciu Pek Thong lagi melatih diri dengan ilmu silat Kong-beng-kun yang terdiri dari tujuhpuluh dua jurus. Kelihatannya setiap tangan dikeluarkan perlahan tetapi kesudahannya anginnya keras. Jadi itulah lemas memelihara kekerasan. Girang ia melihat kakaknya begitu hebat.

Selagi Kwee Ceng menonton lebih lanjut dengan gembira, tengah Ciu Pek Thong bersilat dengan asyik, mendadak orang tua itu menjerit, disusul sama satu suara bentrokan keras, sebab suatu benda panjang dan hitam terlempar dari tubuhnya si orang tua, membentur pohon. Nampaknya bendab itu seperti kena disambar.




Kwee Ceng terkejut. Ia lihat tubuh kakaknya terhuyung. Ia lompat menghampirkan. “Toako, ada apa?" dia menanya.

"Aku digigit ular berbisa!" sahut Pek thong.

Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Ia tampak air muka kakaknya pias. Ia lantas mempepayang orang masuk ke gua. Ia merobek ujung bajunya, membalut keras paha kakaknya, bagian yang dipagut ular, guna mencegah bisa ular mengalir masuk ke dalam tubuh. Tempo menyalakan api, ia menjadi lebih kaget. Ia melihat betis yang menjadi bengkak.

"Di pulau ini tidak biasanya ada ular berbisa, entah darimana datangnya binatang ini," kata Pek Thong. Ia kenali ular hijau.

Kwee Ceng mendengar nyata suara kakaknya, jadi terlebih kaget lagi. Itu tanda hebatnya racun ular. Bagus, si kakak dapat mengendalikan napasnya, dia jadi masih dapat mempertahankan diri tanpa pingsan. Tanpa bersangsi ia membungkuk segera ia bawa mulutnya ke paha, ke tempat yang luka, menyedot darah yang telah kecampur racun ular itu.

Pek Thong terkejut melihat kelakuan adik angkatnya ini. "Jangan!" ia mencegah. "Ular orang, ia menyedot terus. Pek Thong bisa mati!"

Kwee Ceng hendak menolong jiwa orang, ia lupa kepada dirinya sendiri. Ia mencekal keras kaki orang, ia menyedot terus. Pek Thong hendak berontak buat melepaskan diri tetapi segeralah dia lelah, tubuhnya lemas, tak dapat bergeming lagi. Bahkan habis itu ia pingsan.

Kwee Ceng menyedot lamanya semakanan nasi, lantas ia lepehkan racun ular itu. Ia dapat menyedot pulang sebagian besar racun itu. Pek Thong pun kuat tubuhnya berkat ilmu dalamnya, selang sejam, ia siuman.

"Adik," dia berkata, "Hari ini kakakmu bakal pulang ke negeri baka, sebelum mati aku dapat mengangkat saudara sama seorang berbudi seperti kau, aku sangat girang…"

Kwee Ceng mengucurkan air mata. Pendek pergaulan mereka tetapi ia sangat ketarik sama orang tua ini, yang baik hati. Mereka sudah jadi seperti saudara kandung.

Pek Thong tertawa dalam kedukaan. "Bagian dari Kiu Im Cin-keng berada di dalam peti kecil, yang aku pendam di dalam tanah di atas biasa aku duduk numprah," Pek Thong berkata pula. "Sebenarnya aku hendak mewariskan kepada kau tetapi kau sudah mengisap racun ular, kau juga bakal tidak panjang umur…. Adikku, kita pulang ke dunia baka bersama-sama, dengan bergandeng tangan, kita tak usah khawatir kita tak punya kawan…."

Kwee Ceng terkejut mendengar kata-kata orang bahwa ia bakal mati. Ia justru merasakan tubuhnya sehat, tidak ada tanda-tanda yang luar biasa. Ia lantas pula nyalakan api, untuk periksa luka kakaknya itu. Bahan apinya itu tinggal separuh, maka ia berlaku sebat. Ia keluarkan dari sakunya surat dari Oey Yong, dia sulut itu, lantas ia memikirkan untuk mencari cabang dan daun kering diluar gua, untuk ia sekalian, kesudahannya ia terkejut. Tidak ada cabang atau daun kering di situ, rumput semuanya hijau dan segar.

Dalam bingung, ia merogoh pula sakunya, untuk mencari apa saja yang dapat dijadikan bahan api. Ia tidak dapatkan apa-apa kecuali sehelai benda kertas bukan kulit bukan, yang Bwee Tiauw Hong pakai membungkus pisau belati. Tanpa pikir panjang, ia keluarkan itu, untuk dibakar. Ia menyuluhi muka Pek Thong. Ia melihat tampang yang hitam gelap, tidak lagi roman segar sebagai bocah dari kakak angkatnya itu.

Melihat api, Pek Thong mengawasi Kwee Ceng. Ia tersenyum. Tapi melihat wajah orang, yang sehat seperti biasa ia heran. Tengah ia berpikir, ia melihat benda yang menyala di tangan si anak muda, ia menampak huruf-huruf. Baru ia melihat belasan huruf, lantas ia sampok api itu hingga padam, sesudah itu, ia menghela napas lega.

"Eh, adikku, kau pernah makan obat apa yang mujarab?" ia tanya. "Kau sudah menyedot racun ular tetapi racun ular itu tidak dapat mencelakai kau!"

Ditanya begitu, Kwee Ceng ingat halnya dulu ia bersama Ang Cit Kong dan Oey Yong bertemu banyak ular dalam rimba pohon cemara, bagaimana tidak ada ular yang berani menggigit dirinya, ketika kemudian Cit Kong minta keterangan padanya ia ingat pernah menghirup darah ularnya Nio Cu Ong. Maka ia lantas memberi keterangannya.

Pek Thong mengerti, lantas ia menunjuk barang seperti kertas atau kulit. "Jangan kau bakar itu!" katanya. "Itulah mustika…!"

Tidak sempat ia bicara lebih jauh, kembali Pek Thong pingsan. Sebenarnya ia hendak menjelaskan, benda itu memuat huruf-huruf yang merupakan Kiu Im Cin¬keng bagian bawah.

Dalam keget dan bingungnya Kwee ceng menguruti kakaknya. ia ingin menolong tetapi tidak ada hasilnya. Ia meraba paha orang, merasakan paha panas seperti api dan bengkaknya pun bertambah. Saking khawatir, ia lari ke luar gua, melompat naik ke pohon terus ia berkoak-koak: "Yong-jie" Yong-jie! Oey Tocu! Tolong! Tolong!"

Luas Tho Hoa To itu, Oey Yok Su entah ada di bagian mana, suara Kwee Ceng sia-sia belaka. Cuma datang sambutan kumandang koakannya itu di antara lembah.

Habis daya Kwee Ceng, ia lompat turun. Tetapi ia tidak putus asa. Mendadak ia ingat suatu hal. Ia pikir: "Ular beracun tidak berani menggigit aku, mungkin darahku bisa memunahkan racun ular." Begitu mengingat ini, ia bekerja. Ia ambil mangkok hijaunya Pek Thong, yang diperantikan menaruh teh, ia pun menghunus pisau belatinya. Tanpa sangsi lagi, ia potong lengannya, darahnya yang mengalir ia tadahkan dengan mangkok. Ia tunggu sampai darah habis mengucur keluar, terus ia letakkan tubuh Pek Thong di kakinya. Ia membuka mulut saudaranya, menggunakan tangan kiri lalu dengan tangan kanan ia menuang darahnya ke dalam mulut orang.

Anak muda ini telah mengeluarkan banyak darah, walaupun tubuhnya kuat, ia lelah juga, ia menjadi lemas. Menyender pada lamping gua, ia meram dan menjadi pulas. Ia baru sadar ketika merasa ada orang meraba lengan untuk membalut lukanya, ketika ia membuka mata, melihat Loo Boan Tong yang rambutnya melorot turun. Ia menjadi girang sekali.

"Kau…kau…baik?" serunya.

"Aku baik, adikku," sahut Pek thong. "Kau telah menolong aku, kau sampai mengorbankan dirimu."

Kwee Ceng mengawasi paha kakaknya, warna hitam sudah lenyap, tinggal warna merah dan bengkaknya.

Keduanya tidak banyak omong, bersama-sama mereka bersemadhi. Adalah setelah bersantap tengah hari, Ciu Pek Thong baru menanyakan halnya benda yang berupa kulit atau kertas itu yang ada huruf-hurufnya.

Kwee Ceng mesti mengingat-ingat dulu sebelumnya ia menjawab. Ia ingat itulah benda yang ia dapatkan dari gurunya yang nomor dua, Biauw-ciu Sie-seng Cu Cong, yang sebaliknya mendapatkan itu dari sakunya Bwee Tiauw Hong, ketika guru itu mencuri pisau belati orang, piasu belati mana dibungkus dengan kulit itu. Maka ia lantas menuturkan peristiwa di Kwie-in chung baru-baru ini.

Ciu pek Thong berpikir. Ia tidak mengerti kenapa Bwee Tiauw Hong mencatat Kiu Im Cin-keng di kulit itu.

"Toako, kau menyebutkannya itu barang berharga, apakah artinya?" tanya Kwee Ceng yang masih belum mengetahui itu adalah Kiu Im Cin-keng bagian bawah.

"Hendak aku memeriksa dulu baru aku bisa menjawab," menyahut Pek Thong. "Aku ingin membuktikan ini yang tulen atau yang palsu."

Pek Thong masih terbenam kesangsian. Bukankah orang Coan Cin Pay dilarang mempelajari Kiu Im Cin¬keng? Bukankah maksudnya Ong Tiong Yang mendapatkan itu guna menyingkirkan bencana di kemudian hari? Ia tidak berani melanggar pesan itu. Akan tetapi ia berpikir: "Bukankah aku tidak berniat mempelajarinya dan aku cuma hendak melihat saja?"

Ini pula sebabnya kenapa selama numprah di dalam gua itu, ia periksa Kiu Im Cin-keng bagian atas dan membacanya berulang-ulang hingga ia hapal di luar kepala. Bagian atas itu memuat ilmu silat tangan kosong dan pedang, tidak ada tipu atau rahasianya untuk mengalahkan lain orang, jadi sia-sia semua pelajaran itu apabila orang tidak mendapatkan bagian bawahnya.

Selama sepuluh tahun lebih, Pek Thong senantiasa memikirkan dan menduga-duga bagaimana isinya Kiu Im Cin-keng bagian bawah. Dasar kepandaiannya telah mencapai puncak dan ia pun sangat hapal Kiu Im Cin-keng bagian atas, maka begitu melihat bagian bawahnya, ia lantas mengerti hubungan keduanya. Sekarang ia berpikir keras, menyakinkan itu atau jangan? Ia tidak menghendaki menjadi jago nomor satu tetapi ia ingin mengetahui dasarnya ilmu silat, bagaimana lihaynya. Karena kesangsiannya, sebab masih terpengaruh pesan kakak seperguruannya, akhirnya ia masukkan kitab itu ke dalam sakunya dan tidur.

Tidak lama setelah mendusin, pek Thong ajak Kwee Ceng membantu menggali tanah di bagian tempat duduknya, mengeluarkan kitab simpanannya, untuk dihubungi dengan bagian bawahnya. Baru ia mengorek beberapa kali, dengan sebatang pohon yang dipakai sebagai alat penggali, mendadak ia berseru: "Benar! Benar! Inilah cara yang paling baik!" Ia lantas tertawa, agaknya ia girang luar biasa.

"Toako, kau bilang apa?" tanya Kwee Ceng mengangkat kepalanya.

Pek Thong tertawa pula, ia tidak menjawab. Ia sebenarnya ingat sesuatu. Katanya dalam hati: "Dia bukan orang Coan Cin Pay, aku ajari dia menurut bunyinya kitab, supaya ia mengerti semuanya, habis ia melatih itu, untuk aku melihat, tidakkah aku jadi dapat mencapai maksudku untuk melihatnya?"

Tapi sejenak kemudian, ia memikir lainnya. "Di dengar dari suaranya, ia jemu terhadap Kiu Im Cin-keng, yang ia namakan ilmu sesat, cuma ia keliru mengerti sebab ia melainkan menyaksikan Hek Hong Siang Sat, yang mengerti hanya bagian bawahnya. Ia tidak tahu bahwa bagian atasnya memuat cara-cara yang sehat. Karena Hek Hong Siang Sat tidak mengetahui bagian atasnya, mereka menjadi sesat. Baiklah aku mengatur begini, aku tidak mengasih keterangan padanya, nanti sesudah ia paham, baru aku mengasih tahu, biar ia kaget. Karena ia sudah mengerti ilmu itu, tidak dapat ia membuangnya pula! Tidakkah ini lucu?"

Setelah berpikir demikian, ia awasi Kwee Ceng. Ia berkata: "Adikku, selama aku berdiam di dalam gua ini, kecuali ilmu silat Kong-beng-kun serta cara berkelahi main-main itu, sebenarnya aku telah mendapatkan beberapa ilmu lain. Sekarang ini kita nganggur, bagimana jikalau aku mengajari pula padamu?" Ia bicara tanpa mengasih kentara apa-apa.

Kwee Ceng polos, ia girang. "Memang itu bagus!" jawabnya.

"Jangan kau kegirangan, kau telah kena terpedaya!" kata Pek Thong dalam hatinya. Ia segera mulai membacakan isinya Kiu Im Cin-keng bagian atas.

Kwee Ceng tidak cerdas, ada bagian-bagian yang tidak mengerti, ia menanyakan itu. Pek Thong berlaku sabar luar biasa untuk memberikan penjelasannya, sesudah itu, dari bagian atas ia menyambung ke bagian bawah. Cuma, untuk tidak membikin orang curiga, ia suka mengambiln jalan menyimpang.

Luar biasa caranya mengajar Ciu Pek Thong ini. Beda dari semua guru lainnya, ia tidak memberi penjelasan dengan gerakan tangan atau kaki, tetapi meski pun demikian, berkat bahan baik dari Kwee Ceng, yang pun bersungguh-sungguh, dan berkat kesabarannya sendiri, ia memperoleh hasil. Setelah Kwee Ceng mengerti, ia mencoba membandingkan itu dengan ilmu silat Coan Cin Pay.

Kwee Ceng tetap tidak mendusin bahwa ia sudah mendapatkan pelajaran dari Kiu Im Cin¬keng. Hal ini membuat Pek Thong sangat girang, walaupun tengah bermimpi, ia suka tertawa sendiri.

Selama beberapa hari ini, Oey Yong pun terus membikinkan Kwee Ceng beberapa rupa barang hidangan yang digemari si anak muda. Cuma ia tidak muncul menemui anaknya.

Kwee Ceng berlega hati, ia mantap belajar silat, hingga mendapat kemajuan hebat. Pada suatu hari Pek Thong mengajari ilmu mencengkram atau menjambak Kiu Im Pek-ku Jiauw. Sebagai sasarannya adalah tembok gua.

"Pusatkan perhatianmu! Gunakan sepuluh jarimu!" berkata si guru.

Kwee Ceng menurut. Selang beberapa kali, dia heran.

"Toako," katanya, "Aku lihat Bwee Tiauw Hong pernah mempelajari ilmu semacam ini, melainkan sasarannya manusia hidup, dengan jarinya ia mencengkram batok kepala orang, dia kejam sekali!"

Di dalam hatinya Pek Thong terkejut juga. Pikirnya: "Memang, Bwee Tiauw Hong itu mengambil jalan sesat, sebab ia tidak tahu bagian atasnya. Ia cuma turuti kitab bawah yang bunyinya: 'Diwaktu bertempur, dengan jari-jari tangan mencengkram batok kepala lawan.' Ia tentunya pikir, melatihnya pun mesti memakai manusia hidup. Dia mulai curiga, baiklah aku mengubahnya…" Maka sembari tertawa ia berkata: "Dia mempelajari ilmu sesat, dia beda dari kita kaum sejati. Baiklah, kita menunda mempelajari ilmu Kiu Im Sin-jiauw, aku nanti mengajari kau ilmu dalam." Sembari berkata begitu, ia berpikir: "Baik aku mengajari dulu bagian atas sampai dia hapal benar, kemudian baru bagian bawah. Kalau keduanya menemui runtunannya, tentulah ia tidak curiga lagi."

Kwee Ceng menurut, maka ia mulai dari bagian atas. Seperti biasa dengan pelajaran baru, Kwee Ceng selalu menemui kesulitan, tidak gampang ingat atau mengerti, karena ini, berulangkali ia meminta keterangan, dan saban-saban Ciu Pek Thong mesti menjelaskannya. Penjelasan ini sering sampai beberapa puluh kali, meski Kwee Ceng tidak dapat mengerti maksudnya, ia toh dapat membaca di luar kepala. Karena ini, mereka meminta tempo lagi beberapa hari, baru setelah itu, Kwee Ceng mulai melatih dengan tangan dan kakinya.

Sering Kwee ceng melihat kakaknya tersenyum atau tertawa sendiri, ia tidak curiga, sebab ia tahu kakak angkatnya ini memang nakal dan suka bergurau.

Kemudian pada suatu pagi, habis Kwee Ceng berlatih, bujang tua membawakan mereka makanan. Kali ini Kwee Ceng lantas dapat melihat sebuah bakpauw yang ada tandanya. Tidak menanti habis dahar, ia bawa bakpauw itu ke pepohonan yang lebat, untuk dibuka dan diperiksa isinya. Oey Yong menulis surat yang bunyinya membuat kaget. Nona itu menulis:

"Engko Ceng, See Tok datang melamar untuk keponakannya, ia hendak menjodohkannya denganku. Ayah sudah memberikan jawabannya….”

Sampai di situ surat itu. Rupanya belum selesai ditulis, surat itu telah dimasukkan ke dalam bakpauw. Itulah tandanya si nona sangat tergesa-gesa. Tidak salah lagi, jawabannya Oey Yok Su tentulah menerima lamaran itu, kalau tidak si nona tidak nanti menjadi bingung. Karena ini, ia pun menjadi bingung sekali.

Kwee Ceng tunggu sampai si bujang tua berbenah dan berlalu, ia perlihatkan suratnya Oey Yong kepada Pek Thong.

"Ayahnya sudah menerima baik, itu bagus. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kita!" kata sang kakak.

"Tidak, toako!" kata Kwee Ceng, tetap bingung. "Dia sudah berjanji menyerahkan dirinya padaku. Dia bisa menjadi gila!"

"Sesudah seseorang menikah, ada beberapa macam ilmu kepandaian yang tidak dapat dipelajari lagi lebih jauh," Pek Thong memperingatkan. "Umpama dua ilmu It-yang-cie dan Sun-yang-cie, keduanya mesti dipelajari oleh anak-anak jenaka. Adik, kau dengar aku, lebih baik kau jangan menginginkan istri…"

Kwee Ceng tidak menghiraukan nasehat itu. Karena kakak ini tidak sependapat dengannya, ia jadi semakin gelisah.

"Coba dulu aku tidak kehilangan tubuh perjakaku," kata pula Ciu Pek Thong, "Karena itu aku tidak bisa mempelajari ilmu It-yang-cie, mana bisa sekarang Oey Lao Shia mengurung aku di pulau iblis ini? Kau lihat sekarang, karena kau memikirkan istri, pemusatan pikiranmu jadi terpecah, pelajaranmu hari ini pastilah tidak dapat kau selesaikan. Kalau benar kau hendak menikahi putrinya Oey Lao Shia, putri yang cantik bagaikan bunga itu, ah, sayang, sungguh sayang…."

Tidak puas Kwee Ceng mendengar orang ngoceh tentang jeleknya mempunyai istri. "Aku nikahi dia atau tidak, itu urusan belakangan, toako!" katanya. "Sekarang kau tolong dulu dia!"

"See Tok itu ada yang sangat buruk, keponakannya juga pasti bukan orang baik," berkata Ciu Pek Thong. "Biarlah ia menikah sama putri yang licin dan buruk dari Oey Lao Shia, supaya dia tahu rasa! Bukankah itu bagus?"

Kwee Ceng menghela napas. Ia pergi ke rimba, di situ ia duduk menjublak. "Biar aku kesasar dan mati, mesti aku cari dia!" pikirnya mengambil keputusan. Karena ini, ia melompat bangun. Justru itu ia dapat mendengar dua kali pekiknya burung di tengah udara, lalu berkelebat dua bayangan putih, yang menyambar ke bawah. Bahkan segera ia mengenali dua burung rajawali, yang dibawa Tuli dari gurun pasir. Ia menjadi girang sekali. Ia lantas mengangkat melintang tangannya untuk burungnya itu mencelok.

Di kakinya burung yang lelaki ada terikat sebuah selubung bambu. Kwee ceng meloloskan ikatannya untuk diperiksa isinya, sehelai surat. Surat dari oey Yong. Si nona menulis bahwa ia sangat terancam, lantaran beberapa hari lagi See Tok bakal datang mengantarkan panjar, bahwa ia dijaga keras oleh ayahnya, sudah dilarang keluar rumah, tak boleh setengah tindakpun, ia pun dilarang memasak makanan lagi untuk si pemuda.

Maka itu, tulisnya lebih jauh, kalau sampai saatnya dan dia tidak bisa lolos lagi, ia hendak menghabiskan nyawanya. Dia larang si pemuda mencari dia disebabkan semua jalanan di Tho Hoa To penuh rahasia dan berbahaya.

Kwee Ceng bengong sekian lama, lantas ia menghunus pisau belatinya. Ia mengurat berulangkali di selebung bambu itu, mengukir delapan huruf, bunyinya: "Hidup bersama dalam sebuah rumah, mati bersama dalam sebuah liang." Ia ikat pula selubung pada kaki burungnya, lantas ia kibaskan tangannya.

Sepasang burung itu lantas pergi terbang, di udara mereka terbang berputaran, lalu terus menuju ke arah Utara.

Sekarang hati Kwee Ceng merasa lega, maka ia bersila untuk bersemadhi, guna meyakinkan ilmunya, sebentar kemudian ia menghampiri Ciu Pek Thong, guna mendengar pengajaran kakak angkatnya.

Lewat sepuluh hari, Oey Yong tidak memberi kabar apapun. Selama itu, Kwee Ceng telah berhasil menghapalkan kitab bagian atas. Karena ini, dalam girangnya, Pek Thong mulai mengajari kitab bagian bawah. Ia cuma mengajari serupa demi serupa, ia tidak menyuruh orang berlatih dulu menuruti itu. Ini untuk mencegah timbulnya kecurigaan si anak muda.

Kwee Ceng belajar dengan sungguh-sungguh. Setelah puluhan kali, ia berhasil mengingat di luar kepala isi kitab bagian bawah, maka berhasillah ia menguasai kedua bagian kitab itu.

Pada suatu malam, tengah rembulan terang benderang, Pek Thong ajak Kwee Ceng berlatih dengannya. Kesudahannya membuat ia girang sekali. Ia merasa bahwa telah maju pesat. Ia percaya, kalau nanti ia sudah dapat memahamkan isinya kitab, ia bakal lebih lihay daripada Oey Yok Su dan Ang Cit Kong.

Habis berlatih, keduanya beristirahat ngobrol. Lalu tiba-tiba mereka mendengar suara menggelesernya sesuatu di atas rumput. Kwee Ceng kenali suara itu.

"Ular!"

Pek Thong kaget hingga mukanya menjadi pucat, ia lompat untuk lari masuk ke dalam gua. Ia gagah tetapi menghadapi ular, ia merasa kepalanya sakit.

Kwee ceng pun tidak berdiam saja. Ia menggeser beberapa potong batu besar, untuk dilintangkan di mulut gua. Kemudian dia kata, "Toako, jangan bergerak, hendak aku melihat."

"Hati-hati," Pek Thong memesan. "Lekas kau kembali!"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar