Rabu, 18 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 067

"Aku pikir, dia benar juga, dari itu hatiku menjadi sedikit lega. Ketika aku mengawasi Nyonya Oey, ia tetap masih membalik-balik lembaran kitab. Terang ia membaca dari bermula. Mulutnya berkelemik tak hentinya. Melihat lagaknya itu, aku merasa lucu. Isinya Kiu Im Cin-keng rahasia semuanya, meski ia pandai surat, dengan kita tidak mengerti ilmu silat, tidak nanti ia dapat menangkap artinya. Ia membaca dengan perlahan, aku menjadi tidak sabaran.

Ketika ia sudah membaca habis halaman terakhir, aku anggap habis sudah ia membacanya. Siapa tahu, ia lantas mengulanginya dari mula lagi. Hanya kali ini ia membacanya dengan cepat sekali, boleh dikata selama semakaman teh saja, habislah sudah. Ia kembalikan padaku, sembari tertawa ia berkata: 'Ciu Toako, kau kena diperdaya See Tok. Kitab ini bukan Kiu Im Cin-keng!' Aku kaget juga. 'Kenapa bukan?' aku menanya. 'Ini kitab warisan kakak seperguruanku. Bukupun serupa macamnya.' Nyonya Oey itu kata: 'Apa gunanya kalau romannya saja yang sama? Kitab mu ini ada kitab tenungannya si tukang meramal!'"

Kwee Ceng terkejut. "Mungkinkah Auwyang Hong telah dapat menukarnya selama Ong Cinjin belum keluar dari peti mati?" ia menanya.

"Mulanya aku pun menerka demikian," sahut Pek Thong. "Tapi Oey Lao Shia sangat licin, sedang perkataannya Nyonya oey itu aku tidak dapat percaya semuanya. Nyonya itu mengawasi aku, yang menjublak saja. Ia rupanya menduga aku bersangsi, maka ia berkata pula: 'Ciu Toako, bagimana bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang tulen? Tahukah kau?' Aku menjawab bahwa semenjak kitab itu berada di tangan kakak seperguruanku, tidak pernah ada orang yang membacanya. Kakak pun bilang, selama tujuh hari tujuh malam ia bergulat mendapatkan kitab itu, maksudnya untuk menyingkirkan suatu akar bencana besar kaum Rimba Persilatan, sama sekali ia tidak pernah memikir untuk memilikinya sendiri. Maka itu ia telah memesan semua murid Coan Cin Pay, siapa pun tidak boleh menyakinkan ilmu dalam kitab itu."

"Ong Cinjin demikian jujur, ia mendatangkan hormatnya siapa siapapun,' berkata lagi Nyonya Oey, 'Hanya karena itu, kena diperdaya orang. Ciu Toako, coba kau periksa kitab ini' Aku bersangsi, tetapi mengingat pesan kakak seperguruanku, aku tidak berani memeriksa kitab itu. 'Inilah kitab ramalan yang terdapat di mana-mana di wilayah Kanglam,' berkata pula Nyonya Oey, harganya tak setengah peser juga. Lagi pula, taruh kata inilah Kiu Im Cin-keng yang tulen dan kau tidak ingin mempelajarinya, apabila kau hanya melihat saja, apakah halangannya?' Aku terdesak, aku pun penasaran, maka akhirnya aku periksa kitab itu.

Aku mendapatkan pelbagai pelajaran silat serta rahasianya, sama sekali itu bukannya buku petang-¬petangan. Selagi aku memeriksa, Nyonya Oey berkata: 'Kitab semacam ini aku telah membacanya habis semenjak aku berumur lima tahun, aku dapat membacanya di luar kepala dari permulaan sampai akhirnya. Kami anak-anak di Kanglam, dalam sepuluh, sembilan pernah bersekolah. Jikalau kau tidak percaya. Ciu Toako, mari aku membacanya untuk kau dengar.'

Benar-benar ia membaca, dari kepala sampai dibuntut, membacanya dengan lancar. Aku merasakan tubuhku dingin. Lalu nyonya itu berkata pula: 'Halaman mana saja kau cabut dan tanyakan aku, asal kau menyebut kalimatnya, dapat aku membaca diluar kepala. Buku ini yang telah dibaca sejak masih kecil, sampai tua juga aku tidak dapat melupakannya. Aku ingin mencoba, aku uji ia beberapa kali. Benar-benar ia bisa membaca dengan hapal, tidak pernah ada yang salah. Maka itu, Oey Lao Shia tertawa terbahak-bahak. Aku menjadi sangat mendongkol, aku ambil kitab itu, aku merobek-robek, terus aku sulut dan bakar hingga hangus habis!"

"Setelah itu mendadak Oey Lao Shia berkata padaku: 'Loo Boan Tong, tidak usah kau ngambul dengan tabiat bocahmu itu! Nah ini bajuku yang berduri, aku hadiahkan padamu!' Aku tidak tahu bahwa aku telah dipermainkan. Aku hanya menduga, karena merasa tidak enak hati, ia menghadiahkan kepadaku untuk membikin reda kemendongkolanku. Disamping mendongkol, aku pun mengerti tidak dapat aku memiliki pusaka Tho Hoa To, maka itu, aku tolak hadiahnya. Aku bilang terima kasih padanya, lantas aku pulang. Seterusnya aku mengunci pintu, menyekap diri di kampung halamanku, untuk menyakinkan ilmu silatku. Ketika itu belum sanggup aku menandingi Auwyang Hong, dari itu aku berlatih keras selama lima tahun. Aku memikir, setelah mendapatkan pelbagai macam ilmu, hendak aku pergi ke Wilayah Barat untuk mencari See Tok meminta kembali kitab yang tulen."

"Kalau toako pergi bersama Ma Totiang dan Khu Totiang, bukankah itu lebih baik lagi?" tanya Kwee Ceng.

"Aku menyesal, karena tabiatku suka menang sendiri, aku kena dipermainkan orang," menyahut Pek Thong. "Aku tidak mengerti bahwa aku sudah jadi bulan-¬bulanan. Memang, asal aku bicara dulu sama Ma Giok beramai, rahasia akan terbuka. Beberapa tahun selewatnya, di kalangan kangouw tersiar berita bahwa muridnya Oey Lao Shia dari Tho Hoa To, yaitu Hek Hong Siang Sat, telah mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng, bahwa mereka sudah meyakinkan beberapa macam ilmu silat yang luar biasa, bahkan dengan ilmunya itu mereka pergi ke segala tempat untuk melakukan kejahatan.

Mulanya aku tidak percaya, tetapi belakangan cerita itu semakin santer. Lewat satu tahun lagi, Khu Cie Kee datang padaku, dia memberitahukan bahwa ia telah mendapat kepastian benar Kiu Im Cin-keng sudah didapatkan murid-murid dari Tho Hoa To. Gusar aku mendengar warta itu. Aku kata dengan sengit, 'Oey Yok Su tidak pantas menjadi sahabat!' Khu Cie Kee heran, ia menanya apa sebabnya aku membilang begitu. Aku menjawab, 'Sebab dia pergi ke See Tok meminta pulang kitab itu, dia pergi diluar tahuku, dan setelah mendapatkan itu, dia tidak segera membayar pulang padaku. Sedikitnya ia harus memberitahukan dulu.'"

"Setelah Oey Tocu mendapat kitab itu, mungkin mulanya akan memberitahukan toako," berkata Kwee Ceng. "Hanya diluar dugaan, kitabnya dicuri muridnya yang jahat. Aku tahu betul, mengenai kejadian itu dia murka bukan main, hingga empat muridnya yang lain, yang tidak tahu apa-apa, dipotong kakinya dan diusir."

Ciu Pek Thong menggeleng kepala. "Kau sama jujurnya dengan aku," dia berkata. "Umpama kata kau yang mengalami kejadian seperti itu, kau pasti tidak menginsyafi bahwa orang telah menipumu. Ketika itu Khu Cie Kee, selain membicarakan urusan itu, juga meminta pengajaran beberapa ilmu silat padaku. Setelah beberapa hari, ia berangkat pergi. Sesudah lewat dua bulan, ia datang padaku. Kali ini ia membawa kabar kepastian bahwa Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong benar dapat ilmu kepandaian dari buku yang dicuri dari gurunya. Dengan menempuh bahaya, Khu Cie Kee mengintai Hek Hong Siang Sat dan mendengar pembicaraan mereka. Nyatanya Oey Lao Shia mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng itu bukan merampas dari tangan See Tok tapi mencurinya dari tanganku sendiri…."

Kwee Ceng heran. "Toh terang-terangan toako telah bakar habis?" katanya. "Mungkinkah nyonya Oey telah menukarnya dan toako diberikan kitab yang palsu?"

"Tidak!" sahut Pek Thong. "Di dalam hal itu aku telah berjaga-jaga. Selagi istrinya Oey Lao Shia membaca, tidak pernah aku memisahkan diri darinya. Dia tidak mengerti ilmu silat, umpama kata dia sangat gesit, dia tidak bakal lolos dari mataku. Bukankah kita yang pandai menggunakan senjata rahasia mempunyai mata yang sangat awas? Dia bukannya menukar kitab hanya dia menggunakan kecerdasan dan kekuatan otaknya untuk menghapal bunyi kitab di luar kepalanya!"

Kwee Ceng heran hingga ia menanya menegaskan.

"Adikku, jikalau kau membaca sesuatu, berapa kali kau membacanya untuk kau dapat membaca pula di luar kepala?" Pek Thong tanya, sabar.

"Yang gampang cukup dengan dua atau tigapuluh ulangan bacaan," menjawab si adik angkat. "Yang sukar membutuhkan pembacaan dari enam sampai tujuhpuluh kali, mungkin delapan atau sembilanpuluh kali."

"Kau benar, karena kau memang tidak terlalu berotak terang," berkata kakak angkat itu.

"Memang adikmu bebal sekali, toako. Baik dalam hal membaca buku baik pun dalam hal belajar ilmu silat, kemajuanku sangat lambat."

Pek Thong menghela napas. "Tentang membaca buku kau tidak mengerti banyak," katanya. "Mari kita bicara hal ilmu silat. Kalau gurumu mengajarkan kau suatu rupa ilmu silat, bukankah itu memerlukan pengajaran berulang-ulang beberapa puluh kali baru kau mengerti?"




Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. "Benar," sahutnya.

"Akan tetapi di dalam dunia ini ada orang yang asal melihat orang berlatih dalam sesaat saja dapat ia menintainya."

"Itu benar. Umpama putrinya Oey Tocu, Ang Insu mengajari dia cukup dua kali, tidak pernah sampai tiga kali."

"Nona itu demikian cerdas otaknya, mungkin dia akan berumur pendek seperti ibunya," kata Pek Thong perlahan. "Ketika hari itu Nyonya Oey meminjam kitab, ia cuma membacanya dua kali, toh ia tidak melupakan satu hurufpun. Rupanya setelah berpisah dariku, segera ia mengambil pit dan kertas untuk mencatatnya, setelah itu ia memberikan kepada suaminya…."

Kwee Ceng heran hingga ia terperanjat. "Nyonya Oey tidak mengerti tentang kitab itu, cara bagaimana dia sanggup menghapalkannya?" katanya. "Kenapa di kolong langit ini ada orang yang demikian terang otaknya?"

"Aku rasa sahabatmu yang cilik itu, yaitu Nona Oey pun dapat berbuat demikian," mengatakan Ciu Pek Thong. "Setelah mendapat keterangan Khu Cie Kee itu, aku lantas memanggil berkumpul tujuh murid Coan Cin Pay, untuk mendamaikan urusan, guna bisa memaksa Hek Hong Siang Sat mengembalikan kitab itu. Khu Cie Kee mengusulkan untuk aku jangan turut turun tangan. Dia kata biarnya Hek Hong Siang Sat lihay, tidak nanti mereka itu dapat mereka melawan mereka bertujuh. Katanya kalau aku turun tangan sendiri, aku ditertawakan kaum kangouw. Bukankah aku dari tingkat lebih tinggi dan mereka itu lebih rendah? Aku setuju. Lantas aku menyuruh Cie Kee berdua Cie It yang mencari Hek Hong Siang Sat dan lima lainnya mengawasi saja, supaya mereka itu tidak dapat meloloskan diri. Ketika Khu Cie Kee sampai di Hoolam, Hek Hong Siang Sat telah lenyap. Kemudian didapat keterangan Hek Hong Siang Sat sudah kabur sebab mereka dikepung Liok Seng Hong, satu murid lainnya dari Oey Lao Shia. Untuk itu Seng Hong mengumpulkan banyak kawan jago-jago dari Tionggoan. Tidak urung, mereka itu bisa lolos dan lenyap.

Kwee Ceng mengangguk. Ia berkata: "Pantas kalau Liok Chungcu membenci Hek Hong Saiang Sat. Dia diusir gurunya tanpa bersalah, cuma disebabkan Hek Hong Siang Sat yang bersalah, yang sudah mencuri kitab."

"Aku tidak dapat mencari Hek Hong Siang Sat, sudah tentu aku mencari Oey Lao Shia. Oleh karena aku khawatir nanti terhilang pula, aku bawa-bawa Kiu Im Cie-keng bagian atas itu. Setibanya di Tho Hoa To, aku tegur Oey Lao Shia. Dia kata padaku, 'Pek Thong, aku Oey Yok Su, jikalau aku kata satu, tentu satu. Aku telah bilang tidak akan melihat kitabmu, aku pegang perkataanku! Kapan aku melihat kitabmu itu? Kiu Im Cie-keng yang aku baca ialah yang dicatat oleh istriku, hal itu tidak ada sangkutannya dengan kau!' Aku tidak mau mengerti, maka itu kita jadi berselisih. Lantas aku minta dia kasih aku bertemu sama istrinya. Atas itu aku melihat ia meringis, romannya berduka, lantas ia ajak aku ke ruang dalam.

Di sana aku terkejut apa yang aku lihat, Istrinya sudah meninggal dunia, di situ terlihat cuma meja abunya beserta sincienya. Aku ingin memberi hormat pada arwah Nyonya Oey itu, tetapi Oey Lao Shia berkata padaku dengan dingin: 'Loo Boan Tong, tidak usah kau berpura-pura! Coba kau tidak mengoceh tentang kitab tulen dan yang palsu, tidak nanti istriku meninggalkan aku!' Aku jadi heran. 'Apa katamu?' aku tanya. Dia tidak menjawab, dia mengawasi aku dengan murka. Kemudian mendadak saja air matanya mengalir. Lewat sesaat baru ia suka menerangkan tentang meninggalnya istrinya itu."

"Apakah sebabnya itu, toako?"

"Istrinya Oey Lao Shia itu seorang yang otaknya terang luar biasa, untuk suaminya ia sudah mengingat baik-baik bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang ia pinjam lihat dari aku hanya dua kali membaca. Oey Yok Su baru mendapatkan bagian bawah, ingin juga ia mendapatkan bagian atasnya, sesudah berhasil mendapatkan itu baru ia hendak meyakinkannya sekalian. Apa mau dikata kitabnya dicuri Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya itu. Untuk menghibur suaminya, Nyonya Oey hendak membuat catatan yang baru. Ia sebenarnya tidak mengerti maksudnya kitab, sukar ia mengingat-¬ingat lagi karena waktunya telah berselang lama. Kebetulan waktu itu, istrinya lagi mengandung delapan bulan. Nyonya Oey berpikir keras, mengingat-ingat, selama beberapa malam ia dapat mencatat pula tujuh sampai delapan ribu huruf tetapi semua itu tidak tepat hubungannya satu dengan lain. Oleh karena ia terlalu memeras otak, ia menjadi lelah, akhirnya melahirkan belum waktunya.

Bayinya itu anak perempuan. Oey Yok Su pandai sekali tetapi tidak dapat merebut jiwa istrinya yang ia sangat cintai. Memang ia bertabiat aneh dan suka menimpakan kesalahan kepada orang lain. Demikian kali ini, saking sedih, pikirannya seperti terganggu. Terhadap aku, ia mengoceh tidak karuan. Aku tahu tabiatnya itu, aku mengerti kedukaannya, aku tidak sudi melayani dia. Aku pun berkasihan padanya. Sambil tertawa aku berkata padanya, 'Kau gemar silat, bagimana kau dapat menyintai istrimu sampai begini, apakah kau tidak khawatir, orang nanti ketawakan kau?' Atas itu, dia menjawab,' Kau tidak tahu, istriku ini lain daripada istri orang kebanyakan.' Aku kata pula, 'Kau telah kehilangan istrimu, inilah waktunya untuk kau meyakinkan ilmu silatmu. Coba kau jadi aku jadi kau, inilah ketika baik yang aku harap sekali.'”

Kwee Ceng terperanjat. "Ah, mengapa kau mengatakan demikian?" katanya.

Matanya Pek Thong membelalak. "Apa yang aku pikir, apa yang aku kata!" ia kata dengan keras. "Kenapa aku tidak boleh mengatakan sesuatu? Karena itu, Oey Lao Shia menjadi sangat gusar. Dengan mendadak ia menyerangku. Kita lantas berkelahi. Karena perkelahian itu, kesudahannya aku mesti duduk bercokol di sini selama limabelas tahun…"

"Jadinya toako kalah?" Kwee Ceng menegaskan.

Ciu Pek Thong tertawa. "Jikalau aku menang, tidak nanti aku berada di sini," sahutnya. "Dia telah menghajar patah kedua kakiku, dia memaksa aku mengeluarkan Kiu Im Cin-keng bagian atasnya, katanya untuk dibakar buat menyembahyangi arwah istrinya. Aku tidak serahkan kitab itu, yang aku simpan di dalam gua ini, aku sendiri menjaga di depan. Aku telah berkeputusan, asal ia memaksa, hendak aku meludaskan kitab itu. Atas sikapku itu, Oey Yok Su bilang bahwa akhirnya mesti ada jalan untuk dia mendapatkannya, ialah dengan membikin aku meninggalkan gua ini. 'Marilah kita coba!' aku menantang. Demikian sudah terjadi, aku berdiam saja di dalam gua ini, aku mensia-siakan waktu limabelas tahun. Dia tidak berani membikin aku kelaparan, dia telah mempergunakan pelbagai macam tipu daya, akan tetapi tetap dia tidak berhasil. Aku tidak kena dipaksa atau dibujuk. Hanya tadi malam hampir aku runtuh juga, syukur kau datang menolong. Baiknya ada hantu atau malaikat yang bawa kau padaku, jikalau tidak tentulah kitab itu sudah terjatuh ke tangan Oey Lao Shia."

Kwee Ceng berpikir banyak mendengar keterangan Pek Thong itu. "Toako, habis bagaimana selanjutnya?" ia menanya.

Pek Thong tertawa. "Hendak aku melewatkan waktu bersama-sama Oey Lao Shia, untuk membuktikan, dia yang terlebih panjang umur atau aku yang hidup terlebih lama!" sahutnya.

Kwee Ceng merasa itu bukanlah daya sempurna, hanya ia sendiri masih belum bisa memikir sesuatu.

"Kenapa Ma Totiang dan lainnya tidak datang menolong toako?" tanyanya kemudian.

"Kebanyakan mereka tidak tahu aku berada di sini," menyahut Pek Thong. "Umpama kata mereka tahu, mereka tidak dapat masuk ke mari, kecuali Oey Lao Shia sengaja memberikan waktunya."

Kwee Ceng berdiam, ia berpikir lagi. Tentang Ciu Pek Thong ia telah memperoleh kepastian, usia dia tinggi tetapi sifatnya gembira, seperti anak-anak yang doyan bergurau, omongannya pun polos dan langsung, tidak licik. Ia merasa suka terhadap orang tua ini, yang sebaliknya pun menyukai lainnya. Tidak lama, matahari merah sudah naik tinggi, si bujang tua datang pula dengan barang makanan.

Habis bersantap, mereka berada berduaan saja, Pek Thong berkata kepada Kwee Ceng: "Limabelas tahun lamanya aku melewatkan waktuku di Tho Hoa To ini, selama itu aku tidak mensia-siakannya. Di sini aku tidak pernah mengangkat kaki setengah tindak sekalipun, hatiku pun tidak terganggu, dengan begitu aku berhasil dengan peryakinanku. Cobalah di tempat lain, sedikitnya aku membutuhkan tempo duapuluh lima tahun. Aku merasa bahwa aku telah memperoleh kemajuan, sayangnya aku tidak punya kawan untuk berlatih bersama-sama, karenanya terpaksa aku memakai kedua tanganku saja."

Kwee Ceng heran. "Bagaimana bisa, tangan kanan bertempur dengan tangan kiri?" dia menanya.

"Untuk itu aku main perumpamaan," menerangkan Pek Thong. "Tangan kananku aku umpamakan Oey Lao Shia, tangan kiriku adalah aku sendiri. Kapan tangan kanan memukul, tangan kiri menangkis, tangan kiri itu terus membalas menyerang. Demikian kedua tangan itu bertarung."

Sembari berbicara, Pek Thong menggerakkan kedua tangannya itu, seperti dua orang lagi berkelahi. Ia memberikan contoh.

Kwee Ceng heran, hingga ia merasa lucu. Tapi berselang beberapa jurus, ia menjadi kagum. Ia mendapat kenyataan, benarlah kedua tangan itu luar biasa gerak-geriknya. Kalau lain orang menggunakan kedua tangan, untuk menyerang membela diri, Pek Thong ini menggunakan satu tangan saja. Inilah langka.

Anak muda itu terus mengawasi, sampai ia menanya; "Toako, barusan kau menggunakan jurus Di Bawah Pohon Membereskan Pakaian, kau menggerakkan tangan kananmu, kenapa tidak kaki?"

Pek Thong berhenti, ia tertawa. "Benar matamu tajam," katanya. "Mari, mari kau coba!" Ia melonjorkan tangan kanannya. Kwee Ceng mengulur tangannya, untuk menandingi.

"Hati-hati!" pesan si orang tua. "Aku hendak menolak kau ke kiri…"

Selagi ia berkata, Pek Thong sudah mengerahkan tenaganya. Ia benar menggunakan jurusnya itu. Kwee Ceng sudah siap sedia, ia melawan dengan Hang Liong Sip-pat Ciang. Kesudahannya ia terpukul mundur tujuh atau delapan tindak, tangannya lemas dan sakit.

"Barusan aku meminjam tenaga di kakiku, kau cuma terdorong," kata Pek Thong pula. "Sekarang mari kita coba pula, aku tidak akan pinjam tenaga di kaki."

Kwee Ceng menurut, ia keluarkan pula tangannya. Ia lantas merasa seperti tertolak dan ketarik, akan akhirnya, runtuh kuda-kudanya, lantas ia jatuh ngusruk ke depan, kepalanya membentur tanah. Ketika ia merayap bangun, ia berdiri bengong saking herannya.

"Mengerti kau sekarang?" Pek Thong tertawa.

"Tidak," menyahut si anak muda, menggeleng kepala.

"Ilmu ini aku dapatkan selama sepuluh tahun aku berdiam di dalam gua ini," Pek Thong menerangkan. "Aku pun mendapatkannya secara tiba-tiba. Semasa hidunya suko, ia pernah omong halnya menyerang menggertak manjadi benar-benaran. Dulu aku tidak menginsyafinya, aku tidak perhatikan, hanya kemudian baru aku memahami itu. Tadinya aku belum mempercayai penuh, sebab aku cuma dapat berlatih, belum pernah mencobanya. Sekarang barulah aku menguji terhadapmu. Adik, mari kita mencoba pula. Kau jangan takut, beberapa kali laku aku akan membuatmu roboh!"

Kwee Ceng bersangsi. Orang tua ini melihat adik angkat ini ragu-ragu, ia lalu meminta. Katanya: "Adikku, aku menggemari ilmu silat melebihi jiwaku, selama limabelas tahun, aku mengharap-harapkan ada orang yang bisa main-main denganku, buat beberapa jurus saja. Beberapa bulan yang lalu putrinya Oey Lao Shia ke mari, ia omong banyak, bisa menghiburku, hanya selagi aku ingin memancing ia untuk diuji, dilain harinya ia tidak dating lagi. Adikku yang baik, tidak nanti aku merobohkan keras-keras padamu…."

Kwee Ceng mengawasi, ia melihat kedua tangan orang digerak-gerakkan, seperti sudah sangat gatal.

"Baik," sahutnya kemudian. "Roboh beberapa kali tidak berarti apa-apa." Ia pun lantas melonjorkan tangannya.

Mereka lantas bentrok. Selang beberapa jurus, terasa tangannya Pek Thong dikerahkan. Tidak ampun lagi, Kwee Ceng terguling tapi belum ia roboh, ia disampok dengan tangan kiri, hingga ia berjumpalitan. Karena ini, ketika ia jatuh, merasakan sakit.

Kelihatannya Pek Thong menyesal tetapi ia lantas berkata: "Adikku yang baik, tidak percuma aku membuatnya kau roboh. Nanti aku memberi penjelasan kepadamu tentang jurus ini."

Kwee Ceng menahan sakit, ia merayap bangun. Ia dekati kakak angkatnya itu.

Pek Thong mengangkat mangkok nasinya. "Mangkok ini asalnya terbuat dari lumpur, karena tengahnya dikosongi, dapatlah dipakai mengisi nasi. Coba semuanya terisi, apakah ada gunanya?"

Kwee Ceng mengangguk, hatinya berpikir; "Ini sangat sederhana, tapi sebenarnya tadi-tadinya belum pernah aku memikirkannya."

"Demikian juga rumah," kata Pek Thong. "Karena di dalamnya kosong dan ada pintu jendelanya, rumah itu dapat ditinggali. Kalau rumah itu terisi dan tanpa pintu jendela, apa jadinya?"

Kwee Ceng mengangguk.

"Demikian pula ilmu silat Coan Cin Pay. Ilmu ini berpokok pada kosong dan lemas. Kosong dapat diisi dan lemas dapat dibikin keras."

Kwee Ceng berpikir, ia masih belum mengerti jelas.

"Ang Cit Kong itu ahli Gwa-kee, ilmu luar, dia sudah sampai di puncak kemahiran, maka itu, meski aku mengerti ilmu silat Coan Cin Pay, mungkin aku bukan tandingannya. Tapi ilmu luar itu ada batasnya, tidak demikian dengan Coan Cin Pay. Buktinya ketika kakak seperguruanku memperoleh gelar orang gagah nomor satu, ia bukannya mendapatkan itu karena beruntung, tidak, itulah karena kepandaiannya. Coba ia masih hidup sekarang, setelah peryakinan lebih jauh belasan tahun, apabila dia diadu pula, tidak nanti dia memakai tempo sampai tujuh hari tujuh malam. Aku percaya, dalam tempo satu hari saja, dapat ia merobohkan semua lawannya."

"Sayang adikmu tidak mempunyai rejeki untuk menemui Ong Cinjin," berkata Kwee Ceng, "Ang Insu dengan Hang Liong Sip-pat Ciang menjadi jagonya golongan ilmu luar, dan toako barusan, dengan ilmu silatmu yang manjatuhkan aku itu, menjadi jago golongan lemas…."

Pek Thong tertawa. "Benar, benar!" katanya. "Memang lemas bisa mengalahkan keras, hanya kalau Hang Liong Sip-pat Ciang kau adalah semahir Ang Cit Kong, tidak dapat aku merobohkan kau. Semua itu tergantung sama dalam dan ceteknya peryakinan. Sekarang kau perhatikanlah."

Pek Thong lantas memberikan penjelasan, berikit gerak-gerik tangannya. Karena ia tahu orang lambat mengerti, ia berlaku sabar dan perlahan. Kwee Ceng mesti belajar sambil mencoba, selang beberapa puluh kali, barulah ia mulai mengerti.

"Kalau kau sudah tidak sakit lagi, mari aku mencoba merobohkan pula padamu!" kata Pek Thong kemudian.

Kwee Ceng tertawa, "Sakitnya sih tidak, malah pengajaran barusan belum aku mengerti semua," sahutnya. Ia lantas mengingat-ingat.

Pek Thong benar seperti bocah, ia mendesak. "Mari, marilah!" bilangnya. Tapi ini justru menyebabkan Kwee Ceng mesti berpikir lebih keras lagi.

Sampai sekian lama, baru si anak muda mengerti. Maka ia lantas melayani pula kakak angkatnya itu. Lacur untuknya, walaupun ia sudah bersedia, kembali ia kena dirobohkan!

Demikian seterusnya, siang dan malam, mereka berlatih. Kwee Ceng menderita, tubuhnya jadi bengkak di sana-sini dan matang biru. Ia bukannya roboh terbanting puluhan, bahkan ratusan kali. Tapi tubuhnya kuat, ia pun bisa menahan sakit. Untungnya, kepadanya telah diwariskan kepandaiannya itu kakak angkat. Itulah ilmu silat "Kong-beng-kun" atau "Kepalan Kosong", yang terdiri dari tujuhpuluh dua jurus, yang diciptakan sesudah limabelas tahun dalam kurungan…………………….

Entah sudah lewat berapa hari, maka pada suatu tengah hari bersantap, Ciu Pek Thong berkata pada adik angkatnya: "Adik, kau telah berhasil mewarisi ilmu silat Kong-beng-kun, selanjutnya aku tidak bakal mampu merobohkan kau lagi. Karena itu kita harus menukar caranya bermain-main."

Kwee Ceng gembira, dia tertawa. "Bagus, toako. Apakah caramu itu?"

"Sekarang kita bermain seperti empat orang lagi berkelahi…"

"Apa, empat orang?"

"Benar, empat orang," sang kakak memberi kepastian. "Diumpamakan tangan kiriku satu orang dan tangan kananku satu orang. Demikian juga sepasang tanganmu, diandaikan dua orang. Kita empat orang masing-masing tidak saling membantu, kita berkelahi dalam empat rombongan. Pasti akan menarik hati!"

Kwee Ceng gembira, ia tertawa pula. "Cuma sayang tidak dapat aku membagi tanganku," katanya.

"Nanti aku ajari. Sekarang kita umpamakan bertiga dulu."

Pek Thong mulai menyerang. Ia dapat memecah diri menjadi seperti dua orang. Kwee Ceng melayani seorang diri. Di saat si adik angkat terdesak. Pek Thong menggunakan tangan lainnya membantu. Ia dapat memisah tangan kiri dari tangan kanan.

Setelah merasa cukup lama, keduanya berhenti. Kwee Ceng senang dengan permainan ini. Mendadak ia ingat Oey Yong. Coba Yong-jie ada bersama, bukankah mereka bertiga bisa berkelahi seperti enam orang? Ia pun percaya Oey Yong senang dengan permainan ini.

Pek Thong bersemangat sekali, setelah Kwee Ceng beristirahat cukup, ia mengajak mulai lagi. Ia pun senang si anak muda dapat melayani. Ia kata: "Kalau kau belum menyakinkan ilmu Coan Cin Pay, kau tidak dapat mengendalikan diri seperti ini. Sekarang dapat kau menggunakan tangan kiri dengan Lam-san-ciang dan tangan kanan Wat-lie-kiam."

Dengan Lam-san-ciang itu dimaksudkan pelajaran yang didapat dari Lam Hie Jin, dan Wat-lie-kiam dari Han Siauw Eng.

Pek Thong saban-saban memberi keterangan, maka selang beberapa hari lagi, benar-benar Kwee Ceng sudah dapat memisahkan kedua tangannya masing-masing, maka selanjutnya bisalah mereka berdua bertempur seperti berempat.

"Sekarang mari kita coba," kataPek Thong kemudian. "Tangan kananmu dan tangan kiriku menjadi satu kawan, dan tangan kananku dan tangan kirimu menjadi kawan yang lain, kita saling melawan."







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar