Selasa, 17 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 066

Kwee Ceng tuturkan halnya ia sudah membinasakan Tan Hian Hong di Kwie-in-chung bertempur sama Bwee Tiauw Hong, bagaimana Oey Yok Su hendak mencelakai Kanglam Liok Koay, maka itu ia berjanji dalam tempo satu bulan datang ke pulau ini untuk terima binasa.

Loo Boan Tong paling gemar mendengar orang bercerita, demikian kali ini, ia memasang kuping sambil merem melek, asal si adik angkat berlambat, lantas ia memotong dengan pertanyaan.

"Kemudian bagaimana?" tanya dia akhirnya.

"Kemudian sekarang ini, adikmu berada disini," Kwee Ceng menjawab.

Pek Thong lantas berdiam, agaknya ia berpikir. "Kiranya budak cantik itu baik denganmu," katanya. "Kenapa sepulangnya ini dia menghilang? Mesti ada sebabnya, mungkin dia kena dikurung oleh Oey Lao Shia…"

"Teecu pun menduga demikian," kata Kwee Ceng masgul.

"Apa kau bilang?" tanya Pek Thong, mukanya merah.

Kwee Ceng tahu, ia salah menggunakan bahasa "teecu" ia lekas menyahut: "Adikmu kesalahan, harap toako jangan berkecil hati."

Pek Thong tertawa. Ia berkata: "Perkara panggilan jangan kau bikin susah! Umpama kata kau lagi main sandiwara, kau memanggil ibu padaku boleh saja, nona juga boleh!"

"Baik, baik, toako," sahut adik angkat itu.

Pek Thong mengangguk. "Coba kau terka, kenapa aku berada di sini?" tanyanya kemudian.

"Justru adikmu hendak menanyakan itu," sahut Kwee Ceng.

"Ceritanya panjang, nanti aku menutur perlahan-¬lahan," menyahut si kakak jenaka ini. “Kau toh ketahui hal ikhwalnya dulu hari itu Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di puncah gunung Hoa San?"

Kwee Ceng mengangguk. "Pernah adikmu mendengar itu," sahutnya.

"Ketika itu akhirnya musim dingin, di gunung Hoa San itu salju seperti membungkus puncak," sang kakak bercerita. "Mereka berlima itu mulut berunding, tangan mengadu pedang, lamanya tujuh hari tujuh malam. Akhirnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay berempat mengakui kakak seperguruanku itu, Ong Tiong Yang sebagai orang gagah nomor satu di kolong langit ini. Taukah kamu mengapa mereka membuat pertemuan di Hoa San itu?"

"Tentang itu adikmu belum pernah mendengarnya."

"Itulah buat gunanya sebuah kitab…."

"Kitab Kiu Im Cin-keng!" Kwee Ceng memotong.

"Benar! Adikku, kau muda tetapi sudah banyak pendengaranmu! Untuk kaum persilatan, Kiu Im Cin¬keng adalah kitab luar biasa yang nomor satu. Menurut penuturan, kitab itu dikumpul dan ditulis oleh Tat Mo Couwsu setelah ia datang ke negeri kita ini dan sesudah ia bertanding mengadu kepandaian sama ahli-ahli silat kita, diwaktu mana, mereka menang dan kalah bergantian, lantas ia duduk bersemadhi menghadapi tembok selama sembilan tahun. Setahu mana, suatu tahun, kitab itu muncul di luaran, maka itu, timbulah perebutan di antara ahli-ahli silat. Tidak seorang pun yang tidak menghendakinya. Kakak seperguruanku bilang, karena perebutan itu, tidak sedikit ahli silat yang roboh sebagai korban, lebih daripada seratus orang. Umpama kata seorang mendapat itu, lantas ia menyakinkannya, belum satu tahun, lain orang mengetahuinya, lain orang itu merampasnya. Perampasan itu terjadi berulangkali. Maka siapa yang mendapatkan kitab itu, dia terpaksa menyembunyikan diri. Karena itu juga, orang pun menggunakan banyak akal muslihat…"

Kwee Ceng menghela napas. "Kalau begitu, kitab itu adalah kitab celaka di dunia ini," katanya. "Kalau Tan Hian Hong tidak mendapatkan itu, tentulah ia bisa hidup bahagia dengan Bwee Tiauw Hong di desa di mana mereka mengumpatkan diri dan Oey Tocu tidak nanti menghendakinya…."

"Tetapi ilmu silat tidak boleh tidak dipelajari!" sambung si kakak angkat.

Kwee Ceng menyahutinya, hanya di dalam hatinya ia mengatakan: "Kalau begitu ini kakak tua sudah kegilaan ilmu silat. Sebenarnya belum pernah aku mendengar lain orang yang seperti dia gilanya…."

"Eh, tadi aku bercerita sampai di mana?" Pek Thong tanya, rupanya ia lupa.

"Sampai di bagian orang-orang kosen di kolong langit ini hendak merampas kitab Kiu Im Cin-keng itu."

"Benar, urusan lantas jadi makin hebat. Bahkan kauwcu dari Coan Cin Kauw, tuan dari Tho Hoa To, Ang Pangcu dari Kay Pang dan lainnya, ikut campur tangan. Berlima mereka merundingkan ilmu silat dengan perjanjian, siapa yang paling lihay, dialah yang mendapatkan kitab itu.

"Akhirnya kitab itu terjatuh ke tangan kakak seperguruanmu," kata Kwee Ceng.

"Memang!" jawab Ciu Pek Thong dengan sangat gembira. "Persahabatanku dengan Ong Suko memang erat sekali, sebelum ia menjadi imam, kita memang sudah bergaul rapat. Belakangan ia ajarkan aku ilmu silat. Dia mengatakan aku belajar ilmu silat. Berlebihan dan kukuh sekali, hingga jadi seperti tolol, katanya itulah bukan syaratnya kaum imam. Karena itu, aku tidak menjadi murid Coan Cin Kauw. Di antara dia, katanya sebab terlalu mengutamakan ilmu silat, jadi mengabaikan agama. Kalau belajar silat orang mesti sungguh-sungguh, belajar ilmu To Kauw mestilah hati orang tawar. Jadi kedua ilmu itu bertentangan satu dengan lainnya. Ma Giok yang mewariskan pelajaran agamanya suheng dan Khu Cie Kee yang ilmu silatnya sempurna."

"Jikalau demikian adanya, kenapa Ong Cinjin dapat menjadi orang suci sejati berbareng lihay juga ilmu silatnya?" tanya Kwee Ceng tidak mengerti.

"Itu disebabkan pada dasarnya suko memang berbakat baik dan ia gampang mempelajari segala macam ilmu. Dia bukanlah seperti kita yang memerlukan latihan mendalam. Eh ya, tadi ceritaku sampai dimana? Kenapa kau memegatnya?"

"Sampai di bagian sukomu mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng."

"Benar! Setelah mendapatkan kitab itu tidak memahami apa bunyinya, dia hanya menyimpan buku itu di dalam kotak yang tindihkan batu di bekalang kuil. Aku heran sekali, aku telah menanyakan sebab dari perbuatannya. Suka tidak mau memberikan keterangannya, ia jawab aku dengan tersenyum saja. Ketika aku mendesak, dia menyuruhku menerka sendiri. Sekarang cobalah kau yang menerka, apakah sebabnya itu?"

"Tentu disebabkan ia khawatir kitab itu ada yang mencuri?" menerka Kwee Ceng.

"Bukan, bukan," Pek Thong menggelengkan kepalanya berulang-ulang. "Siapakah yang berani mencuri barangnya Coan Cin Kauw? Siapa berani berbuat begitu, tandanya dia sudah bosan hidup!"

Kwee Ceng perpikir pula, lalu ia lompat berjingkrak. "Benar memang pantaslah kitab itu disimpan di bawah batu!" katanya. "Sebetulnya. lebih baik lagi kalau dibakar habis saja…"

Pek Thong heran, ia menatap adik angkatnya itu. "Memang suko pun pernah mengatakan demikian," katanya. "Hanya tidak ia dapat melakukan itu, beberapa kali mencoba, selalu gagal karena kesangsiannya. Ah, adikku, kau nampaknya tolol, mengapa kau dapat membadenya?"




Merah muka Kwee Ceng. "Aku pikir, sukomu itu sudah lihay, walaupun ia belajar lebih jauh, dia tetap nomor satu," menyahut Kwee Ceng. "Aku pikir pula, dia tentunya pergi ke Hoa San bukan untuk mendapatkan nama jago nomor satu, hanya semata-mata untuk mendapatkan kitab itu, dan dia mendapatkan bukan untuk belajar lebih jauh, hanya untuk menolong orang-orang gagah di kolong langit supaya mereka tak usah terus-menerus saling membunuh."

Pek Thong dongak mengawasi langit, ia berdiam. Menampak demikian, tak tenang hati Kwee Ceng, ia khawatir nanti salah bicara dan menyinggung kakak yang aneh tabiatnya itu.

Pek Thong menghela napas. "Mengapa kau dapat memikir demikian?" tanyanya kemudian.

Adik angkat itu menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak tahu," jawabnya. "Aku hanya memikir, setelah kitab itu mencelakai banyak orang, walaupun benar-benar mustika adanya sudah seharusnya dimusnahkan saja."

"Kau benar, alasanmu pun sederhana sekali," bilang Pek Thong, "Cumalah aku waktu itu tidak dapat memikirkannya. Dulu suko pernah bilang bahwa aku berbakat baik dan ulet, tetapi aku terlalu kukuh. Disebelah itu katanya aku kekurangan sifat welas asih, kurang kedermawaan, maka itu, bagaimana pun aku rajin, aku tidak bakal menyampaikan puncak kemahiran. Ketika itu aku tidak percaya suko, aku pikir apa sangkutannya pelajaran silat sama sifat prikemanusiaan? Hanya sekarang, adikku, setelah berselang belasan tahun, barulah aku mempercayainya. Adikku, dalam ilmu silat kau kalah dengan aku, tetapi dalam hal kejujuran, hati lapang, kau menang, maka itu dibelakang hari, kau akan memperoleh hasil sepuluh lipat lebih banyak! Sayang suko sudah menutup mata, kalau tidak, pelajaran suko semua bisa diwariskan kepadamu. Suko, oh, suko, kau benar…."

Mengingat kebaikan kakak seperguruannya itu, tiba-¬tiba Pek Thong menangis sedih sekali. Ia mendekam di batu.

Kwee Ceng menjadi terharu.

Setelah menangis serintasan, Pek Thong angkat kepalanya. "Ah, ceritaku belum berakhir," katanya. "Nanti habis bercerita, aku boleh menangis lagi. Ya, kita sudah bercerita sampai di mana? Kenapa kau tidak membujukku supaya aku jangan menangis?"

Aneh benar kakak angkat ini, Kwee Ceng tertawa. "Koko bercerita sampai Ong Cinjin menyembunyikan kitab di bawah batu," katanya.

Pek Thong menepuk pahanya. "Benar!" ia berseru. "Setelah ia menaruh kitab di bawah batu, aku minta suko memperlihatkan kitab itu padaku. Kau tahu, suko marah terhadapku! Maka semenjak itu, aku tidak menyebut-nyebutnya lagi. Benar saja, setelah itu dunia Rimba Persilatan menjadi tenang tentram. Adalah kemudian, setelah suko menutup mata, lebih benar disaat ia hendak meninggal dunia, telah timbul pula gelombang.”

Keras suaranya Pek Thong ketika ia mengucapkan kata-katanya itu, Kwee Ceng menjadi ketarik hatinya, karena ia percaya gelombang itu pastilah bukan gelombang kecil. Ia lantas memasang kuping.

"Suko tahu saatnya sudah tiba, sesudah lantas mengurus segalanya mengenai partai dan meninggalkan pesan, ia suruh aku mengambil kitab Kiu Im Cin-keng itu," Pek thong melanjutkan ceritanya. "Ia pun menitahkan menyalakan api di perapian, ia niat membakar itu. Selagi menantikan api marong, ia pegangi kitab itu, mengusap-usapnya, sembari menghela napas panjang, ia berkata, 'Inilah hasil cape hatinya cianpwee, mana dapat kitab ini musnah di tanganku? Air itu dapat menampung perahu tetapi dapat juga mengaramkannya, maka itu haruslah dilihat, bagaimana orang-orang di jaman belakangan dapat mempergunakan kitab ini. Cuma orang-orang partai kita, siapa pun tidak dapat menyakinkan ilmu ini, supaya jangan sampai orang luar mengatakan aku merampas kitab ini sebab aku sekaker'. Habis berkata begitu, suko menutup mata. Malam itu jenazahnya ditunda di dalam kuil. Belum sampai jam tiga, terjadilah onar…."

Kwee Ceng terkejut hingga ia berseru: "Oh…!"

"Malam itu aku berada bersama-sama tujuh murid Coan Cin Pay menemani jenazah," Pek Thong melanjutkan. "Tepat tengah malam, musuh datang menyerbu. Semua orang-orang lihay. Ketujuh murid itu memecah diri menyambut serangan. Untuk mencegah musuh bisa merusak jenazah gurunya, semua memancing musuh keluar kuil. Aku sendiri yang menjaga jenazah suko, tiba-tiba aku mendengar bentakan dari luar kuil, menyuruh kita menyerahkan kitab. Musuh itu mengancam hendak membakar kuil. Aku melongok keluar, aku mengeluarkan peluh dingin. Aku melihat seseorang berdiri di atas pohon. Teranglah ia lihay daripada aku dalam hal meringankan tubuh. Walaupun demikian, terpaksa aku melawannya. Aku melompat keluar. Di atas pohon itu kita bertempur sampai kira-¬kira empatpuluh jurus. Musuh itu lebih muda beberapa tahun tetapi lihay dan telangas. Aku melawan keras dengan keras. Akhirnya pundakku kena dihajar, aku terjatuh dari atas pohon…."

Kwee Ceng heran. "Suko sudah begini lihay, aku masih tetap tidak sanggup melawan. Siapakah dia itu?"

"Cobalah kau terka, dia itu siapa?" Pek Thong membaliki.

Kwee Ceng berpikir sejenak. "See Tok!" sahutnya.

"Eh, mengapa kau mengetahuinya?" tanya sang kakak heran.

"Sebab adikmu berpikir, orang yang lebih lihay daripada toako adalah cuma mereka berlima yang mengadu pedang di Hoa San," menerangkan Kwee Ceng. "Guruku Ang Cit Kong orang terhormat, Toan Hongya adalah hongya, satu raja, mesti ia menghormati dirinya sendiri. Pemilik dari Tho Hoa To itu adikmu tidak kenal baik tetapi melihat romannya, dia bukan manusia rendah yang suka menyerang orang yang lagi dirundung malang!"

Baru Kwee Ceng menutup mulutnya, dari dalam pepohonan yang lebat terdengar suara bentakan: "Binatang cilik, kau masih mempunyai matamu!"

Hanya dengan sekali mencelat, Kwee Ceng sudah tiba di tempat darimana suara itu datang, akan tetapi orang itu lenyap dalam sekejap. Ia menjadi heran sekali.

"Adik, mari kembali!" Pek Thong memanggil. "Itu Oey Lao Shia, dia sudah pergi jauh!"

Kwee Ceng kembali kepada kakak angkatnya.

"Oey Lao Shia itu pandai ilmu gaib, maka itu tamannya ini diatur menurut barisan rahasia Pat Tin Touw dari Cu-kat Bu Houw," Pek Thong mengulangi.

"Cu-kat Bu Houw?"

"Benar," menyahut Pek Thong yang terus menghela napas. "Oey Lao Shia itu sangat cerdas, dia pandai main musik, main catur dan menulis surat indah dan menggambar, dia juga mengerti obat-obatan dan ilmu alam, tak terkecuali ilmu pertanian serta ilmu memeriksa keletakan tempat yang indah. Juga ia paham ilmu perusahaan dan ilmu perang. Pendeknya, tidak ada ilmu yang ia tidak paham, maka sayang sekali jalannya sesat. Kalau dia mondar-mandir di tamannya ini, lain orang tidak akan dapat menyusul atau mencarinya."

Kwee Ceng berdiam, ia kagum memikirkan kepandaian Oey Lao Shia. "Toako, bagaimana sehabisnya kau dirobohkan oleh See Tok?" ia tanya kemudian.

"Bagus!" Pek Thong berseru seraya menepuk pahanya. "Kali ini kau tidak lupa menyadarkan aku kepada ceritaku! Kena diserang See Tok, aku merasakan sakit hingga ke ulu hati, aku pun tak dapat bergerak, tetapi melihat ia menerobos ke dalam, aku paksakan mengejar. Di depan meja jenazah suko, dia sambar kitab Kiu Im Cin-keng. Aku bingung bukan main, sudah aku kalah, di situ pun tak ada lain orang. Justru itu mendadak aku mendengar satu suara keras, lantas terlihat tutup peti mati berlubang, hancuran kayunya berhamburan…"

Kwee Ceng kaget. "Apakah dia menghajar rusak peti mati Ong Cinjin?" dia menanya.

"Oh, tidak, tidak!" menyahuti Pek Thong lekas. "Adalah suko sendiri yang menhajar tutup petinya itu."

Kwee Ceng heran bukan main. Ia seperti mendengar dongeng dari kitab San Hay Keng. Ia mengawasi kakak angkatnya itu dengan mulut celengap.

"Apakah kau pikir?" sang kakak angkat tanya. "Apakah suko terbangun arwahnya? apakah dia hidup kembali? Bukan, semuanya itu bukan! Suko hanya pura-pura mati!"

Kwee Ceng berseru pula, "Pura-pura mati?" ia mengulangi.

"Benar! Beberapa hari sebelumnya suko menutup mata, ia sudah tahu See Tok senantiasa berkeliaran di luar kuilnya, menanti ia meninggal dunia, hendak merampas kitab Kiu Im Cin-keng. Makanya malam itu, suko berpura-pura mati. Dengan ilmu kepandaiannya, suko dapat menahan jalan napasnya. Kalau ia membuka rahasia pada semua muridnya, pasti mereka tidak akan sangat berduka. Bukankah See Tok sangat licin? Karenanya ia menutup rahasia. Habis menggempur tutup peti mati, suko meloncat keluar untuk terus menotok See Tok dengan totokannya It-yang-cie. See Tok kaget tidak terkira. Ia melihat tegas dari jendela suko telah menutup mata, sekarang suko bisa keluar dari peti mati. Dia memangnya jeri terhadap suko, sekarang ia kaget, tidak sempat ia membela diri. Maka ia terkena totokan It-yang-cie pada alisnya, dengan begitu pecahnya ilmu yang dinamakan 'Kap Moa Kang', atau Ilmu Kodok. Dia lari pulang ke Wilayah Barat, kabarnya tidak pernah datang lagi ke Tionggoan. Suko tertawa panjang, terus ia duduk bersemadhi di atas meja. Aku tahu, dengan menggunakan It-yang-cie, Telunjuk Matahari, suko telah menggunakan tenaga terlalu banyak, maka aku tidak mengganggu, aku hanya lari keluar untuk menyambut ketujuh muridnya, memukul mundur semua musuh. Ketika semua keponakanku mendapat tahu gurunya belum menutup mata, girangnya bukan kepalang, semua lantas lari pulang. Hanya ketika mereka jadi kaget sekali, semua mengeluh kecele…."

"Apakah yang sudah terjadi?" memotong Kwee Ceng heran.

"Tubuh suko rebah miring, wajahnya beda daripada biasanya," menyahut Pek Thong. "Aku lantas menghampiri dan meraba tubuhnya. Nyata tubuh itu dingin bagaikan es. Sekarang barulah suko berpulang ke alam baka. Kita lantas melaksanakan pesan suko, kitab dipecah menjadi dua, bagian atas dan bagian bawah. Suko ingin, kalau kitab sampai lenyap tercuri orang, tidaklah tercuri semuanya. Aku yang menyimpan bagian atas, lalu bagian bawah aku bawa ke sebuah gunung kesohor di selatan. Aku hendak menyembunyikan itu ketika di tengah jalan aku bertemu dengan Oey Lao Shia…."

"Oh!" berseru Kwee Ceng kaget.

"Oey Lao Shia itu aneh tabiatnya tetapi dengan aku dia berjodoh bertemu beberapa kali, dia tidak nanti kemaruk kitab seperti See Tok. Celakanya waktu itu dia tengah bersama pengantin barunya…"

"Tentulah dia itu ibunya Yong-jie," berpikir si anak muda. "Apa sangkutannya dia dengan kitab itu….?"

"Aku mendapatkan terang sekali cahaya mukanya Oey Lao Shia, maka untuk memberi selamat kepadanya sebagai mempelai, aku undang dia untuk berjamu. Aku pun menuturkan halnya suko pura-pura mati dan sudah menghajar Auwyang Hong. Mendengar ceritaku, istrinya Oey Lao Shia minta pinjam lihat kitab itu. Dia mengaku bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, dia mau melihat saking ingin tahu saja. Dia ingin melihat kitab yang sudah menyebabkan kebinasaan begitu banyak ahli silat kenamaan. Oey Lao Shia sangat menyintai istrinya, tak ingin ia menolak keinginan orang, ketika ia mendapatkan aku agaknya keberatan. Dia kata padaku, 'Pek Thong, istriku benar-benar tidak mengerti silat. Dia masih muda sekali, dia gemar melihat apa yang baru, maka itu kau kasihlah ia melihat-lihat. Ada apakah halangannya? Jikalau aku sendiri, melirik saja kitabmu itu, aku nanti korek biji mataku untuk diserahkan padamu!'

Oey Lao Shia adalah satu jago, pasti aku percaya padanya, tetapi kitab itu sangat penting, terpaksa aku menggoyangkan kepala terhadapnya. Dia menjadi tidak senang, dia kata, 'Mustahil aku tidak menginsyafi kesulitanmu? Kalau kau memberi lihat pada istriku, satu kali saja, nanti akan datang harinya aku membalas budi kamu pihak Coan Cin Pay! Jikalau kau tetap menampik, terserah padamu! Siapa suruh kita bersahabat! Dengan pihak Coan Cin Pay, semua anggotanya tidak aku kenal! ' Aku mengerti maksudnya. Dia biasa lakukan apa yang dia katakan. Dia tidak enak mengganggu aku tetapi dia dapat mencari alasan untuk mengganggu Ma Giok dan Khu Cie Kee semua. Dia lihay sekali, sungguh berbahaya kalau-kalau ia sampai bergusar. Maka itu aku kata padanya; 'Oey Lao Shia, jikalau kau hendak melampiaskan penasaranmu, kamu carilah aku Loo Boan Tong Ciu Pek Thong. Perlu apa pula kau cari segala keponakan itu?'

strinya tertawa waktu dia mendengar aku menyebutkan julukanku Loo Boan Tong, ia lantas berkata, 'Ciu Toako, kau gemar sekali berkelakar! Baiklah kita jangan ngotot saja, lebih baik kita pelesiran. Tentang kitab mustikamu itu tak apalah aku tidak melihatnya!' Ia menoleh kepada Oey Lao Shia untuk berkata terus; 'Rupanya kitab Kiu Im Cin-keng itu sudah kena dirampas si orang she Auwyang, maka itu Ciu Toako tidak sanggup memperlihatkan padaku. Maka juga, apa perlunya kita memaksa dia, juga boleh-boleh dia menjadi hilang muka?' Oey Lao Shia tertawa, dia kata; 'Kau benar! Eh, Pek Thong, marilah, mari aku membantu kau mencari si tua bangka berbisa itu untuk membuat perhitungan!"

"Kalau begitu, ibunya Yong-jie sama cerdiknya seperti putrinya," Kwee Ceng berpikir. Ia lantas memotong: "Mereka itu tengah memancing kemendongkolan kau, toako!"

"Itu aku tahu," kata Pek Thong. "Hanya aku pun tidak mau mengalah. Maka itu aku kata padanya, 'Kitab itu ada padaku sekarang! Pula tidak ada halangannya untuk memberi lihat itu pada engso! Tapi kau tidak memandang muka padaku, kau membilangnya aku tidak sanggup melindungi kitab itu, itulah aku tidak mengerti. Coba kau jelaskan, apakah syaratmu?' Oey Lao Shia tertawa, dia kata; 'Kalau kita bertempur, kita jadi renggang. Kaulah si tua bangka nakal seperti bocah, aku pikir baiklah kita mengadu sesuatu seperti bocah-bocah tengah bermain-main…!' Belum lagi aku memberikan jawabanku, istrinya sudah bertepuk-tepuk tangan dan mengatakan: 'Bagus, bagus! Baiklah kau berdua mengadu gundu!'"

Mendengar itu Kwee Ceng tertawa.

"Main gundu adalah kepandaianku," kata Pek Thong. "Maka itu aku menjawab; 'Mengadu gundu ya mengadu gundu! Mustahil aku takut!' Nyonya Oey itu tertawa, ia kata: 'Ciu Toako, jikalau kau kalah, kau kasih lihat kitab itu padaku? Jikalau kau yang menang, kau menghendaki apa?'. Atas kata-kata istrinya, Oey Lao Shia bilang, 'Coan Cin Kauw ada mempunyai mustika, mustahil Tho Hoa To tidak?'. Ia terus membuka buntalannya dan mengeluarkan serupa barang hitam, semacam baju yang ada durinya. Coba bade, barang apakah itu?"

"Itulah Joan-wie-kah, baju lapis duri," sahut Kwee Ceng.

"Oh, kiranya kau tahu itu?" kata kakak angkat ini. "Oey Lao Shia kata padaku. 'Pek Thong, kau bilang, kau tidak membutuhkan ini untuk melindungi dirimu, hanya kalau dibelakang hari kau menikah sama si bocah wanita nakal dan dia melahirkan bocah yang nakal, kalau bocah nakal itu mengenakan baju lapis ini, faedahnya bukan kepalang! Jikalau kau menang, pusaka Tho Hoa To ini menjadi kepunyaanmu!' Aku menjawab, 'Si bocah nakal tidak bakal terlahir, tetapi baju lapismu ini sangat kesohor di kalangan Rimba Persilatan, kalau aku mengenakannya, pastilah aku aksi sekali! Dengan begitupun biarlah diketahui, tocu dari Tho Hoa To telah roboh di tangannya Loo Boan Tong si Bocah Tua Nakal!' Lantas Nyonya Oey memotong aku, katanya: 'Kau jangan omong saja! Sekarang mulailah kamu berdua!' Sampai disitu cocoklah sudah. Lantas kita mulai. Kita memegang masing-masing sembilan biji gundu, kita membuat delapan belas lubang. Dialah yang menang siapa yang gundunya masuk paling dulu."

Mendengar itu Kwee Ceng mennjadi ingat kepada halnya tempo sendiri bersama Tuli, saudara angkatnya, main gundu di gurun pasir. Maka ia bersenyum.

"Gundu itu aku selalu sediakan di sakuku," Pek Thong berkata pula. "Bertiga kita pergi ke luar, ke latar. Selagi keluar aku perhatikan gerak-gerik istri Oey lao Shia, aku dapat kenyataan dia benar tidak mengerti ilmu silat. Akulah yang membuat lubang di tanah, lalu aku menyuruh Oey Lao Shia yang mulai. Dalam hal menggunakan senjata rahasia. Oey Lao Shia lihay istimewa, dia mestinya menang daripada aku, tetapi dalam hal main gundu, ada lain tipunya. Aku membuat lubang yang istimewa. Kalau gundu masuk ke dalam situ, gundu itu bisa keluar pula. Untuk itu aku mesti pandai mengimbangi menyentil gundu itu, dengan begitu gundu jadi dapat berdiam terus di dalam lubang. Tiga kali Oey lao Shia menyentil, tiga-tiga gundunya masuk tepat, hanya begitu masuk, ketiganya lompat pula keluar. Aku telah memasuki lima biji, semuanya tidak keluar lagi. Oey Lao Shia lihay, ia mencoba menyusul tetapi gagal. Kembali satu gunduku masuk. Aku girang bukan main, aku percaya aku bakal menang, dia bakal kalah, dewa pun tidak bakal berhasil membantunya. Ah, siapa tahu Oey Lao Shia main curang, dia menggunakan akal! Coba tebak, apakah akal liciknya itu?"

"Adakah dia melukai tanganmu, toako?"

"Bukan, bukan! Oey Lao Shia busuk sekali, dia pakai akal sekasar semacam itu. Dia tahu dia bakal kalah, mendadak dia mengerahkan tenaganya dan menghajar tiga gunduku hingga habislah sisa semua gunduku, gundunya sendiri lantas masuk ke dalam lubang…."

"Jadi toako kehabisan gundu?"

"Ya, aku cuma bisa melihat dia main sendiri. Demikianlah aku kalah…!"

"Toh itu tidak masuk dalam hitungan!" kata Kwee Ceng.

"Mestinya begitu tetapi Oey Lao Shia berkeras. Memang, umpama kata aku memukkul gundunya, dua-¬dua gundu mesti pecah. Aku tidak dapat memukul seperti dia itu, yang hancur melainkan gunduku. Terpaksa aku menyerah. Aku kata pada istrinya: 'Enso Oey, sekarang aku berikan kitabku padamu, tapi sebentar, sebelum malam, kau mesti mengasih pulang padaku.' Kemudian dengan main-main aku menambahkan; 'Bukankah kita tidak menetapkan waktu lamanya kau meminjam? Maka itu, kau sudah melihat semua atau belum, kau mesti kembalikan.' Aku khawatir mereka tidak mengembalkan, bisa-¬bisa dia meminjamnya sampai sepuluh tahun atau seratus tahun. Atas itu sambil tertawa, Nyonya Oey kata padaku, 'Ciu Toako, kau dijuluki Loo Boan Tong si Bocah Tua Nakal, tapi kau tidak tolol! Bukankah kau khawatirkan aku nanti jadi seperti Lauw Pie yang meminjam kota Kengciu, yang meminjam untuk selamanya? Baiklah, aku duduk di sini, segera aku membaca, segera aku kembalikan, tidak usah juga sampai malam! kau jangan khawatir, kau boleh duduk menanti!'

"Mendengar perkataannya itu, aku keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng dan aku serahkan padanya. Dia menyambut, dia bawa itu ke bawah pohon. Di situ ia duduk di atas sebuah batu, lalu ia mulai membalik-baliki lembarannya. Oey Lao Shia mengawasiku, ia dapat kenyataan hatiku tidak tentram, ia kata padaku; 'Eh, Lao Boan Tong, di jaman sekarang ini ada berapa orangkah yang dapat mengalahkan kita berdua?' Aku menjawab, 'Yang dapat mengalahkan kau, belum tentu ada, tetapi yang dapat mengalahkan aku, terhitung kau sendiri, ada empat atau lima orang!' kataku. 'Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, berempat mereka mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, mereka tidak dapat saling mengalahkan.

Auwyang Hong telah dirusak ilmunya Kap-mao-kang, dalam waktu sepuluh tahun, ia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kita. Di dalam dunia kangouw terkabar ada Tiat-ciang Sui-siang piauw Kiu Cian Jin, tempo pertemuan di Hoa San, dia tidak hadir, biarpun lihay, aku tidak percaya dia lihay luar biasa. Loo Boan Tong, bagaimana adanya ilmu silatmu, aku tahu baik sekali, selain beberapa orang yang sudah disebutkan barusan, kaulah yang nomor satu. Maka itu kalau kita berserikat, siapapun tidak bisa melawan kita!' Atas pendapat itu aku menjawab, 'Memang!' Oey lao Shia berkata pula: 'Maka itu, kenapa hatimu tidak tentram? Dengan adanya kita berdua di sini, siapakah di kolong langit ini sanggup merampas kitab itu?"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar