Sabtu, 14 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 065

Kwee Ceng menurut, ia keluarkan pisau belati yang Cu Cong ambil dari tubuhnya Bwee Tiauw Hong, pisau yang dibungkus dengan kulit, yang ada ukiran huruf--hurufnya, yang terukir dengan jarum. Ia tidak tahu, itulah rahasia Kiu Im Cin Keng. Ia simpan kulit itu di dalam sakunya, dan pisaunya ia serahkan kepada Liam Cu.

Oey Yong pun mengeluarkan pisau belatinya, ia berkata perlahan: "Pisaunya engko Ceng ada padaku, mana itu kepunyaannya Yo Toako yang aku berikan pada kau. Enci, ini jodoh yang sudah ditulis. Tadi kamu telah berselisih, itu tidak ada artinya, jangan kau berduka. Aku pun sering bercedera dengan ayahku. Sekarang ini bersama engko Ceng, aku mau pergi ke Pak-hia mencari Wanyen Lieh, enci, jikalau kau senang, mari kau turut bersama kami pesiar. Aku percaya, Yo Toako pun bakal turut bersama."

"Ya, mana saudara Yo?" Kwee Ceng tanya.

Oey Yong mengulur lidahnya, lekas ia berkata: "Barusan ia berselisih dengan enci, dalam gusarnya enci telah menabok dia, lantas ia ngeloyor pergi…"

"Aku tidak mau pergi ke Pak-khia, kamu juga tidak usah pergi ke sana," berkata Liam Cu. "Dalam tempo setengah tahun ini, jahanam Wanyen Liah itu tidak berada di Pak-khia. Dia takut kamu pergi mencarinya menuntut balas! Engko Kwee, adik Oey, kamu berdua orang-orang baik, keberuntungan kamu pun bagus…."

Ia berhenti tiba-tiba, mulutnya seperti tersumbat, lantas ia lari keluar, dimana ia menggenjot tubuhnya, melompat naik ke atas genting.

Melihat orang muntah darah, hati Oey Yong tidak tenang. Lantas ia menyusul. Ia masih sempat melihat nona Bok berada di bawah sebuah pohon besar, tangan kirinya diangkat tinggi, tangan kanannya diangkat ke atas kepala dan sinar pisau belati berkelebat di cahaya matahari. Ia terkejut.

"Enci, jangan!" ia berteriak.

Tentu ia tak dapat mencegah orang membunuh diri karena jarak di antara mereka jauh sekali, ia cuma bisa berlari-lari untuk menghampiri.

"Enci! Enci!" Oey Yong berteriak-teriak memanggil.

Liam Cu tidak memperdulikannya, ia lari terus sampai lenyap dari pandangan mata, sedang Oey Yong cuma bisa melihat rambut beterbangan berhamburan ke selokan, ke sawah dan pepohonan di dekat-dekat situ.

Semenjak kecil Oey Yong selalu dimanjakan, tak pernah ia menginsyafi apa yang dinamakan kedukaan. Senang ia tertawa lebar, jengkel ia menangis menggerung-gerung, sejenak kejengkelan itu hilang. Tetapi sekarang ia menyaksikan peristiwa hebat itu di depan matanya, ia dapat merasakan untuk pertama kalinya. Ia jadi berduka dan terharu. Dengan perlahan-¬lahan ia kembali ke rumah abu. Kepada Kwee Ceng ia beritahukan perbuatan Liam Cu itu, yang terus menghilang.

"Entah kenapa enci Bok berlaku demikian," berkata Kwee Ceng, yang tidak mengerti duduknya hal. "Dia beradat keras sekali."

Oey Yong heran hingga berpikir: "Mustahilkah seorang perempuan yang dirangkul-rangkul dan dipeluk-peluk hilang kesuciannya? Hingga sekalipun orang yang mencintainya dan menghormatinya pun menjadi tidak memandang mata kepadanya, sampai ia tidak ambil peduli lagi?"

Terus si nona ini tidak mengerti, ketika ia sampai di dalam ruang, dia duduk menyender di tiang dengan mata dimeramkan, akhirnya tertidur pulas.

Ketika sang malam tiba, Lee Seng dan rombongannya mempersiapkan meja perjamuan seperti yang dijanjikan, untuk menghormati Ang Cit Kong, pemimpin besarnya, serta Kwee Ceng dan Oey Yong, hanya saja ditunggu hingga tengah malam, Cit Kong tidak muncul. Lee Seng tahu tabiat aneh dari pangcunya, ia tidak peduli, ia terus jamu sepasang muda-mudi itu. Semua orang sangat menyukai anak-anak muda itu. Bahkan nona Thia turut mematangi beberapa rupa barang santapan dan memerintahkan budaknya mengantarkannya ke tempat pesta itu.

Habis berjamu, yang ditutup dengan kegembiraan, Kwee Ceng dan Oey Yong berdamai. Wanyen Lieh tidak pulang ke Pak-khia, sukar untuk mencarinya, dari itu perlu mereka memenuhi janji pergi ke Tho Hoa To. Untuk itu, tentu saja mereka mesti pergi dulu ke Kee-hin, guna mencari Kanglam Liok Koay, untuk berembuk terlebih jauh. Oey Yong akur, besoknya pagi mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka ke Selatan.

Waktu itu, di permulaan tanggal sepuluhan bulan enam, hawa udara panas terik. Maka cocok pepatah orang Kanglam yang membilang; "Bulan enam tanggal enam, telur bebek terjemur hingga matang!" Walaupun orang mempunyai payung, panas tetap menyiksa.

Pada suatu hari tibalah Kwee Ceng di Kee-hin. Gurunya masih belum datang. Maka itu ia menulis surat kepada keenam gurunya dan dititipkan kepada kuasa rumah makan Ciu Sian Lauw dengan pesan, kalau Kanglam Liok Koay tiba, supaya suratnya diserahkan. Ia menulis halnya bersama Oey Yong mau pergi ke Tho Hoa To. Ia membilang terima kasih seraya memberi hormat.

Oey Yong girang bukan main tiba di kampung halamannya sendiri. "Ayah, ayah!" dia berteriak-teriak, "Yong-jie pulang!" . Ia berlari-lari sambil terus menggapai-gapai kepada Kwee Ceng.

Kwee Ceng melihat orang lari ke timur dan ke barat tak ketentuan, kemudian nona itu lenyap dari pandangan matanya. Ia heran, lekas lari menyusul. Baru lari belasan tembok, ia sudah kesasar. Ia melihat jalan kecil diempat penjuru, tak tahu jalan mana yang mesti diambil. Tempo ia memaksa maju terus, sebentar kemudian kembali ditempat asal. Ia lantas ingat sama keadaan di Kwie-in-chung, yang menurut Oey Yong diatur luar biasa, dari itu, pulau ini mestinya sama mempunyai jalanan rahasia, yang merupakan tin atau barisan istimewa.

Untuk tidak usah berlari-lari tidak ada tuasnya, akhirnya Kwee Ceng duduk di bawah sebuah pohon tho, untuk menanti Oey Yong kembali menyambut padanya. Tapi ia menanti sekian lama, si nona belum muncul juga. Ia jadi tidak sabaran. Ia memanjat sebuah pohon tinggi, memandang ke seputarnya. Di Selatan ada laut, di barat ada batu gundul. Di timur dan utara, semuanya pohon bunga dengan bunganya warna merah atau kuning, atau hijau atau ungu. Tak nampak tembok, tak terlihat asap mengepul. Sunyi disekeliling situ.

Tanpa merasa, hati Kwee Ceng menjadi tidak tenang. Lantas ia lari ke depan, masuk antara pepohonan lebat. Mendadak ia merandak, separuh berseru, ia kata dalam hatinya: "Celaka! Aku pergi tanpa tujuan! Kalau Yong-jie mencariku, mungkin dia tidak dapat menemuinya!" Maka ia lari balik. Apa mau, ia tidak menemui jalanan tadi, ia kesasar ke tempat lain.

Pemuda ini pun lantas kehilangan kuda merahnya, yang sejak tadi mengikutinya. Inilah sebabnya ia mencoba naik ke atas pohon, hingga kudanya ketinggalan. ketika sang sore datang, ia putus asa, ia duduk mendeprok di tanah. Hendak menantikan si nona….

Senang ia duduk di tanah yang berumput tebal, tinggal rasa berdahaga dan laparnya, yang mengganggu. Gangguan lapar jadi semakin hebat ketika ingat masakan yang lezat-lezat yang Oey Yong bikin untuk Ang Cit Kong…

Tiba-tiba pemuda ini kaget dan gelisah hatinya. "Kalau Oey Yong dikurung ayahnya dan dia tidak dapat menolong aku, bukankah aku bakal mati kelaparan di sini?" pikirnya. Ia menyesal kapan ia ingat yang sakit hati ayahnya belum terbalas. Ia pun ingat ibunya, yang berada sendirian di gurun pasir. Kalau ia mati, sama siapa ibunya akan mengandal? Letih ia berpikir, lama-lama kepulasan sendiri.




Sampai tengah malam, Kwee Ceng bermimpi bersama Oey Yong pesiar ke kota raja Pak-khia, sama-sama dahar hidangan yang lezat dan si nona bernyanyi merdu untuknya. Tiba-tiba ia mendengar suara seruling. Ia memasang kuping, matanya pun melihat sinar rembulan indah. Ia tahu yang ia tidak tidur lagi. Ia hanya dengar, seruling datang dari tempat jauh. Ia menjadi mendapat hati, maka ia bangkit, terus bertindak ke arah darimana suara itu datang. Ketika ia mendapatkan jalanan buntu, suara seruling tetap ada di depan.

Kemudian pemuda ini ingat jalanan rahasia di Kwie-in¬chung, lantas ia berjalan terus, kalau jalanan buntu, ia naik ke atas pohon. Kali ini ia mendengar suara semakin nyata, maka ia jalan semakin cepat. Akhirnya, ketika ia menikung, melihat satu tempat di mana bunga-bunga berwarna putih, pohon bunga bergumpal mirip sebuah telaga kecil. Di sini suara seruling sebentar tinggi dan sebentar rendah. Anehnya, kalau ia dengar suara di timur dan pergi ke sana, suara itu pindah ke barat, kalau ia pergi ke selatan, suara berada di utara. Demikian berulangkali. Mendadak seperti ada belasan orang yang meniup seruling berbareng dan berada di sekitarnya. Ia bagaikan dipermainkan.

Kwee Ceng merasakan kepalanya pusing setelah lari mondar-mandir sekian lama. Sekarang tidak pedulikan suara lagi, ia lari ke tengah gumpalan bunga di mana ada tanah munjul. Kiranya itu adalah sebuah kuburan dengan batu nisannya bertuliskan catatan: "Kuburan dari Phang-sie, nyonya pemilik Tho Hoa To"

"Ini tentu kuburan ibunya Oey Yong;" Kwee Ceng berpikir. "Yong-jie kehilangan ibu sejak kecil, kasihan dia…" Ia lantas berlutut di depan kuburan itu, memberi hormat berlutut empat kali. Tengah ia paykui itu, seruling berhenti secara tiba-tiba, hingga suasana menjadi sunyi. Tempo ia berbangkit, seruling berbunyi lagi, terdengarnya di sebelah depan.

"Biarpun ada ancaman bencana, aku akan mengikutinya," Kwee Ceng pikir. Ia bertindak ke arah suara itu, tidak pedulikan pepohonan lebat. Ia baru berdiri menjublak kapan suara seruling bersalin rupa, sekarang semangatnya seperti tertarik, hatinya berdebaran.

"Hebat, lagu apakah itu?" ia tanya dirinya sendiri.

Mulainya kendor, suara seruling itu jadi cepat, seperti memaksa orang menari-nari, iramanya seperti mengandung kecabulan, menyebabkan kuping orang merah dan urat-urat tegang. Ia lantas menjatuhkan diri, duduk bersemadhi seperti ajaran Ma Giok. Mulanya ia masih terpengaruh, hampir berlompat bangun, untuk menari, baru belakangan, hatinya jadi tetap dan mantap. Setelah mendapat ketenangan, hatinya menjadi lega dan kosong, tidak lagi ia terpengaruh suara seruling itu, sekarang seperti mendengar suara gelombang, suara angin di pohon, bahkan dahaga dan laparnyapun lenyap. Ia merasa tidak bakal terpengaruh lagi gangguan, makanya berani membuka mata. Ia melihat di depannya, sejarak dua tombak, sepasang sinar tajam berkilauan.

"Entah binatang apakah itu?" ia menduga. Ia lompat mundur beberapa tindak. Sekonyong-koyong sinar itu lenyap. "Benar aneh pulau Tho Hoa To ini," pikirnya. "Macan tutul atau rase yang bagaimana gesit pun tidak dapat bergerak sepesat ini." Ia tengah berpikir, lantas ia mendengar suara napas memburu. "Ah, itulah orang, tadi itu ialah matanya! Rupanya ia belum pergi jauh…" Ia tertawa sendiri. Hanya sekarang ia tidak tahu, orang itu musuh atau bukan.

Suara seruling masih saja terdengar, sekarang iramanya berubah menjadi seperti suara penasaran atau kenang-kenangan, atau sebagai hati muda dan panas dari seorang wanita muda, yang seperti menanti-nanti saja di sebuah kamar…

Kwee Ceng tidak kena dipengaruhi lagu itu. Ia masih muda sekali dan semenjak kecil giat belajar silat, mengenai soal kewanitaan, ia belum mengerti. ia hanya heran mendengar suara napas yang memburu itu tercampur rintihan, seperti orang tengah mempertahankan diri melawan gangguan seruling.

Merasa kasihan terhadap orang itu, Kwee Ceng bertindak menghampiri. Sinar bulan terang tetapi tempat kealingan cabang-cabang dan daun-daunnya. Ketika sudah datang mendekat beberapa kaki, baru ia dapat melihat orang itu, yang lagi duduk bersila, rambutnya panjang terurai ke tanah, alis dan kumisnya pun panjang, hingga lubang hidung dan mulutnya ketutupan. Satu tangannya di depan dada, yang lain di belakangnya. Ia tercekat hati. Ia ingat dulu diajarkan semadhi dengan sikap begitu oleh Tan Yang Cu Ma Giok ketika ia berada di gurun pasir, di puncak bukit. Itulah ilmu menutup hati sendiri, siapa sudah mahir, ia dapat tak memperdulikan suara guntur atau air bah. Ia hanya heran, kenapa orang takut pada suara seruling itu.

Suara seruling semakin hebat, tubuh orang itu bergerak-gerak, hendak melompat, beberapa kali ia sudah mencelat sekaki lebih, kelihatannya ia masih dapat mempertahankan diri. Tapi Kwee Ceng mengerti, orang tak akan bertahan lama. Ia cemas sendiri. Irama seruling terdengar terus, ada kalanya perlahan dan bertukar dua kali.

"Sudah, sudah!" bersuara orang itu, agaknya hendak berlompat bangun.

Kwee Ceng kaget, tanpa berpikir lagi, ia lompat maju, tangan kirinya dilomjorkan, untuk mencelat bahu orang itu, sedang tangan kanannya dipakai menepuk pundak, di jalan darah tay-cui-hiat. Ia ingat dulu, setiap kali semadhinya kalut, Ma Giok tentu meraba jalan darahnya itu, untuk mengasi hawa panas dari tangan. Ia masih rendah pelajarannya, ia tidak dapat hanya meraba, ia perlu menepuk. Tapi ini menolong. Orang itu tampaknya tenang, dapat ia berdiam dan memeramkan mata.

Tengah Kwee Ceng bergirang, mendadak dari belakangnya, ada yang membentak padanya: "Binatang cilik, kau merusak usahaku!" Suara seruling itu pun berhenti.

Si anak muda terkejut, cepat ia berpaling. Ia tidak melihat orang, hanya seperti mengenali suaranya Oey Yok Su. Ia menjadi masgul. Sejenak ia menyesal.

"Entah orang tua ini manusia baik atau jahat," demikian pikirnya. "Kenapa aku lancang menolongi dia… Pantas saja ayahnya Yong-jie gusar….Kalau nanti dia ini satu iblis, bukankah aku jadi melakukan kesalahan besar?" Ia menjadi bergelisah sendirinya.

Orang tua itu bernapas reda, ia mulai meluruskannya. Kwee Ceng tidak menanya apa-apa, ia duduk di depan orang tua itu, ia pun bersemadhi. Ia baru membuka matanya ketika fajar sudah menyingsing dan embun telah turun.

Di antara sinar matahari yang molos dari sela-sela pohon bunga, terlihat wajah orang tua itu dimana bunga-bunga terbayang. Nyata kumisnya belum putih semua, cuma entah sudah berapa tahun tak pernah dicukur, hingga ia mirip orang hutan.

Tiba-tiba kedua mata orang itu dibuka, lalu terlihat sinarnya yang tajam sekali. Ia lantas saja tersenyum dan bertanya: "Kau muridnya salah satu dari Coan Cin Cit Cu yang mana?"

Mendengar suara orang itu sabar, hati Kwee Ceng lega. Ia bangkit menjura. Ia memperkenalkan diri dan menyebut Kanglam Cit Koay sebagai gurunya.

Orang tua itu heran, ia tidak percaya. "Kenapa Kanglam Cit Koay mengerti ilmu Coan Cin Pay?" tanyanya.

"Sebenarnya Tan Yang Cinjin Ma Totiang pernah ajarkan ilmu selama dua tahun tetapi ia belum menerima teecu sebagai murid," Kwee Ceng menjelaskan.

Orang tua itu tertawa, lalu mukanya nampak lucu. Ia mirip bocah yang lagi bergurau. "Aku mengerti sekarang! Kenapa kau dapat datang ke Tho Hoa To ini?" dia tanya.

"Oey Tocu dari Tho Hoa To yang menitahkan teecu datang kemari."

"Untuk apakah?" Orang tua itu agaknya terkejut, air mukanya sampai berubah.

"Teecu berbuat salah dan teecu hendak menerima binasa…"

"Apakah kau tidak mendusta?" menegaskan orang tua itu.

"Tidak berani teecu mendusta," sahut Kwee Ceng hormat sekali. Terus ia membahasakan diri teecu (murid).

Orang tua itu mengangguk-angguk. "Bagus, kau duduklah."

Kwee Ceng menurut, ia duduk di sebuah batu besar. Sekarang ia melihat tegas si orang tua bercokol di dalam sebuah gua dan di depannya terhalang beberapa lembar kawat. Entah apa perlunya kawat itu.

"Siapakah yang lainnya yang pernah mengajarkan kau ilmu lagi?" tanya si orang tua.

"Guruku yang baik budi Ang Kiu Cie Sin Kay," menyahut Kwee Ceng sejujurnya.

Orang tua itu agaknya merasa heran, ia juga mengasih lihat roman tertawa bukannya tertawa. "Apakah Ang Cit Kong telah ajarkan kau ilmu?" tanyanya cepat.

"Ya," menyahut Kwee Ceng, yang omong terus terang. "Ia pernah mengajarkan Hang Liong Sip-pat Ciang."

"Apakah dia tidak mengajarkan juga ilmu dalam?"

"Tidak."

Orang tua itu mendongak mengawasi langit-langit, lalu ia berkata seorang diri: "Dia masih begini muda, umpama kata dia belajar semenjak dalam kandungan, dia toh baru belajar delapan atau sembilanbelas tahun, maka heran, kenapa aku tidak sanggup melawan suara seruling tapi dia sanggup?" Dia benar-benar heran, maka ia mengawasi pemuda di hadapannya itu, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Lantas ia mengulur keluar tangan kanannya di antara kawat kurungan. Ia kata: "Coba kau mendorong telapak tanganku, hendak aku mencoba tenagamu." Kwee Ceng menurut, ia mengulur tangannya, menempel tangan si orang tua.

"Kerahkanlah tenagamu," kata orang tua itu.

Kwee Ceng menurut, ia mengerahkan tenaganya.

"Hati-hati," si orang tua memperingatkan: Selagi orang bersiap, ia pun mengerahkan tenaganya.

Kwee Ceng merasakan penolakan keras, tak sanggup ia menahannya, maka hendak ia membantu dengan tangan kirinya, mendadak si orang tua membalik tangannya, telunjuknya mengenai lengannya. Cuma sekali ia tertekan, tubuhnya lantas mencelat ke belakang tujuh atau delapan kaki, punggungnya membentur sebuah pohon. Di situ barulah ia bisa berdiri tetap.

Lantas orang tua itu berkata lagi seorang diri: "Ia tak ada celaannya, kecuali belum mahir betul. Heran kenapa ia dapat bertahan dari lagu Thian-mo-bu?" "Thian-mo-bu" itu adalah lagu seruling tadi, artinya Tarian Hantu Langit.

Kwee Ceng mengeluarkan napas lega. Ia juga mengawasi orang tua itu, sangking heran, ia berpikir: "Orang tua ini berimbang kepandaiannya dengan Ang Cit Kong dan Oey Yok Su. Kenapa di Thoa Hoa To ini orang semacam ini? Adakah ia See Tok atau Lam Tee?"

Mengingat nama See Tok, si Racun dari Barat, ia terkejut: "Jangan-jangan aku terpedaya," pikirnya. Maka ia angkat tangannya untuk diperiksa. Tangan itu tidak bengkak atau merah, hatinya menjadi lega pula.

Orang tua itu tertawa. "Kau badelah, siapa aku ini?" ia bertanya.

Kwee Ceng menyahuti: "Menurut apa yang teecu dengar, orang yang paling gagah sekarang ini cuma ada lima orang. Coan Cin Kauwcu Ong Totiang telah menutup mata, Kiu Cie Sin Kay yang menjadi guruku dan Oey Tocu teecu kenal, maka itu mungkinkah cianpwee ada Auwyang Cianpwee atau Toan Hongya?"

Orang tua itu tertawa. "Bukankah kau merasakan ilmu kepandaianku berimbang sama Tong Shia dan Pak Kay?" ia tanya.

"Pelajaranku masih sangat rendah, tidak berani teecu bicara sembarangan," sahut Kwee Ceng berhati-hati. "Barusan cianpwee menolak padaku, dari itu teecu merasa, kalau bukan Ang Ingsu dan Oey Tocu, belum pernah ada orang ketiganya." Itulah pujian, senang si orang tua. Ia mengasih lihat roman jenaka yang kebocah-bocahan.

"Aku bukannya See Tok Auwyang Hong dan bukan juga Hongya, maka itu cobalah kau menerka lagi sekali." katanya.

Kwee Ceng berpikir, baru ia menyahut: "Pernah teecu bertemu dengan seorang yang namanya berimbang sama pemimpin dari Coan Cin Pay yaitu Kiu Cian Jin, tetapi ia cuma menang nama, kepandaiannya biasa saja," sahutnya. "Sebenarnya pengetahuan teecu masih sangat cetek, teecu tidak ingat nama cianpwee."

Orang tua itu tertawa. "Aku she Ciu! Kau ingatkah sekarang?" dia tanya.

"Cianpwee ialah Ciu Pek Thong?" tanya Kwee Ceng cepat. Tetapi ia terkejut. ia sudah menyebut langsung nama orang tua itu. Maka lekas-lekas ia memberi hormat seraya berkata: "Teecu sudah berlaku tidak hormat, harap cianpwee suka memberi maaf."

Orang tua itu tertawa pula. "Tidak salah, tidak salah, akulah Ciu Pek Thong!" katanya. "Kau menyebut namaku, apakah yang tidak hormat? Kauwcu dari Coan Cin Pay, Ong Tiong Yang, ialah kakak seperguruanku, dan Ma Giok serta Khu Cie Kee lainnya, mereka semua keponakan muridku. Kau bukannya orang Coan Cin Pay, tidak usah kau menyebut-nyebut cianpwee, kau panggil saja aku Pek Thong!"

"Aku tidak berani," kata Kwee Ceng heran tetapi tetap hormat.

Tinggi usianya, tetap Ciu Pek Thong mirip bocah. Untuk apa yang ia kehendaki, ia tak kenal kebiasaan atau adat istiadat, pasti ia langgar. Begitulah ketika ia ingat suatu apa, ia lantas kata: "Saudara Kwee, bagaimana kalau kita mengangkat saudara?" Kwee Ceng heran hingga ia menjublak.

"Teecu adalah sebawahan Ma Totiang dan Khu Totiang, seharusnya teecu menghormati cianpwee sebagai sucouw-ya!" katanya. Sucouw-ya adalah kakek guru.

Ciu Pek Thong menggoyangi tangannya berulang¬-ulang. "Kepandaianku adalah kakak seperguruanku yang mengajarinya," ia bilang. "Ma Giok dan Khu Cie Kee semua tidak memandang aku sebagai yang lebih tua, mereka pun tidak menghormatiku sebagai yang terlebih tua…"

Berkata sampai disitu, suaranya Pek Thong tertunda. Ke situ ada datang satu bujang tua, yang tindakan kakinya terdengar terlebih dahulu. Dia membawa makanan. "Ada makanan untuk didahar!" kata Ciu Pek Thong. Ia tertawa.

Bujang itu menyajikan barang bawaannya, yang terdiri dari empat rupa sayur, dua poci arak serta sepanci nasi. Dia pun menuangkan dua cawan arak. kemudian ia berdiri menanti di pinggiran.

"Mana nona Oey?" Kwee Ceng tanya. "Kenapa dia tidak datang kemari?"

Bujang itu menggeleng kepala, ia menunjuk kuping dan mulutnya, suatu tanda ia tuli dan gagu.

Ciu Pek Thong tertawa, dia kata: "Kuping orang ini ditusuk hingga tuli oleh Oey Yok Su. Coba kau suruh dia membuka mulutnya."

Kwee Ceng menurut, dengan gerakan tangannya, ia minta bujang itu membuka mulutnya. Kesudahannya dia terkejut. Lidah orang buntung.

"Semua bujang di pulau ini sama saja." Pek Thong memberitahu. "Kau telah datang ke mari, jikalau kau tidak mati, di belakang hari kau bakal jadi seperti dia ini."

Kwee Ceng berdiam, hatinya mengatakan: "Kenapa ayahnya Yong-jie begitu kejam?"

Pek Thong berkata pula: "Setiap malam Oey Lao Shia menyiksa aku, tetapi aku tidak sudi menyerah kalah! Tadi hampir aku roboh di tangannya, jikalau tidak kau datang membantuku, saudara kecil, dan mungkin tabiatku suka menang sendiri selama belasan tahun akan runtuh dalam satu malam! Mari, mari disini ada arak dan barang santapan, mari kita mengangkat saudara, di belakang hari, ada untung kita cicipi bersama, ada kesusahan kita tanggung bersama juga! Ketika dulu hari aku mengangkat saudara sama Ong Tiong Yang, ia pun mula-mula main tolak-tolak. Bagaimana, eh apakah benar-benar katu tidak sudi?"

Kwee Ceng melihat muka orang berubah, lekas-lekas ia menyahut; "Bukan begitu, cianpwee. Sebenarnya tingkatku beda hingga dua tingkat, jikalau teecu menerima kehendak cianpwee, pasti orang akan tertawa dan mencaci teecu tidak tahu diri! Dan kalau nanti teecu bertemu Ma Totiang dan Khu Totiang, apakah teecu tak malu juga?"

"Ah, kenapa kau mikir begitu jauh?" kata Pek Thong masgul. "Kau tidak sudi mengangkat saudara, apakah kau mencela usiaku yang sudah lanjut? Oh…."

Mendadak orang tua itu menangis sesegukan, mukanya ditutupi, kumisnya kacau pergi datang.

Kwee Ceng heran dan kaget. Ia bingung. “Baik, baik, cianpwee teecu menurut…" katanya gugup.

Pek Thong masih menangis ketika ia berkata: "Kau menuruti karena aku paksa, lain hari ada orang menanyakan kau, kau bakal timpakan kesalahan padaku! Aku tahu kau tidak sudi angkat saudara denganku!"

Kwee Ceng merasa lucu berbareng heran. Kenapa ada orang tua yang begini tidak mengindahkan ketuaannya sendiri? Ia tidak tahu bahwa Ciu Pek Thong, dalam kalangan Rimba Persilatan, bergelar Loo Boan Tong, Bocah Tua Nakal, tabiatnya memang sangat ku-koay bin ajaib, walaupun berusia lanjut dan tingkat derajatnya tinggi, tapi sepak terjangnya mirip bocah alias anak-anak. Begitu ia jumput sepiring sayur, dia lemparkan keluar kurungan, tak mau ia dahar.

Si bujang tua bingung, lekas-lekas ia memunguti. Meyaksikan itu Kwee Ceng tertawa, lantas ia berkata: "Kakak begini baik hati, bagaimana teecu bisa menampik? Mari, kakak, marilah kita mengangkat saudara! Mari kita gunakan tanah sebagai gantinya hio!"

Mendengar itu, tiba-tiba saja Ciu Pek Thong tertawa. "Aku berada di dalam gua, tecegah kawat ini," ia berkata. "Karena aku tidak bisa keluar, aku akan paykui di dalam kurungan ini dan kau di sebelah luar!"

Kwee Ceng mengawasi kawat kurungan itu sekian lama, ia tidak mengerti kenapa Pek thong bisa terkurung di situ. Tetapi ia menurut, menjalankan kehormatan dari luar kurungan.

Pek Thong benar-benar berlutut, hingga mereka paykui sambil berendeng di antara kawat kurungan itu. Berkatalah si orang tua: "Teecu Ciu Pek Thong, hari ini teecu mengangkat saudara dengan saudara Kwee Ceng, di belakang hari, senang atau susah, kita sama-¬sama mencicipinya, siapa yang kemudian menyalahkan janji, biar Thian kutuk padanya!"

Kwee Ceng mengikuti mengangkat sumpah itu. Setelah itu keduanya menyiram arak ke tanah dan Kwee Ceng lalu paykui kepada kakak angkatnya itu.

Pek Thong puas hingga ia tertawa terkakak. "Sudah, sudah!" katanya. Ia menuang araknya , ia menenggak sendiri. Ia menambahkan: "Oey Lao Shia itu cupat sekali pandangannya. Dia memberikan arak yang begini tawar! Hanya perah ada satu hari, si nona kecil menyuguhkan aku arak, araknya jempol, cuma sayang semenjak itu dia tidak pernah datang pula…"

Kwee Ceng tahu, si nona yang disebutkan itu ialah Oey Yong. Bukankah si nona pernah memberitahukan dia, sebab ia mengantar arak kepada Ciu Pek Thong, dia ditegur dan dimarahi oleh ayahnya, maka ia kabur. Tentulah Pek Thong tidak tahu sebabnya si nona tidak pernah datang pula.

Kwee Ceng sudah lapar, ia tidak pikirkan arak, hanya menyendok nasi dan memakannya, sampai ia menghabiskan lima mangkok. Si bujang tua menanti sampai orang dahar cukup, ia benahkan segalanya dan berlalu.

"Eh, adik kenapa kau bersalah terhadap Oey Lao Shia?" kemudain Pek Thong tanya. Coba kau tuturkan itu pada kakakmu."







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar