Jumat, 13 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 064

Oey Yong girang bukan main, ia lantas mengambil daging kering mengasih makan burung itu.

Tuli lantas bercerita bagaimana ayahnya, Jenghiz Khan menang perang melawan bangsa Kim, bagaimana ia diutus kepada raja Song untuk membuat perserikatan, akan tetapi di tengah jalan ia berpapasan tentara Kim yang merintanginya, hingga mereka bertempur, habislah barisan pengiringnya, mereka tinggal bertiga saja. Maka syukur di sini bertemu saudara angkat, yang dapat menolong mereka.

Mendengar keterangan Tuli ini, Kwee Ceng menjadi ingat apa yang ia dengar di Kwie-in-chung waktu Yo Kang menyuruh Bok Liam Cu pergi ke Lim-an untuk menemui Perdana Menteri Su Bie Wan, untuk memesan agar perdana menteri itu membinasakan utusan Mongolia. Ketika itu ia belum tahu apa-apa, tidak tahunya, negara Kim sudah mengetahui rahasia itu, karenanya Yo Kang diutus raja Kim ke Selatan, maksudnya pun tak lain tak bukan guna merintangi perserikatan Song dan Mongolia.

"Pihak Kim itu rupanya berkeputusan tetap untuk menawanku," Tuli berkata pula, "Maka juga adik rajanya sendiri, yaitu pangeran yang nomor enam, yang memimpin pasukannya memegat kami."

"Adakah ia Wanyen Lieh?" tanya Kwee Ceng.

"Benar! Dia memakai kopiah emas, aku lihat jelas. Sayang sekali, tiga kali aku panah dia, saban-¬saban panahku dirintangi tameng pengiring-¬pengiringnya."

Kwee Ceng girang sekali hingga ia berseru: "Yong-jie, adik Kang! Wanyen Lieh ada di sini, mari kita lekas cari dia!"

Oey Yong menyahut tetapi Yo Kang tidak, malah orangnya pun tidak nampak.

Kwee Ceng heran. "Yong-jie pergi ke timur, aku ke barat!" katanya cepat. Lantas keduanya lari pesat sekali.

Setelah berlari-lari beberapa lie, Kwee Ceng dapat menyandak beberapa serdadu Kim yang lagi kabur, ia menawan satu diantaranya, maka ia mendapat kepastian, benarlah pemimpin tentara pengepung Tuli adalah Wanyen Lieh sendiri, hanya disaat itu, serdadu tidak tahu di mana beradanya pangeran itu.

"Kita sudah meninggalkan pangeran dan kabur, kalau pulang, kepala kami akan dipotong," kata si serdadu, "Karena itu kami hendak meloloskan seragam untuk kabur dan menyembunyikan diri."

Kwee Ceng penasaran, ia masih mencari, tetapi sia-sia. Ketika itu fajar mulai menyingsing. Ia bergelisah sendirinya. Maka ia terus lari, akan mencari. Ketika tiba di sebuah hutan kecil, di sana berkelebat seseorang dengan pakaian putih. Itulah Oey Yong yang juga tidak memperoleh hasil. Maka dengan masgul, mereka kembali ke rumah abu di mana mereka menemui Tuli bertiga.

"Mungkin Wanyen Lieh itu pulang untuk mengambil bala bantuan!" Tuli berkata. "Aku lagi bertugas, tidak dapat aku ayal-ayalan, maka di sini saja kita berpisahan."

Kwee Ceng berduka, khawatir nanti tak dapat bertemu lagi dengan tiga orang itu. Berempat mereka saling rangkul, lalu mereka berpisah. Ia mengawasi kepergian mereka, sampai lenyap dan tindakan kaki kudanya pun tak terdengar.

"Engko Ceng, mari kita menyembunyikan diri," Oey Yong mengajak. "Kita menanti sampai Wanyen Lieh datang bersama pasukannya, waktu itu tentu kita bakal menemui dia. Kalau jumlahnya besar sekali, kita menguntit saja, malamnya baru kita menyatroni, untuk membunuhnya. Tidakkah itu bagus?"

Kwee Ceng girang, ia puji si nona.

Oey Yong pun sangat girang. "Sebenarnya ini tipu daya lumrah saja, namanya berpindah dari gili-gili menaik perahu," katanya tertawa.

"Nanti aku pergi ke dalam rimba menyembunyikan kuda kita," kata Kwee Ceng, yang terus menuntun kudanya. Ketika ia tiba di belakang rumah abu, ia lihat satu benda bersinar keemas¬-emasan yang bertojoh matahari. Ia lantas menghampiri dan memungutnya. Nyata itu sebuah kopiah bersalut emas dan di situ pun tertabur dua butir batu permata sebesar buah kelengkeng. Ia lantas lari kepada Oey Yong.

"Yong-jie, lihat apa ini?" ia berkata separuh berbisik.

Oey Yong terkejut. "Ini kopiahnya Wanyen Lieh," sahutnya.

"Benar! Kebanyakan dia masih bersembunyi di dekat-¬dekat sini, mari kita cari lagi!" mengajak Kwee Ceng.

Oey Yong memutar tubuhnya, tangannya menekan tembok, maka sekejap saja ia sudah berada di atas tembok itu.

"Aku mencari dari atas, kau di bawah!" katanya. Kwee Ceng menyahuti, lantas ia masuk ke dalam pekarangan rumah.

"Engko Ceng, barusan ilmu ringan tubuhku bagus atau tidak?" si nona menanya.

Kwee Ceng menghentikan tindakannya, ia melongo. "Bagus!" sahutnya, "Kenapa?"

Nona itu tertawa. "Kalau bagus, kenapa kau tidak memujiku?" tanyanya.

Kwee Ceng membanting kakinya. "Anak, anak nakal!" katanya. "Diwaktu begini kau masih bergurau!" Oey Yong tertawa, terus ia lari ke belakang.

Selagi Kwee Ceng membantu Tuli melawan serdadu-¬serdadu Kim, Yo Kang yang matanya jeli sekali dapat melihat Wanyen Lieh yang mengepalai tentara Kim. Biar ia bukan anak pangeran itu, tetapi ingat budi orang yang sudah merawatnya belasan tahun. Ia memandang sebagai ayahnya sendiri, dari itu ia mengerti. lambat sedikit saja, pangeran itu bisa dapat susah. Tanpa pikir lagi, ia melompat untuk menolong, justru itu Kwee Ceng telah melontarkan seorang serdadu, Wanyen Lieh berkelit tetapi sia-sia, ia kena ditubruk serdadu itu, ia roboh dari kudanya. Yo Kang lompat, untuk merangkul seraya ia berbisik di kuping pangeran itu: "Hu-ong, inilah anak Kang, jangan bersuara!"

Kwee Ceng lagi bertempur dan Oey Yong lagi main burung, makanya tidak ada yang melihat Yo Kang mengajak ayah angkatnya menyingkir ke belakang rumah abu. Keduanya masuk ke dalam rumah dan sembunyi di sebuah kamar barat. Mereka mendengar pertempuran menjadi reda, serdadu-serdadu Kim lari serabutan, begitupun pembicaraan Kwee Ceng dengan tiga orang Mongolia itu.

Wanyen Lieh merasa tengah bermimpi. "Anak Kang kenapa kau berada di sini?" ia menanya perlahan. "Siapa orang kosen itu?"

"Dia Kwee Ceng, anaknya Kwee Siauw Thian dari dusun Gu-kee-cun di Lim-an," Yo Kang memberitahu.

Dingin Wanyen Lieh merasakan bebokongnya. Di otaknya berkelebat kejadian pada sembilanbelas tahun yang lampau. Ia membungkam. Segera setelah itu, ia mendengar suara Kwee Ceng dan Oey Yong mencarinya. Ia bergidik. Ia telah menyaksikan kegagahan orang tadi diwaktu ketiga Siluman dari Hong Hoo dihajar dan tentaranya dilabrak.

"Hu-ong, mari sembunyi terus di sini," berkata Yo Kang. "Kalau kita keluar sekarang, ada kemungkinan terlihat mereka. Tidak nanti mereka menyangka kita berada di sini. Sebentar setelah mereka pergi jauh barulah kita mengangkat kaki."

Wanyen Lieh mengangguk. "Benar anak Kang," ia menyahut. "Kenapa kau memanggil aku hu-ong dan bukannya ayah?"

Yo Kang tidak menjawab. Ia ingat almarhum ibunya, pikirannya bekerja keras.

"Apakah kau lagi memikirkan ibumu?" Wanyen Lieh tanya. "Benarkah?" Ia memegang tangan orang dan tangan itu dingin bagaikan es.

Dengan perlahan-lahan Yo Kang meloloskan tangannya. "Pemuda she Kwee itu bernama Kwee Ceng, ia gagah sekali," ia memberitahu. "Untuk membalas sakit hati ayahnya, ia bakal mencelakai hu-ong. Untuk itu, dia dapat menggunakan segala daya upaya. Dia pun mempunyai banyak sahabat. Maka itu dalam setengah tahun ini baiklah hu-ong jangan pulang ke Pak-khia…"




"Benar, baiklah kalau aku menyingkir daripadanya," menyahut pangeran itu. "Apakah kau pernah pergi ke Lim-an? Apakah katanya Perdana Menteri Su itu?"

"Aku belum pergi ke sana," menjawab Yo Kang lagu suaranya tawar.

Mendengar suara orang itu, Wanyen Lieh menduga anak ini telah mengetahui asal-usul dirinya, hanya heran ia, mengapa ia telah ditolong. Untuk delapanbelas tahun, keduanya ini menjadi ayah dan anak yang saling menyinta dan menyayangi, akan tetapi pada detik ini, berada dalam sebuah kamar, Yo Kang merasakan di antara mereka ada permusuhan hebat sekali. Yo Kang bersangsi, terombang-ambing di antara kecintaan dan kebencian.

"Asal aku menggerakkan tangan, pasti sudah dapat membalas sakit hati ibuku," berkata si anak dalam hati. "Tetapi, bagaimana dapat aku turun tangan ? apakah benar aku selamanya tidak sudi menjadi putra raja? Apakah aku mesti hidup seperti Kwee Ceng, yang mesti merantau saja?"

Wanyen Lieh seperti dapat menerka hati orang. "Anak Kang, kita pernah menjadi ayah dan anak, maka itu untuk selamanya, kau tetap anakku yang aku cintai," ia berkata, "Negara Kim, tak usah sampai sepuluh tahun, bakal dapat merampas kerajaan Song, maka waktu itu dengan kekuasaan besar berada di tanganku, kebahagiaan kita tidak ada batasnya. Negara ini yang luas dan indah adalah kepunyaanmu!"

Yo Kang dapat menangkap maksud ayahnya, yang hendak mengangkangi kerajaan. Ia goncang hatinya akan mendengar kata-kata "Kebahagiaan yang tak ada batasnya". Ia pikir: "Dengan ketangguhan kerajaan Kim sekarang, memang gampang menaklukkan kerajaan Song. Hu-ong pun sangat cerdas dan pandai bekerja, sekalipun raja sekarang, tidak dapat melawannya. Kalau usaha hu-ong ini berhasil, bukankah aku akan menjadi raja di kolong langit ini?"

Maka dengan begini, ia merasakan darahnya mendidih. Dengan keras ia mencekal tangan Wanyen Lieh. "Ayah, anakmu akan membantu membangun usahamu yang besar!" ia memberikan kata-katanya.

Wanyen Lieh merasakan tangan bocah itu panas, ia girang bukan buatan. "Aku menjadi Lie Yan, kau menjadi Lie Sie Bin!" katanya. Lie Yan dan Lie Sie Bin adalah ayah dan anak dalam pembangun kerajaan Tong.

Selagi Yo Kang hendak menjawab, tiba-tiba ia mendengar suara berkeresek di belakangnya. Keduanya terkejut, segera berpaling.

Nyata cahaya terang sudah mulai menembus jendela, maka terlihatlah di belakang mereka tujuh atau delapan peti mati, yang sudah terisi mayat, yang lagi menanti tanggal penguburannya. Jadi bagian belakang rumah abu ini dipakai sebagai kamar penyimpanan jenazah.

"Suara apakah itu?" tanya Wanyen Lieh, hatinya berdebar.

"Rupanya tikus," menyahut anaknya.

Tapi segera terdengar suara bicara dan tertawanya Oey Yong dan Kwee Ceng yang lewat di luar kamar itu. Mereka mencari Wanyen Lieh sambil membicarakan kopiah emas yang mereka temukan.

"Celaka!" pikir Yo Kang. "Kenapa aku tidak tahu kopiah hu-ong trejatuh?" Ia lantas membisiki ayahnya: "Hendak aku memancing mereka pergi." Lantas ia menolak daun pintu dan melompat keluar, terus naik ke genting.

Oey Yong dapat melihat bayangan orang berkelebat. "Bagus! Dia di sini!" serunya, lantas ia melompat menyusul. Tetapi tiba di ujung rumah, bayangan itu lenyap.

Kwee Ceng mendengar suara si nona, ia lari menghampiri. "Dia tidak bakal lolos, tentu dia sembunyi di dalam sana," kata si nona.

Selagi keduanya hendak menerobos masuk ke dalam pepohonan lebat, terdengar pepohonan kecil bergerak dan tersingkap, di situ muncul Yo Kang.

Kwee ceng kaget dan heran. "Eh, adik, kau pergi ke mana?" dia menanya. "Apakah kau dapat melihat Wanyen Lieh?"

"Kenapa Wanyen Lieh ada di sini?" Yo Kang balik menanya, agaknya ia heran.

"Dia datang ke mari memimpin pasukan serdadunya," sahut Kwee Ceng. "ini kopiahnya."

"Oh, begitu!" Yo Kang berpura-pura.

Oey Yong mengawasi wajah orang, ia curiga. "Kita mencari kau, ke mana kau pergi?" ia tanya.

"Kemaren aku salah makan barang, perutku mulas," menyahut Yo Kang. "aku buang air di sana." Ia menunjuk ke dalam gombolan.

Oey Yong tidak menanya pula, tetapi ia tetap curiga. "Adik Kang, mari kita lekas mencari!" Kwee Ceng mengajak.

Hati Yo Kang berdebar-debar. Ia menduga-duga apakah Wanyen Lieh sudah kabur atau belum. Ia menenangkan dirinya, untuk tidak mengetarakan kecemasan pada parasnya.

"Dia datang mengantarkan jiwa, bagus!" katanya. "Pergilah Toako bersama nona Oey mencarinya ke timur, aku akan mencari ke barat."

"baik," sahut Kwee Ceng yang terus pergi ke jurusan timur. Di sana ia menolak daun pintu kamar Ciat-hauw¬tong, ruang kebaktian dan kesucian diri.

Tapi Oey Yong berkata: "Yo Toako, mungkin ia sembunyi di barat, mari aku turut kau memeriksa ke sana."

Yo Kang khawatir bukan main, tapi ia menjawab: "Mari lekas, jangan memberinya waktu kabur!" Ia lantas mendahului, untuk menggeledah setiap kamar. Tentu saja ia menyingkir dari kamar untuk menyimpan jenazah itu.

Keluarga Lauw di Po-eng adalah keluarga besar di jaman Song, maka rumah abunya pun besar luar biasa. Hanya karena peperangan, gedung itu telah mengalami kerusakan. Adem hati Oey Yong memandangi rumah abu itu. Ia melihat Yo Kang memasuki kamar-kamar yang berdebu atau banyak kabang-kabangnya, dia memeriksa dengan teliti, ia mulai mengerti ketika sampai di kamar barat, yang debunya tebal, di mana ada banyak tapak kaki dan tapak tangan di pintu, mendadak ia berseru: "Di sini!"

Kwee Ceng dan Yo Kang mendengar suaranya, yang satu menjadi girang, yang lain kaget. Mereka lari memburu. Oey Yong membuka pintu dengan satu jejakan, tetapi ketika pintu kamar itu terpentang, ia berdiri melongo. Ia bukannya melihat orang yang dicari, hanya ia nampak beberapa peti mati tampak di situ.

Yo Kang lega hatinya. Ia percaya Wanyen Lieh sudah lolos. Tetapi ia beraksi, ia maju ke depan sambil berseru: "Wanyen Lieh, manusia licin, di mana kau sembunyi? Lekas keluar!"

"Yo Toako, siang-siang dia sudah mendengar suara kita!" kata Oey Yong denagn tertawa. "Tak usah kau begitu baik hati memberitahukan kedatangan kita kepadanya!" Yo Kang gusar, bahwa rahasia hatinya dibongkar.

"Nona Oey, kenapa kau bergurau begini padaku?" katanya, mukanya merah.

Kwee Ceng tertawa. "Jangan dibuat pikiran, adikku," katanya. "Yong-jie main-main saja…." Ia lantas menuju ke lantai. "Lihat, itulah bekasnya orang duduk! Benar-benar ia pernah datang kemari!"

"Lekas kejar!" Oey Yong berseru. Ia lantas memutar tubuhnya, mendadak terdengar bunyi nyaring di belakang mereka. Ketiganya terkejut, semua lantas berbalik. Mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak.

Oey Yong nyali besarnya tetapi terhadap peti mati, hatinya gentar, maka ia lantas memegangi tangan Kwee Ceng. Pemuda ini tercengang sebentar, lantas ia berkata: "Jangan takut, Yong-jie, si jahanam berada di dalam peti mati!"

"Lihat, ia lari ke sana!" berseru Yo Kang sambil tangannya menunjuk keluar. Dia pintar sekali, lantas lompat untuk mengubar.

Oey Yong tetap mencurigai orang, ia menyambar tangan Yo Kang, mencekal nadinya. "Jangan kau main gila!" katanya, tertawa dingin.

Nona Oey ini jauh lebih lihay, dicekal tangannya, Yo Kang merasakan tubuhnya lemas, hingga tidak dapat bergerak. Tapi ia tetap tenang.

"Eh, kau bikin apa?" ia menanya, berpura-pura.

"Engko Ceng, apakah itu di dalam peti mati?" Oey Yong tanya kawannya tanpa memperdulikan orang yang dicurigainya.

"Aku rasa dialah si jahanam!" menyahut Kwee Ceng.

"Kau menakuti-nakuti aku?" kata Oey Yong pada Yo Kang tangan siapa ia sampar. Ia masih penasaran. Tapi mengenai peti mati, ia tetap bersangsi, ia khawatir orang adalah mayat hidup….Maka ia memberi ingat: "Hati-hati engko Ceng….."

Kwee Ceng sudah bertindak menghampiri ketika ia menghentikan tindakannya itu. "Apa katamu?" ia tanya.

"Kau tutup saja peti itu, supaya mahkluk di dalamnya tak dapat keluar," Oey Yong memberi pikiran.

"Mana ada mayat hidup?" kata Kwee Ceng tertawa. Ia tahu kekasihnya itu jeri. Ia pun berkata sambil lompat ke peti mati itu. "Dia tidak bisa keluar!"

Di jaman Song umumnya orang sangat percaya pada hantu atau setan. "Engko Ceng," berkata si nona, masih dalam kesangsian, "Nanti aku coba menyerang dengan pukulan Memukul Udara, tidak peduli dia mayat hidup atau Wanyen Lieh, mari kita dengar jeritan atau tangisannya…."

Sembari berkata si nona maju dua tindak, tenaganya di kerahkan. Di dalam halnya ilmu pukulan Pek-hong¬ciang, ia belum semahir Liok Seng Hong, kerana itu, ia perlu memernahkan diri lebih dekat. Belum lagi serangannya dikeluarkan, mendadak ia mendengar tangisan bayi dari dalam peti itu. Ia kaget hingga berlompat mundur, tubuhnya menggigil, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan: "Setan perempuan….!"

Kwee Ceng tapinya berani. "Adik Yo, mari kita buka tutupnya peti!" ia mengajak.

Yo Kang tengah mandi keringat dingin, saking khawatirnya, sedang untuk membantu Wanyen Lieh, ia jeri terhadap muda-mudi yang lihay ini, maka itu, bukan main lega hatinya mendengar tangisan itu. Tanpa ayal ia berlompat maju. Maka sesaat kemudian, berdua mereka sudah dapat mengangkat tutup peti yang belum dipantek paku itu.

Kwee Ceng mengangkat tutup petinya sambil siap sedia akan menyerang kapan ia dapatkan mayat hidup, kemudian untuk herannya, ia melihat Bok Liam Cu yang rebah di dalam peti mati itu.

Yo Kang pun heran, lekas ia mengulur tangannya untuk membantui orang berbangkit. "Yong-jie, mari!" kata Kwee Ceng. "Kau lihat siapa ini…."

"Tidak, aku tidak mau melihat-lihat!" sahut si nona.

"Tapi ini enci Bok!" Kwee Ceng mendesak.

Baru sekarang Oey Yong mau berpaling. Ia melihat Yo Kang mengempo seorang bayi, yang romannya mirip Liam Cu, maka ia maju ke arah peti, melihat Liam Cu sendiri rebah dengan muka kucal dan air matanya meleleh, tubuhnya tidak bergeming. Sebagai ahli menotok jalan, Oey Yong lekas menolong Nona Bok itu. Ia menotok sana-sini.

"Enci Bok, kenapa kau berada di sini?" tanya Oey Yong kemudian.

Rupanya sudah lama Liam Cu tertotok, hingga jalan darahnya tertahan, tubuhnya kaku, napasnya pun tidak lurus, maka itu Oey Yong mambantu dengan mengurat-urat juga. Selang sedikit lama, baru nona itu bisa membuka mulutnya.

"Aku kena ditawan orang," katanya.

Oey Yong mendapat tahu Liam Cu ditotok jalan darahnya di telapak kaki, yaitu jalan darah yong¬coan-hiat. Ahli silat Tionghoa jarang yang menggunakan ilmu totok semacam ini, maka itu ia dapat menduga siapa si penyerang itu.

"Bukankah itu telur busuk Auwyang Kongcu dari Wilayah Barat?" ia menanya.

Liam Cu tidak menyahut, ia cuma mengangguk. Ketika Liam Cu menolong Yo Kang pergi mengasih kabar pada Bwee Tiauw Hong, dia ditawan Auwyang Kongcu dan dibawa pergi pemuda itu, yang kena diusir oleh Oey Yok Su. Beberapa kali ia dipaksa konngcu itu, ia melawan, hanya kemudian, setelah si kongcu menggunakan ilmu lunak dan ia telah dibujuk pergi datang, ia kalah hati juga, ia menyerah. Kemudian datang saatnya Auwyang Konngcu menggilai Nona Thia, sampai ia kena diusir. Diwaktu kabur, tak sempat ia membawa Bok Liam Cu. Maka itu syukur Kwee Ceng bertiga, yang mencari Wanyen Lieh, dengam begitu ia jadi ketolong, kalau tidak, pasti ia terbinasa di dalam peti mati.

Yo Kang senang melihat kekasihnya. "Adikku, kau beistirahatlah," katanya kemudian. "Nanti aku masak air untuk mencuci muka!"

"Mana kau bisa memasak air!" Oey Yong menyelak. "Aku yang saja pergi masak. Engko Ceng, mari!"

Nona ini ingin berduaan dengan kekasihnya. Tapi, belum lagi ia berlalu, Liam Cu sudah berkata kepada si orang she Yo itu. Ia tidak tersenyum seperti Yo Kang, romannya pun dingin. "Tunggu dulu!" demikian katanya. "Orang she Yo, aku beri selamat padamu! Di belakang hari tak terbatas kebahagiaan dan keagunganmu!"

Muka Yo Kang menjadi panas. Sebaliknya punggungnya dirasakan dingin. Ia menjublak, tetapi di dalam hatinya ia berkata: "Rupanya dia telah mendengar apa yang tadi aku bicarakan dengan hu-ong…"

Liam Cu melihat muka orang agak berduka, hatinya lemah, tidak tega ia membuka rahasia bahwa orang she Yo inilah yang melepaskan Wanyen Lieh. Ia tahu, dalam gusarnya Oey Yong bisa membinasakan tunangannya ini.

"Kau memanggil ia ayah, bukankah itu bagus sekali?" ia berkata dingin. "Tidakkah itu terdengarnya lebih erat? Kenapa justru kau memanggil hu-ong?"

Yo Kang tunduk, ia malu sekali, hatinya berdebaran. Oey Yong tidak bercuriga, ia menyangka sepasang kekasih itu lagi berselisih, maka itu ia tarik ujung baju Kwee Ceng.

"Mari kita pergi, aku tanggung sebentar lagi mereka akan akur pula…" bisiknya.

Kwee Ceng tertawa, ia ikut keluar. Sampai di depan Oey Yong berkata dengan perlahan: "Engko Ceng, mari kita curi dengar pembicaraan mereka."

"Jangan bergurau, aku tidak mau pergi!" kata si pemuda.

"Kau tidak mau pergi, jangan kau menyesal, kalau ada kejenakaan, sebentar aku tidak akan membilangimu!" Ia lantas lompat naik ke atas genting, untuk dengan berhati-hati belok ke kamar barat peranti menimbun jenazah itu.

Justru itu terdengar suara Lim Cu: "Kau mengaku bangsat itu menjadi ayahmu, masih bisa dimengerti, sebab di antara kamu ada rasa cinta lama dan kau pun belum dapat berbalik hati, tetapi sekarang niatmu tidak benar, itulah yang bukan-bukan! Kau hendak membikin musnah negara sendiri…! Ini, ini….!" Saking murka dan pepat hati, Liam Cu tidak dapat berbicara lebih jauh.

"Adikku, aku…" berkata Yo Kang sambil tertawa.

Tapi ia dibentak nona Bok: "Siapa adikmu?! Jangan pegang aku!"

Lalu terdengar suara "Plak!" maka muka Yo Kang kena ditampar.

Oey Yong tertawa, dia melompat turun, terus masuk di jendela. "Kalau ada bicara, bicaralah baik-baik!" ia berkata, tertawa. Ia tidak menduga jelek. Ia melihat muka Liam Cu merah gusar dan paras Yo Kang pucat berkhawatir, ia menjadi terkejut, ia menduga perselisihan menjadi hebat. Ia memikir untuk mengakurkan.

Baru ia hendak membuka mulutnya, Yo Kang sudah berkata terlebih dahulu: "Bagus!" kata orang she Yo itu. "Kau menyambut yang baru dan membuang yang lama! Di dalam hatimu sudah ada orang lain, maka begitulah kau berlaku terhadapku!"

"Kau, kau bilang apa?!" kata nona Bok.

"Kau telah ikut Auwyang Kongcu! Dia pintar surat dan pandai silat, dia menangi aku sepuluh kali lipat! Mana kau melihat mata lagi padaku!"

Liam Cu mendongkol hingga kaki tangannya dingin, hampir ia pingsan.

"Yo Toako, jangan kau omong sembarangan," berkata Oey Yong. "Kalau enci Bok menyukai telur busuk itu, mustahil dia menaruh enci di dalam peti mati ini?"

"Palsu atau bukan, sama saja!" kata Yo Kang. "Dia kena ditawan, dia kehilangan kesucian dirinya, mana bisa aku hidup bersama lagi dengannya?!"

"Aku kehilangan kesucian apa?!" tanya Liam Cu sengit.

"Kau telah terjatuh di tangan orang beberapa hari, kau dipeluk dan dirangkul pulang pergi! Bisakah kau masih suci bersih?!"jawab pemuda itu.

Liam Cu begitu mendongkol hingga ia memuntahkan darah segar, tubuhnya roboh ke belakang. Hampir Yo Kang melompat untuk menubruk tapi dia ingat, Liam Cu sudah tahu rahasianya, kalau mereka berselisih terus, mungkin rahasianya pecah di hadapan Oey Yong, dari itu ia terus bertindak keluar, pergi ke belakang di mana ia melompati tembok untuk terusmenyingkir.

Oey Yong menguruti Liam Cu sekian lama, baru nona itu sadar. Ia berdiam sebentar, lantas ia tidak menangis pula, sikapnya pun tenang.

"Adik, hendak aku meminjam pisau belati yang baru¬baru ini aku serahkan padamu!" katanya kemudian.

"Engko Ceng, mari!" Oey Yong memanggil sebelum ia sahuti si nona.

Kwee Ceng dengar panggilan itu, lantas muncul.

"Coba kasihkan enci Bok pisau belatinya Yo Toako," kata nona Oey.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar