Senin, 09 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 063

Cit Kong berpikir. Ia tak tahu maksudnya nona ini tetapi ia tahu orang sangat cerdik, ia menduga tentulah putrinya Tong Shia Oey Yok Su ini mengandung sesuatu maksud.

"Menangkap ular di tempat tujuh dim," ia memberi keterangan. "Kedua jeriji tangan mesti merupakan sebagai sepit. Asal tepat kenanya, ular bagaimana beracunpun tidak bakalan bergeming lagi."

"Kalau ular yang kasar sekali?" tanya pula si nona. Ia maksudkan ular besar.

"Ajukan tangan kiri, untuk memancing menggigit tangan kiri kita," Cit Kong mengajari. "Lalu dengan tangan kanan menghajar di tempat tujuh dim juga."

"Apakah menghajarnya mesti cepat sekali?"

"Tentu saja. Tangan kiri itu mesti dipakaikan obat, supaya toh kalau kena digigit, akibatnya tidak membahayakan."

Oey Yong mengangguk, melirik si pengemis tua, ia mengedipkan matanya. "Suhu, sekarang kau boleh torehkan obat padaku." ia minta. Ia memanggil suhu, guru.

Biasanya Ang Cit Kong ini, kalau menghadapi ular, biar yang sangat beracun, ia mengemplang dengan tongkatnya, ia tidak punya obat, akan tetapi si nona melirik padanya, mengedipkan mata, lantas mengasih turun cupu-cupu di bebekongnya, dari dalam ia menuang sedikit arak, menorehkan kedua tangan muridnya yang baruini.

Oey Yong membawa kedua tangannya ke hidung, menciuminya, lantas ia memperlihatkan wajah yang luar biasa. Ia pun segera menghadapi Auwyang Kongcu.

"Hallo!" tegurnya. "Aku ini murid Ang Cit Kong, sekarang aku ingin belajar kenal dengan ilmu silat Kulit Ular Lemas! Sebelum itu aku hendak menjelaskan padamu, tanganku ini sudah ditorehkan obat pemunah racun ularmu, dari itu kau haruslah waspada!"

Auwyang Kongcu tidak takut. Pikirnya: "Dengan menempur kau, bukannya dengan segebrakan saja aku dapat mencekukmu! Tidak peduli tanganmu ada apanya yang aneh, cukup untukku asal aku tidak membenturnya!" Maka ia tertawa dan menyahuti: "Jikalau aku sampai terbinasa di tanganmu, aku puas!"

"Semua ilmu silatmu yang lainnya biasa saja," berkata si nona, "Karena aku cuma mau belajar kenal sama kutauw ularmu yang bau busuk itu, maka jikalau kau menggunakan lainnya macam ilmu silat, kau terhitung kalah!"

"Apa yang kau bilang Nona, aku mengiringi saja," sahut Auwyang Kongcu

Oey Yong tertawa. "Aku tidak sangka, kau telur busuk, pandai sekali kau bicara!" katanya. "Lihat tanganku!"

Kata-kata ini disusul serangannya, dengan jurus po¬giok-kun ajaran Ang Cit Kong. Auwyang Kongcu sudah lantas berkelit ke samping. Oey Yong menyerang terus, mulanya dengan tendangan kaki kiri, lalu disusul dengan bangkolan tangan kanan. Ini pun ada ajarannya karena namanya pukulan "Sutera Terbang".

Melihat kegesitan orang, Auwyang Kongcu tidak berani memandang enteng. Ia mengulur tangan kanannya, lalu mendadak ia menhajar ke pundak si nona. Inilah jurus dari Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas.

Sungguh sebat serangannya itu. Hampir tangannya mengenai sasaran, mendadak ia sadar, cepat-¬cepat ia menarik pulang. Sejenak ia ingat si nona mengenakan baju lapis berduri, kalau serangannya mengena, tangannya pasti berdarah.

Karena orang membatalkan serangannya, Oey Yong menyerang. Kedua tangannya melayang ke arah muka. Auwyang Kongcu mengebaskan tangan bajunya, ia menangkis serangan si nona.

Oey Yong mengenakan baju lapis dan kedua tangannya dipakaikan obat, kecuali mukanya, tidak ada lain anggota tubuhnya yang dapat dijadikan sasaran. Karena itu Auwyang Kongcu menjadi mendapat rintangan. Untuk menyerang ke bawah, ia tidak mempunyai harapan, ia jadi terdesak, main berkelit atau lompat sana lompat sini saja.

"Kalau aku serang mukanya dan berhasil, aku lancang," pikirnya. "Kalau aku jambak rambutnya, itu lebih hebat lagi, aku jadi berlaku kasar. Habis, kemana aku mesti menyerang…?" Tetapi ia cerdik, ia lantas mendapat akal. Selagi berkelit, ia merobek ujung bajunya, ia pakai membalut kedua tangannya, maka sebentar kemudian, ia mulai berkelahi dengan mencoba menangkap tangan lawan.

Tiba-tiba Oey Yong lompat keluar gelanggang. "Kau kalah!" serunya. "Itu bukan ilmu silatmu yang bau!"

"Oh, aku lupa..!" berkata si anak muda, jengah.

"Sekarang teranglah ilmu silat ularmu yang bau itu tak dapat berbuat apa-apa terhadap muridnya Ang Cit Kong," kata si nona yang licin itu, "Itu artinya ilmu silat itu tak ada keanehannya. Selama di istana Chao Wang, kita pun pernah bertempur, waktu itu aku malas mengeluarkan tenaga, aku kalah. Karena itu, kita sekarang seri. Mari kita bertempur lagi, untuk memastikan menang atau kalah!"

Mendengar itu Lee Seng semua heran. Mereka berpikir, "Ini nona memang lihay tetapi dia tak dapat melawan musuhnya, barusan ia menang karena menggunakan akal, tidakkah itu bagus? Kenapa dia mau bertempur lagi, seperti orang melukiskan ular di tambah kaki?"

Ang Cit Kong sebaliknya tertawa haha-hihi. Ia tahu nona ini sangat pintar dan nakal, dia rupanya hendak menggunakan hadirnya disitu untuk mempermainkan keponakannya Auwyang Hong itu. Maka ia membiarkan saja, ia lebih perlu menggerogoti sisa ayamnya….

"Ah, kenapa kita mesti main sungguhan?" tertawa Auwyang Kongcu. "Kau yang kalah atau aku yang menang toh sama saja, bukan? Tapi, kalau ada mempunyai kegembiraan, baiklah aku yang rendah suka menemani kau main-main."

Oey Yong berkata pula; "Selama di istana pangeran Chao Wang itu, di kiri kananmu semua sahabat-¬sahabatmu, andaikata aku menang, terang mereka bakal menolong kau. Itulah sebabnya kenapa aku malas melayani kau. Tapi disini ada sahabat-sahabatmu…" ia menunjuk kepada semua gundik orang yang mengenakan pakaian serba putih itu. "Dan aku pun ada kawan-kawanku. Memang benar sahabatmu berjumlah lebih banyak, tetapi tidak apa, aku dapat melayani kerugian di pihakku itu. Sekarang begini saja, mari kita menggurat satu lingkaran bulat. Siapa yang lebih dulu keluar dari lingkaran, dia yang kalah!"

Mendengar suara orang yang agaknya mendesak itu, tetapi toh ada pantasnya, Auwyang Kongcu mendongkol berbareng geli. Ia menerima baik usul itu, bahkan ia segera membikin lingkaran. Ia menggurat dengan kakinya. Kaki kiri ditancap di tengah-tengah, kaki kanannya berputar mengikuti tubuhnya. Ia membuat lingkaran lebar bundar enam kaki.

Rombongan Kay Pang benci anak muda ini, tetapi melihat kepandaian orang, mereka kagum dan memuji dalam hati.

Oey Yong lantas bertindak masuk ke dalam lingkaran itu. "Kita bertempur secara bun atau secara bu?" dia tanya. Bun berarti lunak dan Bu berarti keras.

"Hebat kau, banyak keanehanmu…" pikir Auwyang Kongcu. Ia menanya: "Bagaimana caranya bun dan bagaimana caranya bu?"

"Cara bun ialah aku menyerang kau tiga kali, kau tidak boleh membalas," menerangkan si nona. "Kau juga menyerang kepadaku dan aku pun tidak boleh membalas. Kalau cara bu ialah bertarung sesuka kita, kau boleh pakai ilmu silat ular mampus atau kuntauw tikus hidup, sesukamu, asal siapa yang keluar terlebih dahlulu dari lingkaran, dialah yang kalah!"

"Aku pikir baiklah kita ambil cara bun," berkata si anak muda. "Dengan begitu kita tidak mengganggu persahabatan…"

"Kalau cara bu, sudah pasti kau bakal kalah!" berkata si nona. "Kau pilih cara bun, kau masih mempunyai harapan. Baiklah, aku memberi keleluasan padamu, kita pakai cara bun. Siapa yang menyerang lebih dulu, kau atau aku?"




Auwyang Kongcu malu menyerang lebih dulu. "Tentu saja kau yang mulai lebih dulu," ia memberikan penyahutannya.

"Kau licin sekali!" tertawa Oey Yong. "Kau memilih belakangan, karena kau tahu, jikalau kau lebih dulu, kau bakal tampak kerugian, kau jadi berpura ngalah terhadap aku! Baiklah, hari ini aku yang akan terus bersikap seorang kesatria, aku akan mengalah sampai di akhirnya!"

Auwyang Kongcu pun berpikir, "Sebenarnya tidak apa aku menyerang terlebih dulu." Tapi ketika ia hendak mengucapkan itu, si nona sudah mendahului padanya. "Lihat serangan!" Nona ini benar-benar menyerang, dihadapannya terlihat sinar berkeredepan menyambar lawannya. Ia ternyata memegang senjata rahasia di dalam tangannya.

Auwyang Kongcu terkejut. Untuk menangkis sama kipasnya, sudah dirusak Ang Cit Kong. Ia dapat menggunakan ujung bajunya, mengebas, tangan ujung bajunya baru disobek. Ia tidak menangkis, ia pun tidak bisa mundur. Sebab mundur berarti keluar dari lingkaran. Tidak ada pilihan lain, terpaksa ia menjejak kedua kakinya, untuk mencelat mengapungkan diri, tingginya setombak lebih, dengan begitu semua senjata rahasia itu lewat di bawah kakinya.

Si nona telah menimpuk dengan beberapa puluh jarum. "Serangan yang kedua!" si nona berseru. Ia menyerang pula disaat orang terapung. Serangannya kali ini ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Itulah ilmu melepas jarum ajaran Ang Cit Kong yang bernama "Boan-thian hoa ie teng kim ciam" atau melempar jarum memenuhi langit bagaikan hujan bunga.

"Habislah aku!" mengeluh Auwyang Kongcu saking kagetnya. "Perempuan ini sungguh kejam…"

Justru itu ia merasakan ada orang mencekal leher bajunya di bagian belakang dan terus kakinya terangkat lebih tinggi, berbareng dengan itu, ia mendengar suara sar-ser dari lewatnya semua jarum rahasia, yang terus jatuh ke tanah. Ia mengerti bahwa ada orang yang sudah menolong, hanya belum sempat ia melihat penolong itu, ia merasa tubuhnya sudah dilemparkan.

Sebenarnya ia tidak dilempar keras, akan tetapi lihaynya orang yang melemparkannya itu, ketika tubuhnya tiba di tanah, yang mendahului jatuh adalah lengan kirinya, maka sebelum dapat melompat bangun, ia terbanting keras juga. Ia menduga Ang Cit Kong, sebab di situ tidak ada orang lain yang terlebih pandai. Ia mendongkol sekali, tanpa menoleh lagi, ia ngeloyor keluar dari rumah abu itu, semua gundiknya melerot mengikuti padanya.

"Suhu, kenapa kau menolong mahkluk busuk itu?!" Oey Yong tanya gurunya.

Ang Cit Kong tertawa. "Dengan pamannya itu aku bersahabat kekal!" sahutnya. "Dia memang jahat, dia bagiannya mampus, tetapi kalau dia mampus di tangan muridku, jelek di muka pamannya." Ia terus menepuk-nepuk pundak muridnya yang cerdik itu. "Anak manis, hari ini kau telah membikin terang muka gurumu. Dengan apa aku harus memberi upah kepadamu?"

Oey Yong mengulur lidahnya. "Aku tidak menghendaki tongkatmu, suhu!" katanya.

"Walaupun kau menghendaki, tidak dapat aku memberikannya!" kata sang guru. "Aku memikir untuk mengajari kau satu atau dua tipu silat, tetapi dalam beberapa hari ini aku sangat malas bergerak, aku tidak mempunyai kegembiraan!"

"Aku nanti masaki kau beberapa macam sayur untuk membangkitkan semangatmu," berkata Oey Yong.

"Sekarang aku tak sempat berdahar." Ia menunjuk Lee Seng serta rombongannya. "Kami kaum Kay Pang mempunyai banyak urusan untuk dibicarakan."

Lee Seng dan kawan-kawannya menghampiri Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk menghanturkan terima kasih.

Nona Thia pun meloloskan diri dari belenggunya, ia dekati Oey Yong, tangan siapa ia tarik, ia mengutarakan rasa syukurnya.

Oey Yong menunjuk kepada Kwee Ceng, ia berkata kepada si nona: "Ma Totiang, yang menjadi paman gurmu yang nomor satu, pernah mengajarkan ilmu silat, dan lain-lain paman gurumu, seperti Khu Supee dan Ong Supee, semua memandang tinggi kepadanya. Sebenarnya kita adalah orang sendiri."

Setelah Lee Seng mengasih selamat kepada Ang Cit Kong, Kwee Ceng dan Oey Yong. Mereka memang tahu, ketua itu tidak pernah menerima murid tetapi entah bagaimana, kali ini kebiasaan itu tidak dapat dipertahankan. Tentu saja ia yang diajar, hanya beberapa jurus, menjadi kagum sekali. Ia pun berkata, besok hendak mengadakan perjamuan guna pemberian selamat.

"Aku khawatir mereka jijik dengan kedekilan kita, mereka tidak akan sudi dahar makanan kita kaum pengemis!" berkata Cit Kong sambil tertawa.

"Besok pasti kita akan hadir," berkata Kwee Ceng lekas. "Lee Toako ada cianpwee kami, aku justru ingin sekali mempererat persahabatan kita!"

Senang Lee Seng mendapat perkataan anak muda ini. Ia memang suka anak muda ini yang lihay dan sifatnya sangat merendah.

"Kamu bersahabat erat, ini bagus," kata Cit Kong. "Tapi ingat, jangan kau membujuk murid kepalaku ini menjadi pengemis. Kau, muridku yang kecil, pergi kau mengantarkan Nona Thia pulang. Kami bangsa pengemis, sekarang kami hendak pergi mencuri ayam dan mengemis nasi…!"

Habis berkata begitu, pangcu dari Kay Pang itu, Partai Pengemis, sudah lantas ngeloyor pergi. Lee Seng beramai mengikuti, tetapi sebelum pergi Lee Seng memberitahukan, pesat besok bakal dibikin di rumah abu itu.

Oey Yong mengantarkan Nona Thia pulang, Kwee Ceng juga turut mengantar karena ia khawatir mereka bertemu Auwyang Kongcu di tengah jalan.

Di tengah jalan, Nona Thia perkenalkan dirinya pada Oey Yong. Ia ternyata bernama Yauw Kee. Ia memang pernah belajar silat pada Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie tetapi dasar dari keluarga hartawan, ia tidak bisa membuang semua sifatnya si orang hartawan, maka itu ia beda dari Oey Yong yang polos dan sederhana, meskipun sebenarnya Oey Yong termanjakan oleh ayahnya.

Sekembalinya dari rumah Thia Yauw Kee, Kwee Ceng dan Oey Yong hendak pulang ke penginapannya untuk beristirahat, mereka merasa letih, akan tetapi mendadak mereka mendengar tindakan kaki kuda mendatangi dari arah selatan ke utara, setelah datang hampir dekat, penunggang kuda itu menghentikan binatang tunggangannya. Oey Yong ingin tahu siapa penunggang kuda itu, ia lari menghampiri, Kwee Ceng mengikutinya

Untuk herannya muda-muda ini, mereka mengenali Yo Kang, yang tangannya menuntun seekor kuda. Dan, berdiri di tepi jalan, orang she Yo itu asyik pasang omong dengan Auwyang Kongcu. Sebenarnya mereka ini ingin mendengar pembicaraan orang tetapi mereka tidak berani datang terlalu dekat, khawatir nanti kepergok. Maka itu apa yang terdengar adalah Auwyang Kongcu menyebut-nyebut "Gak Hui" dan kota "Lim-an" dan Yo Kang mengatakan "ayahku". Setelah itu, Auwyang Kongcu memberi hormat, bersama murid-muridnya, dan gundik-gundiknya, ia berlalu.

Yo Kang berdiri menjublak, lalu ia menghela napas, kemudain ia berlompat naik ke atas kudanya.

"Yo Hiantee, aku ada di sini!" Kwee Ceng memanggil.

Yo Kang terkejut, tetapi segera ia lari menghampir "Toako, kau ada di sini?" tanyanya heran.

"Di sini aku bertemu bersama Nona Oey, kita pun bentrok sama Auwyang Kongcu, karenanya perjalananku terlambat," Kwee Ceng menyahut.

Muka Yo Kang merah dan dirasakan panas, tetapi Kwee Ceng tidak dapat melihatnya. "Toako, kita jalan terus sekarang atau singgah dulu?" Yo Kang tanya. "Apakah Nona Oey akan turut bersama pergi ke Pak-khia?"

"Bukannya aku mengikut kamu, tetapi kaulah yang mengikuti kami," kata Oey Yong.

"Toh, tidak ada perbedaannya!" Kwee Cneg tertawa.

"Mari kita pergi ke rumah abu untuk beristirahat, setelah terang tanah kita melanjutkan perjalanan."

Yo Kang menurut, mereka balik ke rumah abu keluarga Lauw itu. Kwee Ceng menyalakan sisa lilinya Auwyang Kongcu.

Oey Yong membawa sebuah ciaktay, dengan menyuluh, ia punguti semua jarumnya. Hawa malam itu panas mengkedus, maka ketiganya merebahkan diri di depan ruang dimana mereka meletakkan daun pintu. Hampir mereka kepulasan, kuping mereka mendengar tindakan kaki kuda. Lantas mereka bangun duduk, memasang kuping. Terang itu bukannya seekor kuda, dan suaranya pun makin nyata.

"Yang di depan tiga orang, yang di belakang, yang mengejar belasan," berkata Oey Yong.

Kwee Cneg seperti hidup di punggung kuda, ia lebih berpengalaman daripada si nona. Ia kata: " Ini aneh! Pengejar itu terdiri dari enambelas orang!"

"Apa katamu!"

"Yang di depan itu semua kuda Mongolia, yang di belakangnya bukan. Heran, kenapa kuda Mongolia dari gurun pasir berkeliaran di sini?"

Oey Yong berbangkit, ia menarik tangan Kwee Ceng diajak ke pintu. Mendadak saja sebatang anak panah lewat di atas kepala mereka. Ketiga penunggang kuda sudah lantas sampai di depan rumah abu, hanya celaka penunggang kuda yang paling belakang, ketika sebatang panah menyambar pula, kudanya terpanah kempolannya, binatang itu meringkik, lalu roboh. Syukur untuknya, dia kaget, dia dapat berlompat turun dari kudanya, karena tidak mengerti ilmu ringan tubuh, turunnya dengan tubuh yang berat. Dua kawannya berdiri bengong dan saling mengawasi.

"Aku tidak kurang suatu apa!" berkata yang kudanya roboh itu. "Kau lekas berangkat terus, nanti aku merintangi mereka!"

"Aku membantui kau merintangi mereka," kata yang satunya. "Su-ongya lekas menyingkir!"

"Mana bisa?!" berkata orang yang dipanggil su-ongya itu, pangeran keempat.

Mereka bicara dalam bahasa Mongolia dan Kwee Ceng merasa mengenal mereka, Tuli, Jebe dan Boroul. Tentu saja ia menjadi tambah heran, hingga ia menduga-duga, kenapa mereka berada di tempat ini. Tadinya ia berniat pergi menemui mereka kaum pengejarnya keburu sampai dan sudah lantas mulai mengurung.

Ketiga orang Mongolia itu membuat perlawanan dengan panah mereka. Nyata mereka pandai sekali menggunakan senjatanya. Pihak pengurung tidak berani mendekat, mereka menyerang dengan anak panah dari kejauhan.

"Naik!" berseru seorang Mongolia, tangannya menunjuk ke tiang bendera.

Bagaikan kera, mereka berlompatan naik, sebentar kemudia mereka dapat memernahkan diri di tempat tinggi.

Pihak pengurung mendesak lebih jauh, semua turun dari kudanya masing-masing.

"Engko Ceng, kau keliru," kata Oey Yong. "Mereka berlimabelas."

"Tidak bisa salah. Salah satunya telah kena terpanah!"

Benar saja, seekor kuda yang lain mendatangi dengan perlahan, di pelananya ada penunggangnya yang tergantung kaki kirinya dan terseret, di dadanya ada panag panjang yang menancap.

Diam-diam Kwee Ceng merayap menghampiri penunggang kuda itu, yang sudah mati. Ia mencabut anak panahnya. Ia mendapat kenyataan, gagang panah tersalut besi matang. Bahkan di situ ada ukiran seekor macan tutul, tanda dari panahnya Jebe. Anak panah itu lebih berat dari anak panah biasa. Sekarang ia tidak sangsi lagi. Maka ia berteriak menanya; "Yang di atas itu suhu Jebe dan adik Tuli?"

Tiga orang itu terdengar berseru kegirangan. Berbareng dengan itu dua bayangan putih melayang turun ke arah pemuda she Kwee.

Kwee Ceng mendengar suara sayap burung ia segera mengenali kedua ekor burung rajawali piaraan putri Gochin Baki.

Kedua ekor burung itu sangat tajam matanya, walaupun dalam gelap, mereka mengenali majikan mereka, maka ini mereka lantas terbang turun. Sambil berpekik mereka hinggap di pundak majikannya.

Oey Yong kagum sekali. Memang pernah ia mendengar Kwee Ceng bercerita halnya memanah burung rajawali dan mendapatkan anaknya yang terus dipiara, hingga ia pun memikir, kalau ia dapat pergi ke gurun pasir, hendak ia memelihara burung itu.

"Mari kasih aku bermain-main dengannya!" ia kata tanpa menghiraukan musuh semakin mendekat. Ia mengulur tangannya, untuk memegang burung itu, guna mengusap-usap bulunya. Tapi burung itu lihay, ia tidak kenal si nona, ia mematok. Syukur si nona keburu tarik pulang tangannya.

"Jangan!" Kwee Ceng mencegah.

"Burung ini busuk!" kata si nona, yang tertawa. Biar bagaimana ia suka burung itu, yang terus awasi.

"Yong-jie, awas!" mendadak Kwee Ceng berseru. Waktu itu dua batang anak panah menyambar ke arah dadanya si nona.

Oey Yong acuh tak acuh atas datangnya anak panah itu, akan tetapi dengan sebat ia menyembat tubuhnya si penunggang kuda yang sudah mati itu, maka kedua anak panah lantas mengenai tubuh orang itu, yang ternyata adalah serdadu Kim, cuma sebab ia mengenakan baju lapis, anak panah itu jatuh ke tanah. Lantas si nona merogoh kantungnya si serdadu, ia keluarkan rangsum keringnya, yang mana ia pakai untuk memberi makan kepada kedua ekor rajawali itu.

"Yong-jie, kau mainlah dengan burung ini, nanti aku menghajar tentara Kim itu!" berkata Kwee Ceng, yang segera lompat maju, tepat menghadapi satu musuh, yang memanah kepadanya. Ia sampok anak panah itu dengan tangan kiri lalu dengan tangan kanan ia cekal tangan orang, terus tekuk patah.

"Hai, bangsat anjing dari mana berani banyak tingkah di sini?!" berteriak seseorang dari tempat yang gelap. Ia bicara dalam bahasa Tionghoa, malah suaranya dikenali Kwee Ceng, sehingga pemuda ini heran. Tengah ia tercengang, sepasang kampak sudah menyambar kepadanya, cahaya senjata itu gemerlapan.

Melihat serangan bukan sembarang serangan, Kwee Ceng mendak, sembari mendak ia segera membalas menyerang dengan jurus "Naga sakti menggoyang ekor" dari Hap Liong Sip-pat Ciang!

Tidak ayal lagi musuhnya terhajar pundaknya, tulang¬-tulangnya pada patah dan remuk, tubuhnya terpental jatuh sambil ia mengeluarkan jeritan yang menyayat. Maka sekarang Kwee Ceng ingat salah satu dari Hong HO Su Koay, yaitu Song-bun-hu Cian Ceng Kian.

Menyesal juga pemuda itu telah berlaku secepat itu, ia khawatir Ceng Kian terbinasa. Ia hanya tidak menyangka, baru beberapa bulan sekarang dapat mengalahkan Siluman dari Sungai Hong Hoo itu demikian gampang. Tengah ia menyesal, mendadak datang lagi serangan-sebuah golok dan sebatang tombak.

Ia segera menduga kepada Toan-hun-to Sim Ceng Kong dan Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat. Ia membangkol tombak orang dan menarik, maka tubuh si penyerang menjadi terjerunuk maju, tempat menjadi sasarannya golok kawannya, tetapi dengan satu tendangan, Kwee Ceng menghalau golok yang terbang melayang. Habis itu, dengan kesebatannya, pemuda ini mengangkat tubuh orang, untuk dilemparkan, Ceng Kong dan Ceng Liat saling bentur dengan keras, hingga keduanya pingsan.

Hong Ho Su Koay ini tinggal bertiga sebab Siluman yang satu lagi, yaitu Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong telah terbinasa di tanga Liok Koan Eng ketika ia nelusup masuk ke dalam rombongan perampok Thay Ouw. Mereka bertigalah orang-orang lihay dari rombongan serdadu-serdadu Kim yang mengejar Tuli bertiga itu. Mereka roboh tanpa diketahui rombongannya, maka serdadu-serdadu Kim itu masih tetap menyerang Tuli, Jebe dan Boroul.

"Masih kamu tidak mau menyingkir! Apakah kamu ingin mampus semua di sini?!" membentak Kwee Ceng, yang segera maju menyerbu, menyerang kalang-kabutan kepada serdadu-serdadu itu, hingga sebentar kemudian mereka itu menjadi kacau dan kabur.

Sim Ceng Kong dan Gouw Ceng Liat sadar saling susul, melihat ancaman bahaya, mereka kabur tanpa berayal lagi,

Jebe bersama Boroul lihay ilmu panahnya, mereka dapat membinasakan tiga serdadu. Tuli mengawasi ke bawah, ia menyaksikan Kwee Ceng menghajar musuh, ia girang bukan main.

"Anda, kau baik?" ia menanya. Terus dengan memeluk tiang bendera, ia merosot turun, setibanya di tanah, di sambar tangan Kwee Ceng, mereka saling jabat dengan keras, mata mereka saling tatap. Menyusul itu, Jebe dan Boroul pun merosot tutun.

"Tiga orang itu melawan kami dengan tamengnya, tidak dapat kami memanah mereka," berkata Jebe. "Coba tidak Ceng-jie datang menolong, pastilah kami tak bakal dapat minum pula airnya sungai Onom yang jernih!" Jago panah ini berbicara separuh bergurau hingga orang tertawa.

Kwee Ceng lantas menghampiri Oey Yong, untuk ditarik menghampiri Tuli bertiga. "Inilah adik angkatku," ia perkenalkan nona itu.

Oey Yong yang lucu dan berani, sembari tertawa ia lantas berkata: "Sepasang burung ini dapatkah diberikan kepadaku?"

Tuli berdiam mengawasi si nona, ia tidak mengerti bahasa Tionghoa dan peterjemahnya telah mati terbinasa di tangan musuh. Ia cuma mendengar suara orang halus dan merdu wajahnya manis.

"Eh, anda, mengapa kau membawa-bawa burung ini?" Kwee Ceng tanya. Ia pun tidak mengambil peduli perkataan si nona.

"Ayahanda menitahkan kaisar Song," menyahut Tuli. "Kami berjanji bersama-sama mengerahkan angkatan perang guna menggenjet pasukan perang Kim. Adikku bilang, mungkin nanti aku ketemu kau, maka ia menyuruh aku membawa burung ini."

Kwee Ceng terdiam mendengar orang menyebut putri Gochin. Ia berpikir: "Dalam satu bulan aku mesti memenuhi janji pergi ke pulau Tho Hoa To, mungkin sekali ayahnya Yong-jie bakal membunuh aku, maka itu tiba-tiba dapat aku perdulikan lagi dia…" Maka itu ia berpaling kepada Oey Yong dan berkata: "Sepasang burung ini menjadi kepunyaanku, kau boleh ambil buat main!"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar