Minggu, 08 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 061

Tengah hari itu mereka tiba di Lie-yang. Lantas mencari tempat pemondokan. Seorang pelayan penginapan menghampiri mereka.

"Apakah tuan-tuan adalah tuan Kwee dan tuan Yo?" dia menanya sembari memberi hormat dan tertawa. "Barang santapan sudah siap, silahkan tuan-tuan turut aku pergi bersantap dulu."

Dua-dua pemuda itu terkejut.

"Kenapa kau mengenal kami?" tanya Yo Kang.

"Aku menerima pesan, tuan-tuan," sahut pelayan itu, sambil tertawa. "Tadi seorang tuan datang padaku mengasih tahu perihal datangnya tuan¬-tuan. Aku diberi lukisan tentang roman dan potongan tubuh tuan-tuan." Semabri berkata, ia menuntun kuda orang untuk dirawat.

"Sungguh baik tuan dari Kwie-in-chung itu," Kwee Ceng memuji.

Mereka duduk di meja menghadapi masakan pilihan yang mahal harganya, begitu pun araknya. Kwee Ceng mendapati masakan ayam yang ia paling doyan. Mereka bersantap dengan bernafsu, habis dahar mereka hendak membayar.

"Tidak usah tuan-tuan, semuanya sudah dibayar," si pelayan menerangkan.

Kwee Ceng tertawa, ia memberi upah pelayan itu, yang mengucap terima kasih berulang-ulang dan dengan hormat mengantar keluar.

Di tengah jalan, Kwee Ceng memuji pula Liok Chungcu, tetapi Yo Kang, yang masih mendongkol bekas dikalahkan dan ditawan, mengatakan,: "Teranglah ia menggunai muslihat ini untuk membaiki semua orang gagah, pantas dia menjadi kepala di Thay Ouw!"

"Hiantee, bukankah chungcu itu paman gurumu?" tanya Kwee Ceng heran.

"Benar Bwee Tiauw Hong pernah mengajarkan ilmu silat pada saya tetapi dia bukanlah guruku," menjawab orang yang ditanya. "Coba aku mengetahui mereka itu ada dari golongan sesat, aku tidak sudi belajar, hingga tak usahlah hari ini aku mengalami kejadian ini….."

Kwee Ceng jadi semakin heran.

"Hiantee, bagaimana sebenarnya?" ia menanya.

Yo Kang merasa kelepasan omong, mukanya menjadi merah.

"Aku merasa Kiu Im Pek-kut Jiauw bukanlah pelajaran murni," ia menyahut.

"Kau benar, hiantee," Kwee Ceng mengangguk. "Tian Cun Cinjin lihay sekali, ia pun dari kalangan ilmu silat sejati, kalau kau menghanturkan maaf padanya, tentulah ia dapat memaafkanmu." Yo Kang berdiam.

Malam itu mereka tiba di Kim-tan, di sana pun ada pelayan penginapan yang menyambutnya, yang menyiapkan barang makanan dan penginapan tanpa bayaran, sebab sudah ada yang memesan dan membayarinya. Mereka menerima itu tanpa banyak bertanya-tanya.

Kemudian, beruntun tiga hari, mereka mendapat pengalaman serupa. Mereka menjadi heran sekali hingga mereka menyangsikan chungcu dari Kwie-in¬chung. Tatkala mereka melewati Ko-yu dan masih ada serupa penyambutan, dengan menyindir Yo Kang berkata: "Hendak aku melihat sampai di mana Kwie-in¬chung akan mengantar tetamunya…."

Kwee Ceng lebih curiga lagi, sebab pada setiap barang santapan tentu ada satu dua rupa santapan yang paling ia gemari, kalau itu adalah perbuatan Liok Koan Eng, sungguh luar biasa. Habis bersantap, ia kata: "Hiantee, nanti aku jalan lebih dulu, untuk mencari tahu." Yo Kang menurut, ia membiarkan orang melarikan kudanya seorang diri.

Beruntun tiga perhentian telah dilewati, setibanya di Po-eng, tidak ada lagi penyambutan serupa itu. Sengaja Kwee Ceng memilih penginapan yang paling besar serta minta kamar yang paling mewah juga. Sore itu, selagi ia berada di dalam kamarnya, ia dengar suara kuda dilarikan, kelenengannya berbunyi nyaring. Penunggang kuda itu berhenti di depan penginapan, dia masuk ke dalam, lantas memesan makanan untuk besok, katanya untuk tuan Kwee dan tuan Yo.

Kwee Ceng telah menduga kepada Oey Yong, tetapi mendengar suara orang, ia heran juga. Ia girang sekali. Ia tak mau lantas menemui. Ia hendakmain¬-main. Maka ia menunggu sampai jam dua, diam-diam keluar dari kamarnya. Ia naik ke atas genting, terus ke kamarnya si nona. Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat, malah ia kenali Oey Yong adanya.

"Heran, malam-malam begini ia hendak kemana?" pikirnya. Ia menguntit.

Oey Yong lari ke luar kota. Ia tidak tahu ada yang membayanginya. Ia pergi ke tepi sebuah kali kecil. Dibawah satu pohon yangliu ia duduk numprah. Dari sakunya ia keluarkan serupa barang, terus ia buat main di tangannya, tubuhnya dibungkukkan.

Malam itu terang bulan, angin berdesir, meniup daun-¬daun yangliu dan juga ikat pinggangnya si nona. Air kali mengalir terus. Di sana sini terdengar suara rupa-¬rupa serangga.

"Ini engko Ceng…. ini Yong-jie…" terdengar nona itu mengoceh sendirian.

Heran Kwee Ceng. Ia berindap-indap, menghampiri ke belakang orang. Di bawah terangnya sinar rembulan, ia melihat tegas dua buah boneka, satu laki-¬laki dan satu perempuan, keduanya gemuk dan mungil. Itulah boneka buatan Bu-sek yang kesohor, juga kesohor di Thay Ouw. Ia menjadi ketarik. maju lagi beberapa tindak. Di depan boneka itu ditaruh beberapa mangkok dan cawan kecil, yang berisi macam-macam bunga.

Kembali terdengar suara perlahan dan halus dari nona itu; "Mangkok ini engko Ceng yang dahar, cawan ini Yong-jie. Semua ini Yong-jie yang masak sendiri. Enak tidak?"

"Enak! Enak sekali!" Kwee Ceng menyahut.

Oey Yong terperanjat, ia menoleh dengan cepat. Lalu tertawa, memperlihatkan wajahnya yang manis. Dengan gesit ia melompat menghanpiri anak muda itu.

Mereka lalu duduk di bawah pohon di tepi kali itu. Lantas mereka berbicara dengan asyik mengenai urusan mereka sejak perpisahan beberapa hari itu, tetapi yang mereka rasakan seperti sudah bulanan atau tahunan. Si nona saban-saban tertawa, hingga si pemuda menjadi berdiam saja. Katanya dalam hati: "Yong-jie begini mencintaiku, kalau di belakang hari kita tidak hidup bersama, bagaimana rasanya…?"




Ketika malam itu Oey Yong menceburkan diri, ia bersembunyi lama, sesudah menduga ayahnya telah pergi, barulah ia kembali ke Kwie-in-chung. Ia girang akan mendapatkan pemuda pujaannya tak kurang suatu apapun. Ia menyesal juga telah berlaku keras terhadap ayahnya. Ia terus menyembunyikan diri. Ketika besoknya pagi, ia lihat Kwee Ceng berangkat berdua dengan Yo Kang, ia lantas mendahului, untuk seterusnya saban-saban ia memesan barang makanan dan rumah penginapan. Ia tahu barang santapan yang digemari Kwee Ceng, selalu menyelipkan satu atau dua rupa. Tentu saja ia tidak tahu Kwee Ceng curiga dan lantas mendahului, hingga ia kepergok. Tapi ini cuma membuatnya gembira sekali.

Asyik mereka ngobrol, sampai jauh malam, sampai si nona datang kantuknya, tanpa merasa ia kepulasan di pangkuan anak muda itu. Kwee Ceng khawatir orang sadar, ia tidak berani bergerak, ia diam menyenderkan diri di bongkol pohon yangliu. Tanpa merasa, ia pun ketiduran. Ketika itu ada di bulan keenam, hawa malam sejuk, sedang rembulan bercahaya terus.

Kwee Ceng yang sadar paling dulu tatkala kupingnya mendengar burung-burung berkicau, membuka matanya, ia mendapatkan sang fajar sudah mulai menyingsing. Ia pun dapat mencium semerbaknya bunga-bunga.

Oey Yong tidur nyenyak, napasnya berjalan perlahan. Ia mengerutkan alisnya, tapi mukanya dadu, mulutnya yang mungil tersenyum, nampak manis sekali. Rupanya ia tengah bermimpi.

"Biarlah ia tidur terus, aku tidak boleh mengganggunya," Kwee Ceng berpikir.

Pemuda ini mengawasi muka orang, ia ingin menghitung bulu alisnya yang bagus dari si nona itu tatkala mendadak mendengar suara orang lain, datangnya kira-kira dua tombak lebih di sebelah kirinya.

"Telah aku ketahui kamarnya nona Thia itu, kamarnya di dalam taman yang letaknya di belakang rumah gadai Tong Jin," demikian suara itu.

"Baiklah, nanti malam kita bekerja," kata suara lain, terang suara orang tua.

Mereka bicara dengan perlahan, tetapi di pagi yang sunyi itu nyata terdengarnya. Kwee Ceng terperanjat. Ia menyangka pada penjahat tukang petik bunga, yang gemar mengganggu kesucian kaum wanita. Ingin ia melihat mereka. Tiba-tiba Oey Yong mencelat bangun.

"Engko Ceng, hayo tangkap aku!" katanya. Terus ia lari ke sebuah pohon besar.

Kwee Cneg dapat menerka maksud si nona cerdik ini, ia lantas mengejar, malah sambil tertawa geli, bagaikan tengah bermain petak umpet. Hanya larinya dibikin berat, seperti larinya orang yang tidak mengerti ilmu silat.

Dua orang itu terkejut, mereka tidak menyangka di pagi hari itu sudah ada orang lain di situ, bahkan dekat mereka, tetapi ketika mereka melihat dua muda-mudi, yang main lari-larian, mereka tidak curiga. Hanya karena itu, mereka lantas ngeloyor pergi.

Kwee Ceng dan Oey Yong melihat belakang orang, yang pakaiannya compang-camping, tanda dandanan pengemis. Mereka menanti sampai orang pergi cukup jauh, si nona tanya si pemuda, apa maunya dua orang itu mencari nona Thia.

"Kebanyakan maksudnya tidak baik. Kita menolong orang, baik atau tidak?" kata Kwee Ceng.

"Memang baik sekali. Cuma kita tidak tahu dua pengemis itu orang-orangnya Ang Cit Kong atau bukan." kata si nona.

"Aku rasa bukan," jawab si pemuda.

Mereka lantas pulang ke penginapan untuk bersantap, habis itu mereka pergi pesiar, sampai ke kota barat. Di situ mereka mendapatkan rumah gadai Tong Jin, dengan huruf-huruf yang tinggi dan besar. Benar di belakang situ ada sebuah taman serta lauwtengnya yang tinggi, yang dialingi kere bambu bercat hijau. Memandang lauwteng itu mereka tersenyum, lantas mereka berjalan terus, akan pesiar ke lain bagian kota. Sorenya mereka pulang, untuk bersantap, kemudian beristirahat di kamar masing-masing.

Lewat sedikit satu jam, keduanya keluar dari kamar, lari ke kota barat. Mereka melompati taman, hingga mereka dapat memandang lauwteng dimana ada sinar api. Mereka terus naik ke atas lauwteng, menyangkel di payon, mengintip ke dalam. Hawa malam panas, jendela tidak ditutup. Apa yang mereka lihat membikin mereka terperanjat.

Di dalam kamar itu ada tujuh orang, semuanya wanita. Seorang nona umur delapan atau sembilanbelas tahun, yang cantik, lagi membaca buku di terangnya lampu. Mungkin dia si nona Thia, Thia Toa siocia yang dimaksudkan kedua pengemis itu. Enam lainnya dandan sebagai budak, tetapi mereka pada mencekal senjata, tiga memegang golok, tiga lainnya masing-masing pedang, sepasang roda serta sebatang tongkat besar yang panjang.

Melihat keadaan mereka itu, Kwee Ceng dan Oey Yong menduga si nona lihay. Sekarang keduannya berpikir lain. Hendak mereka menonton dulu. Mesti ada apa-apa yang aneh mengenai si nona dan si pengemis. Tidak lama mereka mengintai, mereka mendengar satu suara di luar pekarangan. Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng, diajak bersembunyi.

Segera mereka melihat dua bayangan, yang benar ada dari si pengemis tadi. Mereka langsung ke bawah lauwteng dimana mereka memperdengarkan siulan perlahan.

"Orang-orang gagah dari Kay Pang di sana?" menanya satu budak seraya menyingkap kere. "Silahkan naik."

Dua pengemis itu menggenjot tubuh mereka untuk naik lauwteng. Si nona sudah lantas menyambut. Ia memberi hormat sambil menanyakan she dan nama kedua tetamunya itu.

"Aku yang rendah she Lee," menyahuti si pengemis tua. "Ini keponakan muridku, Ie Tiauw Hin."

Melihat muka orang yang penuh luka, Nona Thia mengingat sesuatu. "Bukankah locianpwee Hang Liong Ciu Lee Seng?" ia menanya.

"Tajam matamu, nona!" tertawa si pengemis. "Aku yang rendah dan gurumu, Ceng Ceng Sanjin, pernah berjodoh bertemu satu kali, walaupun kita tidak bersahabat rapat, kita saling menghormati."

Mendengar nama Ceng Ceng Sanjin, Kwee Ceng ingat Sun Put Jie Sun Siang-kouw, salah satu dari Coan Cin Cit Cu. Karenanya, nona Thia ini bukanlah orang luar.

"Locianpwee baik sekali hendak menolong, boanpwee sangat bersyukur," berkata pula si nona. "Di dalam segala hal, boanpwee akan mendengar kata locianpwee."

"Nona seorang terhormat, kalau kau dipandang lebih banyak oleh binatang itu, sudah hebat," berkata Hang Liong Ciu Lee Seng si Penakluk Naga.

Mendengar itu merah mukanya si nona.

"Sekarang, silahkan nona beristirahat di kamar ibumu, di sini jangan ditinggalkan beberapa pelayanmu ini," Lee Seng memberi petunjuk. "Aku yang rendah mempunyai daya untuk menghadapi binatang itu."

"Boanpwee tidak gagah, tetapi boanpwee tidak jeri terhadap binatang itu," berkata si nona. "Loacianpwee hendak bertanggungjawab sendiri, sungguh aku malu…."

"Jangan berkata demikian, nona," berkata pula Lee Seng. "Ang Pangcu kami bersahabat kental dengan Ong Tiong Yang Cinjin dari Coan Cin Pay, dengan begitu kita seperti orang sendiri."

Sebenarnya nona Thia ingin sekali mencoba ilmu silatnya, tetapi menampak mata tajam dari Lee Seng, ia tidak berani membantah, maka lantas memberi hormat.

"Baiklah, aku menurut locianpwee," bilangnya. Lantas ia turun dari lauwteng.

Lee Seng segera menghampiri pembaringan si nona, menyingkap kelambunya. Pembaringan itu indah segalanya, tetapi ia naik ke atas itu tanpa membuka sapatu lagi, tak peduli sepatu dan pakaiannya dekil, ia terus merebahkan diri.

"Pergi kau turun," ia menitahkan Ie Tiauw Hin, "Ramai¬-ramai kamu menjaga di bawah. Tanpa titahku, aku larang kamu lancang turun tangan!" Tiauw Hin menurut, ia lantas berlalu.

Lee Seng menutup diri dengan selimut indah, ia suruh budak-budak menurunkan kelambu dan juga memadamkan api. Kemudian barulah mereka mengundurkan diri.

Oey Yong tertawa di dalam hatinya menyaksikan kelakuan Lee Seng itu. "Semua orang Kay Pang telah meneladani tingkah pola pemimpinnya," semua suka berbuat jenaka, tidak peduli di tempat apapun."

Karena sudah tahu ada penjagaan, nona ini bersama Kwee Ceng mendekam terus di bawah payon, berdiam menanti dengan mulut bungkam.

Lantas terdengar suara kentongan orang ronda tanda jam tiga. Menyusul terdengar suara membeletuknya batu masuk ke dalam taman. Itulah batu tanda menanya dari orang yang biasa keluar malam.

Oey Yong menarik ujung baju Kwe Ceng untuk memberitahu. Hanya sebentar, di luar tembok terlihat melompat masuknya tujuh atau delapan orang, yang semuanya lompat lebih jauh naik ke atas lauwteng. Mereka itu menyalakan api sebentar, habis itu mereka menuju ke pembaringan.

Hanya sejenak itu, Oey Yong telah dapat melihat mukanya orang-orang itu. Dua yang menjadi kepala adalah orang-orangnya Auwyang Kongcu, yaitu dua pria yang biasa membawa-bawa galah panjang peranti menggiring ular. Enam yang lain adalah murid-murid wanita Auwyang Kongcu. Si dua pria berdiri di kiri kanan pembaringan, empat wanita menungkrup tubuh Lee Seng dengan sehelai selimut lebar. Lalu dua yang lain mementang sebuah kantung besar ke dalam tubuh Lee Seng dibelesaki, lalu karung itu di ikat kuat-kuat. Semua mereka bekerja sebat sekali, seperti sudah terlatih mahir, tanpa ada yang bersuara. Dua wanita menggendong kantung itu, lantas mereka lompat turun dari lauwteng.

Kwee Ceng hendak bangkit, untuk menyusul, Oey Yong mencegah. "Biarkan orang-orang Kay Pang jalan lebih dulu," si nona membisiki.

Kwee Ceng menurut, ia mengawasi. Kantung berisi manusia itu digotong berdelapan. Di belakang mereka mengiringi lebih dari sepuluh orang lainnya, mereka mencekal tongkat bambu, rupanya mereka adalah orang-orang Kay Pang.

Menanti sampai orang sudah berpisah beberapa tombak dari mereka, baru Oey Yong dan Kwee Ceng keluar dari tempat persembunyian, untuk menguntit. Seorang pengemis berjalan di paling belakang.

Kedua rombongan itu menuju ke luar kota, pergi ke sebuah rumah besar. Rombongan Auwyang Kongcu terus masuk ke dalam rumah, rombongan pengemis lantas memencarkan diri mengurung.

Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, diajak ke belakang, mereka melompat tembok masuk ke pekarangan dalam.

Sekarang ketahuan rumah besar itu adalah rumah keluarga Lauw, di pendopo ada sejumlah sincie, dan ada pian-pian yang besar memutar nama-nama almarhum yang dihormati itu, semunya pernah memangku pangkat. Pendopo diterangi lima batang lilin besar. Duduk di tengah ada satu orang, yang tangannya mengipas perlahan-lahan. Menduga ialah Auwyang Kongcu, Oey Yong dan Kwee Ceng berlaku hati-hati. Mereka bersembunyi dan mengintai di bawah jendela, hati mereka menduga-duga, apa Lee Seng sanggup melayani pemuda yang lihay itu.

Sebentar kemudian muncullah delapan penggotong kantung manusia itu. "Kongcu, nona Thia sudah disambut!" kata satu di antaranya.

Auwyang Kongcu tertawa dingin, bukannya menyambut orangnya, ia hanya memandang ke luar pendopo seraya berkata: "Sahabat, setelah dengan baik hati kamu datang berkunjung kemari, kenapa kamu tidak masuk saja untuk minum teh?"

"Hebat orang ini," pikir Kwee Ceng.

Orang-orang Kay Pang tetap bersembunyi. Tanpa tanda dari Lee Seng, tidak berani mereka lancang bertindak.

Auwyang Kongcu tidak berkata pula, hanya ia memandang kepada kantung. "Aku tidak sangka si nona Thia begini gampang diundang!" katanya. Ia bertindak menghampiri, perlahan tindakannya. Ketika ia mengibaskan kipasnya, kipas itu tertutup rapat merupakan sepotong besi mirip dengan pit (alat tulis tionghoa)

Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. Mereka menduga orang sudah ketahui musuhlah yang berada di dalam kantung itu. Diam-diam mereka menyiapkan kong¬piauw, bersedia menolongi Lee Seng.

Mendadak terdengar suara sar-ser dari jendela, lalu dua batang panah tangan menyambar ke arah Auwyang Kongcu. Rupanya orang-orang Kay Pang sudah merasakan pemimpim mereka terancam bahaya.

Auwyang Kongcu membawa tangan kirinya ke samping lantas telunjuk dan jari tengahnya menjepit, sebatang panah tangan itu patah seketika.

Orang-orang Kay Pang terkejut, malah Ie Tiauw Hin lantas berseru: "Paman Lee, keluarlah!"

Menyambut seruan itu, tiba-tiba terdengar suara memberebet pecahnya kantung, lantas dua batang golok menyambar, disusul bergelinding keluarnya tubuh Lee Seng, tangan siapa terus memegangi kantung sebagai daya pembelaan diri. Sesudah itu pengemis ini berlompat berdiri.

Lee Seng ketahui Auwyang Kongcu lihay, ia menggunakan akalnya ini, untuk membokong, tapi ternyata ia gagal.

Auwyang Kongcu bebas dari sambaran golok, bukannya kaget, ia justru tertawa. "Si nona cantik berubah menjadi pengemis tua, sungguh ilmu sulap kantong yang jempolan!" katanya tertawa.

Lee Seng tidak menggubris ejekan itu. "Selama tiga hari, tempat ini beruntun kehilangan empat nona-nona, bukankah itu perbuatan bagus dari kau, tuan yang terhormat?" ia balas mengejek.

Kongcu itu tertawa pula. "Kota Po-eng ini kota melarat miskin, kenapa orang-orang polisi dapat berubah menjadi segala tukang minta-minta?" ia berkata dengan ejekan.

Lee Seng pun tidak menjadi gusar. "Sebenarnya aku pun tidak mengemis nasi di sini," menyahut Lee Seng, "Tetapi kemarin ini aku mendengar cerita beberapa pengemis cilik tentang lenyapnya dari beberapa nona cantik manis, karenanya timbullah kegembiraan aku si pengemis tua, maka aku datang melongok!"

Dengan ogah-ogahan Auwyang Kongcu berkata: "Sebenarnya beberapa nona itu tidak cantik luar biasa, kalau kau menginginkannya, dengan memandang mukamu, sukalah aku membayarnya pulang!" Ia pun terus mengebasi tangannya, maka beberapa murid perempuannya lantas masuk ke dalam untuk mengajak keluar empat nona. Mereka ini kusut pakaiannya, kucal romannya, semuanya pada menangis.

Murka Lee Seng menyaksikan keadaannya keempat nona itu. "Tuan yang terhormat, apakah shemu yang mulia dan namamu yang besar?" ia menanya. "Murid siapakah kau ini?"

Auwyang Kongcu tetap acuh tak acuh. "Aku she Auwyang. Saudara, kau ada pengajaran apakah untukku?"

"Mari kita main-main!" Lee Seng berkata keras.

"Tidak ada yang terlbeih baik dari itu!" kata si anak muda menyambut. "Silahkan kau mulia dulu!"

"Bagus!" seru Lee Seng, yang segera menggerakkan tangan kanannya. Tapi belum sempat ia menyerang, di depan matanya berkelebat satu bayangan putih dan angin pun mendesir. Ia menjadi sangat kaget, ia mencelat. Tidak urung, lehernya terlanggar juga satu jari tangan. Syukur ia cukup sebat, kalau tidak, lehernya bisa tercekuk!

Lee Seng ini berkedudukan tinggi di dalam partainya, Kay Pang, Partai Pengemis, dia lihay. Semua pengemis di empat propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Ciat-kang dan Kangsouw tunduk dibawah perintahnya. Siapa tahu dalam satu gebrak saja, hampir celaka. Maka mukanya menjadi merah. Begitu ia hendak memutar tubuh, tangannya sudah mendahului melayang.

"Dia juga mengerti Hang Liong Sip-pat Ciang, "Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng. Dan si anak muda mengangguk.

Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, yang ia lihat hebat sekali. Selagi berkelit, Lee Seng memutar tubuhnya. Lantas pengemis maju satu tindak, kedua tangannya di angkat ke depan dada, untuk kembali menyerang, menyusul penyerangannya yang gagal itu.

"Itulah jurus dari ilmu silat Po-giok-kun," Kwee Ceng berbisik pada kekasihnya.

Si nona pun mengangguk.

Mendapat kenyataan orang lihay, Auwyang Kongcu tidak berani berlaku acuh tak acuh seperti semula lagi. Ia selipkan kipasnya dipinggang, setelah berkelit, ia membalas menyerang, menghajar pundak orang.

Lee Seng menangkis, terus ia menyerang pula, tetap dengan satu jurus dari Po-giok-kun.

Kali ini Auwyang Kongcu memperlihatkan kepandaiannya. Ia menangkis dengan tangan kiri, sembari menangkis tubuhnya mencelat ke samping lawan, terus ke belakang lawan. Luar biasa gesit gerakkannya itu. Maka juga segera ia dapat menyerang ke arah punggung lawan.

Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. "Inilah serangan yang sukar di tangkis…!" kata mereka dalam hati, kaget.

Ketika itu orang-orangnya Lee Seng, yang tadinya mengurung di luar, sudah pada masuk ke dalam. Mereka melihat pemimpin mereka terancam bahaya, di antaranya ada yang berniat membantu.

Lee Seng sendiri merasakan ancaman bahaya. Desiran angin sudah mengenai bajunya. Tapi ia pun gesit sekali. Ia memutar tubuhnya sambil menangkis. Kembali ia menggunakan ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, jurus "Naga Sakti menggoyang ekor".

Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, ia melenggakkan tubuh, terus melompat mundur.

"Sungguh berbahaya!" kata Lee Seng dalam hatinya. Sekarang dia sudah memutar tubuh, untuk menghadapi pula lawannya. Tapi segera ternyata, dalam ilmu silat ia kalah unggul, selama tigapuluh jurus lebih, saban-saban ia terancam bahaya. Syukur untuknya ia selalu ketolong sama jurusnya "Sin liong pa bwee" - "Naga Sakti memgoyang ekor itu" itu.

"Rupanya Ang Cit Kong baru mengajari ia satu jurus pembela diri," Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng.

Anak muda ini mengangguk. Ia lantas ingat lelakonnya sendiri ketika melayani Nio Cu Ong dengan "Hang liong yu hui" atau "Naga menyesal". Mengingat ini, ia jadi sangat bersyukur kepada Ang Cit Kong. Lee Seng yang menjadi salah satu pemimpin baru diajari satu jurus yang lihay itu, ia sendiri dalam tempo satu bulan sudah dapat limabelas jurus.

Pertempuran itu berjalan terus. Auwyang Kongcu mendesak lawannya hingga dipojok. Lee Seng sudah berpengalaman, ia dapat menerka maksud lawannya. Maka ia lantas berdaya akan menggerakkan diri, guna kembali ke tengah ruangan. Sekonyong-konyong Auwyang Kongcu tertawa lama, selagi tertawa kepalannya menyambar, tepat menggenai janggut lawannya itu.

Lee Seng terkejut, ia mengulur tangan, untuk membalas, tetapi telah kena didului. Tangan kiri Auwyang Kongcu sudah menemui pula sasarannya. Habis itu beruntun tiga empat kali lagi ia kena tertinju pula, kepalanya dan dadanya. Ia menjadi sakit, kepalanya pusing, ia terhuyung dan roboh.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar