Senin, 02 November 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 057

Kiu Cian Jin heran orang mengenali pukulannya itu. Memang itu adalah tipu silat Thong-pek Ngo-heng¬ciang. Jurus itu tidak aneh, tetapi ia telah melatihnya selama beberapa puluh tahun, maka di tanganya, pukulan itu lihay sekali, kedua tangannya dapat bergerak dengan sebat dan hebat.

Kwee Ceng tidak berani menangkis serangan itu, kesatu ia gentar juga untuk nama orang, kedua ia melihat gerak-gerik orang yang luar biasa. Ia main mundur.

Kiu Cian Jin menduga-duga terhadap si anak muda, ia mengambil kesimpulan; "Dia dapat menghajar kursi, itulah sebab tenaganya yang besar. Ilmu silatnya hanya biasa saja…." Karena itu ia lantas mendesak.

Oey Yong bingung melihat kawannya terdesak demikian rupa, ia mengkhawatirkan kekalahannya. Maka ia lantas bersiap untuk membantu.

Kwee Ceng kebetulan menoleh kepada si nona, kapan ia melihat roman khawatir dari nona itu, tanpa merasa hatinya terkesiap. Justru itu, tinjunya Kiu Ciab Jin mampir di dadanya. Serangan itu membuat Oey Yong dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, mereka mau menyangka akan habis sudah anak muda itu. Bukankah musuh itu sangat tangguh? Kalau tidak mati, Kwee Ceng akan terluka parah.

Kwee Ceng pun kaget bukan main, ia lantas mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya dipentang dengan kaget. Habis itu, ia menjadi heran sendiri. Ia terhajar dadanya tetapi ia tidak merasakan terlalu sakit, hingga ia jadi tercengang.

Oey Yong dapat melihat orang berdiam, ia menyangka pemuda itu mau pingsan, ia lantas lompat untuk mempepayang.

"Bagaimanam, engko Ceng?" tanyanya. Tanpa merasa, air matanya meleleh.

Tapi jawaban si pemuda luar biasa sekali. "Tidak apa-apa, akan aku mencoba pula!" demikian jawaban itu. Ia terus mengangkat dadanya dan bertindak menghampiri lawannya yang berdiri mengawasi padanya.

"Kaulah si jago tua Tangan Besi, marilah kau pukul pula aku satu kali lagi!" ia menantang.

Jago tua itu menjadi sangat gusar, ia sudah lantas meninju. Sebagai akibat serangan itu terdengar suara "Duk!" keras sekali.

Bukannya ia jatuh atau kesakitan, Kwee Ceng justru tertawa berkakakan.

"Suhu, Liok Chungcu, Yong-jie!" dia berteriak. "Tua bangka ini berkepandaian biasa saja! Dia tidak menghajar aku tidak apa, setelah ia menghajar, terbukalah rahasianya!"

Kata-kata ini disusul dengan gerakan tangan kiri mengebas akan mendesak orang itu sambil si anak muda berseru: "Kau pun rasakan tanganku!"

Melihat gerakan orang itu, Kiu Cian Jin memandang enteng. Ia lantas menggerakkan kedua tangannya, guna membentur tangan kiri si pemuda. Ia tidak tahu Kwee Ceng justru menggunakan jurus "enam naga naik ke langit" dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ialah salah satu pukulan yang paling luar biasa. Maka tidak ampun lagi ia kena terhajar pundak kanannya yang menyambung sama dadanya, tubuhnya terlempar ke luar pintu bagaikan layangan putus!

Semua orang menjadi kaget hingga mereka memperdengarkan seruan. Jutsru itu, kejadian aneh lainnya menyusul. Dari luar terlihat masuknya seorang wanita yang mencekal Kiu Cian Jin pada leher bajunya, tindakan wanita itu lebar, sesampainya di dalam ruangan, ia meletakkan orang yang dibawanya itu separuh ditenteng. Dia berdiri tegar, pada wajahnya tak tampak senyuman, sebaliknya romannya sangat dingin. Dia panjang rambutnya riap-riapan ke pundaknya, kepalanya pun didongakkan. Sebab dialah tat Sie Bwee Tiauw Hong, salah satu dari Hek Hong Siang Sat.

Semua orang terperanjat.

Di belakang si Mayat Besi ini ada mengikuti seorang lain, tubuhnya jangkung kurus, bajunya hijau, wajahnya luar biasa sekali. Siapa mengawasi wajah itu, sendirinya ia akan menggigil. Siapa pernah melihat satu kali, lantas tak sudi dia melihatnya buat kedua kalinya….

Liok Chungcu heran bukan main, Kiu Cian Jin yang demikian kesohor itu, yang mulutnya terpentang sangat lebar, tidak sanggup mempertahankan diri untuk satu hajaran dari Kwee Ceng. Ia pun merasa lucu. Akan tetapi, menampak munculnya Bwee Tiauw Hong, ia melongo.

Wanyen Kang melihat gurunya, ia girang bukan main.

"Suhu!" ia memanggil seraya menghampiri memberi hormat. Berbareng dengan itu dia menjadi ingat Liam Cu, dia heran tidak datang bersama, entah di mana adanya si nona.

Liok Chungcu tidak berdiam lama, segera ia memberi hormat pada si Mayat Besi.

"Bwee Suci!" katanya, "Duapuluh tahun sudah kita berpisah, hari ini kita dapat bertemu pula, aku girang sekali. Tentunya Tan koko baik, bukan?"

Liok Koay saling mengawasi dengan Koan Eng. Kenapa tuan rumah memanggil Suci, kakak seperguruan kepada Bwee Tiauw Hong? Mereka heran berbareng gentar juga. Tin Ok pun berpikir, "Hari ini kita berada dalam kurungan. Sudah Bwee Tiauw Hong sendiri sukar dilawan, sekarang ada adik seperguruannya ini."

Oey Yong sebaliknya berpikir: "Liok Chungcu ini, ilmu silatnya, ilmu suratnya, kata-katanya, gerak-¬geriknya, semua mirip dengan ayah, aku sudah menyangka dia ada hubungan sama ayah, siapa sangka dia justru murid ayah…!"

Segera terdengar suara dingin dari Bwee Tiauw Hong. "Yang bicara ini apakah sutee Liok Seng Hong?"

"Benar suteemu, suci," sahut Liok Chungcu. "Sejak perpisahan kita, apakah suci banyak baik?"

Atas itu, Bwee Tiauw Hong menjawab, "Kedua mataku telah menjadi buta dan kau punya kakak Hiang Hong telah orang bunuh mati pada duapuluh tahun yang lalu! Tidakkah itu memuaskan hatimu?!"

Mendengar itu, tuan rumah girang berbareng kaget. Kaget sebab Hek Hong Siang Sat yang begitu lihay, yang malang melintang di dunia ini, ada yang binasakan. Girang sebab itu berarti ia kekurangan seorang lawan tangguh dan ini musuh sisanya sudah bercacad matanya. Hanya ia berduka kapan ia ingat persaudaraan mereka selama di pulau Tho Hoa To.

"Siapakah musuh dari Tan koko itu?" ia tanya. "Sudahkah suci menuntut balas?"

"Aku justru hendak mencari mereka!" sahut Tiauw Hong.

"Nanti aku akan membantu kau menuntut balas suci," berkata Liok Chungcu. "Selesai pembalasan, barulah membereskan perhitungan kita!"

"Hm!" Bwee Tiauw Hong mengasih dengar ejekannya.

Mendadak Han Po Kie menepuk meja sambil lompat bangun. "Bwee Tiauw Hong, musuhmu ada di sini!" dia berteriak.

Coan Kim Hoat terkejut, ia tarik saudaranya itu.

Tiauw Hong sebaliknya melengak.

Sampai disitu Kiu Cian Jin yang sejak tadi berdiam saja, sebab merasakan sakit bekas hajaran Kwee Ceng dan baru sekarang rasa sakitnya itu hilang sedikit, turut bicara.

"Apa itu yang disebut menuntut balas dan membereskan perhitungan!" katanya. "Sekalipun guru sendiri dibunuh orang tidak tahu, untuk apa menyebut diri sebagai orang gagah?!"

"Apa kau bilang?!" membentak Bwee Tiauw Hong seraya mencekal keras tangan orang.

"Lekas lepas!" berteriak Kiu Cian Jin kesakitan.




"Kau bilang apa?" tanya pula Tiauw Hong, tidak memperdulikannya.

"Oey Yok Su, pemilik dari pulau Tho Hoa To, telah orang bunuh mati!" sahut si orang tua.

Liok Seng Hong kaget sekali. "Benarkah kata-¬katamu ini?" ia menanya.

"Kenapa tidak benar?!" membaliki Kiu Cian Jin. "Oey Yok Su kena dikurung Coan Cin Cit Cu murid-¬muridnya Ong Tiong Yang dan terbinasa karenanya."

Mendengar itu, Bwee Tiauw Hong dan Liok Seng Hong menjerit menangis menggerung, sedang Oey Yong roboh pingsan berlutut di kursinya. Dan yang lainnya semua kaget sekali. Sebenarnya mereka tidak percaya Oey Yok Su yang begitu lihay terbinasakan orang, tetapi mengetahui musuh-musuhnya adalah Coan Cin Cit Cu, mau mereka mempercayainya. Mereka ketahui baik kelihayan Ma Giok bertujuh.

Kwee Ceng pun kaget tetapi ia segera tubruk Oey Yong, untuk dikasih bangun sambil dipeluki.

"Yong-jie, sadar!" ia memanggil-manggil. Ia melihat muka orang pias dan napasnya berjalan perlahan sekali, saking khawatir, ia berteriak: "Suhu! Suhu! tolongi dia!"

Cu Cong lompat menghampiri, ia meraba hidung orang.

"Jangan khawatir," ia berkata. "Ia pingsan karena kaget mendadak, dia tidak mati." Ia lantas mengurut¬-urut jalan darah lauw-kong-hiat di telapak tangan si nona.

Dengan perlahan-lahan Oey Yong sadar, lantas ia menjerit: "Mana ayahku? Ayah! Aku menghendaki ayahku!"

Mendengar itu Seng Hong terperanjat.

"Oh!" serunya, "Kalau dia bukannya putri guruku, mana mungkin ia ketahui tentang Kiu-ho Giok-louw¬wan?" Lalu ia menangis, air matanya meleleh. Ia kata: "Adik kecil, mari kita mengadu tenaga dengan itu imam-imam bangsat dari Coan Cin Kauw! Eh, Bwee Tiauw Hong, kau turut atau tidak? Kalau tidak, hendak aku mengadu jiwa lebih dulu denganmu!"

Koan Eng segera pepayang ayahnya, yang menjadi demikian berduka.

"Jangan terlalu berduka, ayah," ia membujuk, "Kita bertindak perlahan-lahan."

Sneg Hong tidak memperdulikan anaknya itu, ia menangis menggerung-gerung pula.

"Bwee Tiauw Hong, kau perempuan bangsat!" dia mendamprat. "Sungguh hebat kau telah menganiaya aku! Kau tidak tahu malu, kau mencuri laki, itulah masih tidak apa! Tapi kenapa kau curi juga kitab Kiu Im Cin Keng kepunyaan guru? Kau tahu, saking gusarnya suhu, dia sudah putuskan urat kaki dari kami empat saudara, dia usir kami semua dari pulau Tho Hoa To! Aku masih mengharapkan suhu nanti sadar liangsimnya, nanti ia mengasihani kami yang tidak berdosa, supaya kami diterima kembali sebagai muridnya, tetapi sekarang ia telah menutup mata! Dengan begini pastilah penyesalanku seumur hidup…!"

Bwee Tiauw Hong panas hatinya, dia membalas mencaci: "Dulu aku mencaci kau tidak punya semangat, sekarang tetap aku mencaci kau tidak mempunyai semangat! Berulangkali kau mengajak orang membikin susah kami suami-istri, kau membuatnya kami tidak punya tempat untuk menyembunyikan diri, karenanya kami menjadi sangat menderita di gurun Mongolia! Sekarang, bukannya kau berdaya untuk membalas sakit hati suhu, kau repot hendak membuat perhitungan denganku, kau menangis saja tidak karuan! Mari kita mencari Coan Cin Cit Cu, untuk mencari balas! Jikalau kau tidak kuat jalan, nanti aku gendong dirimu!"

Sampai di situ, Oey Yong campur bicara.

"Bwee Suci! Liok Suko! Pergi kau menuntut balas untuk ayah! Engko Ceng, mari kita menyusul ayahku!"

Habis berkata begitu, si nona menghunus senjatanya, Ngobie kongcie, untuk menikam tenggorakkannya.

Cu Cong awas matanya dan sebat gerakannya. Ia merampas senjata orang.

"Nona, tanyalah dulu biar terang!" ia memberi ingat. Ia terus menghampiri Kiu Cian Jin, debu di tubuh siapa ia kepikir beberapa kali. Ia berkata: "Muridku belum tahu apa-apa, dia lancang, harap locianpwee memaafkannya."

Tapi Kiu Cian Jin murka sekali. "Aku sudah tua, mataku lamur!" serunya. "Mari kita bertempur pula!"

Cu Cong menepuk pundak orang dengan perlahan, menggenggam tangan orang yang kiri, sembari tertawa berkata: "Locianpwee lihay sekali, tak usahlah main-main pula!" Ia menarik orang duduk lalu tangan kirinya mengambil cawan arak, mulutnya ia tutup dengan tangan kanannya, ia putarkan, atau mendadak tangan kanan itu dipapaskan ke arah keluar. Maka heran sekali, cawan itu lantas terpapas kutung separuhnya, tepat seperti caranya Kiu Cian Jin tadi. Selagi orang terperanjat dan heran, Cu Cong tertawa dan berkata kepada orang tua itu: "Hebat kepandaian locianpwee, barusan aku dapat mencurinya, maka itu harap locianpwee memaafkan aku! Terima kasih, locianpwee!"

Wajahnya Kiu Cian Jin berubah menjadi pucat. Orang heran tetapi orang tetap tidak mengerti.

"Anak Ceng, mari!" Cu Cong memanggil muridnya. "Kepandaian yang gurumu ajarkan padamu lain kali kau boleh gunakan untuk membikin orang kaget, untuk memperdayakan orang!"

Kwee Ceng menghampiri gurunya yang nomor dua, lalu dari tangan kiri si guru, dari jari tengah, ia meloloskan sebuah cincin. Ia kata: "Inilah kepunyaan locianpwee, tadi aku meminjamnya. Silahkan locianpwee memakai pula."

Kiu Cian Jin kaget dan heran. Ia sungguh tidak mengerti, cincin ditangannya dapat berpindah ke tangan orang lain.

Cu Cong berkata pula, "Cincin ini ditaburkan sepotong intan, yang sifatnya keras luar biasa, kau gunakan itu menempelkan di cawan, lalu kau putarkan…"

Kwee Ceng menurut, ia melakukan titah gurunya itu. Baru sekarang semua orang mengerti duduk halnya, Koan Eng semua tertawa.

Oey Yong pun tertawa, tetapi sesaat kemudian ia menangis pula. Sebab ia segera ingat lagi ayahnya.

"Jangan menangis, Nona!" Cu Cong menghibur. "Ini Kiu locianpwee paling suka memperdayakan orang, kata-katanya belum tentu harum wangi!"

Oey Yong heran, ia mengawasi guru kawannya itu.

"Cu Cong tertawa, dia berkata pula: "Ayahmu sangat lihay, cara bagaimana dia dapat dibinasakan orang? Laginya Coan Cin Cit Cu adalah orang-orang terhormat, mereka juga tidak bermusuh dengan ayahmu, kenapa mereka jadi bisa bertempur?"

"Mungkin ini disebabkan urusan Ciu Pek Thong, pamannya Khu Totiang beramai…." Oey Yong mengutarakan dugaannya.

"Bagaimana itu?" tanya Cu Cong.

"Kau tentunya belum tahu…." si nona menangis lagi.

"Biar bagaimana, aku percaya kata-kata orang tua bangka ini berbau busuk!" Cu Cong mengasih kepastian.

"Apakah kau maksudkan dia melepas…melepas…."

Cu Cong menyahuti dengan sikapnya wajar.

"Tidak salah, dia melepaskan angin busuk! Di dalam tangan bajunya masih ada rupa-rupa barang yang muzijat, kau terkalah apa perlunya itu…" Dan dia merogoh ke tangan baju orang, ia mengasih keluar barang-barang yang disebutkan itu, ialah dua potong batu bata, seikat rumput kering, sepotong wol peranti menyalakan api, sepotong baja peranti membangkitkan api, serta sepotong batu api.

Oey Yong jumput batu bata itu, ia pencet, lantas batu itu hancur luluh. Karena ini berkuranglah kesedihannya, dapat ia tersenyum. Ia kata: "Jie suhu, bata ini terbuat dari tepung! Tadi dia memencetnya dengan menggunakan ilmu tenaga dalam yang lihay sekali!"

Kiu Cian Jin malu bukan main, mukanya menjadi merah dan pucat bergantian, karena tak ada tempat untuk menaruh muka lagi, ia kebaskan tangan bajunya, ia bertindak keluar untuk berlalu.

Bwee Tiauw Hong menggerakkan tangannya, menyambar tubuh orang, terus dibantingkan.

"Kau bilang guruku meninggal dunia, bilang benar atau dusta?!" si Mayat Besi tanya dengan bengis.

Hebat bantingan itu, Kiu Cian Jin merintih kesakitan.

Oey Yong lihat seikat rumput itu ada bekas terbakar, maka sadarlah dia.

"Jie suhu," katanya pada Cu Cong. "Coba kau sulut rumput itu dan kau masukkan ke dalam tangan bajumu, lalu kau menyedot dan meniupnya keluar."

Cu Cong menurut, ia berbuat itu, malah sambil menutup kedua matanya dan menggoyang-goyangkan kepalanya!

Oey Yong bertepuk tangan, dia tertawa gembira.

"Engko ceng, lihat, bukankah begini caranya si tua bangka ini memainkan tenaga dalamnya?" katanya. Ia bertindak menghampiri orang tua itu, sembari tertawa geli ia memerintah, "Kau bangunlah!" Ia mencekal tubuh orang, untuk dikasih bangun, lalu memdadak dengan tangan kirinya ia menotok jalan darah sintong-hiat di punggung orang. Membarengi itu, ia membentak: "Kau bilang, sebenarnya ayahku mati atau tidak? Jikalau kau bilang benar mati, aku menghendaki jiwamu!" Dilain pihak Ngobie kongcie sudah mengancam dada orang.

Semua orang merasa lucu mendengar pertanyaan Oey Yong ini. Orang ditanya tetapi orang dilarang menyebutkan kematian dari ayahnya.

Kiu Cian Jin sendiri merasakan penderitaan hebat. Ia merasakan sakit dan gagal bergantian. "Aku khawatir mungkin juga ia belum mati…" sahutnya kemudian.

"Aneh pertanyaan sumoyku ini," pikir Liok Seng hong. Maka ia turut menanya kepada orang tua itu: "Kau bilang guruku dibinasakan Coan Cin Cit Cu, kau melihat dengan mata sendiri atau hanya mendapat dengar cerita orang?"

"Aku hanya mendenagr kata orang," menjawab Kiu Cian Jin.

"Siapa yang membilanginya?"

Kiu Cian Jin berdiam sebentar, ia seperti mendumal. "Ang Cit Kong," sahutnya kemudian.

"Kapan Ang Cit Kong membilangi itu?" Oey Yong tanya.

"Satu bulan yang lalu," sahut Kiu Cian Jin pula.

"Dimana Ang Cit Kong bicara denganmu?" Oey Yong menanya lagi.

"Di atas puncak gunung Tay San," sahut si orang tua. "Di sana kita mengadu kepandaian, dia kalah, dengan tidak disengaja dia mengatakannya."

Bukannya kaget, Oey Yong sebaliknya girang luar biasa mendengar jawaban itu. Ia berjingkrak, tangan kirinya menyambar dada orang, tangan kanannya mencabut kumis. Ia lantas tertawa cekikikan.

"Ang Cit Kong kalah olehmu, tua bangka busuk!" katanya. "Bwee Suci, Liok Suko, , jangan dengar, dia melepas…. melepas…" Sebagai wanita, tak dapat si nona meneruskan kata-katanya.

"Melepas… angin!" Cu Cong yang melanjutkan tertawa, tetapi ia membekap mulutnya.

Oey Yong berkata pula, "Pada sebulan yang lalu terang Ang Cit Kong ada bersama aku dan engko Ceng ini! Eh, engko Ceng, kau hajarlah dia dengan satu tanganmu lagi!"

"Baik!" jawab Kwee Ceng, lalu tubuhnya bergerak.

Kiu Cian Jin ketakutan, dia memutar tubuhnya untuk berlari, tetapi di muka pintu ada Bwee Tiauw Hong menghalang. Dia berputar pula, untuk lari ke dalam. Dia segera dirintangi Liok Koan Eng, tetapi ia mendorongnya hingga pemuda itu terhuyung. Biar bagaimana, dia pernah mendapat nama, meskipun benar nama itu didapat kebanyakan karena penipuan belaka, karena ilmu sulapnya. Dia hanya bernyali besar, dari itu berani dia menantang Liok Koay dan Kwee Ceng. Koan Eng pastilah bukan tandingannya.

Oey Yong lompat menghampiri, untuk memegat. "Kau menjunjung jambangan besi, kau jalan di air, ilmu apakah itu?" si nona tanya.

"Itulah kepandaianku yang istimewa," sahut si orang tua, yang tetap mengepul. "Itu dia yang dinamakan ilmu ringan tubuh menyeberangi air dengan menaiki kapu-kapu!"

"Ah, kau masih saja mengoceh!" kata si nona tertawa. "Sebenarnya kau mau bicara benar-benar atau tidak?"

"Usiaku sudah lanjut, ilmu silatku tidak seperti dulu lagi," Kui Cian Jin menjawab, "Meski begitu, ilmu ringan tubuhku masih belum mensia-siakannya."

"Baiklah!" kata Oey Yong. "Di luar sana ada sebuah jambangan besar ikan mas, coba kau jalan di atas jambangan itu kasih kami menyaksikannya! Kau lihat tidak jambangan itu. Sekeluarnya dari ruang ini, di sebelah kiri, di bawah pohon, itulah dia!"

"Di dalam jambangan, mana bisa orang melatih diri…?" kata Kiu Cian Jin. Tapi belum berhenti suaranya itu, mendadak ia lihat sesuatu berkelebat, depan matanya, dilain saat ia mendapatkan tubuhnya sudah berjumpalitan dan kakinya tergantung.

"Kematianmu sudah menantikan, kau masih omong jumawa!" membentak Bwee Tiauw Hong.

Si Mayat Besi telah mengangkat tubuh orang itu dengan Tok Liong Gin-pin, cambuk perak Naga Berbisa. Kapan cambuk itu dikebaskan, tubuhnya si orang tua terlempar ke arah jambangan, tepat jatuhnya ke dalam jambangan itu.

Oey Yong menyusul, ia mengancam dengan Ngo¬bie kongcie!

"Jikalau kau tidak memberi keterangan, aku tidak ijinkan kau keluar dari sini!" bentaknya.

Kiu Cian Jin mencoba menjejak dasar jambangan, baru tubuhnya mencelat atau pundaknya sudah ditekan si nona, maka ia terjatuh pula. Maka basah kuyuplah ia berikut kepalanya. Ia meringis.

"Sebenarnya jambangan itu terbuat berlapis besi," ia mengaku akhirnya. "Di dalamnya jambangan pun ditutup sebatas tiga dim, di atas itulah cuma ada isinya air. Dan itu kali kecil, di dasar itu aku telah menancapkan banyak pelatok, yang dibikin tenggelam lima enam dim dari permukaan air hingga jadi tidak kelihatan…"

Oey Yong tertawa, terus ia bertindak ke dalam, tak sudi ia memperdulikan lagi, Kiu Cian Jin dapat keluar dari jambangan ikan, sambil tunduk ia ngiprit pergi.

Bwee Tiauw Hong dan Liok Seng Hong merasa tidak enak sendiri. Tadi mereka menangis dengan cuma-cuma disebabkan lagak-lagunya si tua bangka itu. Setelah orang kabur, mereka masih likat. Tiauw Hong adalah yang dapat menenangkan diri lebih dulu. Maka berkatalah ia pada tuan rumah: "Seng Hong, kau merdekakan muridku! Dengan memandang kepada guru kita, urusan dahulu aku suka tidak menimbulkannya pula.”

Liok Seng Hong menghela napas. Di dalam hatinya ia kata: "Dia telah kematian suaminya, matanya sendiri buta, sekarang dia hidup sebatang kara. Aku sendiri, walaupun kakiku cacad, aku ada punya istri dan anak, aku ada punya rumah tangga, aku masih menang berlipat kali daripadanya… Kita pun sama-¬sama sudah berusia limapuluh lebih, untuk apa masih memikirkan sakit hati lama…?" Mala ia menjawab: "Pergi kau bawa muridmu, Bwee Suci. Besok pagi hendak aku pergi ke Tho Hoa To, untuk menjenguk suhu. Kau mau turut atau tidak?"

"Beranikah kau pergi ke sana?" Tiauw Hong tanya.

"Tanpa perkenan suhu kita lancang mendatangi Tho Hoa To, itulah memang satu pelanggaran besar," menyahut Sneg Hong. "Akan tetapi si tua bangka barusan sudah mengaco belo, hatiku tetap tidak tenang, ingin aku menjenguknya."

Belum lagi Bwee Tiauw Hong menyahut, Oey Yong sudah berkata: "Marilah kita pergi beramai menjenguk ayahku, di sana aku nanti memohonkan ampun bagi kamu."

Bwee Tiauw Hong berdiam diri, kedua matanya mengucurkan air mata.

"Mana aku punya muka menemui suhu lagi?" katanya. "Suhu mengasihi aku yang piatu, dia pelihara aku, dia mengajarkannya, tetapi hatiku buruk, aku durhaka…" Mendadak ia mengangkat kepalanya dan berseru, "Asal aku sudah berhasil membalas sakit hati suamiku, aku tahu bagaimana harus membereskan diriku sendiri! Kanglam Cit Koay, kalau kau benar laki-laki, marilah! Malam ini aku hendak mengadu nyawa denganmu. Liok Sutee, Oey Sumoy, kamu berdiam saja menonton, kamu jangan membantu siapapun juga! Siapa mampus siapa hidup, kamu tetap jangan campur tangan! Kamu dengar?!"

Mendengar itu, Kwa Tin Ok bertindak ke tengah ruang. Sepotong besi jatuh di lantai, suaranya nyaring dan panjang. Lalu ia mengasih dengar suaranya yang serak: "Bwee Tiauw Hong! Kau tidak melihat aku, aku juga tidak melihat kau! Ketika itu malam di tempat belukar kita bertempur, suamimu binasa wajar, tetapi juga saudaraku yang kelima telah kehilangan jiwanya. Tahukah kau?!"

"Oh," bersuara si nyonya. "Jadi sekarang kamu tinggal berenam?"

"Ya!" sahut Tin Ok. "Kami sudah menerima baik permintaan Totiang Ma Giok, kami tidak hendak memusuhi kau terlebih lama pula, tetapi hari ini kaulah yang mencari kami. Baiklah! Dunia ini luas, tetapi kita berjodoh, di mana saja kita dapat bertemu! Mungkinlah Thian tidak sudi membiarkan Kanglam Liok Koay dan kau hidup bersama di kolong langit ini! Nah, kau majulah!"

Bwee Tiauw Hong tertawa dingin. "Kau berenam, majulah semua!" dia menantang.

Belum Tin Ok menyahuti, Cu Cong sudah berdiri di sampingnya. Saudara ini hendak mencegah kalau-kalau musuh membokong. Bersama lain sudaranya, ia sudah menghunus senjata.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar