Jumat, 23 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 049

Tapi tangan Kwee Ceng telah kena menjambret ular itu, yang kepalanya mengeluarkan darah. Binatang itu tidak bergerak lagi, dia sudah mati! Mulanya Ang Cit Kong tercengang, tetapi dengan lekas ia sadar sendiri. “Tidak salah lagi!” katanya. “Tentulah joan¬wie-kah ayahmu telah diwariskan kepadamu!” Memang ulat itu menggigit joan-wie-kah, kepalanya pecah, lalu binasa.

Selagi Kwee Ceng menyambar seekor ular, banyak yang lainnya lagi keluar dari rimba. Cit Kong sendiri segera mengeluarkan obat hitam dari sakunya, ia masukkan itu ke dalam mulutnya untuk dikunyah. dari dalam rimba masih saja terlihat ular yang keluar, ratusan bahkan ribuan.

Maka Kwee Ceng berseru; “Cit Kong, mari lekas pergi!”

Cit Kong tidak menjawab, ia menurunkan cupu-cupu dari punggungnya, dia membuka sumpalnya, untuk menuang isinya ke dalam mulut, dicampur sama obat tadi, kemudian ia menyembur ke arah ula-r¬ular itu, ke kiri dan kanan, hingga mereka bertiga terintang semburan arak. Sejumlah ular, yang mencium bau arak campur obat lantas rebah tak bergerak, yang lainnya tak berani maju lebih jauh, tapi karena yang dibelakang masih banyak dan maju terus, mereka jadi kacau sendirinya. Oey Yong gembira menyaksikan ular-ular itu bergumulan, ia menepuk-¬nepuk tangan.

Selagi si nona ini kegirangan, dari dalam rimba terdengar suara berisik, lalu terlihat tiga orang pria yang pakaiannya putih semua, dengan tangan mencekal masing-masing sepotong pentungan dua tombak lebih panjangnya, berseru-seru mengusir semua ular itu, pentungannya dipakai mengancam, mirip lagaknya bocah angon lagi menggembala kerbau atau kambing.

Mual rasanya akan menyaksikan ujal-ujalan semua ular itu.

Ang Cit Kong menangkap seekor ular, yang ia sontek dengan tongkatnya. Dengan dua jari kiri ia jepit leher ular itu, dengan kelingking kanan ia menggurat perutnya ular hingga pecah berlobang, untuk mengasih keluar nyalinya.

“Lekas telan ini! Jangan kena kegigit, sangat pahit!” ia berkata kepada si nona.

Oey Yong menurut, ia lantas telan nyali ular itu. Menyusul itu, ia merasa enak dan segar sekali.

“Eh, engko Ceng, kau juga hendak makan nyali ular?” dia menanya.

Kwee Ceng menggelengkan kepala. Ia sudah mengghirup darah ular, ia tidak mempan racun ular itu, malah tidak ada ular yang berani menggigitnya, cuma Ang Cit Kong dan si nona yang tadinya diarah.

“Cit Kong, ular ini mesti ada yang piara,” berkata Oey Yong.

Pak Kay mengangguk. Dengan wajah murka, ia mengawasi ketiga orang serba putih itu, yang sebaliknya pun murka melihat orang bunuh ularnya dan dimakan nyalinya, malah habis membereskan ular-ularnya, mereka maju menghampiri.

“He, kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki lagi jiwamu?!” yang satu menegur dengan bengisnya.

“Tepat!” berseru Oey Yong dengan jawabannya. “Kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki jiwa kamu?!”

“Bagus!” berseru Cit Kong seraya menepuk pundak si nona. Ia memuji pembalasan si nona, yang mulutnya lihay itu.

Tiga orang itu menjadi bertambah gusar, satu yang kulit mukanya putih dan usia pertengahan sudah lantas lompat, menyodok si nona dengan pentungannya. Melihat sambaran angin, bukan sembarang kepandaian.

Cit Kong berlaku sebat, ia melonjorkan tongkatnya, menyambut serangan itu. Dengan begitu Oey Yong jadi luput dari bahaya.

Penyerang itu lantas menjadi kaget, tidak saja pentungannya mandek, pula tak dapat ia menarik pulang. Pentungan itu menempel seperti terpantek pada tongkat si pengemis. Maka ia lantas mengempos semangatnya.

“Kau pergilah!” berseru Ang Cit Kong selagi orang menarik keras, tangannya digentak.

Maka terjengkanglah orang itu, terlempar ke dalam barisan ularnya, pentungannya hancur menjadi puluhan potong pendek. Dia rupanya telah memakan obat pemunah, ular tak berani gigit padanya.

Dua orang yang lain terkejut, mereka mundur dengan seketika.

“Bagaimana, toako?” mereka menanya pada kawannya yang roboh itu. Orang itu lompat bangun dengan gerakannya “Ikan gabus melentik”. Akan tetapi dia terbanting keras, belum sampai bangun berdiri, dia sudah jatuh pula, kembali menimpa ularnya, hingga seperti tadi, ada belasan ular yang mampus ketindihan. Maka kawannya, yang mukanya putih, menyodorkan pentungannya, membantu dia bangun.

Sekarang mereka bertiga itu tidak berani menyerang lagi, bahkan mereka lantas masuk ke dalam kalangan ular mereka.

“Siapa kamu!” kemudian tanya orang yang barusan terjungkal itu. “Kalau kau laki-laki, sebutkan nama kamu!”

Ang Cit Kong tertawa terbahak-bahak, ia tidak menyahuti.

“Kamu orang-orang macam apa?!” Oey Yong sebaliknya menanya. “Kenapa kau menggiring begini banyak ular berbisa untuk mencelakai orang?!”

Tiga orang itu saling mengawasi, selagi satu diantaranya hendak menyahut, dari dalam rimba tertampak munculnya seorang yang berdandan sebagai pelajar yang putih mulus bajunya. Dia berjalan perlaha-lahan, tangannya mengerjakan kipasnya. Ia berjalan di antara banyak ular itu, yang pada menyingkir sendirinya.

Kwee Ceng dan Oey Yong sudah lantas mengenal orang itu Auwyang Kongcu, sancu atau pemilik gunung Pek To San. Herannya ular-ular itu menyingkir darinya.

Tiga pengiring itu menghampiri si anak muda, untuk berbicara, lantas tangannya menunjuk ke ular-ular yang tak berkutik itu, rupanya mereka mengadu.

Pemuda itu agaknya terperanjat, tapi lekas ia menjadi tenang pula. Dia maju menghampir Ang Cit Kong bertiga, dia memberi hormat sambil mengangguk, kemudian dia tertawa dan berkata: “Beberapa sahabatku ini telah berlaku kurang ajar kepada locinpwee, untuk itu aku menghanturkan maaf.” Terus ia memandang Oey Yong, untuk meneruskan: “Kiranya nona ada di sini. Sungguh sengsara aku mencarimu…”

Oey Yong tidak mengambil mumat pemuda itu, ia hanya menoleh kepada si pengemis. “Cit Kong, orang inilah telur busuk yang paling besar!” ia memberitahu. “Kau baiklah menghajar adat padanya!”

Ang Cit Kong mengangguk, terus ia memandang si anak muda, romannya bengis. “Untuk mengangon ular ada tempatnya, ada batasnya, ada waktunya, ada aturannya juga!” katanya. “Kau andalkan pengaruh siapa maka kau jadi begini gila-gilaan?!”

“Semua ular ini datang dari tempat yang jauh sekali, semuanya sangat lapar, mereka jadi tidak dapat memakai aturan lagi,” menyahut si pemuda.

“Berapa banyak orang telah kamu bikin celaka?” Cit Kong menegur pula.

“Kami menggembala di tanah belukar, belum pernah kami mencelakai orang,” menyahut si anak muda.

“Hm!” Cit Kong mengejek. “Belum pernah mencelakai orang! Kau toh si orang she Auwyang?”

“Benar!” dia menjawab. “Kiranya nona ini telah memberitahukan padamu. Kau siapa, lojinkee?” dia balik menanya.

Oey Yong mendahului si pengemis. “Namamu yang busuk! Siapa yang sudi menyebutnya!” kata dia. “Namanya locinpwee ini tidak usah diberitahukan kepadamu, cuma bakal membikin kau kaget!”




Auwyang Kongcu itu tidak gusar, dia melirik si nona sambil tersenyaum.

“Kau anaknya Auwyang Hong, bukankah?” Ang Cit Kong tanya.

Belum si anak muda menyahut, tiga kawannya sudah gusar duluan. “Pengemis bangkotan tidak karuan, bagaimana besar nyalimu berani menyebut nama sancu kami?!” mereka menegur.

Ang Cit Kong tertawa lebar.

“Lain orang boleh tidak menyebutnya tetapi aku boleh!” katanya. mendadak orang tua itu mencelat ke arah tiga orang itu dan tahu-tahu “Plak-plok!” muka mereka kena ditampar datang-pergi, setelah itu dengan menekan tongkatnya, ia lompat balik ke tempatnya berdiri tadi.

“Kepandainmu ini, Cit Kong, kau belum ajari aku!” berkata Oey Yong, seperti ia tidak menggubris peristiwa.

Cit Kong bukan saja menggaplok, ia juga membuatnya terlepas sambungan baham orang.

Auwyang Kongcu terperanjat, lekas-lekas ia menolong tiga orang itu. “Apakah cinpwee mengenal pamanku?” ia tanya Cit Kong, sekarang sikapnya hormat.

“Oh, kau jadi keponakannya Auwyang Hong!” berkata Cit Kong. “Sudah berselang duapuluh tahun aku tidak pernah bertemu pula sama si racun tua bangkamu itu! Apakah dia belum mampus?”

Panas hatinya si anak muda, tetapi melihat orang lihay dan orangpun seperti mengenal baik pamannya, ia mau percaya, pengemis ini ada orang tingkat atasan yang lihay. Maka berkatalah ia: “Pamanku sering bilang, sebelum sahabat-sahabatnya pada habis mati terlebih dulu, dia masih belum ingin pulang ke langit…”

Ang Cit Kong tertawa berlengak. “Anak yang baik, pandai kau mencaci orang dengan jalan mutar-balik!” katanya. “Aku hendak tanya kau, perlu apa kau membawa-bawa sekalian mustikamu ini?” Ia maksudkan semua ular itu.

“Biasanya aku yang muda tinggal di barat,” Auwyang Kongcu menyahut, “Tapi kali ini aku berangkat ke Tionggoan untuk belajar berkenalan, lantaran iseng – kesepian di tengah jalan, sekalian aku membawa mereka ini untuk main-main saja.”

“Terang-terang kau mendusta!” Oey Yong menyemprot. “Ada demikian banyak wanita yang menemani kau, kau masih bilang iseng kesepian!”

Pemuda itu menggoyang kipasnya hingga dua kali, matanya menatap si nona, lalu ia tersenyum, lantas ia bersenandung: “Duka hatiku, maka kenapa tidak ada lain orang? Karena kau, aku jadi bersenandung hingga kini!” Ia mengambil syair dari Sie Keng, Kitab Syair, yang ia campur aduk.

Oey Yong tidak gusar, ia sebaliknya tertawa. “Aku tidak membutuhkan kau mengambil-ambil hatiku!” ia menanggapi. “Lebih baik tak perlulah kau memikirkan aku!”

Pikiran si anak muda bagaikan melayang, tak tahu ia harus membilang apa….

Ang Cit Kong lantas menegur; “Kau paman dan keponakan, kamu malang melintang di Barat, di sana tidak ada orang yang mengendalikan kamu, jikalau di Tionggoan kau masih hendak berbuat seperti di sana, kau janganlah mimpi di musim rontok! Dengan memandang pamanmu, aku tidak ingin berpandangan cupat seperti kau, maka lekaslah kau pergi!”

Auwyang Kongcu mendongkol bukan main, tetapi untuk melawan ia tidak ungkulan, cuma untuk berlalu begitu saja, ia tidak puas. Maka akhirnya ia berkata; “Di sini aku yang muda meminta diri. Umpama kata dalam beberapa tahun ini cianpwee tidak dapat sesuatu sakit keras dan juga tidak menemui bahaya apa-apa, aku undang cianpwee suka berkunjung ke Pek To San untuk berdiam beberapa hari di sana.”

Ang Cit Kong tertawa.

“Nyata kau telah menantang aku!” katanya. “Tapi aku si pengemis bangkotan tidak biasanya main janji-¬janji! Pamanmu tidak takut padaku, aku juga tidak takut pamanmu! Pada duapuluh tahun yang sudah, kita sudah mengadu kepandaian, kita adalah setengah kati sama dengan delapan tail, jadi tidak usahlah kita bertempur pula!” Tiba-tiba ia menambahkan, dengan membentak bengis; “Masih kau tidak hendak menyingkir jauh-jauh!”

Auwyang Kongcu terperanjat, hatinya pun berpikir; “Kepandaian pamanku belum separuhnya aku wariskan, orang tua ini rupanya tidak mendusta, aku mana sanggup menjadi tandingannya….” karenanya segera ia menjura, setelah melirik mendelik kepada Oey Yong, lantas ia mengundurkan diri masuk ke dalam rimba.

Ketiga pengangon ular itu sudah lantas mengasih dengar suaranya, bersiul secara aneh. Dengan itu mereka mengusir ular. Maka juga semua binatang berbisa itu membalik tubuhnya, mengesor kembali ke dalam hutan. Sebentar saja, bersihlah tempat itu dari semua binatang berbisa itu, tinggal tanahnya yang penuh lendir yang licin mengkilap.

“Cit Kong belum pernah aku melihat ular demikan banyak,” berkata Oey Yong. “Benarkah ular itu dipiara mereka?”

Cit kong tidak lantas menyahut, dia hanya membuka mulut cupu-cupunya untuk menenggak arak beberapa gelogokan, kemudian dengan tangan bajunya dia menyusuti peluh di dahinya. Ia pun menghela napas panjang. Baru setelah itu ia mengatakannya berulang-ulang: “Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya…!”

“Eh, Cit Kong, kenapakah?” tanya kedua pemuda-¬pemudi itu heran.

“Untuk sejenak aku dapat mengusir ular itu,” menyahut si pengemis kemudian: “Umpama kata tadi benar-benar semuanya menerjang, cara bagaimana ribuan binatang itu dapat ditangkis? Syukur bocah itu belum tahu apa-apa, mereka tidak mengetahui asal-usulku, mereka jadi kena kugertak. Coba si racun tua bangkotan itu ada di sini, oh, anak-¬anak, kamu bisa celaka….”

“Jikalau kami tidak sanggup melawan, kami kabur!” berkata si Oey Yong.

Cit Kong tertawa. “Aku si pengemis tua, aku tidak takut dia!” katanya. “Tetapi kamu berdua, meski kamu ingin menyingkir, kamu tidak bakal lolos dari tangannya si racun bangkotan itu….”

“Siapakah paman orang itu? Benarkah dia demikian lihay?” tanya Oey Yong.

“Kau sangka ia tidak lihay? Apakah aku belum pernah dengar disebut-sebutnya Tong Shia See Tok, Lam Tee pak Kay dan Tiong Sin Thong?”

Tentang nama-nama itu Oey Yong pernah mendengarnya dari omongan Khu Cie Kee denagn Ong Cie It, sekarang mendengar perkataan pengemis, hatinya girang.

“Aku tahu, aku tahu!” sahutnya. “Kau sendiri, lojinkee, adalah Pak Kay, dan kauwcu dari Coan Cin Kauw ialah Tiong Sin Thong.”

“Benar! Adakah ini ayahmu yang membilang? Ayahmu itu Tong Shia dan Auwyang Hong itulah See Tok! Orang yang nomor satu paling pandai di kolong langit ini yaitu Ong Cinjin itu sudah meninggal dunia, maka sekarang tinggal kita berempat yang kepandaiannya rata-rata setengah kati sama dengan delapan tail, hingga kita jadi saling memalui! Ayahmu lihay tidak? Aku sendiri si pengemis lihay tidak?”

Oey Yong mengasih dengar suara perlahan, agaknya ia berpikir.

“Ayahku orang baik-baik, mengapa dia dipanggil Tong Shia?” ia tanya kemudian.

Ang Cit Kong tertawa. “Dia seorang yang kukuh dan licin, dia dari kaum kiri, mustahilkah dia bukannya si sesat?” dia menyahut. “Bicara dari hal ilmu silat, Coan Cin Kuaw adalah yang sejati, terhadapnya aku si pengemis tua takluk benar-benar dari mulut ke hati.” Ia menoleh kepada Kwee Ceng, untuk menegaskan; “Kau telah belajar ilmu dari Coan Cin Kauw, bukankah?”

“Totiang Ma Goik telah mengajarkan teecu selama dua tahun,” sahut si anak muda hormat.

“Nah, itu dianya, kalau tidak, tidak nanti dalam tempo pendek satu bulan kau dapat mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dariku.”

“Habis, siapakah itu Lam Tee?” tanya Oey Yong.

“Dialah satu hongya, seorang kaisar,” sahut Cit Kong.

Kwee Ceng dan Oey Yong heran. “Eh, seorang kaisar demikian lihay ilmu silatnya?” mereka menegasi.

“Memang ia seorang kaisar, tetapi dalam hal kepandaiannya, ayahmu dan aku jeri tiga bagian terhadapnya,” sahut si pengemis mengaku. “Api dari Selatan mengalahkan Emas dari Barat, maka dialah si penakluk dari si bisa bangkotan Auwyang Hong itu.”

Kedua muda-mudi ini kurang mengerti, tetapi mereka diam saja, sebab mereka lantas mendapatkan si pengemis menjublak, hingga mereka tidak berani menanya lebih jauh.

Cit Kong masih memandangi mega, agaknya ia berpikir keras, alisnya sampai dikerutkan. Nampaknya ia tengah menghadapi satu soal besar yang ia tak mendapatkan pemecahannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia berjalan pulang ke pondok. Mendadak saja terdengar suara memberebet, ternyata bajunya kena langgar paku di pintu dan sobek.

“Aih!” seru Oey Yong, yang mengikuti, tetapi si pengemis sendiri seperti tidak mengetahui hal itu. Maka si nona berkata, “Nanti aku tambalkan!” Lantas dia cari nyonya pemilik pondok, untuk pinjam benang dan jarum, terus ia jahiti baju sobek itu.

Cit Kong masih menjublak ketika ia lihat jarum di tangannya si nona, tiba-tiba saja dia rampas jarum itu, lantas dia membawa lari ke luar. Oey Yong dan Kwee Ceng heran, mereka lari mengikuti.

Sesampainya si luar, Cit kong mengebas tangannya yang memegang jarum itu, lalu terlihat satu sinar berkeredep. Nyata jarum itu telah dipakai menimpuk!

Oey Yong mengawasi jarum meluncur, lalu jatuh, nancap di tanah. Dan nancapnya dengan menikam seekor walang. Saking kagum, dia bersorak. Cit Kong mengeluarkan napas lega.

“Berhasil! Berhasil!” katanya. “Ya, beginilah….”

Oey Yong dan Kwee Ceng tercengang mengawasi pengemis itu.

Ang Cit Kong berkata; “Auwyang Hong si tua bangka beracun itu paling gemar memelihara ular dan ulat berbisa, semua binatang jahat itu dapat mendengarkan segala titahnya. Itulah usaha yang bukan gampang.” Ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan: “Aku rasa juga ini bocah she Auwyang bukannya makhluk yang baik, jikalau nanti ia bertemu pamannya, mungkin ia menghasut yang bukan-bukan, maka itu berbahayalah kalau kita bertemu pamannya, jadi aku si pengemis tua tidak dapat tidak mesti aku mempunyai suatu senjata untuk melawannya mengalahkan segala binatang berbisa itu!”

Oey Yong bertepuk tangan. “Jadi kau hendak menggunakan jarum untuk menikam nancap setiap ular berbisa itu di tanah!” katanya.

Ang Cit kong membuka lebar matanya terhadap si nona. “Ah, kau iblis cilik yang licin!” ujarnya. “Orang baru menyebut bagian atas, kau sudah lantas dapat mengetahui bagian bawahnya!”

“Bukankah kau telah mempunyakan obat yang lihay?” Oey Yong tanya, “Bukankah kapan obat itu dicampur arak, asal kau menyemburnya, ular berbisa itu tidak berani datang dekati padamu?”

“Daya itu cuma dapat dipakai sementara,” Ang Cit Kong memberi keterangan. “Sudah, kau jangan ngoceh saja, jangan mengganggu aku, hendak aku melatih diri dalam ilmu ‘Boan-thian hoa ie’. Aku hendak mendapatkan kepastian bagaimana kesudahannya ilmu itu kalau memakai jarum….”

“Kalau begitu, nanti aku menolong kau membeli jarum,” berkata si nona, yang terus lari keluar.

Ang Cit Kong menghela napas. Katanya seorang diri; “Sudah ada si tua bangkanya yang cerdik licin bagaikan iblis, sekarang ada gadisnya yang serupa cerdik licinnya!”

“Tidak lama, Oey Yong telah kembali dari pasar, dari keranjang sayurannya ia mengasih keluar dua bungkus besar jarum menjahit.

“Semua jarum di kota ini telah kau beli hingga habis!” kata dia sambil tertawa. “Maka besok semua orang laki-laki di sini bakal digeremberengi hingga mati oleh istrinya!” katanya kemudian.

“Bagaimana begitu?” Kwee Ceng tanya.

“Sebab mereka bakal dicaci tidak punya guna! Sebab kalau mereka pergi ke pasar, mereka tidak mampu membeli jarum!” sahut si nona. “Sebatang pun tidak ada!” kata si nona sambil tertawa.

Ang Cit Kong tertawa tergelak. “Dasar aku si pengemis tua yang cerdik!” katanya. “Aku tidak menghendaki istri, supaya aku tak usah disiksa perempuan! Nah, mari kita berlatih! Dua bocah, bukankah kau ingin aku si pengemis tua mengajarkan kau menggunakan senjata rahasia? Apakah kamu sanggup?”

Oey Yong tertawa, dia mengikuti di belakang pengemis itu.

“Cit Kong, aku tidak mau belajar!” kata Kwee Ceng sebaliknya.

Ang Cit Kong heran. “Kenapa, eh?” dia tanya.

“Lojinkee sudah mengajari aku banyak ilmu, dalam sesaat ini aku tidak sanggup mempelajarinya semua,” Kwee Ceng mengaku.

Ang Cit Kong melengak, tetapi sebentar saja, ia sudah mengerti. Ia tahu orang jujur dan tidak serakah banyak macam pelajaran, alasan saja dia membilang tidak sanggup belajar lebih jauh.

“Ah, anak ini baik hatinya,” ia memuji di dalam hati. Ia lantas tarik tangannya Oey Yong, “Mari kita saja yang berlatih.”

Kwee Ceng tidak mengikuti, ia hanya pergi ke belakang bukit, di mana seorang diri dia meyakinkan terus lima belas jurusnya, ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang itu. Ia merasakan dapat kemajuan, hatinya girang bukan main.

Berselang sepuluh hari, selesai sudah Oey Yong mempelajari “Boan-thian Hoa Ie Teng Kim-ciam”, ialah ilmu menimpuk dengan jarum, dengan sekali mengayun tangan, ia dapat melepaskan belasan batang jarum, cuma ia belum dapat memisahkan semua itu ke setiap jalan darah yang ia arah.

Pada suatu hari habis berlatih, Cit Kong tidur menggeros di bawah sebuah pohon cemara. Oey Yong membiarkannya. Tahu, mereka segera bakal berpisah, ia lari ke pasar membeli beberapa rupa barang serta bumbunya. Ia ingin memasak beberapa rupa barang hidangan yang lezat untuk si pengemis. Di tengah jalan pulang, sambil menentengnya dengan tangan kiri, tangan kanannya saban-saban diayun, berlatih kosong dengan timpukannya.

Ketika hampir sampai di tempat penginapan, kupingnya mendengar kelenengan kuda yang nyaring. Ia lantas menoleh. Ia tampak seekor kuda dikasih lari mendatangi, malah penunggangnya lantas ia kenali, Bok Liam Cu, anak gadisnya Yo Tiat Sim. Ia berdiri diam, mengawasi dengan bengong, hatinya pepat. Ia tahu nona itu ada punya hubungan jodoh dengan Kwee Ceng. Ia memikir juga, “Apa baiknya wanita ini maka enam guru engko Ceng dan imam-imam dari Coan Cin Pay hendak memaksa engko Ceng menikah dengannya?” Memikir begini, dasar masih kekanak-kanakkan, ia menuruti hati panasnya. “Baik aku hajar ia untuk melampiaskan hatiku!” pikirnya pula.

Lantas ia bertindak memasuki penginapan. Ia lihat Bok Liam Cu duduk seorang diri di sebuah meja, romannya berduka sekali, seoarng pelayan sedang menanya dia hendak dahar apa. Dia memesan semangkok mie dan enam kati daging.

“Apa enaknya daging matang?” kata Oey Yong.

Liam Cu menoleh, ia tercengang. Ia kenal nona yang bersama Kwee Ceng naik seekor kuda di Pakhia. Ia lantas berbangkit.

“Oh, adik pun ada di sini?” katanya. “Silahkan duduk!”

“Mana itu semua imam?” tanya Oey Yong. “Mana si kate terokmok, si pelajar jorok? Kemana perginya mereka semua?”

“Aku sendiri saja,” menyahut Liam Cu. “Aku tidak bersama Khu Totiang beramai.”

Oey Yong jeri terhadap Khu Cie Kee beramai itu, maka mendengar jawaban si nona itu, hatinya girang, sembari tertawa ia mengawasi nona itu. Ia mendapatkan orang mengenakan pakaian berkabung, pada rambut di ujung kupingnya ada sekuntum bunga putih dari wol. Dia nampak lebih kurus, mengharukan, tetapi justru itu, wajahnya lebih menarik hati. Di pinggang si nona itu pun ada sebatang belati. Ia ingat: “Itulah pisau yang menjadi tanda perjodohannya dengan engko Ceng, pemberian ayah mereka masing-masing…” Maka ia berkata; “Enci, bolehkah aku pinjam melihat pisau belatimu itu?”

Itulah pisau Pauw Sek Yok keluarkan disaat dia hendak melepaskan napasnya yang terakhir, dengan dia dan suaminya telah meninggal dunia, pantaslah pisau itu telah jatuh di tangan Bok Liam Cu. Mulanya Bok Liam Cu tidak berniat mengasihkan, sebab ia dapatkan air muka Oey Yong luar biasa, tetapi karena Oey Yong mendekati perlahan-lahan seraya mengulurkan tangannya, ia tidak dapat menolak. Ia mengasigkan sekalian bersama sarungnya.

Oey Yong lihat ada ukiran nama Kwee Ceng pada pisau itu. Lantas ia berpikir, “Inilah barangnya engko Ceng, mana dapat diberikan padanya?” Ia mencabut pisau itu, sinarnya berkilat, hawanya dingin. “Sungguh pisau yang bagus!” pujinya. Ia masukkan pisau itu ke dalam sarungnya, terus ke dalam sakunya sendiri. “Akan aku kembalikan ini pada engko Ceng,” katanya.

“Apa?!” tanya Liam Cu tercengang.

“Disini terukir nama engko Ceng, pasti ini adalah pisaunya,” berkata Oey Yong. “Sebentar bertemu dengannya, hendak aku memulanginya.”

Liam Cu gusar. “Ini warisan satu-satunya dari ayah ibuku, mana dapat aku berikan padamu?!” katanya keras. “Lekas pulangkan padaku!” Ia pun segera bangkit.

“Kalau kau bisa, ambilah!” sahut Oey Yong, yang terus lari keluar. Ia tahu Cit Kong sedang tidur dan Kwee Ceng lagi di belakang bukit berlatih sendiri.

Liam Cu mengubar, hatinya cemas. Ia tahu, sekali dia menunggang kuda merahnya, nona itu bakal lolos.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar