Selasa, 20 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 047

Oey Yong melayani pelbagai serangan, setelah itu, ia keluarkan kepandaian ciptaan Oey Yok Su, ayahnya, yaitu “Lok Eng Ciang”. Dengan begitu tenaganya lantas memain di delapan penjuru, bagaikan badai mengamuk rimba pohon tho. Kwee Ceng kontan menjadi repot, selagi ia kelabakan, empat kali ia terhajar punggungnya. Habis itu si nona lompat keluar dari gelanggang, dia tertawa.

“Yong-jie, kau lihay!” Kwee Ceng memuji. Ia tidak gusar atau malu, sebaliknya ia girang sekali. Ia tidak dihajar keras oleh si nona.

Ketika itu Ang Cit Kong berkata dengan dingin kepada si nona, “Ayahmu ada mempunyai kepandaian tinggi sekali, kenapa kau masih menghendaki aku mengajari dia?”

Oey Yong terkejut, “Eh, kenapa dia mengenali ilmu silat ayahku ini, yang ayah ciptakan sendiri?” pikirnya. Lantas ia menanya: “Cit Kong, kenalkah kau ayahku?”

“Tentu saja!” sahut si pengemis, temberang. “Dia Tong Shia dan aku Pak Kay! Selama beberapa tahun, entah kita sudah bertempur beberapa puluh kali!”

Oey Yong heran. Ia berpikir pula : “Dia pernah berkelahi sama ayahku dan dia masih belum mati, sungguh dia berkepandaian tinggi.” Lalu ia menanya pula: “Lojinkee, bagaimana kau mengenali aku?”

“Pergilah kau kacakan dirimu!” sahut pengemis itu. “Kau lihat alismu, matamu, tidakkah itu mirip dengan alis dan mata ayahmu? Mulanya aku tidak mengenali kau, aku cuma merasa seperti mengenal, setelah melihat ilmu silatmu barusan – hm! Walaupun aku belum pernah melihatnya, tapi aku tahu betul, ilmu itu cuma dapat dibetelori oleh ayahmu itu yang licin bagai iblis!”

Oey Yong tidak gusar ayahnya dikatakan sebagai iblis, sebaliknya ia tertawa. “Bukankah lojinkee hendak membilang ayahku sangat lihay?” ia menanya.

“Memang ia lihay,” sahut Ang Cit Kong dingin. “Tetapi dia bukanlah yang nomor satu di kolong langit ini!”

Oey Yong bertepuk tangan, gembira sekali dia. “Kalau begitu adalah lojinkee yang nomor satu!” serunya.

“bukan,” berkata si pengemis, mengaku. “Pada lebih daripada duapuluh tahun yang lampau, kita, ialah Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima berkumpul di atas puncak gunung Hoa San, kita membicarakan tentang ilmu silat bertangan kosong dan menggunakan pedang, kita telah bertanding selama tujuh hari tujuh malam, kesudahannya ternyata Tiong Sin Thong yang paling lihay, kita berempat mengakui dia adalah yang nomor satu di kolong langit ini.”

“Siapa itu Tong Sin Thong?” Oey Yong menanya.

“Apakah ayahmu tidak pernah omong tentang dia?” tanya si pengemis.

“Tidak. Bahkan ayah mendamprat aku, dia tidak menyukai aku, dari itu aku minggat. Untuk selanjutnya ayah tidak menghendaki aku lagi…” kata si gadis dengan sedih.

“Ha, siluman tua itu!” Ang Cit Kong memaki. “Benar-¬benar dia sesat!”

Oey Yong memperlihatkan roman tidak senang. “Aku melarang kau memaki ayahku!” ia berkata.

Ang Cit Kong tertawa terkakak. “Sayang sekali orang mencela aku si pengemis melarat, tidak ada wanita yang sudi menikah denganku,” katanya, “Kalau tidak, dengan adanya kau yang begini manis, pastilah tidak rela aku mengusir kau buron…”

Oey Yong pung tertawa. “Itu pasti, lojinkee! Dengan kau mengusir aku, siapa nanti yang masak kau sayur?”

Pengemis itu menghela napas. “Kau benar, kau benar,” ujarnya. Ia berhenti sejenak, lalu ia meneruskan; “Tiong Sin Thong itu ada kauwcu, kepala dari Coan Cin Kauw, namanya Ong Tiong Yang. Setelah ia menutup mata, sekarang sukar dibilang, siapakah dikolong langit ini menggantikan dia sebagai yang nomor satu…”

“Coan Cin Kauw, lojinkee bilang? Ah, bukankah disana masih ada si imam she Khu dan she Ong? Bukankah mereka itu lihay ilmu silatnya?” tanya Oey Yong lagi.

“Mereka itu murid-muridnya Ong Tiong Yang. Aku dengar dari tujuh muridnya, Khu Cie Kee adalah yang paling lihay, tetapi walaupun demikian dia tidak dapat menandingi paman gurunya, Ciu Pek Thong.” jawab Cit Kong.

Mendengar disebut nama Ciu Pek Thong itu, Oey Yong terperanjat, hendak ia bicara tapi mendadak ia mengurungkannya.

Sejak tadi Kwee Ceng hanya memasang kuping saja, sekarang ia menyelak. “Oh, kiranya Ma Totiang masih mempunyai paman guru…” katanya.

“Ciu Pek Thong itu bukannya imam dari Coan Cin Kauw,” Cit Kong memberi keterangan. “Dia orang biasa, yang tidak memegang agama. Ilmu silatnya itu diajarkan sendiri oleh Ong Tiong Yang. Ah, bukankah ayahmu tidak menyukai ini bocah tolol yang menjadi kawanmu?”

Pengemis ini mengatakan Kwee Ceng, inilah yang tidak disangka-sangka si anak muda. Ia menjadi bungkam.

Oey Yong tidak menjadi gusar, ia malah tertawa. “Ayahku belum pernah melihat dia,” ia menyahut. “Jikalau lojinkee sudi memberi pelajaran padanya, dengan memandang kau, pastilah ayahku nanti menyukai dia.”

“Hai, iblis cilik!” seru si pengemis. “Kepandaian ayahmu belum kau dapatkan satu bagian saja, tetapi mata iblisnya kau telah wariskan semuanya! Aku tidak senang diumpak-umpak orang dipakaikan kopiah tinggi, aku si pengemis tua juga tidak pernah menerima murid, maka siapakah kesudian bocah tolol ini sebagai murid? Hanyalah kau sendiri yang memandangnya dia sebagai mustika!”

Sehabis berkata begitu, Ang Cit Kong bangkit, dengan membawa tongkatnya, dia ngeloyor pergi.

Kwee Ceng heran, dia berdiri menjublak mengawasi kepergian orang tua itu. “Yong-jie,” katanya selang sesaat, “Tabiat locianpwee ini sungguh luar biasa.”

“Sebenarnya ia seorang yang baik hati!” menyahuti Oey Yong, yang kupingnya sangat terang, hingga ia dapat mendengar satu suara sangat perlahan di atas pohon di samping mereka, hingga ia menduga kepada si pengemis aneh itu. “Dia juga terlebih lihay daripada ayahku…”

Kwee Ceng memperlihatkan roman aneh. “Kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya, mengapa kau bisa bilang begitu?”

“Aku dengar itu dari ayahku,” jawab Oey Yong.

“Apakah kata ayahmu?” tanya si pemuda lebih lanjut.

“Ayahku bilang, sekarang ini, orang yang kepandaiannya lihay yang dapat memenangkan ayah cuma tinggal Ang Cit Kong seorang. Sayang orang tua itu tidak tentu tempat kediamannya, tidak dapat kita sering berkumpul dengannya untuk meyakinkan ilmu.” sahut si nona.

Dugaan si nona tepat, Ang Cit Kong tidak berlalu terus. Setelah tak nampak oleh Kwee Ceng dan si nona, lekas-lekas ia kembali. Ia jalan mutar, terus ia lompat naik ke atas pohon, ia bisa mendengar pembicaraan muda-mudi itu. Ia pun puas mendengar suaranya Oey Yok Su seperti dikatakan si nona.

“Pada wajahnya Oey Yok Su tidak pernah mengagumi aku, siapa tahu di dalam hatinya dia memandang hormat,” pikirnya. Dan ia puas sekali. Ia tidak tahu Oey Yong mengarang cerita.

“Sayang belum berarti aku menuntut pelajaran dari ayahku,” Oey Yong berkata pula, ia bersandiwara terus. “Mengenai itu aku harus menyesalkan diri sendiri. Kenapa dulu aku gemar main-main saja, tidak mau aku belajar dengan rajin. Sekarang kebetulan sekali kita bertemu dengan Ang Cit Kong, asal dia suka memberikan satu-dua pelajaran, bukankah itu lebih baik daripada pengajaran ayahku sendiri? Menyesal aku telah keterlepasan omong, aku menyebabkan locianpwee itu tidak senang hati….” Habis berkata begitu, ia lantas menangis.




Kwee Ceng menghibur kekasihnya itu, tetapi justru itu, dari berpura-pura, Oey Yong menjadi menangis sungguhan.

Ang Cit Kong di atas pohon melihat dan mendengar semua itu, hatinya tertarik. Oey Yong menangis tersedu-sedu.

“Pernah aku dengar ayah bilang,” katanya kemudian, “Kiu Cie Sin Kay mempunyai semacam ilmu silat yang di kolong langit ini tidak ada saingannya, yang sejak jaman dahulu senantiasa menjagoi sendiri, sampaipun Ong Tiong Yang jeri juga terhadapnya. Ilmu silat itu dinamakan……dinamakan…..Ah, aku lupa, sedang barusan aku ingat….. Sebenarnya, ingin aku minta diajari ilmu silat itu, namanya….namanya….Ah, aku lupa lagi!”

Ang Cit Kong masih tidak sadar bahwa orang tengah mengepul terus, ia tidak dapat mengendalikan diri dari atas pohon, hingga ia langsung berseru: “Itulah Hang Liong Sip-pat Ciang!” Dan ia pun lompat turun dari pohon tempat bersembunyinya.

Oey Yong pura-pura terkejut, tapi ia girang bukan kepalang. “Benar, benar, ah , kenapa aku tidak ingat itu?” dia berseru. “Ayah sering sekali menyebut ilmu silat itu, dia kata itulah ilmu yang ia paling malui….”

“Kiranya ayahmu itu masih suka omong terus ¬terang!” Ang Cit Kong berkata. “Aku tadinya menyangka, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang, dia menganggap dirinya sebagai orang kosen nomor satu di dalam dunia ini…!” Dia memandang Kwee Ceng, terus ia berkata, “Eh, bocah, bakatmu kalah dengan bocah perempuan ini, itulah sebabnya kenapa kau tidak dapat menandinginya. Eh, nona cilik, pergilah kau pulang ke pondokmu!”

Oey Yong tahu si pengemis hendak memberi pelajaran pada Kwee Ceng, ia girang bukan main, lantas ia lari pulang.

Lantas Ang Cit Kong memandang tajam pada si anak muda. “Lekas kau berlutut dan mengangkat sumpah!” Katanya, bengis. “Tanpa perkenan dariku, aku larang kau mewariskan kepandaian yang aku ajarkan ini kepada lain orang, termasuk juga itu istrimu yang licin bagai iblis cilik!”

Kwee Ceng menjadi bingung. “Kalau Yong-jie memintanya, mana dapat aku menolak?” ia berpikir. Karena ini, ia berkata: “Cit Kong, aku tak ingin belajar! Biarlah dia tetap jauh terlebih gagah daripada aku…”

Cit Kong heran. “Eh, kenapa begitu?” dia menegaskan.

“Sebab kalau dia minta aku mengajarinya,” sahut Kwee Ceng, “Apabila aku tidak suka mengajarinya, aku jadi berlaku tidak pantas terhadapnya. Sebaliknya jikalau aku meluluskan permintaannya dan mengajarinya, aku malu terhadap kau, aku jadi melanggar sumpahku.”

Mendengar keterangan ini, Ang Cit Kong tertawa lebar. “Anak tolol, matamu tajam, hatimu baik!” katanya. “Kau jujur sekali! Sekarang begini saja, aku ajarkan kau jurus Kang Liong Yoe Hoei. Aku tahu Oey Yok Su itu sangat angkuh, seumpama kata ia sangat mengagumi mengajarkan ini, tidak nanti dia menjadi tidak tahu malu dengan mencuri mempelajari kepandaianku yang istimewa ini…”

Setelah mengatakan begitu, Ang Cit Kong lantas menekuk kakinya yang kiri, tangan kanannya ditarik mutar sebagai lingkaran, lalu mendadak ia majukan itu ke depan. Kesudahannya sebuah pohon di depannya itu patah batangnya, roboh dengan berisik sekali.

Kwee Ceng terperanjat kagum. Ia tidak sangka tolakan tangan demikian perlahan akibatnya sehebat itu. Itulah emposan tenaga dalam yang sangat besar.

“Pohon ini adalah benda yang tidak bergerak-¬gerak!” Cit Kong menerangkan, “Kalau manusia, dia pasti dapat mundur berkelit. Mempelajari ilmu pukulan ini, sukarnya ialah mencegah agar lawan tidak dapat mundur, supaya dia itu tidak bisa berkelit, kalau cegahan itu dapat dilakukan, dia pasti bakal roboh seperti pohon ini.”

Sekali lagi si pengemis menjalankan pukulannya itu, sampai dua kali, ia sekalian mengajarkan emposan pernapasannya. Untuk ini ia mesti menggunakan tempo cukup lama. Sebabnya ialah bakat yang kurang dari Kwee Ceng, yang otaknya bebal, hingga ia selamanya mesti belajar lama barulah ingat dan hapal. begitulah, selang dua jam barulah ia mengerti betul.

Cit Kong berkata: “Perempuan cilik itu, permainan silatnya lebih banyak gertakannya daripada pukulan yang sebenar-benarnya, kalau kau bertanding dengannya dan repot membela diri, pasti sekali kau dipermainkan dia. Kau boleh gesit dan lincah, kau tetap tidak nanti dapat menangi dia. Kau boleh menduga pukulannya yang benar-benar, kenyataannya ialah gertakan belaka. Saban-saban dia bisa membikin kau tidak dapat menerka.”

Kwee Ceng mengangguk-angguk.

“Karenanya jikalau kau ingin memecahkan ilmu silatnya itu,” Cit Kong membeber rahasia terlebih jauh, “Jangan kau usil pukulannya itu gertakan atau benar-¬benar, kau tunggu pukulannya tiba, palsu atau benar, kau sambut dengan Kang Liong Yoe Hoei. Apabila dia melihat seranganmu itu, mesti ia menangkis, asal dia menangkis, kalahlah dia!”

“Kemudian bagaimana!” Kwee Ceng tanya.

“Kemudian bagaimana?!” si pengemis mengulangi. “Ha, anak tolol! Dia ada punya berapa banyak kepandaian hingga ia sanggup melawan ini pukulan yang aku ajarkan kau?”

Si pemuda tak berani mananya lagi, ia terus berlatih. Ia pilih sebuah pohon yang kecil, ia hajar itu. Ia kena menghajar dengan tepat, tetapi pohon itu tidak roboh, melainkan bergoyang-goyang.

“Anak tolol!” mendamprat si pengemis. “Mau apa kau menggoyang-goyang pohon itu?! Kau hendak menangkap bajing atau mau memetik buah cemara?!”

Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, ia tertawa menyeringai.

“Sudah aku bilang, kau mesti bikin lawan tidak dapat mundur, tidak bisa berkelit!” Ang Cit Kong berkata pula. “Pukulan barusan tepat tetapi kurang bertenaga, dengan pohon bergoyang, tenagamu menjadi buyar. Mestinya pohon dihajar tanpa bergoyang, baru ia dapat dibikin patah.”

Kali ini Kwee Ceng sadar. “Jadinya aku mesti sebat sekali supaya lawan tak keburu bersiaga,” katanya.

“Memang! Apa mesti disebutkan pula?!” sembrot si pengemis.

Anak muda ini berdiam, ia berlatih pula. Untuk beberapa puluh kali ia memukul, pohon masih bergoyang-goyang. Ia tidak menjadi bosan, ia tidak berputus asa, terus ia mencoba. barulah hatinya menjadi terbuka ketika kemudian bergoyangnya pohon perlahan sekali. Itu tandanya ia peroleh kemajuan. Sementara itu tangannya telah jadi bengkak dan merah, tetapi ia tidak pedulikan, masih ia berlatih terus.

Ang Cit Kong tidak sabaran, ia duduk menyender, lalu pulas, menggeros keras.

Ulet si anak muda, segera juga ia bisa bikin pohon tidak bergoyang. Ia jadi semakin bersemangat. Kembali ia memukul. Diakhirnya, robohlah pohon itu, terpatah dua! Hampir ia bersorak.

“Bagus!” begitu terdengar suaranya Oey Yong, yang terlihat mendatangi dengan perlahan-lahan, tangannya membawa kotak makanan. Cit Kong belum membuka matanya, hidungnya sudah mencium bau wangi makanan.

“Harum! Harum!” katanya seraya ia berlompat bangun, segera ia membuka tutup kotak hingga ia lihat ayam panggang dan bebek serta setumpuk lumpia. tanpa diundang lagi, ia menyambar dengan tangan kiri dan kanan, memasukkan ayam dan bebek itu bergantian ke mulutnya untuk digeragoti. “Lezat! Lezat!” ia memuji, tapi karena mulutnya penuh, tak nyata pujiannya itu.

Ketika sebentar kemudian ayam dan bebek itu habis, tinggal tulang-tulangnya saja, baru ia ingat Kwee Ceng belum dahar. Agaknya ia jengah sendiri. Tapi lekas ia berkata: “Mari, mari! Lumpia ini pun lezat….! Lebih lezat dari bebek…!”

Kwee Ceng dan Oey Yong tidak menjadi tidak senang, malah si nona tertawa.

“Cit Kong, kau belum dahar masakanku yang paling jempol!” kata si nona.

Si pengemis menjadi mengilar. “Msakan apa itu? Masakan apa itu?” ia menanya, mendesak.

“Tidak dapat aku sebutkan semua itu sekarang,” menjawab si nona. “Ada peecay goreng, ada tauwhu tim, ada juga sup daging!”

Cit Kong menjadi semakin ngilar. “Bagus, bagus!” katanya. “Sudah aku bilang, kau memang anak manis! Apa boleh aku pergi membelikan peecay dan tauwhu sekarang?”

“Tak usah, Cit Kong. Kau yang beli pun tidak cocok sama pilihanku!”

“Ya, benar-benar, mana orang lain dapat memilih seperti kau sendiri!”

Nona Oey itu lantas memutar haluan. “Barusan aku lihat dia menghajar pohon patah dan roboh, sekarang ia lebih lihay dariku!” katanya mengenai Kwee Ceng.

Si pengemis itu menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak, tidak!” katanya cepat. “Pukulan apa itu, pohon bergoyang-goyang dan melengkung? Mestinya sekali pukul pohon patah dan runtuh!”

“Toh pukulannya barusan sudah hebat, aku tentu tidak sanggup menahannya,” kata pula si nona. “Dasar kau yang berat sebelah! Kalau nanti ia menghina aku, bagaimana?”

Cit Kong hendak mengambil hati orang yang pandai masak itu, ia tidak menjadi kurang senang yang ia disesalkan. “Habis kau mau apa?” tanya.

“Kau mesti ajarkan aku ilmu, yang dapat menandingi dia,” kata si nona. “Sesudah aku paham, aku nanti masaki kau barang hidangan.”

“Baiklah! Dia baru belajar serupa ilmu, tidak sukar untuk menangi dia. Nanti aku ajari kau Yang Siang Hoei.” Baru ia tutup mulutnya, sudah ia berlompat, untuk terus bersilat. Kedua tangan bajunya yang lebar berkibar-kibar, tubuhnya berlompatan ke Timur dan Barat, pesat gerakannya.

Diam-diam Oey Yong perhatikan sesuatu gerakan orang, maka tempo Cit Kong berhenti bersilat, ia sudah ingat separuhnya, selebihnya ia minta penjelasannya. Dasar ia berotak terang, belum dua jam, ia sudah mengerti seanteronya, dapat ia jalankan ilmu silatnya itu, tinggal memahirkan latihannya saja.

Yang Siang Hoei atau Burung Walet Terbang Berpasangan, terdiri dari tigapuluh enam jurus, gerakannya mirip dengan burung walet terbang menari-nari. Beda adalah Kang Liong Yoe Hoei, atau Naga Menyesal, yang singkat saja, tetapi untuk Kwee Ceng merupakan pelajaran yang sulit.

Habis berlatih, Oey Yong tertawa. “Engko Ceng, sekarang aku lebih menang pula daripada kau!” katanya gembira. “Sekarang aku mau pergi beli sayur!” Dan lantas dia lari pergi.

“Bocah itu cerdik melebihi kau seratus lipat!” kata Cit Kong pada si anak muda seberlalunya si nona jenaka itu.

“Memang. Barusan aku melihat lojinkee bersilat, mataku kabur, aku cuma ingat tiga empat jurus.”

Cit Kong tertawa, tanpa membilang apa-apa, dia pulang ke pondokan. Kwee Ceng berdiam, ia mengikuti pulang.

Malam itu Oey Yong benar memasakkan peecay goreng dan tim tauwhu, peecaynya dimasak dengan minyak ayam dicampur ceker bebek, sedang tauwhunya dicampuri ham. Maka puaslah Cit Kong menangsel perutnya. Habis bersantap, ia heran melihat muda-mudi itu tidur terpisah kamar.

“Apa? Apakah kamu belum menikah?” dia menegaskan.

Oey Yong tukang bergurau, tetapi ditanya begitu, merah mukanya, hingga di antara cahaya api, dia tampak makin cantik.

“Awas Cit Kong!” dia mengancam, “Kalau kau ngaco lagi, besok aku tidak akan masaki kau makanan yang lezat!”

“Apa, eh? Apakah aku ngomong salah?” tanya si pengemis, kaget. Tapi segera ia mendusin, “Ah, aku tolol betul! Bukankah kamu baru mengikat janji sendiri, belum lagi mendapat perkenan orang tua kamu, belum ada rekokan comblang? Jangan takut, aku si pengemis yang nanti jadi comblangnya! Jikalau ayahmu tidak mau menerima, nona, nanti aku tempur dia! Biar kita bertempur lagi tujuh hari tujuh malam, biar sampai ada yang mampus dan hidup!”

Senang hatinya Oey Yong, sembari bersenyum ia memasuki kamarnya.

Besoknya pagi-pagi Kwee Ceng sudah pergi ke rimba untuk meyakinkan pukulan Kang Liong Yoe Hoei, yang sebenarnya adalah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ilmu silat Menaklukkan Naga. Hanya kali ini ia berlatih kosong, tidak lagi ia menghajar pohon, sebab ia khawatir merusak pohon kayu penduduk situ. Baru menghajar duapuluh lebih kali, ia sudah mandi keringat. Tetapi ia girang sekali, sebab ia telah memperoleh kemajuan. Selagi ia beristirahat, tiba-tiba ia dengar suara orang di luar rimba.

“Suhu, kali ini mungkin kita telah melalui tigapuluh lie lebih!” demikian pendengarannya. Terang orang itu adalah murid berbicara sama gurunya. “Nyatanya ilmu lari kamu telah ada kemajuan,” menjawab seorang yang lain.

Kwee Ceng lantas saja kaget. Ia kenali suara orang yang belakangan ini. Ia pun lantas melihat orangnya – berempat – ialah Kaoy Nio Cu Ong, si tua tetapi romannya tetap muda. Ia mengeluh, lantas saja ia kabur mengambil arah ke penginapan.

Juga Nio Cu Ong sudah lantas melihat dan mengenali pemuda itu. “Kau hendak kemana?!” dia membentak seraya terus mengejar.

Tiga yang lain benar adalah murid-muridnya Soam Sian Loa Kaoy, mereka lantas turut memburu, malah dengan berpencaran, untuk memegat dan mengurung.

Kwee Ceng lari terus. Ia mengerti, asal ia dapat keluar dari rimba, dekat sudah ia dengan pondokannya. Tapi ia dapat dipegat murid kepala musuhnya itu.

“Bangsat cilik, tekuk lututmu!” membentak pemegat itu, yang terus menyerang.

Kwee Ceng menekuk kaki kirinya, tangan kanannya diputar, lalu ia menolak. Itulah jurus Kang Liong Yoe Hoei yang baru saja ia pelajari.

Murid Nio Cu Ong itu hendak menjambak, karena ditolak, hendak ia menangkis. Inilah hebat untuknya. Segera ia terserang hingga lengannya itu patah dan tubuhnya terpental enam tujuh kaki, roboh tak sadarkan diri. Sekalipun ia berkelit, belum tentu ia bebas.

Kwee Ceng sendiri heran. Sebenarnya ia memakai tenaganya cuma lima bagian, tapi akibatnya dahsyat sekali. Untuk sejenak ia tercengang, ketika ia mendusin, lekas ia lari pula.

Nio Cu Ong melihat muridnya dirobohkan, ia kaget berbareng gusar, dia mengejar terus. Tepat dimuka rimba, ia dapat memegat.

Kwee Ceng kaget dan khawatir, sebab si musuh tangguh menghalangi di tengah jalan. Hampir tanpa berpikir, ia tekuk lagi kaki kirinya, tangannya dilingkarkan, lalu ia menolak dengan keras. Kembali ia menggunakan jurus Naga Menyesal itu.

Soam Sian Loa Koay terperanjat. Ia tidak kenal pukulan itu, yang nampaknya hebat, terpaksa ia berkelit dengan menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan. Dengan begitu ia bebas, tapi justru itu, Kwee Ceng dapat menerobos untuk lari terus. Ketika ia lompat bangun, dengan niat mengejar terus, ia dapatkan bocah itu sudah tiba di muka pondokan.

“Yong-jie! Yong-jie!” Kwee Ceng berteriak. “Lekas minta Cit Kong tolong aku!”

Oey Yong dapat mendengar teriakan itu, ia muncul dengan lantas. Segera ia melihat Nio Cu Ong.

“Eh, kenapa siluman bangkotan ini berada di sini?” pikirnya. “Bagus ia datang, hendak aku menguji Yan Siang Hoei!” Terus ia berteriak; “Engko Ceng, jangan takut! Lawan dulu padanya, nanti aku bantu kau!”

Kwee Ceng cemas hatinya, karena ia tahu Nio Cu Ong lihay dan Oey Yong belum tahu apa-apa. Tapi tidak sempat ia berpikir lama, musuhnya sudah menyandak. Ia memutar tubuhnya, kembali ia menyerang dengan pukulan Kang Liong Yoe Hoei.

Nio Cu Ong lompat ke samping, kali ini ia kurang sebat, meski ia bebas, tangan kanannya terserempet juga, hingga ia merasakan sakit dan panas. Ia menjadi heran luar biasa. Baru beberapa bulan mereka berpisah, bocah ini telah menjadi demikian lihay. Ia menduga itulah disebabkan Kwee Ceng minum darah ular. Ingat ini, ia menjadi tambah mendongkol.

Kwee Ceng lihat orang berkelit, ia menyusul serangannya, dengan pukulan yang serupa. Nio Cu Ong cerdas dan lihay, segera ia mendapat kenyataan, pukulan orang hanya serupa, maka setelah berkelit pula, dia tertawa dan berkata; “Ha, bocah, kau mempunyai cuma satu jurus ini?”

Kwee Ceng polos, ia tidak tahu orang memancing dia. “Ya,” jawabnya. “Toh kau tidak mampu menangkis!” Ia lantas menyerang pula.

Nio Cu Ong lompat. Sekarang tahu ia bagaimana harus mengelakkan diri. Tiga kali lagi ia diserang, tiga kali ia berkelit, di samping itu, ia membalas menyerang. Kwee Ceng gagal berulang-¬ulang, ia menjadi repot.

Oey Yong menonton pertempuran itu, ia melihat kawannya terdesak. “Engko Ceng, nanti aku lawan dia!” ia berseru. Ia berlompat ke arah dua orang itu, tubuhnya melayang bagaikan seekor burung walet. Begitu tiba, kepalan kiri dan kaki kanannya segera dikasih bekerja dengan berbareng.

Nio Cu Ong berlompat mundur, habis itu ia membalas menyerang.

Kwee Ceng lantas mengundurkan diri, lalu ia berdiri menonton.

Oey Yong menggunakan Yang Siang Hoei dengan baik, tetapi dasar masih baru dan ia pun kalah Iweekang, ia tidak berdaya merobohkan jago tua itu, sebaliknya hampir-hampir ia kena dihajar beberapa kali oleh lawannya, syukur ia memakai tameng joan-wie-kah. Habis tigapuluh enam jurus, ia pun terdesak.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar