Senin, 19 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 046

Mulanya Oey Yong tersenyum, ia anggap orang jenaka sekali, tetapi kemudian hatinya tergerak. Ia lantas berkata: “Engko Ceng, semua gurumu sangat benci aku, percuma kau omong banyak dengan mereka. Sudahlah, jangan engkau kembali! Mari kita pergi ke sebuah gunung sunyi, atau ke sebuah pulau mencil di laut, supaya mereka itu selama umurnya tidak dapat mencari kita….”

Kwee Ceng tetap menatap. “Yong-jie,” katanya, suaranya mantap, “Tidak dapat tidak, kita mesti kembali.”

“Tapi mereka itu hendak memisahkan kita, nanti kita tidak bakal bertemu pula,” kata si nona pula.

“Biar mati, kita tidak bakal berpisah!” si pemuda memastikan.

Semangat Oey Yong terbangun, kalau tadi hatinya berdebaran, sekarang hatinya menjadi mantap.

“Benar!” pikirnya. “Paling banyak kita mati! Mustahil ada yang lebih hebat dari kematian?” Maka ia kata: “Engko ceng, untuk selama-lamanya aku akan dengar perkataanmu! Sampai mati juga kita tidak akan berpisah!”

“Memang!” sahut si anak muda. “Aku sudah bilang, kau adalah satu nona yang manis!”

Nona itu tertawa. Ia merogoh pula kantong kulitnya, sekarang mengeluarkan sepotong besar daging mentah, ia gulung dengan lumpur, terus ia tambus. Ia menyalakan api dengan kayu kering.

“Biarlah si kuda lecil merah beristirahat,” kata pula si nona. “Habis beristirahat baru kita kembali.”

Kwee Ceng mengangguk, hatinya puas.

Tidak lama kemudian keduanya mulai menggayem daging tambus itu, kuda mereka juga sudah kenyang makan rumput. Sebentar kemudian, dengan menaiki kuda, mereka ambil jalan dari mana tadi mereka datang. Di waktu lohor, mereka tiba di hotel. Turun dari kudanya, Kwee Ceng pegang tangannya Oey Yong untuk diajak masuk ke dalam.

Pelayan hotel girang melihat kembalinya si anak muda, ia menyambut dengan wajah berseri-seri. Ia pernah menerima persen dari Kwee Ceng.

“Kau baik, Tuan?” tegurnya. “Mereka itu sudah berangkat pergi. Tuan ingin dahar apa, silakan sebutkan.” katanya.

Tapi Kwee Ceng terperanjat. “Mereka sudah pergi?” ia mengulangi. “Adakah pesanannya?”

“Tidak, mereka menuju ke Selatan, perginya sudah selang dua jam.” jawab si jongos.

“Mari kita susul mereka!” Kwee Ceng mengajak kekasihnya.

Oey Yong menurut, maka mereka tinggalkan rumah penginapan itu, mereka kaburkan kuda mereka ke arah yang disebutkan si pelayan itu, yang heran menampak orang pergi secara demikian kesusu. Di sepanjang jalan mereka memasang mata. Sampai sore, mereka tidak dapat menemukan Kanglan Liok Koay.

“Mungkin suhu telah mengambil lain jalan,” kata Kwee Ceng. Ia membalikkan kudanya.

Han-hiat Po-ma kuat sekali, walaupun penunggangnya dua orang, ia dapat lari tak kurang cepatnya, ia tidak menjadi lelah. Hanya sampai cuaca gelap, mereka tetap tidak melihat Kanglam Liok Koay atau ketiga orang Coan Cin Pay. Kwee Ceng menjadi masgul.

Oey Yong menghibur. Katanya: “Di harian Tiong Ciu mereka bakal berkumpul di Yan Ie Liauw di Kee-hin, di sana kau pasti bakal dapat menemukan mereka.”

“Untuk sampai kepada hari raya Tiong Ciu, temponya masih setengah tahun lagi,” kata si anak muda, lesu.

Tapi si nona tertawa manis. “Selama setangah tahun kita toh dapat pesiar ke segala tempat kenamaan!” katanya. “Apakah itu tidak terlebih bagus?”

Mau tidak mau, Kwee Ceng menyatakan setuju. Hatinya menjadi lega juga.

Keduanya lantas memasuki dusun, mencari penginapan, guna melewatkan sang malam.

Besoknya Kwee Ceng membeli seekor kuda putih yang besar, supaya Oey Yong dapat menaiki kuda merah kecil itu seorang diri. Tidak leluasa untuk mereka terus menunggang seekor kuda.

Oey Yong tidak dapat menampik kehendak pemudanya itu.

Demikian dengan merendengkan kuda, mereka berjalan perlahan-lahan, untuk menikmati keindahan sang malam. Mereka pergi tanpa tujuan. sering mereka turun dan duduk saling menyender di tempat yang sepi. Kalau singgah dan bermalam, mereka pun menyewa sebuah kamar. Hati mereka lapang, tidak ada pikiran yang bukan-bukan yang menyandingi mereka. Mereka melainkan memikirkan pesiar dan terbukalah hati mereka.

Pada suatu hari tibalah meteka di Barat perbatasan antara Liongkeng-hu dan Tayleng di sebelah timur kota raja. Ketika itu sudah mendekati hari raya Toan-yang, hawa udara mulai panas. Dahi Oey Yong telah berkeringatan. Selagi mereka hendak cari tempat untuk meneduh, si nona mendengar suara mengericiknya air . Ia lantas larikan kudanya ke arah suara itu. Girangnya ia mendapatkan sebuah kali kecil, sampai ia berseru.

Kwee Ceng mengasih kudanya lari menyusul.

Kali itu berair bening, hingga nampak dasarnya. Di kedua tepinya ada tumbuh banyak pohon yang-liu, yang cabang dan daunnya meroyot ke air. Di dalam air pun terlihat sejumlah ikan berenang pergi datang.

Oey Yong gembira sekali, hingga ia membuka pakaian luarnya, lalu terjun ke air.

Kwee Ceng terkejut, hingga ia menjerit. Ia lari ke tepian, hatinya lega. Segera ia melihat si nona berenang di dalam air, menangkap dua ekor ikan yang panjangnya kira-kira satu kaki, ketika diangkat ke muka air, ekor kedua ikan itu bergerak-gerak, begitupun kepalanya.

“Sambut!” si nona berseru, kedua tangannya terayun.

Kwee Ceng lantas menyambut, memegang kedua ikan itu, tetapi saking licinnya, ikan itu melejit dan lolos, jatuh ke tanah, di mana keduanya berloncatan.

Oey Yong tertawa geli. “Engko Ceng, mari turun, kita berenang!” ia memanggil.

Kwee Ceng tidak bisa berenang, ia menggeleng kepala. Ia besar di gurun pasir.

“Turunlah, nanti aku ajari!” kata si nona.

Pemuda ini menjadi tertarik, ia pun membuka baju luarnya, lalu turun ke kali. Ia tidak menerjun seperti si nona, tetapi ia turun dengan perlahan-lahan, tangannya pun diulurkan. Si nona jail sekali, ia menghampiri, tahu-tahu ia telah merabuh kaki orang, maka tidak ayal lagi, tubuh Kwee Ceng terpelanting. Ia kaget, karenanya, ia menegak air! Oey Yong lekas pegangi tangan orang, ia menertawai.

“Begini menggerakkan tangan,” si nona benar-benar lantas mengajari. Ia pun membilangi, mesti menahan napas dan mata dapat dirapati atau dimeleki.

Untuk Kwee Ceng, pelajaran berenang itu gampang sekali. Dengan dapat mengatur napasnya, dengan cepat ia telah dapat mengerti. Demikian ia bisa berenang hilir mudik dan selulup timbul. Tentu sekali, ia menjadi bertambah gembira, sedang kawannya demikian manis dan lincah.




Tidak puas dengan mandi di satu tempat saja, mereka berenang mudik, sampai kuping mereka mendapat dengar suara air nyaring. Kemudian ternyata, di Selatan itu ada air terjun yang yang tingginya lebih daripada sepuluh tombak, bagaikan rantai perak, air meluncur turun.

“Engko Ceng,” kata si nona sangat bergembira, “Mari kita mendaki air tumpah itu!”

“Baik, mari kita mencoba!” Kwee Ceng menyambut. “Kau pakailah baju lapismu!”

“Tidak usah!” menyahut si nona. “Mari kita mulai!”.

Kata-kata itu disusul sama gerakan tubuh yang lincah, berbareng dengan mana, si pemuda pun menggerakkan kaki tangannya. Tapi air deras sekali, keduanya gagal. Beberapa kali mereka mencoba, tetapi mereka tidak berhasil.

Kwee Ceng penasaran sekali. “Baiklah kita beristirahat, besok kita coba pula!” katanya pada kawannya.

“Baik!” tertawa Oey Yong. Ia pun penasaran.

Besoknya percobaan diulangi, kali ini mereka dapat naik hingga setombak lebih. Hati mereka menjadi besar, mereka mencoba terus. Inilah latihan bagus bagi mereka, yang ilmunya ringan tubuh sudah sempurna. Latihan ini terus dilakukan, maka juga di hari kedelapan, Kwee Ceng bisa sampai puncak air terjun itu, dengan menyambar dan menarik tangan orang, ia membantu Oey Yong naik juga.

Bukan main girangnya muda mudi ini.

“Mari kita turun pula!” Kwee Ceng mengajak. Lalu keduanya menyebur mengikuti air tumpah itu.

Demikian mereka berlatih, naik dan turun. Dalam sepuluh hari, Kwee Ceng dapat berenang dengan baik walaupun ia masih kalan lincah dari si nona, ialah untuk menangkap ikan, ia tak dapat menyaingi. Puaslah hati sepasang anak muda ini, maka di hari kesebelas baru mereka melanjutkan perjalanan ke Selatan. Sampai di hulu sungai Tiang Kang, hari mulai sore. Terbuka hati Kwee Ceng menyaksikan kebesaran sungai itu, yang airnya terus mengalir, gelombangnya saling susun.

“Kau mau berenang, engko ceng?” tanya si nona. “Marilah!”

“Baik!” sahut si anak muda. Dan ia lompat turun dari kuda putihnya, yang tepuk kempolannya. “Kau tidak punya guna, pergilah!” Ia pun melepaskan tali les. Dilain pihak, ia menghampiri kuda merah.

Kapan kuda merah itu ditepuk, dengan berani dia terjun ke sungai, sembari terjun ia meringkik keras dan panjang, terus ia berenag pergi.

Kwee Ceng dan Oey Yong pun segera terjun, untuk menyusul. Pandai berenangnya kuda merah itu, dia mendahului di muka.

Di tempat dimana mereka terjun ini tidak ada lain orang, dengan begitu mereka tidak menarik perhatian siapapun.

Belum begitu lama, tiba-tiba cuaca menjadi gelap. Sebab mega sudah lantas bergumpal-gumpal, langit menjadi mendung. Lalu kemudian terdengar suara guntur saling susul dan terlihat kilat menyambar-¬nyambar.

“Takutkah kau, Yong-jie?” Kwee Ceng tanya.

“Ada bersama-sama kau, aku tidak takut!” menjawab si nona tertawa.

Pemuda itu tersenyum.

Di bawah hujan besar, mereka berenang terus hingga di lain tepi di mana mereka mendarat. Mereka menanti sampai air langit itu berhenti turun, ketika itu tibalah sang malam dan rembulan memancarkan sinarnya di langit yang bersih. Mendung sirna, mega berkumpul lenyap.

Kwee Ceng mencari kayu kering, untuk menyalakan api ungun, di situ mereka memanggang pakaian hingga kering, kemudian keduanya rebah tidur di udara terbuka. Mereka polos, mereka tidak ingat apapun.

Keduanya sadar besoknya fajar, tempo mereka dengar suara ayam berkeruyuk dari sebuah rumah tak jauh dari tepi sungai.

“Aku lapar!” berkata Oey Yong, yang menguap. Ia bangkit, lari ke rumah tadi, sebentar kemudian, ia sudah lari balik, bersama seekor ayam jago yang besar di tangannya.

“Mari kita pergi ke sana, supaya pemilik rumah tidak melihat kita,” Kwee Ceng mengajak.

Si nona mengangguk, lantas mereka berjalan sampai sejauh satu lie kira-kira. Kuda merah terus mengikuti mereka. Disini Oey Yong sembelih ayam itu, lalu di cuci bersih, kemudian ia gulung dengan lumpur, untuk ditambus. Maka dilain saat matanglah ayam itu, rontok bulu dan kulitnya, terlihatlah dagingnya yang gemuk. Disaat si nona hendak membeset ayam itu, tiba-tiba ia dengar suara dari belakangnya; “Besetlah menjadi tiga potong, pahanya kasih aku!”

Kedua muda-mudi itu terkejut. Bukankah kuping mereka lihay? Kenapa mereka tidak dengar berkelisiknya orang, hingga orang tahu-tahu sudah berada dibelakang mereka? Mereka memutar tubuh dengan cepat. Maka terlihatlah seorang pengemis usia pertengahan, pakaiannya banyak tambalan, cuma anehnya, bahannya semua tersulam, hingga mirip pakaian pengemis di atas pentas. Dia pun memegang sebatang tongkat yang mirip batu pualam, sedang dipunggungnya tergemblok sebuah cupu-cupu besar yang merah warnanya. Wajah orang tampak acuh tak acuh wajar sekali.

Belum lagi si muda-mudi itu menyahut, mereka suka membagi ayam atau tidak, si pengemis sudah lantas menjatuhkan diri duduk di hapadan mereka, tangannya meraba punggungnya, untuk mengambil cupu-cupunya itu, yang tutupnya ia terus buka, itu juga tersiarlah harumnya arak. Dia menggelogoki arak itu beberapa ceglokan, terus ia mengangsurkan kepada si anak muda.

“Eh, bocah, kau minumlah!” katanya.

Sebenarnya Kwee Ceng tidak puas untuk kelakuan orang yang tak hormat itu, tetapi karena tingkah laku itu aneh, tidak berani berlaku kasar. “Aku tidak minum arak, lojinkee, kau minumlah sendiri!” sahutnya hormat.

“Dan kau nona kecil, kau minum arak atau tidak?” si pengemis itu menanya Oey Yong.

Si nona tidak menyahut, ia cuma menggelengkan kepalanya. Tapi sangat jeli matanya, dalam sesaat ia telah dapat melihat jeriji tangan si pengemis yang memegang tempat araknya. Untuk terkejutnya, jeriji itu cuma sembilan, lenyap satu dari lima jeriji tangan kanan! Ia lantas ingat kata-kata Ong Cie It dan Khu Cie Kee perihal Kiu Cie Sin Kay, si Pengemis Aneh Berjeriji Sembilan.

“Benarkah di kolong langit ini ada peristiwa begini kebetulan?” ia tanya diri sendiri. “Baiklah aku dengar suaranya.”

Nona ini tertawa di dalam hati apabila ia sudah mengawasi wajah si pengemis yang terus memandang ayamnya, hidung dia itu bergerak-gerak, mulutnya berkelemikan tanda mengilar. Tetapi ia tidak memikir untuk menjaili orang, maka ia lantas besat ayamnya dibagi dua, yang separuh ia sodorkan pada orang tua itu. Pengemis itu menyambut seperti menyambar dan terus menggayem. Sangat bernafsu ia mendaharnya hingga lekas juga paha ayam itu termakan habis! Tulang-tulang ayam itu ia semburkan.

“Sungguh lezat! Sungguh lezat!” ia memuji berulang-ulang. “Biar aku si leluhur pengemis, tidak bisa aku mematangi ayam selezat ini!”

Oey Yong tertawa, ia menyodorkan pula sepotong lainnya.

“Ah, mana dapat!” pengemis itu menolak. “Kamu berdua belum makan….” Mulutnya mengatakan begitu, tetapi tangannya menyambut, maka dilain saat, habis sudah sebelah ayam tambus itu! Lantas ia menepuk¬-nepuk perutnya. “Hai, perutku, perutku!” ia mengoceh seorang diri, “Bukankah jarang sekali kau gegares ayam begini lezat?”

Mau tidak mau, si nona tertawa geli.

Pengemis itu merogoh ke sakunya, mengeluarkan sepotong besar perak, yang mana ia sodorkan kepada Kwee Ceng. “Bocah, kau ambillah ini!” katanya.

Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Kami menganggap kau sebagai sahabat, kami tidak menginginkan uang,” jawabnya.

Pengemus itu menyeringai, agaknya ia likat. “Inilah sulit,” katanya. “Meskipun aku pengemis, tidak biasa aku menerima budi orang sedikitpun juga.”

“Apakah artinya seekor ayam?” berkata Kwee Ceng tertawa. “Lagian, ayam ini pun kami dapatkan dengan jalan tangan panjang, tanpa perkenan dari pemiliknya….”

Pengemis itu tertawa terbahak-bahak. “Ah, anak muda, tabiatmu sama dengan tabiatku!” katanya. “Mari, mari bilang aku, kau ada niat apa, kau kasih aku dengar!”

Belum lagi si pemuda menyahut, Oey Yong sudah mendahului. “Aku masih punya beberapa macam sayuran untuk kau cobai, lojinkee!” katanya manis. “Maukah kau turut kami pergi ke pasar di sana?”

Pengemis itu nampaknya sangat girang. “Bagus, bagus!” ia menyahut.

“Lojinkee she apa?” Kwee Ceng menanya.

“Aku she Ang, anak yang ketujuh,” menjawab pengemis itu. “Maka kamu berdua, anak-anak, kau panggil saja aku Ang Cit Kong.”

“Ha, benar saja dia!” kata Oey Yong di dalam hatinya. “Tapi dia masih begini muda, cara bagaimana dia sama kesohornya dengan Coan Cin Cit Cu?....” Walaupun ia memikir demikian, Oey Yong tidak bilang apapun. Bertiga mereka sudah lantas berjalan menuju ke Selatan, di mana ada sebuha dusun namanya Kiang-bio-tin. Lantas saja mereka mencari pondokan.

“Kamu berdua menanti sebentar, aku hendak membeli bumbu,” kata Oey Yong, yang terus pergi meninggalkan mereka.

Ang Cit Kong mengawasi belakang si nona, lalu ia tertawa. Ia kata kepada Kwee Ceng, “Adakah dia itu istrimu?”

Merah mukanya Kwee Ceng, sulit untuk ia mengiakan atau menyangkal. Ang Cit Kong tidak menanya pula, dia tertawa, lalu ia duduk nyender di kursinya, matanya meram melek.

Tidak lama Oey Yong kembali dengan sayuran dan bumbunya, ia pergi ke dapur untuk masak. Kwee Ceng hendak membantu, sembari tertawa, pemuda ini ditolaknya.

Selang setengah jam, Ang Cit Kong menguap. Segera ia mengendus-endus. “Ah, harum sekali!” katanya. “Masakan apakah itu, ah?!” Ia melongok ke arah dapur, lehernya diulur panjang-panjang.

Melihat tingkah laku orang, Kwee Ceng tertawa di dalam hati.

Bau wanginya barang hidangan mendesak, tetapi Oey Yong belum juga muncul. Si pengemis jadi serba salah, ia bangun, ia duduk, bangun pula, duduk kembali.

“Kau tahu tabiatku?” katanya pada Kwee Ceng, yang ia awasi. “Mulutku aneh, asal aku merasa makanan lezat, lantas aku lupa segalanya!” Kali ini ia tidak likat-likat lagi. Ia perlihatkan tangan kanannya, ia menambahkan: “Orang dahulu bilang, jari telunjuk dapat bergerak, inilah benar. Aku, asal aku melihat orang dahar makanan lezat jeriji telunjukku ini lantas bergerak-gerak tak hentinya, maka satu kali, sangking sengit, aku bacok kutung padanya….”

“Oh….!” Kwee Ceng berseru.

Tapi si pengemis tertawa. Katanya pula; “Meski jari tanganku lenyap, tabiatku tetap ada tak berubah…!”

Baru itu waktu Oey Yong muncul bersama sebuah penampan, di atas itu ada dua mangkok nasi, berasnya putih, secawan arak serta dua mangkok sayuran. Dua magkok sayuran itu lantas dipindahkan ke meja.

Kwee Ceng merasakan bau harum, tanda lezatnya masakan itu. Masih ada semangkok masakan daging yang menyiarkan bau lebih harum lagi. Semangkok yang lainnya pula masakan rebung campur-campur, kuahnya hijau.

Oey Yong mengisikan cawan, di depan si pengemis.

“Cit Kong, mari cobai masakanku!” katanya sembari tertawa.

Tanpa ditawarkan sampai dua kali, Cit Kong sudah lantas menenggak araknya, lalu ia menyumpit dua potong bakso di masukkan ke dalam mulutnya, terus ia menggayem, dengan asyik sekali, tandanya bakso itu sangat lezat. “Ah, aku tahu!” katanya kemudian. “Bakso ini adalah campuran daging kambing, daging babi, daging kerbau, dan daging…..daging….” Dan ia tidak dapat menyebutkan itu.

“Kalau kau bisa membeda, betul kau lihay, Cit Kong!” Oey Yong tertawa. Tapi belum ia berhenti tertawa, si pengemis itu sudah berseru: “Itulah daging mencak dicampur daging kelinci!”

Si nona bertepuk tangan. “Bagus! Bagus!” pujinya. “Kau sungguh lihay!”

Kwee Ceng sebaliknya mendoleng. “Hebat Yong¬jie!” pikirnya. “Bagaimana dapat ia memasak semua ini?”

Ang Cit Kong girang bukan main, ia menjepit pula dua buah engtoh yang dimasak bersama sayur kuwah hijau itu. “Aku tahu, inilah sup daun teratai campur rebung campur engtoh!” katanya. Ia masuki engtoh itu ke dalam mulutnya dan mengunyah. Mendadak ia mengasih dengar suara “Ah!” berulang-ulang.

Kwee Ceng heran. Ia menduga, engtoh itu tentu lezat sekali.

“Ah, nona kecil, aku takluk padamu!” kata Ang Cit Kong kemudian, sesudah menguyah. “Pada sepuluh tahun yang lampau, pernah aku makan makanan ini di dapurnya kaisar akan tetapi rasanya tidak selezat ini!”

Oey Yong tertawa. “Cit Kong,” katanya, “Coba bilang, di dapur kaisar ada makanan apa lainnya yang lezat, ingin aku mempelajarinya, supaya aku bisa memasak untukmu…”

Tapi tak sempat si pengemis berbicara, ia repot dengan baksonya, dengan sayurnya, maka dilain saat, semua makanan itu tinggal dua persepuluh bagian. Baru kemudian ia berkata; “Di dapur kaisar tidak ada barang makanan yang dapat melebihkan masakanmu ini!”

Kwee Ceng heran, “Eh, Cit Kong, apakah kaisar telah mengundang kau berjamu?” tanyanya.

Cit Kong tertawa tergelak-gelak. “Betul, kaisar telah mengundang aku!” jawabnya. “Cuma kaisar sendiri tidak dapat mengetahuinya! Selama tiga bulan aku sembunyi di atas penglari dapur kaisar, semua barang hidangan kaisar telah aku coba satu demi satu, mana yang lezat, aku hajar habis, mana yang tidak lezat, aku biarkan si kaisar yang gegares! Koki dan lainnya semua heran, mereka sampai mengatakan di dapurnya itu muncul dewa si rase besar!”

Dua-duanya Kwee Ceng dan Oey Yong bersenyum, di dalam hati mereka berkata: “Ini orang sangat doyan makan, mulutnya besar, tapi nyalinya pun gede…!”

“Eh, bocah!” tertawa pula si pengemis. “Kepandaian masak istrimu ini nomor satu di kolong langit! Seumurmu, kau sangat berbahagia! Sungguh heran, kenapa semasa aku muda, aku tidak pernah bertemu nona semacam dia….?”

Kwee Ceng tertawa, begitu pun Oey Yong. keduanya lantas dahar, Si nona perutnya kecil, sudah cukup ia makan satu mangkok. Kwee Ceng sebaliknya menghabisi sampai empat mangkok, sayurannya tidak perhatikan. Sayurannya telah dikonpa si pengemis!

Habis meludaskan semangkok sayur, Ang Cit Kong mengusap-usap perutnya. “Eh, anak-anak, aku tahu kau mengerti ilmu silat,” katanya tiba-tiba. “Dan kau bocah perempuan, kau masaki aku barang hidangan lezat, aku tahu, kau tidak mengandung maksud baik! Kau tentunya menghendaki aku mengajarkan kau beberapa jurus! Baiklah, tidak apa! Aku telah merasai hidangan lezat, tidak enak jikalau aku tidak mengajari kau! Mari, ikut aku!”

Ia berbangkit, ia gendol cupu-cupunya, ia cekal tongkatnya, lantas ia berjalan keluar.

Tanpa bilang apa-apa, sepasang muda-mudi itu mengikuti, sampai di sebuah rimba.

“Kau ingin mempelajari apa?” Cit Kong tanya Kwee Ceng.

Pemuda itu berpikir; “Banyak sekali macamnya ilmu silat di kolong langit ini. Kalau aku menginginkan sesuatu, benarkah kau sanggup mengajarinya?” selagi si pemuda berpikir, Oey Yong mendahului.

“Cit Kong, kepandaian dia ini tidak melebihkan aku,” katanya. “Dia sering marah-marah, ingin sekali dia menandingi aku!”

“Eh, kapan aku pernah marah terhadapmu…?” tanya Kwee Ceng.

Oey Yong mengedipkan mata pada pemudanya itu. Kwee Ceng lantas menutup mulut.

Cit Kong tertawa, ia berkata: “Aku lihat gerak kaki tanganmu, kau mesti mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, maka kenapa kau tidak sanggup melawan dia? Sekarang hayo kamu berdua bertempur, aku mau lihat!”

Oey Yong jalan beberapa tindak. “Engko Ceng, mari!” ia memanggil.

Pemuda itu bersangsi.

“Jikalau kau tidak pertontonkan kepandaianmu, mana bisa lojinkee mengajarimu?” si nona berkata. “Marilah!”

Kwee Ceng pikir si nona itu benar juga, maka lantas ia kata pada si pengemis: “Apa yang pernah aku pelajari tidak sempurna, aku minta sukalah lojinkee memberi petunjuk.”

Cit Kong tersenyum. “Mengajari sedikit tidak apa, mengajar banyak, itu lain!” katanya.

Mendengar itu, Kwee Ceng melengak. Ia heran. Justru itu Oey Yong berteriak. “Awas!” seraya tangannya menyambar! Ia terkejut, lekas-lekas ia menangkis. Tetapi si nona lihay sekali, ia menarik tangannya, kakinya menggantikan merabuh ke bawah.

“Bagus nona cilik!” berseru Ang Cit Kong. “Kau lihay!”

Si nona tidak melayani pujian itu, hanya seperti berbisik ia kata kepada Kwee Ceng: “Mari bertempur sungguh-sungguh….”

Kwee Ceng menurut, ia berkelahi dengan bersemangat. Ia keluarkan ilmu silat ajaran Lam Hie Jin, yaitu Lam San Ciang-hiat.Hebat permainannya ini disebabkan, sesudah meminum darah ular, tenaganya bertambah beberapa kali lipat.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar