Jumat, 16 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 045

“Ah, benar-benar aneh?” Cit It bilang.

Cie Kee heran. “Kenapa?” tanyanya.

Cit It diam, ia tidak memberi jawaban.

“Khu Totiang,” Tin Ok menanya. “Bagaimana caranya kau dapat mencari turunan Yo Toako itu?”

“Itu terjadi secara kebetulan,” sahut Tian Cun Cu. “Semenjak kita membuat perjanjian, aku pergi kemana-mana mancari turunan kedua keluarga Yo dan Kwee itu. Selama beberapa tahun, aku tidak memperoleh hasil. Karena ini aku merasa bahwa dalam halnya pibu, pihak kami pastilah kalah. Tapi aku tidak putus asa. Aku mencari terus. Kembali aku balik ke Gu-kee-cun. Pada suatu hari aku melihat beberapa hamba negeri pergi ke rumahnya saudara Yo itu, mereka mengangkut pergi semua barang perabotan rumah tangga. Aku heran, lantas aku menguntit mereka. Di luar dugaan mereka, aku mendapat dengar pembicaraan mereka. Nyatanya mereka bukanlah sembarang orang. Merekalah pengikut-pengikut pangeran Chao Wang dari negara Kim, mereka sengaja datang untuk mengangkut isi rumah saudara Yo. Mereka bilang, tidak boleh ada barang yang kurang, tak terkecuali bangku, meja dan tombak serta luku juga. Oleh karena itu aku heran, aku jadi curiga, maka aku menguntit mereka terus sampai di Tiongtouw.”

Mendengar sampai disitu, Kwee Ceng sadar. Selama berdiam di dalam gedung Pangeran Chao Wang, ia pernah melihat kamarnya Pauw Sek Yok serta perlengkapannya. Ia heran seorang istri Pangeran, tetapi perlengkapan rumahnya sangat miskin….

Khu Cie Kee melanjutkan keterangannya: “Malamnya aku pergi memasuki gedung pangeran itu. Untuk memastikan apa perlunya barang-barang demikian diangkut jauh-jauh, dibawa ke istana. Setelah aku memperoleh kenyataan, aku menjadi sangat gusar berbareng berduka dan terharu sekali. Ternyata Pauw Sek Yok, istri saudara Yo itu, sudah menjadi onghui, menjadi istri Pangeran Chao Wang. Saking murkanya, aku berniat membunuh Sek Yok itu. Kemudian aku mengubah pikiranku. Segera aku mendapat kenyataan, Sek Yok tinggal di sebuah rumah batu yang kecil, di situ ia memeluki dan mengusap-usap tombaknya saudara Yo, semalam¬-malaman ia menangis saja. Teranglah ia tidak dapat melupakan suaminya. Karena itu, aku batal membunuhnya. Kemudian aku mendapat keterangan, putranya Pangeran Chao Wang itu adalah putranya saudara Yo. Lewat lagi beberapa tahun, setelah usianya Wanyen Kang bertambah, aku mulai memberikan dia pelajaran ilmu silat.”

“Mungkinkah itu binatang sampai sebegitu jauh belum mengetahui asal-usulnya sendiri?” Tin Ok menanya.

“Tentang itu pernah aku mencoba mencari tahu,” berkata Khu Cie Kee. “Aku mendapat kenyataan ia telah terpengaruh harta dan kemuliaan, karena itu, aku tidak lantas membeberkan rahasianya. Aku pikir hendak menunggu sampai ia bertemu dan pibu sama Kwee Sie-heng, baru aku hendak mengakurkan mereka, untuk kemudian menolong ibunya, pernahkan mereka di suatu tempat tersembunyi. Aku tidak sangka sama sekali, sebenarnya saudara Yo masih hidup, malah bersama-sama saudaraku, kita kena terpedaya hingga beginilah pengalaman kami yang pahit. Ah…!”

Mendengar itu, Bok Liam Cu menangis seraya menutupi mukanya.

Kwee Ceng lantas turut bicara, menuturkan bagaimana dia bertemu sama Yo Tiat Sim, dan bagaimana mereka bertemu juga sama Pauw Sek Yok pada malam itu.

Semau orang lantas memuji Pauw Sek Yok, yang ternoda saking terpaksa, tetapi akhirnya dia berkorban untuk kehormatan cinta suci terhadap suaminya.

Setelah itu, pembicaraan mereka beralih kepada soal bertanding nanti di bulan kedelapan.

“Seluruh anggota Coan Cin Pay bakal hadir, apalagi yang dibuat khawatir?” berkata Cu Cong.

“Aku berkhawatir mereka mengundang banyak kawan hingga jumlah kita menjadi terlebih sedikit,” Ma Giok mengutarakan kekhawatirannya.

“Bisakah mereka mengundang banyak orang pandai?” Cie Kee bertanya.

“Bukan begitu, sutee,” berkata Tan Yang Cu seraya menghela napas. “Selama beberapa tahun ini aku benar telah memperoleh banyak kemajuan, hingga kau dapat memancarkan pengaruh partai kita, akan tetapi di sebelah itu, jangan kita melupakan, tidak dapat kita bertemberang dan menuruti adat muda…”

Cie Kee tertawa. “Jadi kita harus ketahui, bahwa diluar langit ada yang terlebih tinggi, di atas orang pandai ada lagi orang yang terlebih pandai?” katanya.

“Memang begitu. Lihat saja beberapa orang tadi, bukankah mereka itu tak ada dibawahan kita? Coba mereka dapat mengundang lagi beberapa orang, maka dalam pertemuan di Yan Ie Lauw sukar ditentukan dari sekarang, siapa bakal kalah, siapa bakal menang….” jawab Ma Giok lagi.

“Tapi mungkinkah kita Coan Cin Pay bakal roboh di tangannya beberapa jahanam itu?” Khu Cie Kee menegasi.

“Segala apa tak dapat diduga, saudaraku. Buktinya kejadian tadi. Kalau tidak ada Kwa Toako dan Cu Jieko datang membantu, bukankah akan runtuh nama baik kita yang sejak beberapa puluh tahun? Tidakkah kita bertiga bakal kehilangan nyawa kita disini?” kata Ma Giok.

Tin Ok dan Cu Cong lekas-lekas merendahkan diri. “Mereka itu telah menggunakan akal muslihat,” kata mereka. “Kemenangan mereka itu tak dapat dibuat sebutan.”

Ma Giok menghela napas. “Memang kita harus berhati-hati,” katanya. “Lihat saja Ciu Susiok kita. Ia telah mewariskan kepandaian guru kita, kepandaiannya sepuluh lipat melebihi kita, tetapi ia terlalu mengandalkan diri, sampai sekarang sudah belasan tahun, tak diketahui dimana adanya dia. Maka itu Ciu Susiok itu harus dijadikan contoh.”

Mendengar perkataan kakaknya ini, Cie Kee berdiam.

Kanglam Liok Koay tidak mengetahui yang Coan Cin Cit Cu masih mempunyai susiok, paman guru, mereka heran, tetapi mereka tidak berani menanyakan keterangan.

Ong Cie It sendiri membungkam selama dua saudaranya itu berbicara.

Kemudian Khu Cie Kee melirik kepada Kwee Ceng dan Bok Liam Cu. “Kwa Toako,” katanya tertawa. “Tidak kecewa murid yang kau pimpin itu. Yo Sutee mendapatkan baba mantu seperti ini, ia mati pun meram….”

Merah mukanya Liam Cu, ia berbangkit, sembari tunduk ia berjalan untuk keluar.

Ong Cie It dapat melihat caranya orang berbangkit dan bertindak, mendadak berkelebatlah suatu ingatan di otaknya, sebab sekali ia turun dari atas pembaringannya dan sebelah tangannya melayang ke pundak orang.




Hebat serangan mendadak ini, tatkala si nona sadar, pundaknya sudah kena ditekan, percuma ia hendak mempertahankan diri, ia terhuyung ngusruk. Tapi tangan kiri Cit It menyusul, sebelum ia jatuh, dia sudah dapat ditolong. Dia heran dan kaget, dengan mendelong ia mengawasi imam itu.

Ong Cie It lantas tertawa. “Jangan kaget, Nona,” katanya. “Aku sedang menguji kepandaianmu. Bukankah itu orang yang berilmu yang mengajari kau ilmu silat cuma tiga hari mempunyakan hanya sembilan jari tangan dan dandannya sebagai pengemis?”

Nona Bok menjadi terlebih heran lagi. “Eh, mengapakah totiang ketahui itu?” dia balik menanya.

Cit It tertawa pula. “Kiu Cie Sin Kay Ang Locianpwee itu memang aneh sepak terjangnya,” ia berkata, menerangkan. “Dia mirip dengan naga sakti yang nampak kepalanya tetapi tidak ekornya. Kau telah mendapat pengajaran dari dia, Nona, kau beruntung sekali. Sebenarnya sangat sukar mendapatkan seperti kau.”

“Hanya sayang guruku itu tidak mempunyai tempo yang luang, dia cuma bisa mengajari tiga hari lamanya,” menambahkan si nona.

“Apakah kau tidak kenal kecukupan, Nona?” Ong Cie It menegaskan. “Kau tahu, pengajarannya itu tiga hari melebihi pengajaran lain orang sepuluh tahun!”

“Totiang benar juga,” kata Liam Cu, yang terus berdiam tapi cuma sejenak, terus ia menanya: “Apakah totiang ketahui dimana adanya Ang Locianpwee itu sekarang?”

Cit It tertawa pula. “Perkataanmu menyulitkan aku, Nona!” ia berkata. “Adalah pada duapuluh tahun yang lampau aku menemui dia di puncak gunung Hoa San, habis itu aku tidak melihat dan mendengarnya pula.”

Liam Cu merasa kecewa, perlahan-lahan ia bertindak keluar.

“Ong Totiang, siapakah itu Ang Locianpwee?” Han Siauw Eng menanya. Sejak tadi si nona sudah tertarik hatinya mendengar disebutnya orang itu yang ada dari tingkat lebih tinggi dan tua (locianpwee).

Imam she Ong itu tersenyum, ia balik ke pembaringannya.

“Han Lie-hiap,” Ong Cie It menanya, “Pernahkah kau mendengar sebutan Tong Shia See Tok, Lam Tee Pak Kay dan Tiong Sin Thong?”

Nona Han itu berpikir. “Rasanya pernah aku mendengar tetapi aku tidak tahu apa artinya itu semua.”

Tiba-tiba Kwa Tin Ok memotong: “Ang Locianpwee itu bukankah Pak Kay dari Lam Tee Pak Kay itu?”

“Benar,” Ong Cie It memberikan jawabannya. “Tiong Sin Thong itu adalah almarhum Ong Cinjin yang menjadi guru kami.”

Kanglam Liok Koay kagum mendengar si orang she Ang sama tersohornya dengan gurunya Coan Cin Cit Cu.

Khu Cie Kee menoleh kepada Kwee Ceng, sembari tertawa ia berkata: “Bakal istrimu itu muridnya Kiu Cie Sin Kay yang ternama besar, di belakang hari siapa yang nanti berani menghinamu?”

Muka Kwee Ceng menjadi merah, berniat membantah tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya.

“Ong Totiang,” kemudian Han Siauw Eng menanya pula. “Kau cuma menekan pundaknya si nona, cara bagaimana kau lantas bisa mendapat tahu dialah muridnya Kiu Cie Sin Kay itu?”

Selagi Cie It belum menyahut, Cie Kee menggapai kepada Kwee Ceng, siapa sudah lantas datang menghampiri. Mendadak saja ia menekan pundak si anak muda.

Kwee Ceng pernah mendapat pelajaran rahasia ilmu dalam dari Ma Giok, pelajaran yang disebut Hian¬bun Ceng-cong, ia juga telah makan darahnya ular, tenaga dalamnya kokoh sekali, dari itu tidaklah ia roboh tertekan si imam.

Khu Cie Kee tertawa. “Anak yang baik!” katanya seraya mengangkat tekanannya.

Kwee Ceng tidak berani melawan lebih jauh tenaga dalam si imam itu tapi justru itu, ia ditekan pula. Kali ini, tidak ampun lagi, ia roboh terjengkang, sebab ia tidak bersiaga. Tapi ia tidak roboh terguling, begitu pula tangannya mengenakan tanah, ia sudah berlompat berdiri pula.

Menyaksikan itu, semua orang tertawa.

“Anak Ceng,” Cu Cong lantas berkata, “Khu Totiang telah memberikan kau pelajaran, kau ingatlah baik-¬baik.”

Kwee Ceng menyahuti sambil mengangguk.

“Han Lie-hiap,” Khu Cie Kee berkata pula, sekarang kepada Han Siauw Eng, “Siapa pun yang mempelajari ilmu silat, jikalau ia ditekan, mesti ia roboh terjengkang, cuma ilmu silat Kiu Cie Sin Kay yang tidak mempan tekanan, paling-paling orang terhuyung ke depan. Sebab ini kepandaian Ang Locianpwee itu banyak yang bertentangan sama ilmu silat kebanyakan.”

Liok Koay kagum untuk pengetahuan luas dari kaum Coan Cin Pay itu.

“Apakah Ong Totiang pernah melihat Kiu Cie Sin Kay bersilat?” Cu Cong tanya.

“Pada duapuluh tahun dulu itu,” menyahut Ong Cie It, “Kiu Cie Sin Kay telah berkumpul berlima bersama Oey Yok Su di puncak gunung Hoa San, di mana mereka merundingkan ilmu silat pedang, karena aku senantiasa mendampingi guruku, aku jadi dapat mendengar penguraiannya Kiu Cie Sin Kay itu.”

“Bukankah Oey Yok Su itu adalah Tong Shia dari Tong Shia See Tok?” Tin Ok tanya pula.

“Benar,” menjawab Tiang Cun, yang terus berpaling pada Kwee ceng sambil tertawa mengatakan: “Syukur Ma Suko telah ajarkan kau ilmu silat tetapi di antara kamu belum ada hubungan murid dan guru, jikalau tidak, mungkin terbit salah paham. Kau mesti terlebih rendah tingkatannya daripada bakal istrimu itu, dengan begitu seumurmu, tidak nanti kau dapat menanjak naik….”

Kwee ceng jengah, mukanya merah. “Tidak dapat aku menikah dengannya,” katanya.

Khu Cie Kee heran, hingga air mukanya berubah. “Kenapakah?” tanyanya.

Han Siauw Eng menyayangi muridnya itu, ia merasa kasihan, ia mewakili menyahut. “Kami cuma ketahui turunan Yo toako adalah anak laki-laki, maka itu selama di Mongolia anak Ceng ini sudah bertunangan. Oleh Khan besar dari Mongolia, Jenghiz Khan, ia telah diangkat menjadi Kim-to Hu-ma.”

Mendengar keterangan itu, Khu Cie Kee tertawa dingin. “Bagus betul!” katanya. “Orang adalah satu putri, pantaslah dia beda daripada yang lain. Tetapi disini adalah mengenai pesan orang tua mereka. Adakah kamu tidak memerdulikan itu?!”

Kwee Ceng menjadi ketakutan, ia lantas saja menekuk lututnya. “Teecu belum pernah sekali juga bertemu sama ayahku almarhum,” ia berkata, “Dari itu tidak tahu teecu tentang pesan ayahku itu. Sukalah Totiang memberi petunjuk?”

Cie Kee tertawa. “Ya, kau tidak dapat dipersalahkan!” katanya. Tadi ia tak ingat akan hal ini. Habis itu lalu ia menutur kejadian pada delapanbelas tahun yang lampau di Gu-kee-cun, bagaimana ia berkenalan sama Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim, bagaimana ia sudah pukul mundur musuh, bagaimana ia menyusul dua orang itu hingga jadi bentrok sama Kanglam Cit Koay, dengan kesudahannya dibuat perjanjian pibu antara keturunan Siauw Thian dan Tiat Sim itu.

Kwee Ceng lantas saja menangis. Baru sekarang ia ketahui jelas tentang dirinya sendiri. Ia berduka untuk sakit hati ayahnya, sakit hati mana belum terbalas. Karena ini juga ia menjadi ingat baik-baik budi semua gurunya.

Han Siauw Eng menghibur muridnya, ia kata: “Sudah lumrah, laki-laki mempunyai tiga istri serta empat gundik, maka itu belakang hari bolehlah kau memberitahukan kepada Khan yang agung halnya kau akan menikah dua istri. Ini toh untuk kebaikan kedua pihak, bukan?”

Kwee Ceng menepas air matanya. “Aku juga tidak akan menikahi Putri Gochin!” katanya.

Nona guru itu menjadi terkejut dan heran. “Kenapakah?” tanyanya.

“Aku tidak senang ia menjadi istriku,” Kwee Ceng menyahut dengan terus terang.

“Bukankah kau kenal ia dengan baik dan pernah bergaul rapat?” Siauw Eng menanya pula.

“Ya, tetapi aku pandang ia sebagai adik saja, sebagai sahabat. Aku tidak ingin menikah dengannya.”

Khu Cie Kee menjadi girang mendengar itu. “Anak yang baik, kau bersemangat!” pujinya. “Peduli apa dia Khan yang agung atau tuan putri, kau baiklah turut pesan ayahmu almarhum dan paman Yo-mu itu, kau menikah dengan nona barusan!”

Kwee Ceng menggeleng kepala. “Aku juga tidak akan nikahi nona ini,” katanya.

Semua orang menjadi heran, tidak tahu mereka apa yang dipikirkan pemuda ini.

“Apakah kau telah mempunyai nona lain yang kau penujui?” tanya Siauw Eng perlahan. Dasar wanita, nona Han ini dapat menyelami hati orang.

Muka Kwee Ceng menjadi merah, dia berdiam sejenak, baru ia mengangguk.

Han Po Kie dan Khu Cie Kee terperanjat. “Siapakah nona itu?!” tanya mereka keras.

Kwee Ceng mengasih dengar suaranya perlahan, ia tidak menjawab.

Sedeik itu, Han Siauw Eng lantas ingat Oey Yong, yang ia telah perhatikan ketika malam itu bertempur dengan Bwee Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu beramai di dalam istana pangeran. Ia ketahui nona itu berkulit putih bersih dan cantik menarik.

“Bukankah kau maksudkan si nona baju putih?” ia tegaskan muridnya itu.

Kwee Ceng tidak menjawab tetapi mukanya menjadi merah.

“Siapakah dia itu?” Khu Cie Kee tanya si nona Han.

“Aku dengar Bwee Tiauw Hong memanggil ia sumoay dan kepada ayahnya suhu…” menjawab Siauw Eng perlahan sekali. (Sumoay = adik seperguruan wanita dan suhu = suhu)

Dua-dua Kwa Tin Ok dan Khu Cie Kee terperanjat, hingga mereka berlompat bangun. “Mustahilkah ia putrinya Oey Yok Su?” tanya mereka berbareng.

Siauw Eng tarik tangan muridnya, “Anak Ceng, apakah nona itu she Oey?” ia menanya perlahan.

Kwee Ceng mengangguk. “Ya,” sahutnya, perlahan juga.

Mendapat jawaban itu, Han Siauw Eng tergugup.

“Apakah ayahnya yang jodohkan kau dengan putrinya?” tanya Cu Cong.

“Aku belum pernah bertemu dengan ayahnya dan tidak tahu siapa itu ayahnya,” si murid menjawab.

“Kalau begitu, kamu jadi mufakat berdua saja?” Cu Cong menanya pula.

Kwee Ceng tidak mengerti jelas, ia membuka lebar matanya tanpa menjawab.

“Bukankah dia mengatakan mesti menikah dengamu dan kau membilang akan nikahi dia?”

“Tidak pernah dikatakan begitu…” sahut Kwee Ceng, yang terus berdiam, tetapi sesaat kemudian ia menambahkan: “Tidak usahlah itu dijelaskan lagi. Aku tidak dapat tidak mempunyai dia dan dia juga tidak dapat tidak mempunyai aku, hati kita sama mengetahuinya….”

Han Po Kie belum pernah mengenal asmara, mendengar itu ia menjadi tidak puas. “Habis bagaimana jadinya!” ia membentak.

Cu Cong lain lagi. Berkata ini guru yang nomor dua: “Kau tahu tidak, ayahnya nona itu adalah satu iblis besar, yang kalau membunuh orang tidak pernah mengicap matanya? Jikalau ia ketahui kau secara diam-diam mencuri hati anak gadisnya, apa kau sangka masih mempunyai jiwamu? Bwee Tiauw Hong belum mewariskan satu persepuluh dari kepandaian gurunya itu, dia sudah sangat lihay, maka jikalau tuan dari Pulau Tho Hoa To itu hendak membunuh kau, siapa yang dapat menolonginya?”

“Yong-jie demikian baik, aku pikir…. aku pikir ayahnya tak mungkin bukan orang baik-baik,” berkata si murid perlahan.

“Angin busuk!” membentak Po Kie, yang tetap murka. “Kau mesti bersumpah bahwa untuk selanjutnya kau tidak akan bertemu pula dengan nona itu!”

Kanglam Liok Koay sangat membenci Hek Hong Saing Sat yang telah membinasakan Siauw Mie To Thio A Seng si Buddha Tertawa, dengan sendirinya mereka jadi membenci juga guru orang itu.

Kwee Ceng menjadi susah hati. Di satu pihak adalah guru-gurunya telah melepas budi banyak kapadanya, dilain pihak cinta sejati. Ia pikir, kalau seumurnya ia tidak dapat bertemu lagi Oey Yong, apakah artinya hidupnya – buat apa ia menjadi manusia? Ia jujur dan polos, dari itu halus sekali perasaannya. Ketika ia melihat guru--gurunya mengawasi dengan bengis, hancur rasa hatinya. Ia lantas menekuk lutut, air matanya turun mengalir di kedua pipinya.

Han Po Kie lantas maju setindak. “Lekas bicara!” ia membentak.

Belum lagi Kwee Ceng menyahut, di luar jendela sudah terdengar suara wanita muda: “Kenapa kamu main paksa orang?!” Tercenganglah Tin Ok semua. Sedang begitu, si nona itu telah berkata pula: “Engko Ceng, lekas keluar!”

Kwee ceng kenal suara Oey Yong, ia kaget dan berbareng heran. Ia lantas bangkit dan memburu keluar. Di depan berdiri si nona cantik, tangan kirinya memegang pelana kuda Han-hiat Po-ma.

Kuda merah itu meringkik panjang, ketika melihat anak muda ini, lalu kedua kaki depannya diangkat, untuk berjingkrakan.

Han Po Kie bersama Cu Cong dan Coan Kim Hoat memburu keluar, diikuti Khu Cie Kee berempat.

Menampak ketiga guru itu, Kwee Ceng menunjuk kepada si nona seraya berkata; “Sam-suhu, inilah dia si nona, dia bukan siluman!”

Oey Yong menjadi gusar. “Hai, orang kate terokmok yang menyebalkan untuk dilihat, kenapa kau berani memaki aku perempuan siluman?!” dia menanya sambil membentak. Dia pun segera menuding Cu Cong tanpa menanti lagi jawaban Ma Ong Sin si Malaikat Raja Kuda, untuk menambahkan: “Ada lagi kau, pelajar iblis yang jorok kotor, kenapa kau mencaci ayahku? Kenapa kau katakan ayahku iblis besar yang membunuh orang tidak mengicap mata?!”

Biauw Ciu Sie-seng si Pelajar Tangan Lihay sabar, ia tidak sudi melayani seorang nona, ia tersenyum. Ia mesti akui nona ini sangat cantik, seumurnya belum pernah ia lihat lain nona yang melebihkannya, jadi tidaklah heran Kwee Ceng menjadi jatuh hati kepada si nona.

Tapi beda dengan kakaknya yang kedua ini, Han Po Kie gusar bukan main, sampai kumisnya bangun berdiri. “Pergi kau! Lekas kau pergi!” ia mengusir.

Bukannya si nona Oey itu pergi, ia justru menepuk-¬nepuk tangan, ia bernyanyi; “Hai, labu parang! Hai, bola kulit bundar! Ditendang satu kali, lalu bergelindingan!”

“Jangan nakal, Yong-jie!” kata Kwee Ceng lekas mencegah. “Ini guruku….”

Han Po Kie maju, ia mengulurkan tangan akan menolak si nona itu untuk diangkat pergi.

Masih Oey Yong bernyanyi: “Labu parang! Bola kulit bundar!” Ia pun mundur dari tangannya si kate terokmok itu, hanya sambil mundur, mendadak tangannya menyambar pinggang Kwee Ceng, terus ia bawa lompat, maka sedetik kemudian, keduanya sudah bercokol di atas kuda merah, tempo mana si nona itu mengedut tali les, Han-hiat Po-ma membuka tindakan lebar dan kabur!

Han Po Kie boleh sangat gesit dan sebat tetapi tidak sanggup menyandak kuda jempolan itu.

Ketika kemudian Kwee Ceng menoleh ke belakang, wajah Po Kie semua terlihat hanya samar-¬samar saja, lantas bergelempang hitam, terus lenyap, saking keras larinya si kuda merah itu!

Oey Yong mencekal les dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang tangan si anak muda, hatinya berdenyut keras, walaupun belum lama mereka berpisahan, Kwee Ceng sendiri bingung sekali. Berat untuknya perpisahan secara demikian dari keenam gurunya, sebaliknya, pepat juga hatinya mengingat gurunya itu hendak memisahkan dari pacarnya. Mana bisa ia tunduk kepada mereka?

Kabur kira-kira satu jam lamanya, Han-hiat Po-ma telah terpisah duaratus lie dari kota Yan-khia. Sampai disitu barulah Oey Yong menarik tali les kudanya, untuk mengasih kudanya berhenti. Lantas ia lompat turun dari binatanang, diturut oleh pemuda pujaannya. Kuda itu menggosok-gosok lehernya ke pinggang si anak muda, menandakan kelulutannya.

Sepasang muda-mudi ini berpegagan tangan, mereka berhadapan tanpa mengucapkan sepatah kata. Banyak yang mereka ingin ucapkan, tetapi mereka tidak tahu harus bagaimana memulainya. Cuma hati mereka yang berbicara satu pada lain……….

Beberapa saat kemudian, baru Oey Yong melepaskan tangannya dari tangan Kwee Ceng. Ia merogoh kantung kulit di pelana, menarik keluar sepotong sapu tangan, terus pergi ke tepi kali kecil di dekatnya, untuk mencelup saputangan itu, kemudian kembali ke pemudannya.

“Kau pakailah ini,” katanya perlahan, meminta orang menyusut mukannya yang keringatan.

Kwee Ceng berdiri bengong, agaknya ia berpikir keras sekali. Ia tidak menyambut saputangan itu, hanya sekonyong-konyong ia berkata, keras; “Yong.jie, tidak dapat kita berbuat begini….”

Pemudi itu terperanjat, ia menatap, “Apa katamu?” tanyanya.

“Kita harus kembali,” Kwee Ceng bilang. “Kita mesti menemui guruku semua…!”

Kembali Oey Yong terperanjat. “Kembali?” ia menegasi. “Kita kembali bersama?”

“Benar!” sahut pemuda itu. “Hendak aku mencekal tanganmu, kepada guruku semua dan Ma Totiang beramai ingin aku mengatakan; ‘Inilah Yong-jie! Dia bukan siluman perempuan!’” Sembari berkata begitu, ia menarik tangan yang putih mulus dan lemas dari si nona, kemudian ia angkat kepalanya, untuk mengawasi wajah orang. Ia agaknya hendak mengatakan pula; “Suhu, budi kamu besar laksana gunung, walaupun tubuhku hancur luluh, sukar aku membalasnya…Tapi, tapi Yong-jie bukannya siluman, dialah satu nona yang baik sekali…” ia hendak omong banyak, tapi cuma sampai di situ, berhentilah pikirannya melamun.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar