Rabu, 14 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 044

“Ke sana!” berseru Ma Giok yang menunjuk ke arah Barat Laut.

Yo Tiat Sim bersama Liam Cu, putrinya dengan melindungi Pauw Sek Yok, lari ke arah yang ditunjuk itu, di belakang mereka, Ma Giok menyusul. Imam ini sudah berlompat bangun.

Khu Cie Kee perlihatkan kepandaiannya, ia menghalangi di belakang. See Thong Thian berniat mencekuk Pauw Sek Yok, ia berlompat ke depan, tetapi semua percobaannya sia-sia belaka, ia dirintangi kalau bukan oleh Khu Cie Kee tentu oleh Ma Giok.

Tidak lama tibalah mereka di hotel kecil di mana Ong Cie It mengambil tempat.

Khu Cie Kee heran bukan main. “Kenapa Ong Sutee masih belum menyambut?” ia berpikir. Ia baru berpikir atau ia segera melihat munculnya adik seperguruannya itu, yang jalan dibantu tongkat.

Dua-dua pihak terkejut. Mereka sama-sama tidak menyangka, dari kaum Coan Cin pay, sekarang terluka justru mereka yang paling tangguh.

“Mundur ke dalam hotel!” Khu Cie Kee lantas berseru.

“Serahkan onghui baik-baik, aku nanti ampunkan kamu semua!” Wanyen Lieh berseru.

“Siapa menghendaki pengampunan kau bangsat anjing dari negara Kim?!” mendamprat Tiang Cun Cu. Sembari membuka mulutnya, imam ini terus membikin perlawanan dengan hebat, hingga mau tidak mau, Pheng Lian Houw semua mengaguminya.

Yo Tiat Sim menyaksikan pertempuran itu, ia anggap tidak seharusnya Khu Cie Kee bertiga menjadi korbannya, maka tiba-tiba saja ia tarik tangan Sek Yok, untuk pergi keluar, sambil ia berseru: “Semua berhenti! Di sinilah ajal kami!”

Di tangannya Tiat Sim mencekal tombaknya, dengan itu ia lantas tikam ulu hatinya, maka ia roboh dengan berlumuran darah.

Sek Yok tidak berduka karenanya, ia juga tubruk suaminya, ia tertawa menyeringai, terus ia cabut tombak itu dari tubuh suaminya, untuk gagangnya ditancap ke tanah. Ia menghadap Wanyen Kang seraya berkata: “Anak, masih kau tidak percaya ayahmu yang sejati ini?” Tapi ia tidak menanti jawaban, segera setelah perkataan itu, ia tubrukkan dirinya ke ujung tombak itu, maka ia pun roboh dengan mandi darah.

Kejadian ini sangat hebat, semua orang tidak menduganya, maka juga pertempuran berhenti sendirinya.

Wanyen Kang sangat kaget, sambil menjerit: “Ibu!” ia lari menolong ibunya. Ia lantas menangis melihat dada ibunya tertancap tombak.

Khu Cie Kee lantas memeriksa luka kedua orang itu, ia putus asa.

Wanyen Kang memeluki ibunya, dan Liam Cu ayahnya. Keduanya menggerung-gerung.

“Saudara Yo,” berkata Tiang Cun Cu pada Tiat Sim. “Kau hendak memesan apa? Kau bilanglah padaku, nanti aku lakukan semua itu.”

Belum lagi Tiat Sim sempat menjawab, orang pada menoleh ke arah mereka, karena mereka mendengar tindakan dari banyak kaki orang. Segera mereka melihat datangnya Kanglam Liok Koay bersama Kwee Ceng.

Enam Manusia aneh itu melihat See Thong Thian beramai, mereka menduga bakal terjadi pertempuran lagi, mereka lantas menyiapkan senjata mereka masing-masing. ketika mereka sudah datang dekat, mereka menjadi heran. Di sana ada dua orang terluka dan masing-masing tengah dipeluki dan yang lainnya mengawasi dengan roman tidak wajar.

Kwee Ceng kenali Yo Tiat Sim, segera ia menghampiri. “Paman Yo, kau kenapa?” tanyanya.

Napasnya Tiat Sim sudah lemah, ia kenali anak muda itu, ia tersenyum. “Dahulu hari ayahmu dan aku telah berjanji, kalau kami mendapat anak lelaki dan perempuan, kami akan berbesan, tetapi juga anak pungutku ini ada seperti anakku sendiri….” Ia menoleh kepada Khu Cie Kee, akan meneruskan; “Totiang, tolong kau rekoki perjodohan ini, aku mati pun akan meram.”

“Tenangkan hatimu, saudara Yo,” menyahut si imam ini.

Pauw Sek Yok rebah di samping suaminya, tangan kirinya mencekal erat tangan suaminya, agaknya ia takut sekali suaminya pergi. Ia seperti sudah tidak ingat apa-apa akan tetapi samar-samar ia masih dapat dengar pesan suaminya. Tiba-tiba ia angkat tangannya, untuk merogoh sakunya, darimana ia keluarkan sebilah pisau belati: “Ini buktinya….” katanya, lalu ia tersenyum dan berhenti jalan napasnya.

Khu Cie Kee menyambut pisau itu. Ia kenal pisau yang dulu hari ia berikan di Gu-kee-cun, Lim-an. Pada pisau terukir terang dua huruf “Kwee Ceng”

Yo Tiat Sim pun kata pada anak muda itu: “Masih ada sebilah lagi, ditangan ibumu. Dengan mengingat ayahmu, aku minta baik-baiklah kau perlakukan anakku ini.”

“Aku nanti urus semua, tenangkan dirimu,” janji pula Khu Cie Kee.

Yo Tiat Sim benar-benar merapatkan kedua matanya dengan tentram.

Kwee Ceng berduka sekali berbareng pusing kepala. “Yong-jie begitu baik terhadapku, mana bisa aku menikah dengan orang lain?” katanya dalam hati. Lalu ia menjadi kaget, ia berpikir pula: “Kenapa aku melupakan putri Gochin? Khan Agung telah jodohkan putrinya itu kepadaku! Ini……ini….bagaimana….?”

Selama hari-hari belakangan ini, Kwee Ceng sering ingat tuli tetapi tidak sedikitpun putri Gochin.

Cu Cong beramai berdiam saja atas pesan Tiat Sim itu. Memang mereka tidak berniat menolak pesan terakhir itu tetapi mereka tidak jelas duduknya hal, mereka tidak berani berlaku lancang.

Wanyen Lieh telah mesti menghadapi kejadian hebat itu, ia berduka bukan main. Ia lantas saja memutar tubuhnya, untuk meninggalkan tempat itu. Sejak ia mengambil pauw Sek Yok menjadi istrinya, ia telah mencoba segala daya untuk merebut cinta nyonya itu, tetapi ia tidak berhasil sepenuhnya. Selama belasan tahun, Pauw Sek Yok tidak pernah melupakan Yo Tiat Sim, suaminya.

Menampak pangeran itu berlalu, See Thong Thian beramai segera ngeloyor pergi juga, disebabkan ragu-¬ragu untuk menempur pula ketiha imam dari Coan Cin Pay, sudah mereka itu cukup tangguh, sekarang di samping mereka itu ada Kanglam Liok Koay. Khu Cie Kee dapat melihat orang hendak angkat kaki. “He, Sam Hek Miauw, tinggalkan obatmu!” ia membentak.

Pheng Lian Cu menoleh, ia tertawa lebar. “Cecu kamu she Pheng!” sahutnya. “Akulah kaum kangouw julukan Cian ciu Jin-touw! Kau keliru lihat, Khu Totiang?”




Gentar juga Khu Cie Kee. “Pantaslah ia lihay sekali,” pikirnya. Tapi kakaknya terancam bahaya. Maka ia kata: “Tidak peduli kau seribu tangan atau selaksa tangan, obat itu kau mesti tinggalkan! Jangan harap kau bisa meloloskan diri!”

Imam ini mengejek dengan selaksa tangan, sebab julukan “Cian Ciu” dari Pheng Lian Houw berarti “seribu tangan.”

Lantas Khu Cie Kee lompat menyerang.

Pheng Lian Houw mempunyai tinggal sebatang poan-koan-pit tetapi ia tidak takut, ia menyambut serangan itu, hingga mereka bertempur pula.

Cu Cong melihat Ma Giok duduk bersemedhi, napasnya lagi diempos, sedang sebelah tangan orang hitam legam, ia tanya imam itu kena dapat luka.

“Dia berjabat tangan denganku, siapa tahu dia menggunakan jarum beracun,” menyahut imam itu. Dengan “dia” ia maksudkan Pheng Lian Houw.

“Baiklah, itu tidak berarti!” kata Biauw Ciu Sie-seng si pelajar Tangan Lihay. Ia terus berpaling kepada kakaknya dan berkata; “Toako, mari kasih aku satu biji leng-jie!”

Kwa Tin Ok tidak mengerti maksud orang tetapi ia berikan barang yang diminta. Leng-jie itu ialah lengkak beracun.

Cu Cong mengawasi dua orang yang lagi bertempur itu, ia tidak ungkulan memisahkan mereka, maka itu ia kata pula kepada kakaknya; “Toako, mari kita pisahkan mereka itu, aku ada daya untuk menolong Ma totiang.”

Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam tahu adiknya itu sangat cerdik, ia mengangguk.

Si pelajar Tangan Lihay itu lantas saja berseru: “Kiranya di sana Cian Ciu Jin-touw Pheng Cecu! Kita ada orang sendiri, lekas berhenti berkelahi, aku hendak bicara!” Ia mengatakan demikian tetapi ia tarik tangan kakaknya, maka berdua berbareng mereka menyerbu kepada dua orang yang asyik bertempur itu. Yang satu memegang kipas, yang lain tongkat, dengan itu mereka memisahkan.

Khu Cie Kee dan Pheng Lian Houw heran mendengar perkataan orang yang bilang mereka semua adalah “orang sendiri”. Mereka suka memisah diri dulu, untuk mendengar penjelasan.

Dengan tertawa manis, Cu Cong menghadapi Pheng Lian Houw. Ia kata: “Kami Kanglam Cit Koay dengan Tiang Cun Cu Khu Cie Kee telah bentrok pada delapan belas tahun yang lampau, itu waktu lima saudara kami telah terluka parah, tetapi Khu totiang pun terluka oleh kami. Urusan itu sampai sekarang masih belum dapat di….” Ia lantas menoleh kepada Khu Cie Kee, untuk menanya; “Bukankah benar begitu, totiang?”

Tiang cun Cu mendongkol sekali. Ia menduga orang hendak membuat perhitungan disaat ia menghadapi musuh berbahaya. Maka ia menjawab dengan nyaring: “Tidak salah! Habis kau mau apa?!”

“Tetapi kita pun ada punya sangkutan sama See Liong Ong,” berkata Cu Cong. “Aku dengar See Liong Ong bersahabat sangat erat dengan Pheng Ceecu, karena kami mendapat salah dari See Liong Ong, kami jadi turut bersalah terhadap ceecu…”

“Haha…tidak berani aku menerima itu!” tertawa Pheng Lian Houw.

Cu Cong tertawa, ia berkata pula: “Karena Pheng Ceecu dengan Khu Totiang serta Kanglam Cit Koay ada bermusuhan, bukankah kamu kedua pihak adalah orang sendiri? Maka itu, perlu apa kamu bertarung lagi? Dengan begitu, bukankan aku dengan Pheng Ceecu pun ada orang sendiri? Mari, mari kita mengikat persahabatan!”

Si pelajar Tangan Lihay mengulur tangan, menarik tangannya orang she Pheng itu.

Pheng Lian Houw cerdik, ia curiga kata¬-kata tidak karuan juntrungan dari Cu Cong. Bukankah Coan Cin pay telah menolong murid Kanglam Cit Koay? Tidakkah berarti mereka berdua bersahabat? “Tidak, aku tidak dapat diakali, obatku tidak boleh diperdayakan!” Tapi melihat orang mengulurkan tangan, lekas-lekas ia selipkan senjatanya, berbareng ia keluarkan ban beracunnya.

“Saudara Cu, hati-hati!” Khu Cie Kee memberi ingat. Ia terkejut.

Cu Cong berpura-pura tidak mendengar, ia ulur terus tangannya, kelingkingnya ditekuk. Dengan begitu ia telah membangkol ban orang.

Pheng Lian Houw tidak merasakan apa-apa, ia berjabat tangan dengan si pelajar.

Keduanya lantas mengerahkan tenaga masing-¬masing.

Mendadak Pheng Lian Houw merasakan tangannya sakit sekali, lekas-lekas ia menarik tangannya, untuk dilihat. Betapa kagetnya, telapak tangannya telah berlubang tiga, darahnya yang mengalir berwarna hitam. Ia merasakan gatal, gatal-gatal enak, sakitnya lenyap. Tapi ia orang yang lihay, ia insyaf bahwa ia telah kena racun yang jahat. Makin tidak sakit, makin hebat racun itu. Ia juga merasa lukanya kaku. Ia kaget berbareng gusar, ia juga tidak mengerti kenapa ia sudah kena dicurangi. Ketika ia angkat kepalanya, ia dapatkan Cu Cong berdiri di belakangnya Khu Cie Kee, tangan kirinya mengangkat ban beracunnya yang dijepit dengan dua jari, tangan kanannya menunjuki sebuah lengkak hitam, ujung yang tajam dari buah itu penuh darah.

Kanglam Cit Koay yang nomor dua ini bergelar si Pelajar Tangan Lihay, maka tangannya itu benar-¬benar lihay sekali. Ketika ia mau berjabat tangan, dia sudah siapkan lengkaknya, tempo kedua tangan nempel satu sama lain, ia gaet ban tangan orang dan ujung lengkaknya bekerja!

Bukan main murkanya Pheng Lian Houw, ia berlompat untuk menerjang.

“Kau mau apa?!” membentak Khu Cie Kee, yang melintangkan pedangnya.

Cu Cong segera berkata: “Pheng Ceecu, lengkak ini adalah lengkak kakakku, senjata rahasia yang istimewa, siapa terluka, biar pandai mengukir langit, ia tidak bakal hidup lebih daripada tiga jam!”

Pheng Lian Houw merasakan tangannya kaku, ia percaya keterangan itu, maka tanpa merasa, dahinya mengeluarkan keringat dingin.

“Kau mempunyai jarum beracunmu, aku mempunyai ini lengkakku yang beracun juga,” berkata pula Cu Cong. “Kedua racun beda sifatnya, maka beda juga obatnya. Marilah kita bersahabat, kita saling menukar obat. Akur?”

Belum lagi Pheng Lian Houw menyahut, See Thong Thian sudah majukan diri seraya berkata: “Bagus! Kau keluarkan obatmu!”

“Toako, berikan dia obat itu!” Cu Cong bilang pada kakaknya.

Kwa Tin Ok merogoh dua bungkusan kecil dari sakunya, Cu Cong menyambut.

Khu Cie Kee segera melangkah di tengah. “Saudara Cu, jangan kena terperdaya!” ia memberi ingat. “Mesti dia yang menyerahkan dulu obatnya!”

Cu Cong tertawa. “Perkataan laki-laki mesti dibuktikan dengan kepercayaan,” ia kata. “Aku tidak khawatir dia tidak memberikannya.”

Pheng Lian Houw merogoh sakunya. Mendadak mukanya menjadi pucat. “Celaka!” serunya perlahan sekali. “Obatku lenyap…!”

Melihat orang ayal-ayalan, Khu Cie Kee murka. “Hm, kau masih mainkan tipu iblismu!” ia membentak. “Saudara Cu, jangan berikan!”

Cu Cong tertawa, ia berkata pula: “Kau ambillah! Kita bangsa orang budiman, kata-kata kita ada seumpama kuda dicambuk lari, aku bilang kasih tentu mesti dikasihkan!”

See Thong Thian tahu tangan orang lihay, ia tidak berani menyambut dengan tangan, sebagai ganti tangannya, ia lonjorkan senjata pengayuhnya.

Cu Cong meletakkan obat di atas pengayuh itu dan See Thong Thian menariknya, untuk menjumput itu.

Orang heran dengan kejadian ini. Mengapa Cu Cong memberikan obatnya? Kenapa ia tidak memaksa supaya pihak sana yang memberikan obatnya terlebih dahulu?

See Thong Thian masih menyangsikan obatnya tulen, ia kata: “Kanglam Cit Koay adalah orang-orang kenamaan, tidak dapat ia mencelakai orang dengan obat palsu!”

Cu Cong tertawa. “Tidak nanti, tidak nanti!” ia berkata seraya dengan perlahan-lahan mengasihkan lengkaknya kepada Kwa Tin Ok, kemudian dari sakunya ia keluarkan beberapa rupa barang ialah sapu tangan, kim-cie-piauw, beberapa potong perak hancur serta sebuah pie-yan-hu putih.

Pheng Lian Houw melihat semua barang itu, ia melengak. Itulah semua barang kepunyaannya. Ia heran kenapa semua itu ada di tangan orang. Ia tidak menyangka, selagi berjabat tangan, Cu Cong telah perlihatkan kepandaiannya.

Cu Cong buka tutupnya pie-yan-hu itu, yang di dalamnya terbagi dua. di situ ada obat bubuk masing¬-masing berwarna merah dan abu-abu.

“Bagaimana ini dipakainya?” tanya Pheng Lian Houw.

“Yang merah untuk dimakan, yang abu-abu untuk dibeboreh,” sahut ceecu itu terpaksa.

Cu Cong menoleh kepada Kwee Ceng. “Lekas ambil air! Juga dua buah mangkok!” ia menyuruh.

Bocah itu lari ke dalam hotel, untuk mengambil mangkok dan air, maka sebentar kemudian ia sudah mulai merawat Ma Giok. Mangkok yang satunya ia mau kasihkan kepada Pheng Lian Houw.

“Tunggu dulu!” mencegah Cu Cong. “Kasihkan pada Ong totiang!”

Kwee Ceng melengak tetapi ia serahkan mangkok itu. Ong Cie it juga heran.

“Eh, bagaimana dipakainya dua bungkus obat kamu ini?” See Thong Thian menanya. Ia tidak sabaran.

“Tunggu sebentar, jangan kesusu!” Cu Cong bilang. “Baru satu jam tiga perempat menit, dia tidak bakal mati….” Sembari berkata, Cu Cong mengeluarkan dari sakunya belasan bungkus obat.

Melihat itu Kwee Ceng girang bukan buatan. “Itulah obatnya Ong Totiang!” ia berseru. Ia lantas menyambut semua obat itu, ia bukai bungkusannya dan letaki di depan Ong Cie It. Ia kata: “Totiang, pilihlah sendiri mana yang kau butuhkan.”

Ong Cie It mengawasi semua obat itu, ia menjumput gu-cit, dan tiga lainnya, terus masukkan ke dalam mulutnya, untuk dikunyah, lalu disusuli dengan air.

Nio Cu Ong mendongkol berbareng mengagumi sang lawan. “Begini lihay si pelajar jorok ini,” pikirnya. “Ia cuma ngebuti bajuku, obat itu sudah lantas pindah ke tangannya…”

Karena gusar, ia memutar tubuh mencabut guntingnya. “Mari, mari! Mari kita mengadu senjata!” ia menantang.

“Mengadu senjata?” Cu Cong tertawa. “Oh, sungguh-sungguh aku tidak sanggup menandinginya!”

Khu Cie Kee pun menyela, “Tuan ini adalah Ceecu Pheng Lian Houw, tetapi tuan-tuan yang lainnya belum kami kenal…”

See Thong Thian dengan suaranya yang serak, memperkenalkan kawan-kawannya.

“Bagus!” seru Tiang Cun Cu. “Di sini telah berkumpul semua orang Rimba Persilatan yang kenamaan. Sayangnya selagi kita belum memperoleh keputusan menang dan kalah, kedua belah pihak ada orang-orangnya yang terluka. Aku pikir baiklah kita menjanjikan lain hari untuk bertemu pula.”

“Begitu paling baik!” Pheng Lian Houw menyahut. “Sebelum menemui Coan Cin Cit Cu, mati pun kita tak dapat memeramkan mata! Tentang harinya, silakan Khu Totiang yang menetapkan sendiri.”

Khu Cie Kee tahu lukanya Ma Giok dan Ong Cie It memerlukan rawatan beberapa bulan, sedang saudara-saudaranya yang lain terpencar kelilingan, sukar mencari mereka itu dalam waktu yang pendek, karenanya menyahut: “Baiklah setengah tahun kemudian dihari Pwee gwee Tiong Ciu, kita berkumpul sambil memandangi si Putri Malam sembari meyakinkan juga ilmu silat. Bagaimana penglihatan Pheng Ceecu?”

Pheng Lian Houw setuju dengan pilihan hari itu, pertengahan musim rontok. Ia mengetahui dengan baik, kalau Coan Cin Cit Cu kumpul semua, dengan mereka dibantu oleh Kanglam Cit Koay, jumlah mereka pun menjadi terlebih besar, karena mana pihaknya sendiri perlu mencari kawan. Selama setangah tahun, pasti ia sempat mencarinya. Kebetulan Chao Wang menghendaki mereka pergi ke Kanglam untuk mancuri surat wasiatnya Gak Hui, bolehlah mereka kedua pihak sekalian bertemu di sana. Maka itu, ia pun berkata: “Khu Totiang, sungguh pandai kau memilih hari Pwee gwee Tiong Ciu itu! Karena itu aku anggap kita pun baik sekali memilih juga tempat yang tepat! Aku memikir kepada kampung halaman dari Kanglam Cit Hiap!”

“Bagus, bagus!” menyahuti Khu Cie Kee. “Baiklah, bila tiba waktunya, kita boleh berkumpul di lauwteng Yan Ie Lauw di tengah telaga Lam Ouw di Kee-hin. Aku menganggap tidaklah suatu halangan jikalau tuan-¬tuan mengundang beberapa sahabatmu.”

“Baiklah, begini ketetapan kita!” kata Pheng Lian Houw singkat.

“Pheng Ceecu,” berkata Cu Cong setelah kepastian itu. “Dua bungkus obat di tanganmu itu, yang putih untuk dimakan, yang kuning untuk dipakai di luar.”

Selama itu tangan kanan Pheng Lian Houw sudah kaku sebagian, selama berbicara dengan Khu Cie Kee, ia menahan sakit, maka itu begitu mendengar perkataan Cu Cong, tidak berayal sedetik juga, ia lantas makan obat yang putih itu.

Kwa Tin Ok dengan suaranya yang dingin berkata,” Pheng Ceecu, dalam tempo tujuh kali tujuh, empatpuluh sembilan hari kau mesti pantang minum arak! Kau pun mesti memantang paras elok! Kalau tidak nanti di harian Pwee gwee Tiong Ciu di Yan Ie Lauw kita tidak bakal kekurangan cecu satu orang, hingga karenanya pastilah lenyap kegembiraan kami!”

Pheng Lian Houw merasa bahwa ia diejek, tetapi karena orang bermaksud baik, ia tidak menunjuk kemurkaan. “Terima kasih untuk perhatianmu!” ia bilang. Ia sungkan menyebutkan kebaikan hati orang.

See Thong Thian sudah lantas menolongi kawan itu memakai obat luar, habis mana ia mempepayang untuk diajak berlalu.

Wanyen Kang berlutut di tanah, ia paykui empat kali kepada mayat ibunya, kemudian ia paykui beberapa kali kepada Khu Cie Kee, gurunya itu, habis itu tampa mengucap sepatah kata, ia berlalu dengan mengangkat kepala.

“Eh, Kang-jie, apakah artinya itu?!” sang guru menanya, membentak.

Wanyen Kang tidak menyahut, ia juga tidak berjalan bersama rombongannya Pheng Lian Houw, ia hanya mengambil sebuah tikungan di pojok jalan.

Khu Cie Kee terdiam. Tetapi ia segera sadar, maka itu ia terus memberi hormat kepada Kwa Tin Ok beramai seraya berkata: “Jikalau hari ini kami tidak mendapat pertolongan Liok Hiap, pastilah kami bertiga sudah kehilangan jiwa. Mengenai muridku, yang tidak ada sekelingking murid Liok Hiap, untuk pertemuan nanti di Cui Siang Lauw di Kee-hin, disini aku menyatakan taklukku.”

Kanglam Liok Koay senang mendengar perkataan si imam, dengan begitu tidak sia-sialah yang mereka telah membuat tempo delapanbelas tahun di gurun pasir. Kwa Tin Ok lantas menjawab dengan merendah.

Sampai di situ, selesai sudah pembicaraan mereka. Ma Giok dan Ong Cie It lantas dipepayang masuk ke dalam rumah penginapan. Coan Kim Hoat pergi membeli peti mati untuk merawat jenazah Yo Tiat Sim dan Pauw Sek Yok, suami istri.

Khu Cie Kee bersusah hati melihat Bok Liam Cu yang sangat berduka itu.

“Nona, bagaimana hidupnya ayahmu selama beberapa tahun ini?” ia menanya.

“Selama belasan tahun ayah telah mengajak aku merantau ke Timur dan ke Barat,” menyahut si nona. “Belum pernah kami berdiam di suatu tempat lamanya sepuluh hari atau setengah bulan. Ayah membilang, dia hendak mencari satu orang…. seorang engko she Kwee…..”

Perlahan sekali suara si nona, kepalanya pun tunduk. Ia likat.

Khu Cie Kee menoleh ke arah Kwee Ceng. “Bagaimana caranya ayahmu mendapatkan kau?” ia tanya si nona pula.

“Aku ada orang asal Gu-kee-cun di Lim-an,” Liam Cu menyahut pula. “Sejak kecil aku tidak mempunyai ayah dan ibu, aku tinggal menumpang sama seorang bibiku. Bibi tidak perlakukan baik padaku, demikian pada suatu hari ia telah memukul aku serta tidak memberikan aku nasi untuk berdahar, selagi aku menangis di depan pintu, lewatlah ayah angkatku ini. Ia merasa kasihan padaku, ia bicara sama pamanku, lalu ia ambil aku sebagai anak pungut. Demikian aku diajak merantau, diajari ilmu silat. Untuk mencari engko she Kwee itu, aku turut ayah merantau. Aku mesti sering melakukan pertempuran, karena ayah telah mengibarkan benderanya, bendera untuk pibu guna mencari pasangan….”

“Nah, inilah soalnya,” berkata Khu Cie Kee. “Baiklah kau mengerti, ayahmu itu bukan she Bok, dia she Yo. Selanjutnya kau memakai she Yo juga.”

“Tidak, aku bukan she Yo, baik aku tetap she Bok,” berkata si nona itu. Ia bersangsi.

“Kenapa? Apakah kau tidak percaya aku?” tanya si imam.

“Bukan aku tidak percaya, aku cuma ingin tetap memakai she Bok.”

Melihat orang berkukuh, imam itu tidak memaksa. Bukankah orang baru saja kehilangan ayahnya dan hatinya sangat berduka? Ia tidak tahu, didalam hatinya, Liam Cu sudah menyerahkan diri kepada Wanyen Kang. Kalau Wanyen kang itu berayah she Yo, dia pun she Yo juga, maka kalau ia memakai she Yo, mana bisa mereka menikah? Ong Cie It sementara itu merasakan satu kesangsian. Setelah makan dan pakai obat, ia merasa segar, sembari rebah di pembaringan, ia mendengar pembicaraan saudaranya dan nona itu. Ia ingat bagaimana si nona bertanding sama Wanyen Kang.

“Eh,” tanyanya,” Kau bilang kau diajari silat oleh ayahmu, kenapa buktinya kau lebih gagah daripada ayahmu itu?”

“Itulah disebabkan pada suatu hari ketika aku berumur tigabelas tahun, aku bertemu seorang berilmu, Liam Cu menyahut. “Untuk tiga hari lamanya dia ajarkan aku ilmu silat. Sayang otakku buta, tidak dapat aku mewariskan semua pelajaran yang diajarkannya…” kata si nona pula.

“Jikalau ia cuma mengajarkan tiga hari, kenapa kau jauh lebih lihay daripada ayahmu?” imam itu menanya pula. “Siapakah orang berilmu itu?”

“Maaf, totiang, bukannya aku berani mendusta, sebenarnya aku telah mengangkat sumpah, dari itu tidak berani aku menyebutkan namanya.”

Ong Cie It berdiam, ia tidak menanya lebih jauh. Tapi ia berpikir terus, ia mengingat-ingat ilmu silatnya si nona selama dia melayani Wanyen Kang. Sekian lama ia masih tidak mengingatnya, ia tidak dapat mengenali. Hal ini membuatnya bertambah heran.

“Khu Suko,” akhirnya ia tanya kakaknya, “Bukankah kau telah mengajari Wanyen Kang selama delapan atau sembilan tahun?

“Tepatnya sembilan tahun enam bulan,” menjawab Khu Cie kee. “Ah, aku tidak sangka sekali bocah itu tidak berbudi….”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar