Sabtu, 10 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 043

Yo Tiat Sim girang bukan main dapat menemukan istrinya, malah ia dapat menolong juga, ia pondong erat-erat istrinya ketika ia lari keluar dengan melompati tembok istana.

Di bawah tembok, Liam Cu menantikan ayahnya dengan pikiran tegang. Ia tidak sabaran dan cemas juga. Ia heran ketika ia lihat ayahnya kembali dengan memondong seorang wanita.

“Ayah, siapa ini?” ia lantas tanya.

“Inlah ibumu!” sahut ayah itu. “Mari lekas kita menyingkir!”

Liam Cu kaget dan heran. “Ibuku?” ia menegasi.

“Perlahan!” Tiat Sim mengasih ingat. “Sebentar kita bicara.” Ia sudah lantas lari.

Kira-kira serintasan, Pauw Sek Yok tersadar. Ketika itu fajar sudah menyingsing, di antara cahaya pagi remang-remang, ia lihat orang yang memondongnya, suami yang ia buat pikiran siang dan malam. Ia heran hingga menyangka sedang bermimpi. Ia ulur tangannya, meraba muka suaminya.

“Toako, apakah aku juga sudah mati?” ia tanya. Ia percaya suaminya itu sudah meninggal dunia.

Tiat Sim girang hingga mengucurkan air mata. “Kita tidak kurang suatu apapun….” sahutnya halus. Ia berhenti dengna tiba-tiba sebab kupingnya segera dengar suara berisik teriakan-teriakan dan melihat cahaya terang banyak obor. Satu barisan serdadu lari mendatangi. Ia dengar nyata: “Jangan kasih lolos penjahat yang menculik onghui!”

Tiat Sim menjadi kecil hatinya. Ia melihat kesekelilingnya, tidak dapatkan tempat untuk menyembunyikan diri. Di dalam hatinya ia kata: Thian mengasihani aku hingga hari ini aku dapat bertemu istriku kembali, kalau sekarang akan terbinasa, tak usah aku menyesal…!” Lantas ia kata pada anaknya: “Liam Cu, anakku, kau peluklah ibumu…!”

Sejenak terbayanglah di mata Pauw Sek Yok pengalaman delapan belas tahun yang lampau, peristiwa di dusun Gu-kee-cun di kota Lim-an, di kampung halamannya itu. Ia dipondong oleh suaminya dan dibawa lari sekuat-kuatnya, di dalam gelap petang mereka dikejar tentara. Delapanbelas tahun lamanya mereka telah berpisah, ia berduka dan terhina saking terpaksa, atau sekarang, baru saja ia bertemu kembali dengan suaminya, peristiwa dahulu bakal terulang pula. Maka ia rangkul leher suaminya, tidak mau melepaskannya.

Menampak tentara pengejar datang semakin dekat, Yo Tiat Sim menjadi nekat. daripada terhina ia rela terbinasa dalam pertempuran. Dari itu ia paksa melepaskan rangkulan istrinya ia serahkan kepada anak gadisnya. Ia lantas lari memapaki tentara pengejarnya. Dalam dua tiga gebrak saja, ia telah dapat merampas sebatang tombak. Senjata ini membangunkan semangatnya, ia bagaikan harimau tumbuh sayap.

Opsir yang memimpin pasukan itu bernama Thung Couw Tek, dia kena ditusuk pahanya hingga ia terjungkal dari kudanya, atas mana tentaranya lantas kabur serabutan. Tanpa pemimpinnya, mereka ketakutan.

Lega juga hatinya Tiat Sim yang mengetahui pasukan itu tidak dipimpin oleh opsir yang kosen, ia pun menyesal tidak sempat merampas kuda musuh. Tidak ayal lagi, ia ajak istri dan anaknya lari terus.

Setelah terang tanah, Pauw Sek Yok dapatkan suaminya berdarah di sana sini. Ia menjadi kaget sekali. “Kau terluka?” ia tanya.

Di tanya begitu, tiba-tiba saja Tiat Sim merasakan sakit pada belakang telapak tangannya. baru sekarang ia ingat tadi telah disambar sepuluh jari tangan Wanyen Kang, hingga tangannya itu mengeluarkan darah, karena repot melarikan diri, ia tidak merasakan, lupa sakitnya. Sekarang merasakan kedua lengannya sakit dan sukar digerakkan.

Pauw Sek Yok lantas balut tangan suaminya.

Waktu itu kembali terdengar suara sangat berisik, lalu terlihat debu mengepul dan mengulak. Itulah tandanya pasukan besar lagi mendatangi.

“Sudahlah, tak usah dibalut….!” kata Tiat Sim sambil menyeringai. Ia lantas menoleh kepada gadisnya dan berkata: “Anak, kau menyingkirlah seorang diri! Ibumu dan aku akan berdiam disini….”

Liam Cu tidak menangis, hatinya tegang sekali. Ia menginsyafi bahaya, tapi ia menjadi tenang. Ia angkat kepalanya. “Biarlah kita bertiga mati bersama!” katanya gagah.

Sek Yok heran, ia mengawasi nona itu. “Dia…dia mengapa adalah anak kita?” dia tanya.

Tiat Sim hendak menjawab istrinya tetapi tentara itu sudah semakin mendekat, dilain jurusan ia melihat datangnya dua imam yang satu berkumis dan rambutnya ubanan, wajahnya sangat berwelas asih, yang lain kumisnya abu-abu, sikapnya gagah, dibelakangnya tergendol sebatang pedang. Melihat mereka itu, Yo Tiat Sim tercengang, lantas ia sadar. Dalam kegirangan, ia berseru menyapa salah satu imam itu: “Khu Totiang, hari ini kembali aku bertemu denganmu!”

Imam itu memang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee serta saudara seperguruannya, Tan Yang Cu Ma Giok. Mereka hendak menempati janji dengan Giok Yang Cu Ong Cie It, akan bertemu di kota raja, guna membicarakan urusan pibu dengan pihak Kanglam Liok Koay. berdua mereka datang dengan terburu-¬buru, di luar dugaan di sini mereka bertemu dengan Yo Tiat Sim suami-istri. Khu Cie Kee telah sempurna Iweekangnya, maka sekalipun telah bertambah delapan belas tahun umurnya, wajahnya tetap seperti dahulu, cuma rambutnya yang berubah. Karena itu ia tidak lantas mengenal waktu ia dipanggil dan melihat Tiat Sim, hingga ia mengawasi saja.

Tiat Sim bisa menduga orang lupa padanya, ia berkata: “Apakah totiang masih ingat peristiwa delapan belas tahun yang lampau di dusun Gu-kee-cun di Lim¬an, tatkala selagi kita minum arak menumpas musuh?”

“Jadinya tuan….!” menegaskan imam itu.

“Aku yang rendah Yo Tiat Sim,” Tiat Sim berkata cepat. “Semoga totiang tidak kurang suatu apapun.”

Habis berkata, orang she Yo itu lantas menjatuhkan diri berlutut di depan orang suci itu.

Tiang Cun Cu lekas membalas hormat, tetapi ia tetap ragu-ragu. Setelah hampir duapuluh tahun, disebabkan penderitaannya, Tiat Sim berubah roman dan suaranya juga.

Orang she Yo ini bisa mengerti kesangsian si imam. Di lain pihak hatinya tegang melihat tentara pengejar semakin dekat. Mendadak ia gerakkan tombaknya dan menikam imam itu dengan tipu tombaknya. Ia pun berseru: “Khu Totiang, kau telah melupakan aku tetapi kau tentu tidak dapat melupakan ilmu tombak dari keluarga Yo!”

Tiang Cun Cu terkejut ia mundur. Ia lantas mengenal ilmu tombaknya Keluarga Yo, maka sekarang ia ingat betul peristiwa delapanbelas tahun dulu ketika mencoba ilmu silat orang. Ia menjadi girang bercampur terharu dapat bertemu kenalan lama ini. “Oh, Yo Laotee!” katanya. “Kau masih hidup….!”

Tiat Sim tarik pulang tombaknya. Ia tidak sahuti imam itu, hanya lantas ia kata: “Totiang, tolonglah aku!”

Imam itu bisa mengerti keadaan orang. Ia menoleh ke arah tentara pengajar. Lantas ia tertawa. “Suheng, hari ini kembali aku mesti membuka pantangan membunuh!” katanya, kepada saudara seperguruannya. “Aku harap kau tidak gusari aku!”

Ma Giok mengerti, ia menjawab: “Kurangilah pembunuhan! Gertak saja meraka!”




Khu Cie Kee tertawa nyaring dan lama, lantas ia maju ke arah tentara itu, yang sudah sampai, malah mendapatkan dia menghalang-halangi, mereka itu terus menerjang dengan bengis. Dengan hanya mementang kedua tangannya, ia menarik roboh dua serdadu berkuda, terus ia timpuki ke serdadu yang lainnya. Maka lagi dua serdadu roboh pingsan.

Luar biasa sebatnya imam ini, dengan cara itu ia robohkan lagi delapan serdadu, delapan-delapannya ia timpuki bergantian kepada kawan mereka, maka lagi-lagi ada delapan serdadu yang terguling. Kejadian ini membikin kaget serdadu-serdadu yang lainnya, mereka lantas putar kuda mereka, untuk lari balik.

Belum lagi semua serdadu kabur, di antara mereka muncul seorang yang tubuhnya besar dan kekar, yang kepalanya licin mengkilap. Dia membentak: “Darimana datangnya si bulu campur aduk ini!” Lantas tubuhnya mencelat ke depan Tiang Cun Cu, yang terus ia serang.

Kata-kata “bulu campur aduk” itu adalah hinaan untuk si imam. Tiang Cun Cu tidak menghiraukan itu, hanya melihat orang demikian lincah, ia hendak menguji tangan orang. Ia tangkis seragan itu.

Kedua tangan beradu dengan keras dan bersuara nyaring, habis itu keduanya mundur sendirinya masing-masing tiga tindak.

Khu Cie Kee heran hingga ia kata di dalam hatinya: “Kenapa di sini ada orang begini lihay?”

Selagi si imam ini terheran-heran, adalah Kwie-bun Liong Ong – demikian si lanang itu – merasakan tangannya sakit, hingga ia kaget berabreng mendongkol, maka sekali ia maju menyerang.

Kali ini Khu Tiang Cun tidak berani bergerak sembarangan, dengan sabar ia melayani, sesudah belasan jurus, tangannya menyampok kepala orang hingga di kepalanya See Thong Thian bertapak lima jari berwarna merah.

Orang she See ini insyaf, dengan tangan kosong ia tidak bisa berbuat apa-apa, lantas ia meraba pada pinggangnya di mana ia selipkan genggamannya yang berupa pengayuh besi yang berat, dengan itu ia menyerang pula, menghajar pundak si imam dengan jurusnya “Souw Cin menggendol pedang”.

Khu Cie Kee tetap bertangan kosong, setelah berkelit, ia membalas menyerang. Ia bersedia melayani musuh yang bersenjata. Adalah masksudnya, untuk merampas senjata lawan. Tetapi See Thong Thian telah latihan beberapa puluh tahun, tak gampang senjatanya dapat dirampas. Sebaliknya, dia bergerak dengan gesit sekali.

Tiang Cun Cu heran juga atas kegagahan orang, hingga ia ingin tanya she dan namanya lawan ini. Hanya, belum sampai ia membuka mulutnya, dari belakang ia dengar pertanyaan yang nyaring sekali: “Kau ada totiang mana dari Coan Cin Kauw?” Ia lantas berlompat, untuk menoleh, hingga ia melihat empat orang berdiri berendeng.

Itulah Nio Cu Ong bersama Pheng Lian Houw, Auwyang Kongcu dan Hauw Thong Hay yang telah lantas dapat menyusul See Thong Thian.

Khu Cie Kee lantas mengangguk kepada mereka itu seraya memberikan penyahutannya: “Pinto she Khu. Pinto mohon tanya nama mulia dari tuan-tuan.”

Nama Tiang Cun Cu kesohor sekali di Selatan dan Utara, maka itu Pheng Lian Houw berempat saling mengawasi, hati mereka berkata: “Pantaslah dia bernama besar, dia memang gagah.” Pheng Lian Houw sendiri berpikir lebih jauh: “Kita sudah melukakan Ong Cie It, itu artinya ganjalan dengan Coan Cin Kauw, sekarang kita bertemu sama Khu Cie Kee, baiklah ia sekalian dibunuh saja! Ini adalah ketika yang paling baik untuk mengangkat nama kita!” Karena berpikir begini, la lantas berseru: “Mari maju berbareng!” Ia pun lantas mengeluarkan sepasang poan-koan-pitnya, ia terus terjang imam itu. Ia menerjang sambil berlompat. Ia tahu lawan lihay, maka itu lantas menotok kedua jalan darah kin-jie dan pek-hay-hiat.

Khu Cie Kee tidak heran yang orang lantas menerjang kepadanya, ia cuma berpikir, “Si kate ini galak sekali! Dia pun agaknya lihay!” Ia lantas menghunus pedangnya, tetapi ia berkelit dari serangan orang, sebaliknya, ia menikam ke pinggangnya See Thong Thian. Ketika ia telah menarik pulang pedangnya, ia meneruskan menikam jalan darah ciang-bun-hiat di iganya Hauw Thong Hay.

Jadi dengan sekali bergerak, imam ini telah melayani tiga lawan. Inilah cara berkelahi yang langka.

Hampir saja Hauw Thong Hay terkena pedang, syukur ia keburu berkelit, tetapi ia kena disusuli, kempolannya kena didupak si imam. Pheng Lian Houw dan See Thong Thian lantas menyerang, Nio Cu Ong menyusul mengepung. Orang she Nio ini terperanjat untuk kehebatannya si imam.

Auwyang Kongcu melihat bagaimana si imam ini dilibat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw dan bagaimana Nio Cu Ong merangsak dari kirinya, ia pun lantas menggunakan untuk mengeroyok. Dengan tangan kiri hanya mengancam, ia menotok dengan kipasnya di tangan kanan, mengarah tiga jalan darah hong-bwee, ceng-cok dan pwee-sim di punggung si imam.

Kelihatannya Khu Cie Kee sudah sangat terdesak, ketiga jalan darahnya itu bakal menjadi sasaran kipas yang istimewa, mendadak bayangan berkelebat si samping si kongcu, lalu kipasnya kena ditahan.

Itulah Ma Giok yang membantu saudaranya. Imam ini heran mendapatkan munculnya begitu banyak orang pandai, yang terus mengeroyok saudaranya, sedangkan ia tidak mengerti, Auwyang Kongcu pun menyerang secara membokong, maka terpaksa ia lompat maju untuk menghalangi.

Auwyang Kongcu lihat berkelebatnya bayangan, sambil menarik pulang kipasnya, yang hendak dirampas, ia memandang bayangan itu, seorang imam berusia lanjut, ubanan rambut dan kumisnya. Ia lantas menduga kepada anggota Coan Cin Kauw yang tertua. Ia pun lompat ke belakang.

“Tuan-tuan siap?” tanya Ma Giok. “Kita tidak kenal satu dengan lain, ada salah paham apakah di antara kita? Aku minta sukalah tuan-tuan menjelaskannya.”

Imam ini berbicara dengan sabar sekali, suaranya halus, tidak keras dan mengagetkan seperti suaranya Pheng lian Houw, tetapi pada itu ada nada yang mengandung pengaruh, hingga dengan sendirinya orang-orang yang lagi bertempur itu pada lompat mundur, terus mengawasi orang suci ini.

“Apaha she totiang yang mulia?” Auwyang Kongcu bertanya.

“Pinto berasal dari keluarga Ma,” Ma Giok menyahut, tetap sabar.

“Oh, kiranya Tan Yang Cinjin Ma Totiang!” berkata Pheng Lian Houw, suaranya tetap keras. “Maaf, maaf!”

“Pengetahuan pinto tentang agamaku masih terlalu sedikit, sebutan Cinjin itu tidak berani pinto terima,” menolak Ma Giok.

Pheng Lian Houw mencoba bersikap halus, tetapi di dalam hatinya, ia berpikir: “Kita telah bentrok dengan pihak Coan Cin Kauw, di belakang hari pastilah sukar untuk menyelesaikan masalah ini, sekarang dua anggota utama dari mereka berada disini, baiklah kita berlima mengepung mereka untuk membinasakannya. Perkara di belakang ada soal lain. Hanya, apakah di sini masih ada lain-lain saudaranya….?” Ia lantas melihat ke sekitarnya. Di situ cuma tertampak Yo Tiat Sim sekeluarga bertiga jiwa. Maka ia lantas berkata: “Nama Coan Cin Kauw sangat kesohor, kami sangat mengaguminya. Mana lagi lima saudara totiang? Silahkan minta mereka itu sudi menemui kami.” Itulah kata-kata pancingan.

“Nama kami kosong belaka, cuma untuk ditertawakan tuan-tuan,” menyahut Ma Giok. “Kami bertujuh saudara tinggal di beberapa propinsi, sukar kami datang berkumpul. Kali ini kami datang ke Tiong-touw untuk mencari Ong Sutee, baru saja kami mendapat tahu alamatnya, justru kami hendak menjenguk dia, di sini kebetulan kita bertemu sama tuan-tuan. Ilmu silat di kolong langit ini banyak perbedaannya tetapi asal mulanya adalah satu, maka bagaimana pula jikalau kita mengikat persahabatan?”

Imam ini jujur, tidak menduga bahwa orang lagi memancing.

Pheng Lian Houw girang sekali. Orang cuma berdua dan mereka belum sempat menemui Ong Cie It. Maka boleh ia mengeroyok. Tapi ia masih tertawa, ia berkata: “Totiang berdua tidak mencela kami, bagus sekali. Aku she Sam dan namaku Hek Miauw.”

Ma Giok dan Khu Cie Kee heran, mereka pikirkan siapa Sam Hek Miauw ini, yang namanya aneh. Nama itu berarti Tiga Kucing Hitam. Sama sekali mereka belum pernah mendengar. Orang ini toh lihay….

Pheng Lian Houw selipkan senjatanya di pinggang, ia menghampirkan Ma Giok.

“Ma Totiang, aku merasa beruntung dengan pertemuan ini,” katanya seraya mengangsurkan tangannya, berjabat tangan, tapi telapak tangannya dibalik ke bawah.

Ma Giok menyangka orang bermaksud baik, ia pun mengulurkan tangannya, buat menyambuti. Ia merasa orang memegang keras sekali, ia berpikir; “Kau hendak uji tenagaku, baiklah!” Ia tersenyum, sembari tenaganya dikerahkan. Tiba-tiba ia merasakan lima jari tangannya sakit, seperti tertusuk jarum. Saking kaget, ia lantas menarik pulang tangannya.

Pheng Lian Houw tertawa sambil mencelat mundur setombak lebih.

Ma Giok melihat telapakan tangannya, lima jari berlobang kecil masing-masing dan bergaris hitam.

Ketika tadi Pheng Lian Houw menyelipkan senjatanya, berbareng ia menarik keluar senjata rahasianya, ban Tok-hoan-taya, yang tipis seperti benang tetapi disitu ada lima batang jarum, yang telah dipakaikan racun yang keras sekali, siapa terluka hingga di dagingnya, dalam tempo enam jam dia bakal terbinasa. Ia sengaja memakai nama Sam Hek Miauw, untuk membuat Ma Giok memikirkan, selagi orang tidak bercuriga, ia gunakan jarum jahatnya itu. Ketika Ma Giok insyaf telah dicurangi dan hendak menyerang, si licik sudah lompat mundur.

Khu Cie Kee heran melihat saudaranya berjabat tangan tapi sudah lantas menyerang. “Kenapa?” tanyanya.

“Jahanam licik, dia telah melukai aku dengan racun!” menyahut Ma Giok, yang berlompat maju, untuk menyerang pula.

Khu Cie Kee kenal baik kakak seperguruannya ini, yang sangat sabar, beberapa puluh tahun tidak pernah berkelahi, sekarang ia menyerang dengan “Sam Hoa Cie Teng Ciang-hoat”, ilmu pukulan paling lihay dari kaumnya, ia mengerti sebabnya kegusaran itu. Maka ia pun menggerakkan pedangnya, lompat maju ke depan Pheng Lian Houw, untuk menerjang.

Pheng Lian Houw sempat mencabut poan-koan¬pitnya, menangkis, beruntun dua tikaman, terus ia membalas satu kali. Ia tidak tahu, tangan kirinya Tiang Cun Cu lihay seperti tangan kanannya yang memegang pedang. Imam ini menyambut poan-koan-pit, yang ia sambar ujungnya, terus menggentak ke samping seraya berseru: “Lepas!”

Pheng Lian Houw pun seorang jago, senjatanya tidak terlepas, ia lawan keras dengan keras, waktu ia mengerahkan tenaga dan menarik, hebat kesudahannya, poan-koan-pitnya itu terputus menjadi dua potong!

“Bagus!” Khu Cie Kee memuji, tetapi ia terus menyerang pula dengan dua tangannya.

Pheng Lian Houw segera main mundur, karena merasakan tangan kanannya kesemutan, hingga hatinya menjadi gentar.

Di lain pihak, See Thong Thia dan Nio Cu Ong maju memegat Ma Giok, sedang Auwyang Kongcu dan Hauw Thian Hay segera membantu Pheng Lian Houw.

Khu Cie Kee heran kenapa mendadak berkumpul orang-orang tangguh ini. Ia ingat, semenjak menempur Kanglam Cit Koay, sudah delapan tahun belum pernah ia menemui tandingan. Karena ini, ia bersilat dengan sungguh-sungguh.

Dikepung bertiga, Khu Cie Kee tidak jatuh di bawah angin, tidak demikian dengan kakak seperguruannya. Tangan Ma Giok menjadi bengkak dan hitam, rasannya kaku dan gatal. Itulah tanda bekerjanya racun dahsyat. Inilah tidak disangka imam itu, yang menduga kepada racun biasa. Makin ia bergerak, jalan darahnya makin cepat. Karena menginsyafi bahaya, segera ia menjatuhkan diri untuk duduk bersemadhi, guna mencegah ransakan racun, sedang dengan tangan kirinya melindungi diri.

Nio Cu Ong menyerang terus dengan senjatanya yang merupakan gunting panjang dan See Thong Thian dengan pengayuh besinya. Maka itu, selang beberapa puluh jurus, Ma Giok terancam bahaya. Ia mesti melawan musuh di luar dan di dalam tubuhnya.

Khu Cie Kee heran melihat kelakuan kakaknya itu, seperti dari embun-embunannya terlihat mengepul hawa seperti uap. Hendak ia menolong tetapi tidak sanggup, ketiga musuhnya mendesak. Benar Hauw Thong Hay rada lemah tetapi Auwyang Kongcu lebih gagah daripada Pheng Lian Houw. Karena hatinya khawatir, ia kena terdesak.

Yo Tiat Sim tahu ilmu silatnya tidak berarti, akan tetapi melihat kedua imam itu terancam bahaya, ia maju menyerang Auwyang Kongcu, ia arah punggungnya.

“Saudara Yo, jangan maju!” mencegah Khu Cie Kee. “Percuma kau mengantarkan jiwa….”

Belum habis ucapan imam ini, Auwyang Kongcu sudah menendang patah tombak orang dengan kaki kirinya dan kaki kanannya mendupak roboh orang she Yo itu.

Adalah waktu itu, dari kejauhan terdengar lari mendatanginya beberapa ekor kuda, yang datang itu adalah Wanyen Lieh bersama Wanyen Kang.

Wanyen Lieh melihat istrinya duduk di tengah, ia girang, segera ia menghampiri. Justru itu sebatang golok menyambar kepadanya. Syukur ia keburu berkelit. Ia segera mendapatkan, penyerangnya itu seorang nona dengan baju merah, yang goloknya lihaui. Nona itu segera dikepung pengikut-pengikutnya.

Wanyen Kang heran nampak gurunya dikepung, ia lantas berteriak: “Semua berhenti! Tuan-tuan berhenti!”

Pangeran ini mesti berteriak beberapa kali, barulah Pheng Lian Houw semua berlompat mundur.

Wanyen Kang segera menghampiri gurunya, untuk memberi hormat.

“Suhu, mari teecu mengajar kenal,” katanya kemudian. “Ini beberapa cianpwee Rimba Persilatan yang diundang ayahku.”

“Hm!” bersuara imam itu, yang segera menghampiri kakaknya, yang sudah tidak berkelahi lagi. Ia terkejut melihat tangan kanan kakaknya menjadi hitam sampai di lengan.

“Ha, racun begini lihay!” serunya. Lantas ia berpaling kepada Pheng Lian Houw, akan perdengarkan suaranya yang keren: “Keluarkan obat pemunahnya!”

Pheng Lian Houw sangsi, ia melihat orang segera sampai pada ajalnya.

Ma Giok sendiri mengempos terus semangatnya, ia berhasil mencegah menjalarnya racun itu, yang perlahan-lahan mulai turun.

Wanyen Kang lari kepada ibunya, ia berkata: “Ma, akhirnya kita dapat cari kau!” Tapi pauw Sek Yok berkata dengan keras: “Untuk menghendaki aku kembali ke istana, tidak dapat!”

Wanyen Kang dan Wanyen Lieh menjadi heran. “Apa?!” kata mereka.

Pauw Sek Yok menunjuk kepada Yo Tiat Sim, ia kata nyaring: “Suamiku masih belum mati, meski ia pergi ke ujung langit dan pangkal laut, akan aku ikuti dia!”

Wanyen Lieh heran tetapi ia dapat segera menoleh kepada Nio Cu Ong. Ia mengasih tanda dengan tekukan mulutnya.

Nio Cu Ong mengerti, sekejap saja ia telah menyerang Yo Tiat Sim dengan tiga batang pakunya.

Khu Cie Kee yang waspada dapat melihat serangan orang she Yo itu, ia menjadi kaget. Ia tidak mempunyai senjata rahasia untuk mencegah paku itu. Tiat Sim tentu tak dapat berkelit. Tapi ia tidak putus asa. Ia menyambar satu serdadu di dekatnya, tubuh orang itu ia lemparkan ke arah antara paku dan Tiat Sim.

Segera terdengar jeritannya serdadu yang menjadi korban ketiga batang paku itu.

Melihat itu Nio Cu Ong menjadi gusar, ia lompat kepada si imam untuk menerjang.

Pheng Lian Houw dapat melihat suasana. Ia memang tidak sudi menyerahkan obat pemunahnya. Tidak ayal ia berlompat kepada pauw Sek Yok, untuk menangkap onghui yang dicari Wanyen Lieh itu.

Khu Cie Kee melihat sepak terjang orang itu, ia pun lompat menyerang, mulanya menikam Nio Cu Ong, lalu membabat si orang she Pheng itu. Mereka ini berdua terpaksa lompat mundur.

Khu Cie Kee segera menghadapi Wanyen Kang, ia bentak: “Anak tidak tahu apa-apa, kau mengaku penjahat sebagai ayahmu selama delapan belas tahun, hari ini kau bertemu ayahmu yang sejati, kenapa kau masih tidak hendak mengenalinya?!”

Wanyen Kang memang telah mendengar keterangan ibunya, ia percaya itu delapan bagian, sekarang ia dengar perkataan gurunya, ia lantas menoleh kepada Yo Tiat Sim. Ia melihat seorang dengan pakaian tua dan pecah, pakaian itu kotor dengan tanah. Kemudian ia berpaling kepada Wanyen Lieh, tampak orang tampan dengan pakaian indah. Maka dua orang itu beda bagaikan langit dengan bumi. Ia lantas berpikir: “Mustahilkah aku meninggalkan kekayaan dan kemulian untuk mengikuti seorang melarat, untuk hidup merantau? Tidak, berlaksa kali tidak!” Maka ia lantas berseru, “Suhu, jangan dengar ocehan iblis ini! Suhu, tolonglah ibuku!”

Khu Cie Kee menjadi sangat mendongkol. “Kau sesat, kau tidak sadar, kau kalah dengan binatang!” Ia mendamprat.

Pheng Lian Houw melihat guru dan murid bentrok, mereka perkeras serangan mereka.

Wanyen Kang juga mendapatkan gurunya dalam bahaya tetapi ia berdiam saja.

Imam itu menjadi sangat murka. “Binatang, lihat aku!” dia membentak.

Wanyen Kang berdiam, hatinya ciut. Ia memang paling takut pada gurunya. Maka ia berharap Pheng Lian Houw semua memperoleh kemenangan, supaya gurunya terbinasakan, dengan begitu ia akan selamat untuk selanjutnya.

Tidak lama, lengan kanan Khu Cie Kee kena ditusuk ujung gunting Nio Cu Ong, lukanya tidak hebat tetapi mengeluarkan darah.

Ma Giok melihat bahaya mengancam, ia mengeluarkan sebiji liu-seng, ia sulut itu, lalu melemparkannya, maka suatu sinar api biru lantas meluncur ke udara. Itulah pertanda di antara kaum Coan Cin Pay.

“Imam tua itu mencari kawan!” berseru Pheng Lian Houw, lantas ia meninggalkan Khu Cie Kee untuk menyerang Ma Giok. Ia lantas dibantu See Thong Thian.

Baru mereka ini bergebrak satu kali, di jurusan Barat Laut terlihat meluncurnya satu sinar biru juga.

“Ong sutee di arah kiri sana!” berseru Khu Cie Kee girang. Ia geser pedangnya ke tangan kiri terus ia menyerang hebat, hingga ia dapat membuka jalan.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar