Selasa, 06 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 040

Terang suara itu adalah seorang wanita, hanya kali ini suara itu disusul sama napas yang memburu, mungkin sekali, dialah seorang yang sedang sakit.

“Aku datang kemari tidak sengaja,” berkata Kwee Ceng perlahan, menyahuti orang itu. “Aku lagi dikejar-¬kejar orang….” Sebagai seorang polos, tidak dapat ia berdiam saja atau mendusta.

Baru Kwee Ceng berhenti bicara, terdengar sambaran angin. tahulah ia, Nio Cu Ong tengah menyerang padanya, mungkin untuk ditawan. Ia lantas saja berkelit.

Nio Cu Ong mendapatkan tangkapannya gagal, ia menyerang pula.

Kwee Ceng menjadi cemas dan sibuk, ia berkelit ke kiri dan kanan.

“Siapa yang berani datang kemari menangkap orang?!” terdengar pula suara wanita tadi.

Nio Cu Ong tidak takut, ia bahka bergusar. “Apakah kau hendak menyamar menjadi iblis untuk menakut¬-nakuti aku?!” dia menegur.

Wanita itu tidak menyahut, ia hanya kepada Kwee Ceng: “Eh, anak muda, mari kau sembunyi di sini!” Ia rupanya dapat menduga dari suara orang. Ia mengucap demikian tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya.

Kwee Ceng sedang bingung, dalam keadaan seperti ini, ia tidak bersangsi sedikit juga, lantas berlompat ke arah darimana suara itu datang. Begitu kakinya menginjak tanah, ia merasakan tangannya disambar dan dicekal tangan lain orang yang dingin enyam, besar tenaga orang itu, tubuhnya segera tertarik hingga ia roboh menubruk sebuah dipan tempat duduk bersemadhi.

Wanita itu masih bernapas memburu, dia kata terhadap Nio Cu Ong: “Barusan seranganmu, yang berupa tangkapan, ada lihay sekali. Apakah kau ada satu jago Rimba Persilatan dari Kwan-gwa?”

Nio Cu Ong heran bukan buatan. “Aku tidak dapat melihat dia, kenapa dia sebaliknya segera mengenali asal-usul ilmu silatku?” ia berpikir. “Dia lihay sekali! Mungkinkah ia dapat melihat di tempat gelap?” Ia menjadi tidak mau berlaku semberono, ia lantas menyahuti: “Aku adalah seoarng saudagar jinsom dari Kwantong, she Nio. Bocah ini telah mencuri barangku, aku mesti tangkap dia. Aku minta sukalah nyonya tidak menghalangi aku…”

“Oh, kiranya saudagar Som Sian Nio Cu Ong!” berkata wanita itu. “Kalau lain orang, yang tidak tahu apa-apa, lancang masuk ke rumahku ini, dia sudah tidak dapat diberi ampun, apapula kau Nio Lao Koay, kau ketua sebuah partai! Apakah benar kau tidak kenal aturan kaum Rimba Persilatan?!”

Som Sian Lao Koay terperanjat. “Nyonya yang terhormat, aku mohon tanya shemu yang mulia,” ia meminta.

“Aku….aku….” sahut si wanita itu.

Kwee Ceng baru mendengar sampai disitu, lantas ia merasakan tangannya wanita itu bergemetar keras, lalu perlahan-lahan cekalannya menjadi kendor. Ia pun mendengar orang merintih, tanda bahwa nyonya itu sangat menderita.

“Apakah kau sakit?” ia tanya perlahan.

Nio Cu Ong dapat mendengar suaranya kwee ceng itu, ia menjadi bergusar pula. Ia sangat andalkan kegagahannya, ia tidak ambil pusing siapa si nyonya, yang ia duga sedang sakit keras atau terluka parah. Lantas ia ulur kedua tangannya, untuk membekuk si anak muda. Ia baru saja melanggar bajunya Kwee Ceng lalu mendadak ia merasakan tangannya terbentur tenaga yang besar, hingga ia terkejut, walaupun begitu, ia segera kirim tangan kirinya, untuk menyerang!

“Pergi!” membentak si wanita, yang sebelah tangannya segera mampir di bebokongnya Som Sian Loa Koay, hingga ia terhuyung tiga tindak. Syukur tangguh ilmu dalamnya, ia tidak sampai mendapat luka dalam. Ia hanya heran atas kesebatan wanita itu.

“He, bangsat perempuan, mari maju!” ia berseru saking murkanya.

Wanita itu terdengar napasnya memburu, tubuhnya tidak bergerak.

Sekarang Nio Cu Ong percaya pasti orang tidak dapat bergerak, ia menjadi lebih tabah. Dengan perlahan ia bertindak menghampiri wanita itu. Disaat ia hendak melompat, untuk menerjang, tiba-¬tiba ia mendengar suara angin, lalu sebuah cambuk panjang menyambar ke kakinya. Ia menjadi kaget sekali, tetapi ia tidak mau kasih dirinya diserang demikian, sambil lompat mencelat, kakinya terus menendang ke arah wanita itu!

Tendangan orang she Nio ini sangat kesohor, untuk wilayah Kwan-gwa, ia kenamaan duapuluh tahun lebih, tetapi kali ini, kesudahannya membuat ia kaget tidak terkira. Belum lagi tendangannya mengenai sasaran atau jalan darahnya kongsun-hiat, tiba-tiba kaku sendirinya. Jalan darah itu ada di batas mata kaki, biasanya siapa kena tertotok, ia mesti lantas roboh. Dalam kagetnya, ia ayun tubuhnya untuk berjumpalitan, sedang tangannya dipakai menyampok. Di dalam hatinya ia berkata: “Wanita ini awas sekali matanya! Dia bisa menotok jalan darah, mungkinkah dia itu siluman?”

Juga sampokan Cu Ong adalah sampokan istimewa, tenaganya telah dikerahkan sepenuhnya kepada tangannya. Ia pun menduga orang lagi sakit, kalau serangannya mengenai sasaran, pastilah itu tidak bakal gagal.

Tiba-tiba terdengar urat-urat meretek, lalu tangannya si wanita diulur panjang, ujung kukunya menyambar ke pundak. Cu Ong terkejut, ia menangkis dengan tangan kirinya. Kali ini kedua tangan bentrok, tetapi untuk kagetnya, ia rasakan tangan lawan dingin sekali, bagaikan es, bukan seperti daging. Tidak ayal lagi, ia buang dirinya ke tanah, untuk bergulingan pergi, bahkan dengan merayap, terus ia keluar dari terowongan itu, ia bernapas lega.

“Sudah beberapa puluh tahun, belum pernah aku mengalami kejadian seperti ini,” pikirnya. “Benarkah di dalam dunia ini ada iblis? Ah, mungkin ongya ketahui rahasia ini…” Maka dengan cepat ia kembali ke Hoa Cui Kok.

Kwee Ceng dapat dengar sauara orang berlari pergi, hatinya jadi lega, dengan girang dan bersyukur, lantas ia berlulut di depan wanita itu mengangguk-angguk hingga tiga kali. Ia berkata: “Teecu mengucap banyak-banyak terima kasih untuk pertolongan cianpwee.”

Wanita itu bernapas tersengal-sengal, rupanya melawan Nio Cu Ong, ia telah menggunakan tenaga berkelebihan. Ia pun batuk-batuk.

“Kenapa Lao Koay hendak membunuh kau?” ia tanya selang seaat, setelah napasnya tidak terlalu memburu lagi.

“Ong Totiang mendapat luka, dia membutuhkan obat, maka itu teecu datang ke istana ini…” Kwee Ceng menyahut. Tiba-tiba ia berhenti, karena ia berpikir: “Wanita ini tinggal di dalam istana, apakah ia bukan orangnya Wanyen Lieh?”




“Oh…!” berseru si wanita. “Jadinya kau telah curi obatnya Lao Koay! Aku dengar kabar ia tengah menyakinkan pembuatan obat-obatan….”

“Apakah cianpwee terluka?” menanya Kwee Ceng, yang seperti tidak memperdulikan perkataan orang. “Teecu ada punya empat macam obat yaitu thian-cit, hiat-kat, him-tha dan bu-yok. Ong totiang tentu tidak membutuhkan sebanyak itu. Kalau cianpwee….”

“Mana aku terluka!” memotong si wanita, agaknya ia gusar. “Siapa yang menghendaki kebaikanmu itu!”

“Ya, ya,” sahut Kwee Ceng, yang ketemu batunya, hingga tak tahu ia mesti bilang apa. Sebaliknya, hatinya menjadi lemas pula apabila ia dengar suara napas empas-empis dari wanita itu. Maka ia kata pula: “Jika cianpwee tidak merdeka untuk jalan, mari boanpwee menggendong buat pergi keluar…”

“Siapakah yang tua?!” wanita itu membentak. “Bocah tolol, cara bagaimana kau ketahui aku sudah tua?”

“Ya,ya,” sahut Kwee Ceng, yang tidak berani banyak omong. Ia terus bungkam. Ia telah lantas pikir, untuk meninggalkan pergi wanita ini ia tidak tega hati. Maka ia membelas. Ia tanya pula: “Kau menghendaki barang apa? Nanti aku pergi mengambilkannya….”

“Ah, kau baik benar….” kata wanita itu, tetapi ia tertawa dingin. Ia ulur tangan kirinya, diletaki di pundak Kwee Ceng, terus ia menarik.

Kwee Ceng merasakan pundaknya itu sakit sekali, tanpa berdaya ia kena ditarik hingga ke depan wanita itu. Yang membikin ia terkejut adalah lehernya terasa dingin dengan mendadak. Sebab tangan kanan si wanita sudah merangkulnya.

“Gendong aku pergi!” berseru si wanita itu, keren.

“Memang aku pun hendak menggendong kau,” kata Kwee Ceng dalam hatinya. Ia lantas menggendong, dengan tindakan perlahan ia menuju ke luar.

“Adalah aku yang memaksa kau menggendong aku keluar dari sini,” kata si wanita. “Tidak dapat aku dijual orang…”

Mendengar ini, Kwee Ceng merasa orang sangat berkepala besar, orang tidak sudi menerima budi. Ia jalan terus hingga di mulut terowongan. Ia mengangkat kepalanya, melihat bintang-bintang di langit, habis itu ia mencoba menggunakan kedua tangannya, merayap naik. Dalam hal kepandaian ini, ia telah berlatih cukup di bawah pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok. Liang sumur itu cukup tinggi tetapi Kwee Ceng dapat memanjatnya.

Tidak lama keluarlah mereka dari gua itu.

“Siapa yang ajari kau ilmu ringan tubuh?!” si wanita tanya. “Lekas bicara!” Ia memegang keras leher orang sampai si anak muda sukar bernapas.

Saking kagetnya, Kwee Ceng kerahkan tenaganya di leher, untuk melawan cekikan. Ia tidak tahu orang menguji padanya, cekikan itu menjadi semakin keras. Hanya sesaat kemudian, tangan si wanita menjadi kendor sendirinya.

“Ha, kau mengerti ilmu tenaga dalam yang sejati,” seru wanita itu. “Kau bilang barusan Ong totiang mendapat luka. Apakah namanya Ong totiang itu?”

Sebelum menjawab, Kwee Ceng berpikir: “Kau telah tolong aku, segala apa kau boleh tanyakan, aku takkan mendusta. Kenapa kau berlaku begini kasar?” Tapi ia toh menjawab: “Ong Totiang itu bernama Ong Cie It, orang dipanggil Giok Yang Cu.”

Tiba-tiba wanita itu menggetar, napasnya pun tersengal-sengal. “Jadinya kau adalah muridnya Coan Cin Pay!” katanya. “Ong Cie It itu kau punya pernah apa? Kenapa kau memanggil ia totiang, bukan suhu atau susiok?”

Suhu dan susiok ialah guru dan paman guru.

“Teecu bukan murid Coan Cin Kauw,” Kwee Ceng berkata. “Adalah Tan Yan Cu Ma Giok, yaitu Ma Totiang yang pernah ajarkan aku ilmu mengendalikan napas dan bersemadhi.”

“Habis, siapakah gurumu?!” si wanita tanya pula. Dia agaknya mendesak.

“Guru teecu semuanya ada tujuh orang,” sahut Kwee Ceng. “Merekalah yang disebut Kanglam Cit Koay. Guru yang nomor satu ialah Hui Thian Pian-hok, seorang she Kwa.”

Wanita itu batuk-batuk beberapa kali, agaknya susah ia berbicara. “Dialah Kwa Tin Ok!” katanya kemudian.

“Benar,” Kwee Ceng mengangguk.

“Apakah kau datang dari Mongolia?” tanya wanita itu lagi.

“Benar,” sahut Kwee Ceng pula, heran sekali. “Kenapa wanita ini tahu aku datang dari Mongolia?” ia pikir.

“Kau dipanggil Yo Kang, benar tidak?!” masih wanita itu bertanya.

“Bukan, teecu she Kwee,” menjawab si anak muda.

Wanita itu perdengarkan suara seperti merintih, dari sakunya ia tarik keluar barang, yang ia letakkan di tanah. Sebuah bungkusan, entah dari cita atau kertas. Kapan bungkusan itu telah dibuka, di dalamnya tampak barang yang berkilauan. Itulah sebuah pisau belati, melihat ini, Kwee Ceng rasanya kenal. Ia menjemput untuk dilihat lebih teliti. Di gagangnya terdapat dua huruf ukiran, bunyinya : “Yo Kang”. Itulah pisau yang ia pakai untuk menikam Tong Sie Tan Hian Hong si Mayat Perunggu.

Selagi si anak muda mengawasi pisau itu, si wanita merampasnya. “Kau kenal pisau belati ini, bukan?!” dia tanya.

“Benar,” menjawab Kwee Ceng. “Di masa kecil pernah aku pakai pisau ini membunuh seorang jahat, lalu mendadak orang jahat itu lenyap dan pisau ini….”

Belum habis ia mengucap, lehernya sudah dicekal si wanita, terus di cekik. Ia kaget, ia berontak, sebelah tangannya menyerang si wanita. Tapi tangan itu sudah lantas kena ditangkap!

Segera si wanita melepaskan tangannya yang kanan, ia duduk di tanah. “Kau lihat, aku ini siapa?!” ia tanya dengan bentakannya.

Diwaktu malam seperti itu, seram suaranya.

Mata Kwee Ceng telah berkunang-kunang tetapi ia masih bisa melihat si wanita yang rambutnya panjang riap-riapan, mukanya pucat seperti kertas. Ia lantas mengenali Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi, salah satu dari Hek Hong Siang Sat. Ia kaget tidak kepalang, ia lantas berontak pula tetapi sia-sia saja, tangannya telah dicekal keras, kuku orang sudah masuk ke dalam dagingnya…

Ketika malam itu di atas gunung terjadi pertempuran di antara Kanglam Cit Koay dengan Hek Hong Siang Sat, Tan Hian Hong telah jambak mati kepada Thi A Seng, sebaliknya ia kena ditikam Kwee Ceng pada anggota tubuh kematiannya. Bwee Tiauw Hong sudah buta kedua matanya, tetapi ia masih bisa bawa lari mayat suaminya itu, ia lolos justru ketika itu turun hujan lebat. Sekarang dengan tiba-tiba Kwee Ceng mengantarkan jiwanya, bagaimana Tiauw Hong tidak jadi girang. Sudah belasan tahun ia cari pembunuh suaminya dengan sia-sia. Segera ia menjadi girang bercampur sedih, lantas ia ingat penghidupannya yang dulu-dulu.

“Dulu aku adalah nona yang lincah, setiap hari aku main saja, dikasihi oleh ayah dan ibuku,” demikian ia melamun, sedang tangannya terus memegang keras si anak muda, “Baru kemudian, sesudah kedua orang tuaku menutup mata, orang hina aku, hingga oleh guruku, Oey Yok Su, aku ditolong dan dibawa ke pulau Tho Hoa To, dimana aku diajarkan ilmu silat. Sekejap kemudian, seorang pemuda yang matanya besar terbayang dihadapanku. Dialah Tan Hian Tong, kakak seperguruanku. Sama¬-sama kita belajar ilmu silat, sampai hati kita cocok satu sama lain. Demikian pada suatu malam di musim semi, di bawah pohon tho, mendadak ia rangkul aku…”

Wajah si Mayat Besi menjadi merah dengan tiba-tiba, Kwee Ceng pun dengar napas orang memburu. Habis itu, si wanita menghela napas panjang.

Tiauw Hong lantas melamun pula. Ia ingat sebab takut digusari guru mereka, mereka buron dari Thoa Hoa To, lantas mereka menikah. Waktu itu Tan Hian Hong telah memberitahu bahwa ia telah mencuri sebagian kitab “Kiu Im Cie Keng”. Setelah itu, mereka sembunyikan diri di gunung, untuk menyakinkan ilmu seperti pengajaran kitab istimewa itu, hingga setelah pandai, mereka berkelana dan menjagoi dunia kangouw. Banyak orang kosen yang mereka robohkan, malah Hui Thian Sin-liong Kwa Pek Sia telah mereka binasakan dan Kwa Tin Ok sudah mereka bikin buta matanya.

Bwee Tiauw Hong masih ingat baik-baik perkataan Tan Hian Hong, suaminya itu: “Eh, perempuan bangsat, kitab Kiu Im Cie Keng itu aku cuma dapat curi sebagian saja, bagian bawah. Bagian atasnya adalah mengutamakan pelajaran tenaga dalam. Dengan begitu, pelajaran kita jadi kepalang tanggung. Bagaimana sekarang?”

Atas itu, ia ingat, balik menanya: “Apa daya?”

“Kita kembali ke Tho Hoa TO, kita curi pula yang sebagian itu!”

Ia tidak berani pergi. Biar kepandaian mereka sepuluh lipat lebh lihay, mereka masih tidak sanggup lawan dua jari tangan saja dari guru mereka. Hian Hong pun jeri, tetapi dia penasaran, dia hendak pergi mencurinya juga. Dia bilang pada istrinya: “Aku mesti pergi, kita mesti jadi tanpa tandingan di kolong langit ini, atau kau menjadi janda, perempuan busuk!” Ia tidak sudi menjadi janda, maka kejadianlah mereka berdua berlaku nekad.

“Kami tahu, karena buronan kami, suhu telah sangat gusar dan telah umbar kegusarannya itu,” Tiauw Hong melamun lebih jauh. “Dalam murkanya suhu telah putuskan otot semua muridnya, yang terus ia usir, hingga selanjutnya dipulau itu guru hidup berdua saja dengan istrinya serta beberapa budak pelayan. Ketika kami tiba di pulau, kami menemukan berbagai peristiwa yang luar biasa. Kiranya musuhnya suhu telah datang ke pulau untuk mengadu kepandaian. Pertandingan itu membuat kami kaget, goncang hati kami. Dengan berbisik aku kata kepada suamiku, “Eh, lelaki bangsat, kita gagal, mari kita lekas pergi!”

Tapi suamiku menampik. Kami telah menyaksikan suhu dapat membekuk musuhnya, kaki siapa dia telah hajar patah. Aku ingat kepada subo, budi siapa aku tidak dapat lupakan. Aku pergi ke jendela, untuk mengintai. Apa yang aku lihat adalah meja abu. Kiranya subo telah menutup mata. Aku menjadi sedih. Ditepi meja abu aku lihat satu anak perempuan kecil duduk di kursi, dia mengawasi aku sambil tertawa. Bocah ini mirip dengan subo. Pastilah dia anaknya subo. Aku pikir, mungkinkah subo meninggal sehabis melahirkan yang sulit? Karena ini aku pikir untuk tidak melahirkan anak juga!

Selagi aku berpikir begitu, suhu telah dapat dengar suara kami. Suhu muncul di ruang meja abu itu. Aku kaget hingga lemas kaki tanganku, tidak dapat aku bergerak. Aku dengar bocah itu berseru, ‘Ayah, empo!’ Dia tertawa manis, dia pentang kedua tangannya tubruk ayahnya. Bocah itu menolong kami. Suhu khawatir dia jatuh, ia menyambut anak itu. Lantas si bangsat laki-laki menarik tanganku, untuk diajak lari. Kami kabur dengan naik perahu. Air laut telah muncrat memasuki perahu, hatiku memukul terus, seperti mau lompat keluar.”

Ketika itu angin bersiur, hawanya dingin. Di kejauhan, burung hantu pun mengasih dengar suaranya yang seram. Karena kupingnya jeli, Bwee Tiauw Hong dapat dengar itu semua. Ia masih terbenam dalam lamunannya, tentang peristiwa dulu-¬dulu itu, yang merupakan pengalamannya.

Demikian ia berkata terus dalam hatinya: “Menyaksikan pertempuran dahsyat dari suhu, barulah suamiku itu padam hatinya. Dia kata, ‘Bukan cuma kepandaian suhu belum dapat kita pelajari sebagian saja, juga kepandaian lawannya itu kita berdua tidak dapat melawan!’ Maka itu kami lantas meninggalkan wilayah Tionggoan, menyingkir jauh sekali sampai di gurun pasir Mongolia. Suamiku khawatir kitabnya ada yang curi, sekalipun aku, dia tidak kasih lihat. Aku juga tidak tahu dimana ia menyembunyikannya. Maka aku kata kapadanya, ‘Baiklah, bangsat lelaki, aku tak akan lihat kitabmu!’

Dia jawab aku, ‘Eh, perempuan bangsat, aku justru berbuat baik terhadapmu! Jika kau lihat ini, kau tentu ingin mempelajarinya, tetapi kau tidak mengerti ilmu dalam, tubuhmu bisa rusak.’ Aku jawab, ‘Baiklah! Jangan kau terus mengaco-belo!’

Tapi ia mengajarkan aku Kiu Im Pek-ku Jiauw dan Cwie-sim-ciang, yaitu cengkeraman Tulang Putih serta Pukulan Meremukkan Hati. Kemudian terjadilah pertempuran di atas gunung itu. Kanglam Cit Koay telah mengepung aku. ‘Mataku! Mataku!’ Ya, aku merasakan sangat sakit pada mataku, aku merasa gatal sekali. Aku empos semangatku, aku lawan serangan racun. Aku tidak mati, tetapi mataku buta! Suamiku pun binasa! Itulah pembalasan! Pernah kami membinasakan kakaknya dan mata adiknya dibikin buta.”

Mengingat itu semua, dengan sendirinya cekalan Bwee Taiuw Hong menjadi semakin keras dan giginya pun bercatrukan.

“Matilah aku kali ini…” kata Kwee Ceng di dalam hatinya. “Entah dia bakal gunakan cara kejam bagaimana akan siksa aku hingga aku terbinasa….” Karenanya, ia lantas berkata: “Eh, sekarang aku tidak menghendaki hidup pula! Aku hendak minta sesuatu padamu, harap kau suka meluluskannya.”

“Kau hendak minta sesuatu dari aku?” Bwee Tiauw Hong tanya, ia tertawa dingin.

“Ya,” jawab Kwee Ceng. “Di tubuhku ada beberapa macam obat, aku minta kau tolong serahkan itu pada Ong Totiang yang sekarang ini lagi mondok di penginapan Ang Ie, di luar kota barat.”

“Seumurku aku tidak pernah melakukan kebaikan!” Tiauw Hong membilang.

Dia tidak ingat lagi berapa banyak kesengsaraan yang dideritanya dan berapa banyak jiwa yang telah dibunuhnya, tetapi pertempuran dahsyat di atas gunung itu, ia masih ingat jelas sekali. Sekonyong¬-konyong matanya menjadi gelap, ia tidak dapat melihat sinar bintang lagi.

“Suamiku berkata,” dia berkata di dalam hatinya lagi, ngelamun, “’Aku tidak bakal ketolongan lagi… rahasianya Kiu Im Cie Keng ada di dadaku….’ Itulah kata-katanya yang terakhir. mendadak hujan turun seperti di tuang-tuang. Lalu Kanglam Cit Koay perhebat serangannya atas diriku. bebokongku telah kena tertinju. Penyerang itu sempurna ilmu dalamnya, dia membikin aku merasa sakit sampai di tulang-¬tulangku. Aku pondong tubuhnya si lelaki bangsat, aku kabur. Aku tidak dapat melihat musuh-musuhku itu, tetapi mereka juga tidak mengejar. Itulah aneh! Hujan turun hebat sekali, langit mestinya gelap gulita, dan mereka itu tidak dapat melihat aku.

Aku berlalri-lari di dalam hujan. Tubuhnya si lelaki bangsat mulanya masih hangat, lalu perlahan-lahan menjadi dingin. hatiku pun turut menjadi dingin karenanya. Seluruh tubuhku gemetar, dinginnya luar biasa. ‘Lelaki bangsat, apakah benar-benar kau telah mati?’ Aku bertanya. ‘Kau yang begini lihay, kau mati tidak karuan?’ aku cabut pisau belati dari pusarnya, darah lantas muncrat keluar. Sebenarnya apakah yang heran? Orang dibunuh, darahnya pasti mengalir keluar. Aku sendiri, entah berapa banyak orang telah aku bunuh…. Sudahlah, aku pun harus mati bersama si lelaki bangsat. Hanya, tanpa ada orang yang memanggil dia lelaki bangsat, oh, bagaimana tawar!

Lantas aku bawa ujung belati ke mulutku, dibawah lidah. Itulah tempat kematianku. Tiba-tiba aku kena raba huruf-huruf ukiran di gagang pisau belati itu. Aku lantas meraba-raba. Itulah dua huruf ‘Yo Kang’. Ah, kiranya pembunuh si lelaki bangsat itu bernama Yo Kang! Mana dapat aku tidak menuntut balas? Sebelum membinasakan Yo Kang itu, mana boleh aku mati? Maka itu aku meraba ke dadanya si lelaki bangsat, cari rahasianya kitab Kiu Im Cie Keng itu. Sia-sia aku mencari, aku tidak mendapatkannya. Aku penasaran! Aku lalu mencari di rambut kepalanya, terus ke bawah. Tidak ada bagian anggotanya yang aku bikin kelompatan. Tempo aku meraba pula dadanya, di situ aku merasakan kulit dagingnya yang rada luar biasa.”

Bwee Tiauw Hong lantas mengasih dengar suara tertawa kering dari tenggorokannya. Hebat suara itu, menyeramkan, Kwee Ceng sampai bergidik.

Bwee Tiauw Hong merasa ia telah berada pula di gurun pasir, hujan besar telah membasahi seluruh tubuhnya, akan tetapi tubuh itu ia rasakan panas sekali. Dia merasa seperti telah meraba dada suaminya, yang ia selalu panggil dengan sebutan ‘lelaki bangsat’, sebagaimana dia sendiri dipanggil ‘perempuan bangsat’ oleh suaminya. Nyata dada itu dicacah dengan jarum, merupakan huruf-huruf dan peta. Itu rahasianya Kiu Im Cie Keng. Hian Hong khawatir kitabnya dicuri orang, dia cacah tubuhnya sendiri, setelah itu ia bakar kitabnya.

“Memang,” demikian dia ngelamun pula, “Suhu yang demikian lihay, kitabnya masih kena kita curi. Maka siapa berani tanggung kitab kami pun tak ada yang bakal mencurinya? Maka ia kata pada waktu itu, ‘Bagus betul pikiranmu ini. Ini artinya, selama orangnya masih hidup, kitabnya pun ada, setelah orangnya mati, kitabnya lenyap bersama.’ Aku lantas gunakan pisau belati mengiris kulit dadanya si lelaki bangsat. Ah, hendak aku memberi obat kepada kulit itu, supaya tidak menjadi nawoh dan rusak, ingin aku membawa-bawanya di tubuhku. ‘Aku ingin kau selalu mendampingi aku…’ Ketika itu aku tidak bersedih lagi sebaliknya aku tertawa terbahak-bahak.

Dengan kedua tanganku, aku lantas menggali sebuah liang besar. Di situ aku kubur si lelaki bangsat. ‘Kau ajarkan aku cengkaraman Kiu Im Pek-ku Jiauw, sekarang dengan kepandaian itu aku menggalikan kau liang kubur. Lantas aku sembunyikan diri di dalam gua, aku khawatir Kanglam Cit Koay dapat mencari aku. Sekarang ini aku bukan tandingan mereka, maka tunggulah aku selesai dengan pelajaranku. Hm! itu waktu akan aku jambret setiap batok kepala, setiap hati manusia! Aku akan belajar, tidak peduli aku bisa terluka di dalam atau tidak. Peduli apa!

Berselang dua hari, selagi perutku lapar, aku dengar suara pasukan tentara lewat di depan guaku. Mereka itu bicara dengan bahasa Nuchen dari negara Kim, aku lantas keluar dari tempat sembunyiku, aku minta barang makanan. Pangeran yang memimpin pasukan itu mengasihani aku, dia suka menolong, malah ia terus ajak aku ke istananya si Tiongtouw. Belakangan aku mendapat tahu, pangeran itu adalah Pangeran Chao Wang, putra nomor enam dari raja Kim. Aku bekerja di taman belakang, bekerja menyapu rumput, di situ secara diam-diam aku meyakinkan ilmu kepandaianku. Beberapa tahun telah lewat tanpa ada yang mengetahui perbuatanku. Semua orang menganggap akulah seorang wanita tua yang buta yang harus dikasihani.”

“Kemudian pada suatu tengah malam…. Ah! Pangeran cilik yang nakal itu telah datang ke taman belakang, untuk mencari telur burung, dia mempergoki aku lagi meyakinkan cambuk perak. Ia lantas menggerembengi aku, dia memaksa minta aku memberi pelajaran padanya. Terpaksa aku ajarkan dia tiga jurus. Sekali saja, ia telah dapat belajar dengan baik. Ternyatalah ia berotak terang sekali! Aku jadi gembira, maka aku terus mengajari dia. Aku hendak mengajari dia segala macam kepandaian asal dia suka bersumpah tidak membuka rahasia kepada siapapun, tidak kecuali kepada ongya dan onghui. Aku mengancam, asal rahasia bocor, akan aku cambuk toblos batok kepalanya!”

“Lewat beberapa bulan, pangeran cilik itu memberitahukan kepada aku, bahwa ongya hendak pergi lagi ke Mongolia. Lantas aku minta supaya aku diajak, agar aku bisa bersembahyang di kuburan suamiku. Ongya menerima baik permintaan itu. Dia sangat menyayangi pangeran kecil itu, yang segala keinginannya senantiasa dipenuhi. Oh, disana tidak dapat aku mencari tulang-tulangnya si lelaki bangsat. Lantas aku hendak mencari Kanglam Cit Koay.

Sungguh aku sangat beruntung, di sana aku dapatkan tujuh saudara imam dari Coan Cin Kauw. Mataku tidak bisa melihat, cara bagaimana aku bisa melawan mereka? Di antara mereka, yang lihay tenaga dalamnya adalah Tan Yang Cu Ma Giok. Asal ia membuka mulutnya, walaupun ia tidak berbicara keras, suaranya dapat terdengar sampai di tempat jauh.

Perjalananku ke Mongolia itu tidak sia-sia belaka. Aku dapat mendesak kepada Ma Giok, hingga ia secara sembarangan mengajari aku sepatah kata rahasianya ilmu dalam. Sepulangnya ke istana, aku berdiam di dalam terowongan dalam tanah, di mana aku menyakinkan kepandaianku. Tidak dapat ilmu dalam itu dipelajarkan tanpa petunjuk, aku mempelajarinya dengan memaksa. Kesudahannya, separuh tubuhku ini tidak dapat digerakkan. Aku melarang si pangeran cilik datang padaku. Ia tidak ketahui yang pelajaranku telah tersesat. Coba kalau bocah ini tidak menerobos masuk ke dalam terowongan, pastilah aku akan mati kelaparan di dalam situ. Hm, rupanya dari si lelaki bangsat yang memimpin bocah itu datang padaku, supaya ia menolong aku, supaya kemudian aku bunuh si bocah untuk menuntut balas!”

Saking senang dan gembiranya, Tiauw Hong tertawa berkakakan tak hentinya. Dia tertawa haha tercampur hmhm, tertawa dingin!

Wanita ini tertawa, hingga tubuhnya menggetar, sedang tangan kanannya mengerahkan tenaga. Kwee ceng merasakan tenggorokannya tercekik keras sekali. Di saat mati atau hidup itu, ia pegang tangan si wanita, untuk dipaksa melepaskan cekikannya. Ia telah mendapatkan pelajaran dari Ma Giok, ia sudah menyakinkannya beberapa tahun, tenaga dalamnya telah cukup kuat, ia dapat tenaga akibat darah ular yang ia sedot. Pengejarannya Nio Cu Ong dan pertempurannya sama Wanyen Kang membuatnya tenaga obat menguatkan tubuh. Maka ia berontak dengan berhasil.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar