Senin, 05 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 039

Tiat Sim dalam lemari telah dengar nyata pembicaraan di antara ibu dan anak itu, hatinya tergoncang keras. Ia pun berpikir: “Sekarang dia telah menjadi satu onghui, mana dapat ia mengikuti pula aku seorang rakyat kasar? Dia hendak membuka rahasia, mungkinkah ia hendak menyuruh anaknya itu mencelakai aku?”

Ia lantas dengar perkataannya Pauw Sek Yok: “Tombak ini tadinya berada di dusun Gu-kee-cun di kota Lim-an, ibukota dari kerajaan Song di Kanglam. Aku sengaja menitahkan orang melakukan perjalanan jauh ribuan lie untuk mengambilnya. Lanjam di tembok dan semua perabotan di ruangan ini, seperti meja, bangku, lemari dan pembaringan, semuanya dibawa dari Lim-an.”

“Sampai sebegitu jauh aku tidak mengerti,” berkata Wanyen Kang, “Kenapa mama suka sekali tinggal di rumah bobrok ini, anakmu membawakan kau perabot rumah tangga yang baru tetapi semuanya ibu tolak.”

“Kau menyebutkan rumah ini bobrok?” tanya sang ibu. “Aku justru merasa ini jauh lebih bagus dibandingkan istana yang indah, yang segalanya serba dilukis dan diukir dan perabotannya mentereng! Anak, kau kurang beruntung, tidak dapat tinggal di rumah bobrok ini bersama ayah dan ibu kandungmu sendiri….”

Jantungnya Tiat Sim berdenyut, pedih ia merasa.

Wanyen kang tertawa. “Ma, makin lama kau bicara, makin aneh!” katanya. “Mana bisa ayah tinggal di sini?”

Sek Yok menghela napas. “Kasihan ayahmu itu, selama delapan belas tahun berkelana di dunia kangouw,” berkata dia. “Oleh karena itu mana bisa dia berdiam dengan tenang dan tentram di rumah ini….”

Sang putra heran hingga ia mengawasi dengan matanya dibuka lebar-lebar. “Ma, apakah katamu?” tanyanya saking heran.

“Taukah kau siapa ayahmu yang sebenarnya?” Sek Yok menanya, suaranya keras.

“Ayahku adiknya sri baginda, pangeran Chao Wang,” sahut Wanyen Kang. “Kenapa mama menanya begitu?”

Ibu itu bangkit, ia peluk tombak besi itu, lantas air matanya turun dengan deras. “Kau tidak tahu, anak, inilah tidak heran,” katanya sesenggukan. “Kau tidak dapat disesalkan. Tombak ini… senjata ayahmu yang sejati…” Ia pun lantas menunjuk pada ukiran empat huruf di gagang tombak: “Ini nama ayahmu!”

Tubuh sang putra bergemetar. “Ma, pikiranmu was-was,” katanya, “Nanti aku pergi panggil tabib.”

“Aku was-was kenapa?” ibu itu bilang. “Apakah kau sangka kau adalah orang bangsa Kim? Kau adalah orang Han! Kau bukan bernama Wanyen Kang, tetapi nama kau Yo Kang!”

Mendengar di sebutnya nama Yo Kang itu, Kwee Ceng ingat sebuah nama yang ia rasa kenal baik. Ia hanya lupa, di mana ia pernah dengar itu, Kemudian ia ingat waktu masih kecil, di sana ada sebuah pisau belati yang gagangnya berukiran dua huruf “Yo Kang”. Kemudian pisau itu telah dipakai menikam mati Tan Hian Hong si Mayat Perunggu. Kemudian pisau itu lenyap entah ke mana.

Wanyen Kang heran bukan kepalang. Ia lantas memutar tubuhnya. “Nanti aku minta ayah datang ke mari!” katanya.

“Ayahmu ada disini!” Sek Yok bilang. Lantas dia bertindak cepat ke arah lemari, buka pintunya, kemudian pegang tangannya Yo Tiat Sim, untuk di tarik keluar.

“Oh, kiranya kau!” seru pangeran itu, yang mendadak saja menikam Bok Ek, di arah tenggorokannya.

Tiat Sim berkelit, sedang Sek Yok menjerit: “Ini ayahmu! Apakah kau masih tidak percaya?” Lantas ia benturkan kepalanya ke tembok hingga tubuhnya roboh ke lantai.

Wanyen Kang kaget, ia putar tubuhnya, lihat ibunya yang kepalanya mandi darah dan napasnya empas-empis. Saking tergugu, ia jadi berdiri menjublak.

Tiat Sim tubruk istrinya itu, ia peluk dan angkat untuk dibawa lari keluar dari rumah bobrok itu.

“Lepaskan!” teriak Wanyen Kang, yang kaget sekali. Tapi ia masih sadar, sambil berlompat dengan gerakan “Seekor belibis keluar dari rombongannya”, ia serang bebokongnya Yo Tiat Sim.

Tiat Sim mendengar angin menyambar belakangnya, ia putar tangan kirinya ke belakang, menangkis seraya mencekal, maka ujung tombak kena terpegang. Ia telah mainkan ilmu silat Keluarga Yo bagian jurus “Hui ma chio” atau “Membaliki kuda”, ilmu tipu istimewa yang hanya diketahui keluarganya yang mewariskan ilmu silat itu. Sebenarnya habis itu, tanpa menanti musuh menarik pulang tombaknya, tangan kanannya sudah mesti membarengi menyerang, akan tetapi sekarang ia memeluk Pauw Sek Yok dengan tangan kanannya, tidak dapat ia menyerang. Maka seraya memutar tubuh, ia membentak: “Ilmu silatku ini diwariskan cuma kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan, dari itu tentulah gurumu tidak dapat mengajarkan kepadamu!”

Memang benar, walaupun Khu Cie Kee lihay, tapi ia tidak dapat mengerti sedalam-dalamnya ilmu silat Keluarga Yo itu, jadi kepandaian Wanyen Kang menggunakan tombak itu belum sempurna, maka ditegur begitu, pangeran itu menjadi tercengang. Dengan begitu, mereka mencekal masing-masing satu ujungnya tombak itu. Inilah hebatnya untuk tombak itu sendiri, yang gagangnya sudah tua. Tempo keduanya saling membetot, gagang tombak itu patah.

Kwee Ceng lantas lompat maju, ia membentak: “Kau telah bertemu dengan ayahmu sendiri, kenapa tidak berlutut memberi hormat!”

Wanyen Kang sangsi, ia menjadi tidak berayal.

Yo Tiat Sim tidak pedulikan pangeran itu, dengan membawa istrinya, ia telah tiba di luar. Ia sudah lantas disambut Bok Liam Cu, gadisnya itu, maka bersama-¬sama mereka melompati tembok menyeingkirkan diri.

Kwee Ceng juga tidak berani berayal-ayalan, segera ia pun lari keluar. Disaat ia hendak melompat tembok, ia merasakan sambaran angin ke arah kepalanya. Ia kaget sekali, cepat ia mendak. Meski begitu, angin menyambar lewat di mukanya, ia merasakan perih bagaikan kebaret pisau. Itulah menandakan lihaynya si penyerang. Selagi ia terkejut, ia dengar bentakan: “Anak tolol, aku si orang tua sudah lama menantikanmu di sini!”

Itulah suaranya Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong!

Pada waktu itu di lain kalangan, tatkala mendengar Pheng Lian Houw mengatakan muridnya Hek Homh Siang Sat, sambil tertawa Oey Yong kata kepada cecu itu: “Kau kalah!” Ia berbicara dengan terpaksa, karena hatinya cemas bukan main mendengar suara Kwee Ceng, maka habis berkata, ia terus putar tubuhnya dan bertindak ke pintu.

Cuma dengan satu kelebatan, Pheng Lian Hoauw sudah menghadang di ambang pintu.




“Oleh karena kau adalah muridnya Hek Hong Siang Sat, aku tidak berniat mengganggumu,” berkata orang she Pheng ini. “Hanya kau bilanglah, apa perlunya gurumu menitah kau datang kemari?”

Oey Yong tertawa. Dia menyenggapi: “Kau sendiri yang bilang, jika dalam sepuluh jurus kau tidak dapat mengenali ilmu silatku, kau akan membiarkan aku berlalu dari sini. Kau adalah laki-laki sejati, kenapa sekarang kau menyangkal?”

Pheng Lian Houw gusar sekali. Ia membentak: “Jurusmu yang terakhir adalah jurus “Tindakannya si binatang sakti”. Apakah itu bukannya pengajaran dari Hek Hong Siang Sat?!”

Oey Yong tertawa pula. “Belum pernah aku melihat Hek Hong Siang Sat,” dia kata. “Lagian, dengan kepandaian mereka semacam itu, mana tepat menjadi guruku?”

“Percuma kau menyangkal!” bilang Lian Houw.

“Nama Hek Hong Siang Sat pernah aku dengar,” Oey Yong bilang tanpa pedulikan perkataan orang. “Apa yang aku tahu tentang mereka ialah mereka pengrusak perikeadilan dan prikemanusiaan, tidak ada kejahatan yang mereka tidak lakukan. Mereka pun telah mendurhakai gurunya dan kakek guru mereka, jadi mereka adalah orang-orang dari Rimba Persilatan? Kenapa Pheng Cecu samakan aku dengan mereka?”

Mulanya orang menyangka nona ini tidak hendak omong terus terang, akan tetapi mendengar ia bicara demikian hebat terhadap Hek Hong Siang Sat, yang dikatakan Pheng Lian Houw sebagai gurunya, mereka menjadi saling mengawasi, dari heran mereka jadi mempercayai. Orang boleh berdusta hebat tetapi tidak nanti ada murid yang berani mencela dan mencaci guru sendiri di hadapan orang banyak.

Mau tidak mau, Pheng Lian Houw menggeser tubuhnya ke samping.

“Nona kecil, anggaplah kau telah menang,” katanya. “Aku si Lao Pheng kagum sekali untukmu! Sekarang aku berpikir untuk meminta tanya namamu yang harum.”

Oey Yong tertawa lagi. “Maafkan, aku dipanggil Yong-jie,” ia menyahut.

“Apakah shemu?” Lian Houw menanya pula.

“Aku tidak punya she,” sahut si nona, yang tersenyum.

Semua orang di situ, kecuali Leng Tie Siangjin dan Auwyang Kongcu, telah menjadi pecundangnya nona ini, oleh karena Leng Tie Siangjin telah terluka parah, hingga tidak dapat ia menggerakkan tubuh, kelihatannya cuma Auwyang Kongcu yang bisa menghalangi nona ini, maka itu, semua mata ditujukan kepada pemuda she Auwyang ini.

Auwyang Kongcu, sambil tersenyum, lantas bertindak perlahan. “Aku yang rendah dan bodoh, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus dari nona,” ia berkata.

Oey Yong mengawasi, terutama untuk pakaian orang yang serba putih. “Mereka itu – ini nona-nona cantik yang menunggang unta putih – adakah mereka orang-orangmu?” dia menanya, menegaskan.

Auwyang Kongcu tertawa. “Apakah kau telah bertemu dengan mereka itu?” tanyanya. “Kecantikan mereka itu tidak ada separuhnya kecantikanmu.”

Oey Yong agaknya jengah, hingga wajahnya bersemu merah. “Di sini ada beberapa tua bangka yang hendak menyusahkan aku, mengapa kau tidak membantu aku?” dia tanya.

Auwyang Kongcu tidak bisa lantas menjawab, dengan tajam ia menatap. Ia merasa hatinya gatal dan tulang-tulangnya lemas……

Anak muda ini lihay ilmu silatnya, di See Hek, wilayah Barat, ia menjagoi seorang diri. Tapi ia pun gemar sekali pada paras elok. Maka juga sejak beberapa tahun dia sudah kirim orang ke pelbagai tempat, untuk mencari nona-nona cantik dan manis, untuk dia ambil mereka itu sebagai gundik-gundiknya. Adalah diwaktu-waktu yang senggang, ia ajarkan mereka ilmu silat dan ilmu surat, dengan sendirinya mereka menjadi murid-muridnya.

Kali ini ia berlalu dari kampung halamannya atas undangan Chao Wang, dia datang ke kota raja – Yan¬khia – dengan mengajak gundik-gundiknya yang merangkap murid-muridnya itu. Dia sengaja menitahkan mereka menyamar sebagai pria, semuanya diharuskan mengenakan pakaian serba putih seraya menunggang unta-unta putih juga.

Oleh karena gundik-gundiknya itu banyak, dia pecah mereka dalam beberapa rombongan. Serombongan di antaranya, yang berjumlah delapan orang, adalah mereka yang di tengah jalan bertemu dengan Kanglam Liok Koay dan Kwee Ceng. Mereka dengar itu Biauw Ciu Sie-seng bicara perihal kuda jempolan, yang keringatnya merah, mereka jadi ketarik hati dan ingin merampasnya untuk diserahkan kepada Auwyang Kongcu, guna mengambil hati suami merangkap guru itu. Di luar sangkaan mereka, mereka gagal.

Auwyang Kongcu pun bangga akan gundik-gundiknya itu, yang ia percaya adalah tercantik di kolong langit ini, sekalipun di dalam keraton raja, belum tentu ada tandingannya, tidak nyana mereka itu kalah dari Oey Yong, hingga ia menjadi tergila-gila sampai kepalanya pening. Demikian hatinya goncang mendengar suara orang yang merdu itu.

“Nah, hendak aku pergi!” kata si nona pula. “Kalau mereka itu menghalangi aku, kau bantu aku, maukah kau?”

Auwyang Kongcu tertawa. “Untuk aku membantu kau, itu pun dapat,” katanya. “Asal kau angkat aku menjadi gurumu untuk selamanya mengikuti aku.”

Si nona tertawa. “Umpama kata aku menjadi muridmu, tak usahlah untuk selama-lamanya aku mengikuti kau!” dia bilang.

“Murid-muridku beda daripada orang lain,” Auwyang Kongcu bilang. “Semua muridku wanita dan asal sekali saja aku memanggil, semuanya bakal datang.”

Oey Yong miringkan kepalanya. “Aku tidak percaya!” ujarnya.

Auwyang Kongcu hendak membuktikan perkatannya, ia lantas mengasih dengar suaranya. Sebentar saja di muka pintu terlihat beberapa puluh wanita muda dengan pakaian serba putih yang berseragam, melainkan tubuh orang ada yang kurus dan montok, tinggi dan kate. Lantas mereka berdiri berkumpul di belakang anak muda itu. Mereka ini berkumpul di luar selagi Auwyang Kongcu berpesta, baru mereka muncul setelah ada panggilan.

Pheng Lian Houw semua seperti bermata kabur, memandang nona-nona manis itu, mereka jadi kaget sekali dan tergiur hatinya.

Ketika di Kalgan, Oey Yong telah robohkan delapan dari nona-nona itu, ia ketahui kepandaian silat mereka itu biasa saja, sekarang ia sengaja permainkan Auwyang Kongcu supaya orang mengumpulkan gundik-gundiknya itu. Ia mengharap, selagi orang berkumpul banyak, ia dapat mencari jalan untuk meloloskan diri. tapi Auwyang Kongcu cerdik, dia rupanya telah dapat menerka, maka juga ia terus pergi ke ambang pintu, dengan perlahan-lahan dia mengipasi dirinya, sedang di bawah sinar merah dari api lilin, dia mengerling kepada si nona. Dia kelihatannya tenang dan puas.

Mengetahui akalnya gagal, Oey Yong mengasah pula otaknya. “Jikalau kau benar-benar lihay,” ia bilang. “Memang tidak ada yang terlebih baik daripada aku mengangkat kau menjadi guru, supaya dengan begitu kemudian aku tak usahlah menerima penghinaan orang.”

“Apakah kau hendak mencobanya?” Auwyang Kongcu menegaskan.

“Benar!” jawab si nona.

“Baiklah!” berkata kongcu itu. “Nah, kau kemarilah! Kau tak usah takut, aku tidak akan balas menyerang.”

“Bagaimana?” si nona menanya. “Apakah tanpa membalas menyerang kau dapat mengalahkan aku? Benarkah?”

Pemuda itu tertawa. “Walaupun kau pukul aku, mana aku tega membalas memukul?” katanya kemudian.

Lian Houw semua heran. Mereka pun dapat anggapan, pemuda ini benar-benar ceriwis. Mereka pikir: “Nona ini lihay, walaupun dia lebih pandai sepuluh lipat, mana bisa dia mengalahkannya tanpa dia membalas menyerang? Mungkinkah dia hendak menggunakan ilmu siluman?”

“Aku tidak percaya kau benar-benar tidak balas menyerang!” bilang Oey Yong pula. “Hendak aku telingkung tanganmu ke belakang!”

“Baik,” sahut Auwyang Kongcu, yang terus buka ikatan pinggangnya yang ia serahkan kepada si nona, habis mana ia bawa kedua tangannya ke belakang, bersedia untuk dibelenggu.

Oey Yong heran, orang ini benar-benar menyerahkan diri untuk dibelenggu, pada wajahnya ia tidak ketarakan suatu apa, ia tetap senyum, tetapi hatinya terkesiap. Ia pikir: “Terang sekali orang ini tidak bermaksud baik, maka sungguh hebat jika aku sampai kena dibekuk dia….” Karena ini, ia menjadi berpikir keras. Lekas ia mengambil putusan: “Biarlah, aku bekerja setindak demi setindak….” Maka ia sambuti ikat pinggang itu, yang terbuat dari benang sutra tetapi kuat, dengan itu ia terus ikat tangan orang.

“Bagaimana sekarang – bagaimana kalah menangnya?” si nona tanya.

Auwyang Kongcu lonjorkan kaki kanannya, ia taruh itu di lantai, lalu dengan kaki kiri menahan diri, ia berputar dengan kaki kiri itu, kaki kanannya terus menggurat, maka itu, dengan begitu ia membuat lingkaran. Lingkarannya sendiri dalam kira-kira setengah dim, suatu tanda dari kuatnya kaki kanan itu. Lingkaran pun seluas enam kaki. Hal ini membuat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw kagum sekali. “Siapa yang keluar dari lingkaran ini, dia yang kalah,” berkata Auwyang Kongcu, kemudian seraya ia bertindak masuk ke dalam lingkaran itu.

“Jikalau dua-duanya yang keluar?” Oey Yong masih menanya.

“Begitu pun boleh dianggap aku yang kalah,” jawab Auwyang Kongcu.

“Jika kau kalah, toh kau tidak bakal merintangi aku lagi, bukan?” si nona menegaskan.

“Tentu saja! Tapi kalau kau yang kalah, maka kau mesti baik-baik turut aku. Semua orang tua di sini menjadi saksinya!” kongcu itu memberi kepastian.

“Baik!” kata Oey Yong, yang lantas bertindak memasuki lingkaran itu. Ia bukan cuma bertindak masuk saja, begitu masuk lantas kedua tangannya bekerja, tangan kiri dengan jurus “Angin menyambar yanglui”, yang satu enteng, yang lain berat, yang satu lemah, yang lain keras, tetapi menerjangnya berbareng.

Auwyang Kongcu sudah lantas mengegos tubuhnya akan tetapi sia-sia saja ia berkelit, kedua tangan si nona mengenai tepat pundaknya, meski begitu yang terkejut adalah si nona sendiri, karena begitu tangan mengenai sasaran, ia menginsyafi keadaan yang tidak wajar. Kongcu itu lihay tenaga dalamnya, dia membilang tidak akan membalas menyerang, dia buktikan perkataannya itu, akan tetapi ia gunakan kepandaiannya, meminjam tenaga untuk menyerang tenaga, maka begitu serangn Oey Yong mengenai padanya, segera ia merasakan pukulannya itu membal balik, hingga ia lantas terhuyung sendirinya, hampir ia melintasi garis lingkaran itu.

Tentu saja ia tidak berani menyerang untuk kedua kalinya. Sebaliknya, dengan kecerdikannya, ia kata: “Aku hendak pergi sekarang! Kau tidak dapat keluar dari lingkaran untuk menyusul aku! Tadi kau sendiri yang mengatakannya, kalau kita berdua sama-sama keluar dari lingkaran, kau yang kalah!”

Auwyang Kongcu tercengang karena herannya. Dia hanya bisa berdiri menjublak tanpa bisa bicara apa-¬apa!

Si nona tidak menghiraukannya lagi, ia bertindak dengan tenang, keluar dari lingkaran. Hanya begitu ia berada di luar, segera ia percepat tindakannya itu. Sebab ia mengerti sembarang waktu bisa terjadi perubahan. Maka terlihatlah gelang rambutnya yang terbuat dari emas itu berkeliauan dan bajunya yang putih berkibar-kibar, sebentar saja ia sudah tiba di dekat pintu, tiba-tiba terlihat benda besar yang melayang jatuh di depannya. Ia sudah lantas berkelit ke samping, tindakannya pun dihentikan.

Segera ia dapat kenyataan, benda itu adalah sebuah kursi thaysu, di atasnya bercokol seorang paderi dari Tibet yang tubuhnya tinggi dan besar, yang mengenakan jubah warna merah. Dia duduk di kursi tapi ia lebih tinggi dari si nona. Anehnya, dia duduk seperti terpaku di kursinya, hingga ia dapat berlompat bersama-sama kursinya itu.

Oey Yong hendak menegur si pederi tetapi ia telah di dahului Leng Siangjin, yang dari dalam jubahnya mengasih keluar sepasang cecer tembaga, begitu kedua tangannya dirapatkan, berbunyilah alat tetabuhan itu hingga menulikan kuping. Ia masih heran tatkala di depan matanya berkelebat sinar, lalu sepasang cecer itu menyambar ke arahnya…. sebuah di atas, sebuah lagi di bawah. Dalam keadaan seperti itu, Oey Yong tidak menjadi gugup, ia pun tidak lari menyingkir, sebaliknya, dengan menjejak kedua kakinya, mencelat ke depan, tangan kanannya diangsurkan, untuk menampa dasarnya cecer, kaki kirinya ditekankan di atasan cecer yang di bawah tubuhnya dipengkeratkan, maka sekejap kemudian, ia sudah lewat di antara kedua senjata rahasia itu. Cuma, walaupun itu sudah lolos dari bahaya, karena ia berlompat maju, ia menjadi mendekati si orang suci itu.

Kali ini Leng Tie Siangjin mengangkat tangannya, dengan ilmu pukulan “Tay ciu ini” atau “Tapak tangan besar”, dia memukul ke arah tubuhnya si nona.

Oey Yong seperti juga tidak dapat menahan tubuhnya, ia maju terus, seperti hendak menyerbu ke rangkulan lawannya. Orang menjadi kaget hingga mereka pada berseru. Nona yang begitu cantik manis, pastilah bakal runtuh di tangan yang kasar dari si paderi, bukan saja tulang-¬tulangnya bakal patah, juga isi perutnya, bakalan remuk semua….

Bahaya tidak dapat dicegah lagi, satu suara keras segra terdengar. Serangannya Leng Tie Siangjin tepat mengenai punggung si nona. Selagi orang kaget, si nona sendiri melayang terus bagaikan layangan putus, sampai di luar gedung!

Dari kaget, orang menjadi heran sekali, hingga mereka tercengang. Mereka lihat tangan kanan dari Leng Tie Siangjin mengucurkan darah, sebab telapak tangannya pecah menjadi sepuluh liang kecil.

Dalam kagetnya, Pheng Lian Houw berseru: “Budak itu memakai Joan-wie-kah! Itulah mustika pemilik pulau dari pulau Tho-hoa di Tang Hay!”

See Thong Thian pun berseru: “Dia masih begini muda, kenapa dia dapat memiliki Joan-wie-kah itu?”

Sementara itu Auwyang Kongcu sudah berlompat, untuk berlari-lari keluar. Biar bagaimana tidak dapat ia melupakan nona yang manis itu, hanya tempo ia sampai di luar, di antara gelap petang tidak dapat lagi ia melihat bayangan si nona. Ia penasaran, maka sambil serukan sekalian gundiknya, ia lari mencari. Di dalam hatinya ia menghibur diri. “Dia dapat lolos, mungkin ia tidak terluka, maka maulah dia nanti merangkulnya….”

Hauw Thong Hay, yang tidak tahu apa itu Joan-wie¬kah, menanyakan itu kepada kakak seperguruannya.

“Pernahkah kau melihat landak?” Pheng Lian Houw mendahului menanya

“Tentu pernah aku melihatnya!” sahut orang she Hauw itu.

“Di dalam bajunya ia memakai baju lapis yang lemas,” Lian Houw lantas memberi keterangan. “Baju lapis itu tidak takut kepada senjata tajam seperti golok dan tombak. Baju itu mempunyai duri yang seperti duri landak. Maka siapa memukul atau menendangnya, dia mesti menderita sebab tertusuk duri-duri landak itu.”

Hauw Thong Hay mengulur lidahnya. “Syukur aku tidak sampai kena menghajar budak itu…” katanya.

Sembari berbicara, Thong Hay dan Lian Houw serta Thong Thian turut pergi mengejar, untuk mencari. Malah Chao Wang juga menitahkan Thung Couw Tek mengepalai barisan pengiringnya pergi mencari. Hingga istana pangeran itu menjdai kacar dan gempar!

Di pihaknya Kwee Ceng, yang bertemu sama Nio Cu Ong, dia takutnya bukan main, dia lari tanpa memilih lagi jurusan timur atau barat, selatan atau utara, asal ke tempat yang gelap. Cu Ong sebaliknya mengejar dia dengan hebat. Som Sian Lao Koay ingin membekuk orang untuk dihisap darahnya!

Kwee Ceng dapat lari keras, dia pun berlari-lari di tempat yang gelap, dengan begitu, sekian lama dia tidak dapat dicandak. Sebentar kemudian dia sampai di satu tempat, di mana ada banyak pohon berduri serta batu muncul di sana-sini, bagaikan rebung muda atau pedang yang ditancap di tanah. Dia heran yang di pekarangannya istana ada tempat yang demikian. Dia menjadi lebih kaget, ketika dia merasakan sakit pada kakinya yang tertusuk duri.

Mendadak kakinya menjadi lemas, tubuhnya terjatuh hingga ia menjerit keras. Tapi ia masih sadar, lantas siapkan kakinya, supaya setibanya di bawah, tak usah dia jatuh terbanting. Mungkin ia menerka, terjatuh ke dalam sebuah liang, yang dalamnya beberapa tombak. Ketika kakinya tiba di dasar liang, kena injak bukan batu atau tanah keras, hanya serupa benda licin, hingga tidak ampun lagi, ia terus terpeleset dan terguling. Lekas-lekas ia merayap bangun, tangannya terus dipakai meraba-raba kepada benda itu. Untuk kagetnya, dia dapatkan sebuah tengkorak manusia.

“Rupanya ini adalah lubang pembuangan mayat yang dibunuh di istana….” ia menduga-duga. Justru hatinya lagi berpikir, di atas sana, dia dengar teriakan Nio Cu Ong: “Bocah, lekas naik!”

“Aku tidak begitu gila naik untuk mengantar jiwa….” pikir bocah ini. Dia pun tidak sudi memberi penyahutan, ia lantas meraba ke belakangnya, sembari meraba dia mundur. Ini pun ada penjagaan untuk lari terus andaikata Nio Cu Ong lompat turun. Di belakangnya, ia tidak dapat meraba apapun.

“Biarpun kau kabur ke istana Raja Akherat, akan aku susul!” terdengar pula suara Nio Cu Ong, bahkan kali ini tubuhnya terus lompat turun.

Kwee Ceng kaget dan takut, terus ia mundur. Dia masih tidak dapat meraba sesuatu apapun, yang bisa menghalangi mundurnya, maka ia mundur terus. Kemudian ia putar tubuhnya, untuk berjalan dengan kedua tangannya dilonjorkan ke depan. Dalam liang yang gelap itu, dia tidak dapat melihat apapun.

Liang itu sebuah terowongan, baru menyusul kira dua tembok, Nio Cu Ong telah dapat mengetahuinya. Dia bernyali besar, dia andalkan kepandaiannya, dia menyusul terus. Hanya karena berada di tempat gelap, bahkan tidak dapat melihat jeriji tangan di hadapannya, dia bertindak dengan enteng, supaya ia tidak mengasih dengar suara apa-¬apa. Dia takut Kwee Ceng nanti bokong padanya.

Kwee Ceng menyingkir terus dengan hatinya memukul keras. “Terowongan ini mesti ada ujungnya, di sana habislah jiwaku….” ia mengeluh. Ia tidak melihat apapun tetapi ia merasa pasti Nio Cu Ong sedang menyusul padanya. Ia menjadi semakin takut.

Beberapa tombak kemudian, tibalah Kwee Ceng di satu tempat yang terbuka, di mana terdapat cahaya terang. Itulah ujungnya terowongan itu. Sebuah kamar atau ruang bertembok tanah.

Nio Cu Ong pun tiba dengan segera, lantas dia tertawa lebar. “Ha, bocah, ke mana kau hendak kabur?!” dia berseru.

Kwee Ceng bingung, ia melihat ke sekitarnya.

Justru itu, dari pojok kiri terdengar suara dingin seram: “Siapa berbuat kurang ajar di sini?!”

Kwee Ceng kaget, hatinya goncang keras. Siapa sangka di tempat demikian ada penghuninya. Sekalipun Nio Cu Ong, yang kosen dan nyalinya besar, ia turut terkejut juga.

Kembali terdengar suara seram dingin tadi: “Siapa masuk gua ini, mesti mati, dia tidak bakal hidup pula! Apakah kamu sudah bosan hidup?!”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar