Jumat, 02 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 038

“Kau punya ilmu Menukar Wujud Memindahkan Kedudukan ini, walaupun sudah tidak dapat dicela, apabila dibandingkan sama kepandaian ayahku, bedanya masih jauh sekali!”

Thong Thian gusar. Ia percaya ilmunya sudah dipuncak kemahiran. “Kau ngaco-belo, budak cilik!” bentaknya. “Siapakah ayahmu itu?!”

“Jikalau aku sebutkan nama ayahku, aku khawatir kau nanti kaget hingga semangatmu terbang!” Oey Yong menjawab. “Ketika dulu ia ajarkan aku menyerang masuk, ayahku menjaga di mulut pintu, aku memasukinya dari luar, beberapa kali aku mencoba, aku gagal. Mengenai kepandaianmu ini, memang dari dalam aku tidak sanggup menerjang keluar, akan tetapi kalau dari luar, tak usah menggunakan tenaga untuk meniup debu, pasti aku akan dapat molos.”

Thong Thian mendongkol sekali. “Dari luar masuk ke dalam sama dari dalam pergi keluar, tidakkah itu sama saja?” dia menanya. “Baiklah kau boleh coba dari luar!” Ia lantas menggeser tubuhnya, guna mengasih si nona pergi keluar. Ingin ia menyaksikan orang menyerang masuk, untuk mengetahui, macam apa ilmu menyerang masuk itu.

Oey Yong lantas saja melesat keluar, terus ia tertawa geli.

“See Liong Ong, kau telah tertipu olehku!” katanya nyaring. “Kau telah bilang sendiri, asal aku berada di luar, kau akan menyerah kalah, kau tidak bakal menggangguku. Kau lihat, bukankah aku sekarang telah berada di luar? Nah, sampai ketemu pula!”

See Thong Thian berdiri diam. Memang telah dibikin perjanjian itu, tidak peduli si nona telah menggunakan akal bulus. Saking menyesalnya, ia ketoki kepalanya sampai tiga kali.

Pheng Lian Houw bersahabat erat sekali sama Kwie-bun Liong, tidak suka ia membiarkan kawannya itu diperdaya secara demikian, ia pun tidak senang orang dapat pergi dengan begitu saja, ia segera ayun kedua tangannya. Maka menyambarlah dua renteng senjata rahasia berupa kim-chie atau uang emas.

Adalah umum kalau orang menyerang dengan kim¬chie, serangannya itu untuk atas dan bawah, hingga sulit orang lolos dari salah satunya. Orang she Pheng ini adalah seorang ahli, hingga ia peroleh gelarannya yang luar biasa – Cian Ciu Jin-touw, yang berarti pembunuh manusia seribu tangan, maka tidaklah heran kalau ia punya keistimewaan sendiri. Senjata rahasianya itu adalah seperti bumerang. Kim-chie lewat di atas kepala Oey Yong, lalu berbalik sendiri, terus menyerang ke bebokong.

Oey Yong heran dan kaget. ia lihat serangan lewat di atasan kepalanya, ia menjadi heran, hingga ia memikir, kenapa kepandaian orang ini begini buruk? Tapi justru ia heran, ia dengar suara angin, lalu kedua senjata rahasia itu berbalik, menyambar ke kiri-kanan mengarah batok kepalanya. Ia menjadi kaget sekali. Ia ada punya mustika pelindung tubuh, tidak demikian dengan kepalanya, kalau terserang jitu, celakalah ia.

Karena ini, ia lompat ke depan, Ia baru saja menaruh kaki, kim-chie yang belakangan sudah menyambar pula. Hebat untuk dia, dua renceng kim-chie dari Phen Lian Houw terdiri dari beberapa puluh biji, datangnya saling susul. Tidak dapat kim-chie itu ditanggapi. Karena ini tidak ada jalan lain, terpaksa ia melompat maju pula, ia berlompatan. Maka dilain saat, ia telah kembali ke ruangan besar!

Tidak ada niatnya Pheng Lian Houw untuk melukai si nona, ia menyerang dengan sennjata rahasianya itu guna menggiring nona itu kembali ke dalam, kalau tidak demikian, pasti Oey Yong tidak sanggup membebaskan diri dari bahaya maut atau entengnya terluka. Menampak itu, semua orang bersorak saking gembira. Lian Houw sendiri lantas berdiri di ambang pintu.

“Bagaimana?” dia tertawa. “Kau kembali ke dalam?”

Oey Yong membuat main mulutnya untuk mengejek. “Kepandaianmu menggunakan senjata rahasia bagus sekali,” bilangnya, tawar, “Sayang kau gunakan untuk menghina anak perempuan! Apakah yang aneh?”

“Siapa menghina kau?” Lian Houw tanya. “Aku toh tidak melukai kamu?”

“Kalau begitu, kau biarkanlah aku berlalu dari sini,” kata si nona.

“kau bilang dulu, siapa yang ajarkan kamu ilmu silat,” Lian Houw bilang.

Nona nakal itu tertawa. “Aku telah pelajarkan ini sejak aku dalam kandungan ibuku,” jawabnya.

“Kau tidak hendak memberitahu, apakah dengan begitu kau menyangka aku tidak akan mengetahuinya?” Lian Houw berkata seraya sebelah tangannya menyemboki pundak orang.

Oey Yong tidak menangkis, ia pun tidak berkelit. Ia tahu tidak dapat melawan jago ini, ia mencoba berlaku norek. Hendak ia menyangkal terus-menerus.

Lian Houw lihat orang diam saja, disaat tangannya hampir mengenai pundak si nona, ia lantas menarik pulang.

“Lekas menangkis!” ia berseru. “Lekas! Di dalam sepuluh jurus, aku orang she Pheng pasti akan ketahui asal-usulmu!” Dia memang luas pengetahuannya dan mengenali ilmu silat pelbagai golongan, tetapi ilmu silat Oey Yong membuatnya bersangsi, dari itu ingin ia menempur selama sepuluh jurus untuk memperoleh kepastian.

“Jikalau sampai sepuluh jurus kau masih belum dapat mengetahui?” tanya Oey Yong.

“Aku akan merdekakan padamu! Awas!” Sambil menjawab demikian, Lian Houw menyampok dengan tangan kiri yang disusul sama tinju kanan, tinju mana dibarengi sama tendangan kaki kanan. Inilah pukulan berantai tiga kali yang hebat.

Oey Yong terkesiap juga melihat datangnya serangan saling susul, akan tetapi ia tidak menjadi kaget dan gugup. Sebat sekali ia mundur sambil memutar tubuh dengan sebelah kaki, ia perlihatkan gerakan “Si ayam emas berdiri dengan satu kaki”. Dengan begitu, ia lolos dari bahaya.

Di dalam hatinya, Pheng Lian Houw berkata, “Inilah ilmu silat Jie Long Kun dari Keluarga Luow dari Ceciu, Shoatong. Keluarga itu memang mengutamakan kelincahan. Coba aku desak pula dia dengan dua jurus.” Lalu pikiran ini ia wujudkan dengan cepat sekali.

“Inilah jurus yang kedua!” berseru si nona, yang menangkis dengan tangan kiri buat memunahkan serangan orang. Ia bersilat dengan ilmu silatnya Iwee¬kee si ahli dalam.

Pheng Lian Houw menjadi heran. “Inilah jurus Pak¬kek-sie dari ilmu silat Liok Hap dari Kangpak,” ia berpikir pula. “Ilmu silat ini bertentangan dengan Jie Long Kun, yang adalah dari pihak gwa-kee. Kenapa dia dapat menyakinkan dalam dan luar dengan berbareng?”




Gwa-kee ialah ahli luar.

Lantas orang she Pheng ini melanjutkan serangannya yang ketiga dan keempat, karena juga yang kedua dan ketiga itu dapat dihindarkan si nona, demikian pun dengan yang keempat.

Oey Yong menolong diri dengan ilmu silat Keluarga Swee dari Thay-goan, yaitu ilmu silat “Cut In Ciu” atau “Keluar dari Mega”.

Lian Houw menjadi bertambah heran. “Heran bocah ini mempunyai ilmu silat campur aduk seperti ini! Mungkinkah ia sengaja berbuat begini untuk mencegah aku dapat mengenal asal-usulnya? Baik aku gunakan pukulan yang telengas, dengan begitu tidak dapat ia tidak menggunakan ilmu silatnya yang sejati guna menolong diri,” katanya dalam hati.

Oleh karena berpikir begini, Lian Houw segera menyerang dengan jurusnya yang kelima, yang hebat sekali. Kalau yang keempat pertama bengis, tapi tidak sekejam ini.

Semua orang terkejut melihat kawannya bersikap telengas begitu, dengan sendirinya mereka jadi khawatir untuk Oey Yong, sedang si nona pun segera menjadi kelabakan. ia cuma bisa berkelit dan menangkis, tidak dapat ia mencoba membalas menyerang.

Auwyang Kongcu, san-cu atau pemilik dari Pek To San, lantas berkata: “Budak ini barusan menggunakan jurus Menggantung kumala di gantungan emas. Itulah ilmu silat Lo Cia Sie dari partai Siong Yang Pay. Dia menyusuli dengan jurus Menunggang harimau mengalah tindak dari ilmu silat Tiang Kun dari Kwan¬tong, yang mirip dengan ilmu silat saudara Som Sian Lao Koay. Ah, inilah Tepukan tiga kali dan Gunting emas, jurus dari Cu-ngo Tay Kok Kiam dari Kanglam. Banyak benar ragam ilmu silatnya. Ah,ah, dia celaka! Kenapa tidak berkelit ke kiri?”

Pheng Lian Houw mendesak terus, sampai pada jurus yang kedelapan, tangan kirinya menggertak, tangan kanannya meninju. Oey Yong tahu tangan kiri itu adalah ancaman belaka, maka berniat ia berkelit ke kanan, tetapi justru itu, ia dengar perkataan terakhir dari sancu dari Pek To San itu, tiba-tiba ia mendapat pikiran baru, segera ia terjang tangan kiri si orang she Pheng itu dengan jurusnya “Tibanya air mata es dingin,” salah satu jurus dari ilmu silat “Soat San Pat To” dari See Hek, wilayah Barat.

Menampak itu, Auwyang Kongcu tertawa dan mengatakan, “Ha, dia menggunakan ilmu silat tetanggaku!”

Pheng Lian Houw mendelu mendengar orang she Auwyang itu. Terang si bocah wanita ini telah diberi kisikan terang, hingga gagallah serangannya. Karena ini, ia menjadi mendongkol terhadap si nona. Ia kata dalam hatinya: “Mustahil aku tidak mampu hajar mampus padamu, budak?!” Ia memang telengas, kalau mulanya ia menaruh “belas kasihan”, itu disebabkan si nona cantik dan manis, usianya pun masih sangat muda. Tapi sekarang, setelah ia dilayani dengan ilmu silatnya delapan partai, ia menjadi penasaran, dari penasaran, ia menjadi gusar, yang mana ditambah sama kisikannya san-cu dari Pek To San itu. Segera ia menyerang dengan jurus yang kesembilan. Ia menggunakan jurus “Menolak jendela untuk memandang rembulan”, ia bergerak dengan kedua tangannya, tangan kiri di balik ke bawah, tangan kanan ke atas.

Oey Yong terkejut melihat gerakan lawan, ia mengeluh dalam hatinya. Batok kepalanya bakal hancur luluh kalau sampai kena di serang. Untuk menangkis sudah tidak keburu lagi. Terpaksa ia lantas berkelit, kepalanya di kasih mendak, kedua tangannya ditekuk, untuk membalas menyikut naik dadanya penyeranganya itu.

Pheng Lian Houw menyerang dengan hebat, akan tetapi ia waspada, maka itu ia dapat melihat perlawanan si nona. Dengan gampang ia membebaskan diri, ia melanjuti dengan jurusnya yang kesepuluh, menggunakan tipu silat “Binatang jatuh di tengah udara”. Tapi ia tidak menyerang habis, disaat si nona hendak memunahkannya. ia berhenti setengah jalan sambil terus berseru: “Kau muridnya Hek Hong Siang Sat!” Dan seruan ini disusul sama gerakan tangan kanan, Oey Yong terhuyung ke belakang, terpelanting tujuh-delapan tindak!

Semua orang terperanjat dengan perkataan Pheng Lian Houw itu, kecuali Chao Wang. Sebab mereka semua adalah orang-orang kangouw berpengalaman dan terhadap Hek Hong Siang Sat, rata-rata orang jeri. Benar terkabar kalau Tong Sie Tan Hian Hong si Mayat Perunggu telah meninggal dunia akan tetapi tidak ada diantara mereka ini yang pernah menyaksikan sendiri, mereka jadinya ragu-ragu. Pheng Lian Houw telah dapat membuktikan ilmu silatnya Oey Yong di jurus kesembilan, pada jurus kesepuluh batal ia dengan maksudnya menghajar si nona, ia cuma mendorong saja denagn keras.

Oey Yong dapat mempertahankan diri, setelah berdiri, mendadak ia rasakan sakit pada dadanya yang kiri. Sebenarnya hendak ia bicara, ketika dengan sekonyong-konyong. di malam yang tenang itu, terdengar suara keras dari kejauhan, ia kenal suaranya Kwee Ceng, suara mana bernada kaget dan gusar. Ia menjadi kaget, mukanya menjadi pucat. Ia menduga kawannya itu telah menghadapi ancaman malapetaka.

Memang waktu itu, Kwee Ceng telah dibikin tak berdaya oleh Nio Cu Ong. Ia telah ditekan ke tanah, tangan dan kakinya telah dicekal keras, hingga habislah tenaganya, tak dapat ia berkutik. Ia kaget bukan main, merasakan mulut si she Nio itu mengenai batang lehernya. Entah dari mana datangnya, mendadak saja ia dapat tenaga pula, terus ia berontak sekuat-kuatnya, hingga Nio Cu Ong tidak dapat menguasai lebih lama. Ia tidak lantas menginsyafi bahwa ia dapat tenaga besar berkat darah ular yang dicampur latihan tenaga dalam dari Tan Yang Cu Ma Giok. Dengan satu gerakan “Ikan gabus meletik” ia kasih dengar jeritannya itu.

Nio Cu Ong membikin terlepas cekalannya, juga kedua telapak tangannya pecah dan berdarah, darahnya mengalir keluar. Ia menjadi kaget berbareng gusar. Segera ia maju untuk menyerang pemuda itu.

Kwee Ceng berkelit dengan lompat ke belakang, tetapi Nio Cu Ong sangat gesit, tangannya tiba di bebokongnya. Kali ini, pukulannya Nio Cu Ong bukan seperti pukulan Wanyen Kang, pukulan ini mendatangkan rasa sangat sakit. Maka itu, karena sakitnya dan kaget, Kwee Ceng lantas lari sekeras-¬kerasnya. Dia memang ringan tubuhnya, setelah minum darah ular, tenaganya bertambah, Nio Cu Ong tidak dapat segera menyandak, hingga mereka berlari-larian di taman, di antara pohon-pohon dan gunung-gunungan.

Satu kali Cu Ong berlompat, tangannya menjambak. Kwee Ceng berayal, bajunya kena terpegang, baju itu lantas robek sebagian, bebokongnya kena terjambret hingga berdarah, bertapak tanda lima jari, sakitnya bukan main. Saking takut, Kwee Ceng lari terus. Kebetulan ia tiba di depan rumah petani dari onghui, ia lompat masuk ke dalam rumah itu. Di situ ia mendekam.

Nio Cu Ong tidak dapat mencari. Kemudian ia disusul oleh Wanyen Kang, dengan siapa ia berbicara. Selama itu Kwee Ceng terus diam saja, cuma kupingnya mendengar pembicaraan orang. Di dalam hatinya ia berpikir: “Onghui murah hati, mungkin ia dapat menolong aku…” Karena ini, ia keluar dari tempat sembunyinya, ia lari ke dalam kamar si nyonya agung. Ia dapatkan sebuah kamar yang diterangi lilin tetapi penghuninya tidak ada, onghui kebetulan berada di kamar yang lain. Ia melihat ke seluruh kamar. Di sebelah timur ada sebuah lemari besar, ia buka pintunya, lalu masuk ke dalamnya menyembunyikan diri. Dengan masih mencekal terus goloknya, ia menghela napas lega.

Segera tedengar tindakan kaki perlahan masuk ke dalam kamar. Dari sela-sela lemari, Kwee Ceng mengintai. Ia lihat yang datang itu onghui sendiri.

Nyonya agung itu duduk di samping meja, matanya bengong mengawasi lilin.

Tidak antara lama, Wanyen Kang bertindak masuk. “Ma,” sapanya. “Apakah tidak ada orang jahat masuk ke mari?”

Onghui menggeleng kepala. Cuma sebegitu jawabannya.

Putra itu lantas keluar pula, untuk bersama Io Cu Ong dan yang lainnya pergi mencari ke bagian lain dari istana itu.

Sebentar kemudian, onghui mengunci pintu. Hendak ia beristirahat.

“Setelah meniup lilin, aku akan lari dari jendela,” Kwee Ceng pikir. “Aku percaya adik Yong sudah lama pulang….”

Waktu itu, di jendela terdengar suara keras, disusul menjublaknya daun jendela dan segera lompat masuk seseorang.

Kwee Ceng terkejut, begitu juga onghui, malah nyonya itu mengasih dengar jeritan tertahan.

Orang yang datang itu adalah Yo Tiat Sim yang menyebut dirinya Bok Ek. Kedatangannya ini pastilah diluar dugaan Kwee Ceng dan onghui. Kwee Ceng menyangka orang sudah ajak gadisnya pergi menyingkir.

Onghui dapat menenangkan diri, ia mengawasi Bok Ek itu. “Kau baiklah lekas pergi,” bilangnya kemudian. “Tidak boleh mereka dapat lihat kita….”

“Terima kasih untuk kebaikan onghui,” berkata Yo Tiat Sim. “Jika aku tidak datang sendiri untuk menghaturkan terima kasihku, meskipun aku mati tidaklah aku dapat memeramkan mata.” Suara itu berirama sedih.

“Ya, sudahlah,” onghui itu menghela napas. “Dalam kejadian itu adalah anakku yang salah, dia membuatnya kamu ayah dan anak bersusah hati….”

Tiat Sim tidak menyahut, ia hanya memandang seluruh kamar. Tiba-tiba ia menjadi sangat berduka, kedua matanya menjadi merah, tanpa ia dapat menahan, air matanya mengucur turun. Dengan ujung bajunya, ia susuti air matanya. Ia bertindak ke tembok, di situ ia kasih turun tombak besi yang tergantung. Ia meneliti gagang tombak itu. Tepat enam dim dekat tajamnya tombak, di situ ada terukir empat huruf “Tiat Sim Yo-sie”, yang artinya, “Istrinya Yo Tiat Sim”. Lantas ia pegang terus tombak itu, ia mengusap¬usap. Akhir sambil menghela berkata, “Tombak ini sudah karatan, tandanya sudah lama tidak pernah digunakan lagi….”

Agaknya onghui heran atas lagak-lagu orang itu. “Aku minta janganlah kau raba tombak itu,” katanya perlahan.

“Kenapakah?” Tiat Sim tanya.

“Itu barang yang aku paling hargai,” sahut si nyonya agung.

“Ah…” Tiat Sim bersuara perlahan, terus ia gantung tombak itu. Sekarang ia mengawasi lanjam yang berada di pinggir tombak itu. “Ujung lanjam ini sudah rusak, biarlah besok besok suruh Thio Bok-jie dari dusun timur memperbaikinya dengan tambah setengah kati besi…” katanya peralahan.

Mendengar kata-kata itu, tubuh onghui bergemetar. Ia berdiam aja mengawasi Tiat Sim. Sampai sekian lama baru ia dapat membuka mulutnya. “Kau… kau kata apa?” tanyanya.

“Aku bilang lanjam ini sudah rusak,” Tiat Sim menyahut, “maka besok baiklah suruh Thio Bok-jie dari dusun timur membetulkannya, dengan menambah setengah kati besi…”

Tiba-tiba saja onghui menjadi lemas kedua kakinya, ia roboh di kursi. “Kau… kau siapa?” tanyanya, suaranya menggetar. “Kenapa… kenapa kau tahu kata-kata suamiku pada malam itu saat kematiannya…?”

Hancur hatinya onghui ini yang sebenarnya bukan lain daripada Pauw Sek Yok atau nyonya Yo Tiat Sim. Rumah tangganya telah runtuh, famili pun tidak ada, mana ia percaya suaminya telah menutup mata, dengan terpaksa ia turut Wanyen Lieh pergi ke Utara. Tidak dapat ia menampik bujukan pangeran itu yang perlakukan ia dengan baik sekali, akhirnya ia serahkan dirinya dijadikan onghui atau selir. Sudah delapan belas tahun tinggal di istana, selama itu wajahnya tidak berubah banyak. Sebaliknya To Tiat Sim yang mesti hidup dalam pengembaraan, ia tidak lagi seperti masa mudanya, maka itu sekalipun mereka berada di dalam sebuah kamar, Pauw Sek Yok tidak dapat lantas mengenali suaminya.

Yo Tiat Sim tidak menjawab, ia hanya bertindak ke samping meja, menarik laci meja itu. Di dalam situ ada tersimpan beberapa potong pakaian pria, baju dan celana biru. Itulah pakaian yang ia pakai pada dulu hari. Ia jumput sepotong baju, ia kerebongi itu pada tubuhnya: “Bajuku telah cukup dipakai. Tubuhmu lemah, kau pun tengah mengandung, kau baik-baiklah beristirahat, tak usah kau membikin pakaian lagi untukku…”

Sek Yok terkejut. Ia ingat betul, itulah kata-kata suaminya dulu hari tempo ia tengah hamil membuatkan sepotong baju baru. Ia lantas bangkit, hampirkan Tiat Sim, baju siapa ia tarik, kemudian ia gulung tangan bajunya, hingga ia dapat lihat di lengan kiri orang satu tanda bekas luka. Sekarang ia tidak sangsi pula, maka lantas saja ia tubruk suaminya itu dan merangkulnya erat-erat seraya ia menangis sedih sekali.

“Aku tidak takut!” katanya kemudian. “Lekas kau bawa aku pergi…. Aku akan turut kau ke lain dunia, untuk mati bersama… Aku lebih suka menjadi setan untuk tetap berada bersama denganmu…!”

Tiat Sim rangkul istrinya, air matanya turun bercucuran. “Kau lihat, apakah aku setan?” kata suaminya ini kemudian.

See Yok memeluk erat-erat. “Tidak peduli kau manusia atau setan, tidak dapat aku lepaskan kau!” katanya. Hanya sejenak kemudian ia bertanya: “Mustahilkah kau belum mati? Mustahilkah kau masih hidup?”

Tiat Sim hendak menyahuti istrinya itu tatkala mereka mendengar suara Wanyen Kang dari luar kamar: “Mama, kenapa kau berduka pula? Dengan siapa kau bicara?” Se Yok kaget tetapi ia lantas menyahut “Aku tidak apa-apa, aku hendak tidur….”

Wanyen Kang tidak lantas pergi hanya ia jalan mengitari rumah itu. Ia menjadi curiga sebab tadi terang ia dengar suara orang bicara. Di pintu ia berhenti dan mengetok perlahan beberapa kali. “Ma, aku hendak bicara denganmu,” katanya.

“Besok saja,” sahut sang ibu. “Sekarang aku letih sekali.”

Mendapat ibunya tidak membuka pintu, siauw-ongya menjadi makin curiga. “Aku hendak omong sedikit saja, lantas aku pergi,” ia berkata pula.

Tiat Sim menduga orang bakal masuk ke dalam, ia lepaskan Sek Yok dan bertindak ke jendela dengan niat lompat keluar, tetapi ketika ia menolak, jendela itu keras, rupanya ada orang yang menahannya dari sebelah luar.

Pauw Sek Yok segera menunjuk ke lemari, maksudnya menganjurkan suaminya itu masuk ke dalam untuk bersembunyi.

Tiat Sim menurut. Ia memang tidak rela meninggalkan istrinya itu. Ia lantas bertindak ke lemari yang ditunjuk itu, untuk menjambret pintunya dibuka.

Begitu pintu lemari terpentang, tiga orang menjadi terkejut sekali. Di dalam lemari itu tampak Kwee Ceng, melihat siapa onghui menjadi tergugu, hingga ia mengeluarkan jeritan tertahan.

Wanyen Kang khawatir mendengar jeritan ibunya itu, ia takut ibunya diganggu orang jahat. Dengan pundaknya, ia segera tabrak pintu kamar itu, hingga daun pintunya mejeblak terbuka.

Sebelum orang nerobos masuk, Kwee Ceng tarik Tiat Sim masuk ke dalam lemari, yang pintunya segera tutup pula.

Wanyen Kang dapatkan ibunya bermuka pucat dan mukanya itu bermandikan air mata. Tapi di dalam kamar itu tidak ada lain orang. Ia menjadi curiga sekali. “Ma, ada terjadi apakah?” ia menanya.

“Tidak apa-apa,” sahut si ibu, yang menenangkan dirinya. “Hatiku tidak tentram.”

Putra itu menghampiri ibunya, di tubuh siapa ia menyanderkan diri. “Ma, aku tak akan main gila lagi,” katanya. “Aku minta supaya kau jangan bersusah hati. Dasar anakmu yang buruk….”

“Nah, kau pergilah,” kata ibu itu. “Aku mau tidur.”

“Ma, apakah tidak ada orang masuk ke mari?” putra itu tanya pula.

“Siapakah dia?” tanya ibunya, hatinya berdenyut.

“Orang jahat telah nyelusup masuk kedalam istana,” Wanyen Kang beritahu.

“Begitu?” tanya ibunya. “Sekarang lekas kau pergi tidur. Urusan itu kau jangan campur tahu!”

Wanyen Kang tertawa. “Tentara pengawal semuanya kantong nasi!” katanya. “Ma, baiklah, kau tidurlah!”

Putra ini memberi ucapan selamat malam, tapi disaat hendak mengundurkan diri, ia dapat melihat ujung baju di sela-sela lemari, maka kembali timbul kecurigaannya. Ia batal pergi, ia lantas ambil tempat duduk. Ia pun menuang teh ke dalam cangkir, untuk di minum dengan perlahan-lahan. Sembari minum, hatinya bekerja.

“Di dalam lemari itu ada orang sembunyi, entah ibu mengetahuinya atau tidak.” demikian pikirnya. Ia masih menghirup beberapa kali, baru ia bangkit, bertindak perlahan-lahan.

“Ma,” katanya. “Bagaimana tadi permainan tombakku, bagus atau tidak?”

“Lain kali aku larang kau menghina orang karena kau andalkan pengaruhmu,” sang ibu bilang.

“Siapa mengandalkan pengaruh, Ma?” sahut si anak. “Aku tempur itu anak tolol dengan andalkan kepandaianku.”

Ia telah sampai di tembok, tangannya diulur kepada tombak, begitu lekas ia mencekal dengan baik – yang mana ia lakukan dengan luar biasa cepat – mendadak saja ia menikam ke arah lemari. Itulah gerakan “burung hong terbang, ular naga melayang”.

Pauw Sek Yok melihat itu, kaget bukan main, hingga roboh pingsan.

Tapi Wanyen Kang telah menahan gerakan tangannya, batal menikam lemari disaat ujung tombak hampir mengenai daun pintu lemari. Ia pun lihat ibunya itu roboh.

“Ah, ibu tahu di dalam lemari ini ada orang…” pikirnya. Ia lantas senderkan tombaknya, untuk mengasih bangun ibunya. Sambil berbuat begitu, ia tetap mengawasi ke lemari.

Sek Yok sadar dengan perlahan-lahan, kapan ia dapatkan lemari tidak kurang satu apa, hatinya menjadi lega. Hanya karena kagetnya itu, tubuhnya menjadi lemah sekali.

Wanyen Kang telah menyaksikan kelakuan ibunya ini. “Ma,” katanya keras, “Aku ini anak kandungmu atau bukan?”

“Tentu saja,” sahut ibunya itu. “Kenapa kau menanya begini?”

“Kalau begitu, kenapa ada apa-apa yang disembunyikan kepadaku?” si anak bertanya pula.

Hatinya Pauw Sek Yok goncang keras. Ia pikir: “Kejadian ini mesti dijelaskan kepada anak ini, biarlah mereka ayah dan anak bertemu, habis itu barulah aku mencari jalan pendekku…. Aku telah hilang kehormatan diriku, inilah kesalahan besar yang tidak dapat diperbaiki lagi, maka dalam dunia ini tidak bisa aku hidup pula bersama Tiat Sim.”

Karena memikir ini, air matanya lantas bercucuran deras.

Wanyen Kang mengawasi ibunya, ia heran dan curiga.

“Kau duduklah baik-baik, kau dengari aku bicara,” kemudian kata si ibu.

Putra itu menurut, ia berduduk, tetapi tombaknya masih dipegang.

“Apakah kau sudah lihat itu ukiran empat huruf di gagang tombak?” Pauw Sek Yok tanya.

“Sedari aku masih kecil telah aku menanyakannya,” menjawab anak itu. “Tetapi ibu tidak hendak menjelaskan siapa Yo Tiat Sim itu.”

“Sekarang aku akan menerangkannya kepadamu,” kata ibu itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar