Kamis, 01 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 037

“Siapa sudi main-main denganmu!” Thong Hay membentak. Kembali ia menyerang sambarannya bagaikan angin.

“Bagus!” Oey Yong tertawa, seraya berkelit. “Pada tubuhku ada tiga buah cawan, kau sendiri boleh bertangan kosong! Nah mari kita adu kepandaian!”

Bukan alang kepalang gusarnya Thong Hay. Dia berusia jauh lebih tua, meski tidak sangat kesohor seperti See Thong Thian, kakak seperguruannya, toh ternama juga. Sekarang dia dipermainkan secara begini! Tanpa berpikir lagi, ia jumput sebuah cawan arak, untuk diletakkan di batok kepalanya, habis itu ia sambar dua yang lain, masing-masing dengan sebelah tangan. Kemudian, dengan sama cepatnya, ia tekuk sedikit kaki kirinya, untuk menyusul melayangkan kaki kanannya mendupak nona itu!

“Bagus! Nah ini baru namanya enghiong sejati!” Oey Yong berseru sambil tertawa, seraya ia berkelit. Belum sempat ia melanjutkan perkataannya sudah ditendang pula, kali ini berulang-ulang. Karena kedua tangan mencekal cangkir dan kepala ditaruh cangkir juga, Thong Hay tidak dapat berbuat lain kecuali menggunakan kedua kakinya.

Oey Yong repot juga, akan tetapi ia selalu dapat lompat berkelit atau mengegos tubuhnya, menyingkir dari tendangan.Iia mesti seperti memutari ruangan itu.

Nio Cu Ong memasang mata atas gerakan kakinya si nona cilik. Itulah gerakan bagaikan “Mega berjalan atau air mengalir”. Tubuh tetap tegak, tidak bergerak sedikitpun dan kedua kaki seperti ketutupan kun tetapi bergeraknya cepat. Dipihak sana, tindakannya Hauw Thong Hay cepat dan lebar.

Si nona berkelit bukan cuma main berkelit saja, saban-saban mencoba dengan sikutnya membentur lengan lawan, supaya benturannya dapat membuat arak tumpah atau ngeplok.

“Bocah ini begini lihay, sebenarnya sulit untuk melatih diri hingga begini rupa…” berpikir jago tua ini. “Hanya, lama-lama dia toh bakal menjadi bukan tandingannya Lao Hauw…”

Disaat itu, tiba-tiba Cu Ong ingin obat-obatannya, maka lenyaplah keinginan menyaksikan pertempuran, ia lari ke pintu, terus ke kamarnya, cari si pencuri obat. Tentu saja ia tidak sempat mikir bagaimana halnya dengan si pencuri obat sensiri……

Kwee Ceng belum sampai pingsan tatkala merasakan bau ular menjadi semakin hebat. Ia insyaf bahayanya apabila binatang berbisa itu sampai dapat memagut. Maka ia lantas tempel mukanya di tubuh ular itu. Oleh karena ia tidak dapat menggeraki tubuhnya, atau kaki tangannya, sekarang tinggal mulutnya yang masih merdeka. Mendadak saja ia ingat suatu. Lantas ia kuatkan hatinya, agar tidak sampai roboh pingsan, terus ia gigit leher ular itu. Binatang itu kaget dan kesakitan, dia bergerak, hingga lilitan kepada anak muda itu menjadi semakin keras.

Tanpa pedulikan apapun, Kwee Ceng menggigit terus, lalu terus menghisap, menyedot darah binatang itu. Ia tidak ambil mumat lagi binatang itu berbisa. Ia juga tidak gubris pula bau darah yang sangat tidak enak. Ia melainkan ketahui, kalau darahnya berkurang, maka tenaga binatang itu juga akan berkurang pula dan dengan begitu, lilitannya akan menjadi kendor. Itu pun artinya ia bakal lolos dari bahaya maut. Maka ia menghisap terus-terusan, hingga tanpa merasa, perutnya mulai kembung.

Dugaannya tepat. Setelah darahnya terkuras banyak, tenaga binatang itu segera menjadi berkurang, lilitannya segera kendor, atau sesaat kemudian, ia lepaskan lilitannya itu, tubuhnya pun jatuh dengan sendirinya. Sebab waktu itu, dia kehabisan tenaga, napasnya lantas berhenti berjalan!

Kwee Ceng terjatuh duduk. Tapi dia masih sadar, lekas-lekas ia empos semangatnya, untuk menjalankan napasnya beraturan. Dengan dapat bersemadhi lekas ia dapat pulang tenaganya. Hanya aneh sekarang merasakan darahnya bergerak keseluruh tubuhnya. Ia mengerti itulah darahnya ular yang lagi bekerja. Ia terus bersemadhi sampai ia merasa sangat lega hati dan tubuh. Segera setelah merasa segar betul, ia gunakan tenaganya untuk mencelat bangun.

Yang pertama diingat bocah ini adalah obat-obatan di dalam sakunya. Ia lantas meraba. Ia menjadi girang sekali. Obat-obatan itu masih ada. Karena ini, ia segera teringat pula kepada Bok Ek.

“Dia dan anak gadisnya dikurung Wanyen Kang, aku telah ketahui halnya itu, bagaimana aku tidak menolongi mereka?” demikian ia berpikir. Ia lantas bekerja. Ia tindak ke pintu, dari situ, setelah melihat ke sekitarnya, ia jalan dengan cepat ke arah kurungan Bok Ek dan gadisnya. Selagi ia mendekati kurungan, ia mendapati penjagaan kuat di situ. Tapi ia mesti bisa masuk ke dalam. Ia memutar ke belakang. Di situ ia tunggu lewatnya serdadu ronda, lalu cepat sekali ia lompat turun ke sebelah dalam. Ia hampiri kurungan. Sembari memasang kuping, melihat ke sekeliling. Tidak ada serdadu jaga di situ.

“Bok Cianpwee, aku datang untuk menolong,” ia lantas berkata dengan perlahan.

“Kau siapa, tuan?” ada jawabannya Bok Ek yang menanya.

Kwee Ceng perkenalkan dirinya.

Bok Ek pernah dengar lapat-lapat namanya Kwee Ceng itu, karena berisik dan ia pun terluka, ia tidak sempat memikirkannya, sekarang di tengah malam, ia mendengarnya dengan nyata.

“Kau…kau she Kwee?” tanyanya, menegaskan. Agaknya ia terperanjat.

“Benar,” sahut si bocah hormat, “Aku yang muda adalah orang yang tadi siang melawan si pangeran muda.”

“Siapakah ayahmu?” Bok Ek tanya pula.

“Ayahku almarhum bernama Siauw Thian,” Kwee Ceng menyahut pula.

Dengan tiba-tiba saja air mata Bok Ek mengembang dan berlinang, ia angkat kepalanya, dongak, seraya mengeluh: “Oh, Thian….Thian….” ia pun ulur keluar tangannya dari dalam jeruji, untuk mencekal tangannya si anak muda dengan erat.

Kwee Ceng merasakan tangan orang itu bergemetar dan air mata orang itu pun menetes jatuh ke belakang telapak tangannya. Ia kata dalam hati kecilnya: “Rupanya dia ketahui ada orang bakal menolong, dia menjadi girang luar biasa.” Maka ia kata dengan perlahan sekali: “Aku punya golok yang tajam, kunci dapat dirusak agar Cianpwee bisa keluar dari kerangkeng ini…”

“Ibumu she Lie, bukan?” Bok Ek menanya pula, ia seperti tidak pedulikan perkataan orang. “Apakah ibumu itu masih ada atau telah tutup mata?”

Kwee Ceng heran sehingga ia balik menanya: “Ah, kenapa Cianpwee ketahui ibuku she Lie? Ibu masih ada di Mongolia.”

Hatinya Bok Ek goncang keras, ia cekal tangan Kwee Ceng semakin keras, ia tidak hendak melepaskannya.

“Tolong, lepaskan cekalanmu, nanti aku bacok kunci ini,” Kwee Ceng bilang.




Bok Ek tetap memegangi erat. Ia seperti mendapat sesuatu yang berharga dan tak ingin itu lenyap pula.

“Ah, kau telah menjadi begini besar…” katanya menghela napas. “Ah, dengan memeramkan mata sekejapan saja, lantas aku dapat membayangkan wajah ayahmu yang telah almarhum…”

Kwee Ceng menjadi semakin heran. “Cianpwee kenal ayahku?” tanyanya.

“Ayahmu adalah kakak angkatku,” Bok Ek beritahu. “Kita telah mengangkat saudara hingga perhubungan kita erat bagaikan saudara kandung….”

Orang tua ini tidak dapat melanjutkan kata-katanya, ia menangis sesenggukan.

Tanpa terasa, air mata Kwee Ceng pun berlinang. Ia tidak tahu Bok Ek ini adalah Yo Tiat Sim, yang dulu itu, diwaktu bertempur bersama tentara negeri, sudah terluka tusukan tombak pada punggungnya, karena lukanya parah, ia roboh pingsan. Syukur untuknya, disebabkan malam dan gelap, dia tidak kena tertawan. Adalah besok paginya ia sadar, dengan merayap pergi ke rumah seorang petani di dekat tempat kejadian.

Satu tahun lebih ia merawat dirinya, baru dia sembuh. Setelah itu ia merantau mencari Lie Peng, istrinya Kwee Siauw Thian, serta Pauw See Yok, istrinya sendiri. Tentu saja ia tidak berhasil. Karena yang satu berada jauh sekali di gurun pasir, yang lain berada di Utara. Dia tidak pakai terus she dan namanya – Yo Tiat Sim – dia hanya rombak she Yo itu, di ambil bagiannya yang kiri, yaitu huruf “Bok” yang berarti “Kayu”. Tapi juga huruf “Bok” ini diganti lagi dengan huruf “Bok” yang berarti “Akur”. Dia cuma ambil suaranya saja. Dan nama “Ek” dia ambil dari huruf pecahan sebelah kanan dari huruf “Yo” shenya itu. Huruf “Yo” itu terdiri dari dua huruf “Bok = kayu dan Ek = gampang atau tukar”. Selama delapan belas tahun ia merantau. Sekarang secara kebetulan ia bertemu sama putra sahabat atau saudara angkatnya itu, cara bagaimana ia tidak menjadi bersedih hati?

Selama ayahnya itu berbicara, Bok Liam Cu akan memberi ingat serta meminta Kwee Ceng menolong mereka dulu, tentang pasang omong, itu boleh dilanjutkan lain kali, akan tetapi belum lagi ia membuka mulut, datang pikiran lain yang membuatnya berubah. Ia kata dalam hatinya: “Satu kali kita keluar dari sini, aku khawatir untuk selama-lamanya aku nanti tidak dapat bertemu dengan dia…”

Dengan “dia” yang dimaksud adalah Wanyen Kang, si pangeran muda. Dengan sendirinya, ia telah jatuh cinta kepada pangeran itu, hingga ia tak ingin pergi jauh, untuk memisahkan diri….

Kwee Ceng pun ingat bahaya yang mengancam mereka, maka ia lantas tarik keluar tangannya dari dalam kerangkeng, hanya di saat ia hendak ayun goloknya, untuk menggempur kunci, mendadak tampak sinar terang yang disusul sama suara tindakan kaki. ia terkejut, dengan sebat ia simpan goloknya, dengan gesit ia lompat sembunyi di belakang pintu.

Sekejap saja, dengan mengasih suara, daun pintu dipentang, lalu terlihat masuknya beberapa orang, di antaranya yang jalan di muka adalah yang menenteng lentera.

Kwee Ceng heran melihat orang itu yang bukan lain daripada onghui atau selirnya Chao Wang dan ibunya Wanyen Kang. Ia tidak dapat menerka orang datang dengan maksud apa. Ia memasang kuping dan matanya.

“Adakah mereka ini yang hari ini dikurung siauw¬ongya?” demikian Kwee Ceng dengar pertanyaan si nyonya mulia.

“Ya,” menyahut si opsir atau pemimpin dari beberapa pengiring nyonya itu.

“Sekarang juga merdekakan mereka!” onghui memberi titah.

Opsir itu terkejut, dia ragu-ragu, hingga tak dapat segera menjawab.

“Jikalau siauw-ongya menanyakan, bilang aku yang memerdekakan mereka,” onghui berkata pula menampak orang sangsi. “Lekas buka kuncinya!”

Sampai di situ, opsir itu tidak berani berlambat pula.

Setelah ayah dan gadis itu berada di luar kerangkeng, onghui merogoh sakunya untuk mengeluarkan dua potong emas, ia angsurkan kepada Bok Ek atau Yo Tiat Sim. Ia kata: “Nah, pergilah kamu baik-baik!”

Tiat Sim tidak menyambut emas itu, sebaliknya ia mengawasi dengan tajam.

Ditatap demikian, onghui heran. “Putraku berbuat keliru, harap kamu tidak sesalkan dia…” dia berkata lagi kemudian.

Cuma sedetik atau Tiat Sim telah ubah pikiran. Ia sambut emas itu, terus ia tuntun tangan putrinya, untuk diajak berlalu dengan tindakan lebar.

“Ha, orang kasar!” membentak si opsir. “Kamu tidak bilang terima kasih kepada onghui yang telah menolong jiwamu!”

Bagaikan tidak mendengar, Tiat Sim jalan terus.

Sampai di situ, onghui pun berlalu bersama sekalian pengiringnya.

Kwee Ceng tunggu sampai pintu sudah ditutup dan mendengar tindakan kaki onghui sudah jauh, baru ia keluar dari tempat sembunyinya, untuk keluar juga. Ia melihat ke sekeliling, tidak dapat Bok Ek dan Liam Cu.

“Pasti mereka sudah keluar dari istana,” pikirnya. Maka ia lantas menuju ke Hoa Cui Kok untuk mencari Oey Yong. Ingin ia membujuk nona itu jangan mengintai lebih lama, supaya mereka bisa lekas pergi menolongi Ong Cie It.

Baru ia tiba disebuah tikungan, Kwee Ceng lihat sinar terang dari dua buah lentera serta mendengar suara tindakan kaki yang cepat. Ia lantas lompat ke samping di mana ada gunung-gunungan dari batu, untuk umpatkan diri, kemudian ia segera dengar teguran dari orang yang jalan di paling depan. “Siapa?!” Bahkan orang itu sudah lantas lompat maju dan tangannya menyambar.

Kwee Ceng gerakkan tangannya, untuk membebaskan diri. Berbareng dengan itu, ia terkejut juga. Di antara cahaya api, ia kenali Wanyen Kang si siauw-ongya atau pangeran muda.

Wanyen Kang telah datang dengan cepat karena baru saja ia terima laporan dari opsir yang mengiringi onghui bahwa Bok Ek dan gadisnya telah dimerdekakan. Ia kaget dan kata dalam hatinya: “Sungguh lemah hati ibu, hingga tidak memperdulikan urusan besar, ia merdekakan dua orang itu. Kalau guruku ketahui ini, cara bagaimana aku dapat menyangkal?” Ia berniat memegat Bok Ek dan Liam Cu, maka ia datang dengan cepat, diluar dugaannya, ia bertemu dengan Kwee Ceng.

Pemuda she Kwee ini hendak meloloskan diri, ia membikin perlawanan. Wanyen Kang hendak menawan, dia menyerang dengan hebat. Maka itu, mereka lantas saja bertempur seru melebihi pertandingan mereka tadi siang.

Bukan main masgul dan cemasnya Kwee Ceng. Beberapa kali ia mencoba untuk meloloskan diri, saban-saban ia gagal. Tak kurang hebatnya rintangan si siauw-ongya.

Sementara itu dilain pihak, Nio Cu Ong yang menduga Oey Yong bakal kalah baru saja memutar tubuhnya atau pertandingan telah salin rupa. Hebat si nona, ia perlihatkan kepandaian yang luar biasa. Dengan satu gerakan berbareng ia membuat tiga cawan di kepala dan kedua tangannya terlepas, mumbul naik ke atas menyusul mana dengan satu lompatan enteng tetapi gesit ia menerjang pada Thong Hay dengan kedua tangannya.

Orang she Hauw ini menjadi repot. Dengan kedua tangan mencekal cawan, tidak dapat ia menangkis, maka terpaksa ia berkelit ke kiri. Justru itu, dengan kesebatannya, tangan kanan si nona menyambar pula. Kali ini, Thong Hay tidak dapat mengegos pula, terpaksa ia menangkis!

Begitu kedua tangan bentrok, begitu juga kedua cawan di tangan orang she Hauw itu tergerak, isinya lantas tumpah, membasahi lantai. Yang hebat adalah cawan di batok kepalanya, cawan itu jatuh ke lantai, pecah hancur menerbitkan suara berisik dan araknya melulahkan.

Oey Yong sudah lantas mencelat mundur, kedua tangannya menyambar kedua cawan, yang baru saja turun, sedang kepalanya menyambut cawan yang ketiga yang tadi ia letakkan di batok kepalanya. Semua terjadi dengan cepat luar biasa, semua cawan itu tidak miring, araknya tidak tumpah!

“Bagus!” seru orang banyak. Mau atau tidak, mereka mesti puji nona ini yang merebut kemenangan dengan kecerdikan dan kelincahannya.

Thong Hay sebaliknya bermuka merah, berparas bermuram durja, saking malu dan mendongkolnya. “Mari kita bertanding pula!” ia menantang.

Oey Yong bawa jari-jari tangan ke pipinya “Tak malukah kau?” dia bertanya, mengejek.

“Hm!” See Thong Thian mengasih suaranya menyaksikan adik seperguruannya itu dibikin malu secara demikian. “Budak cilik, kau licin sekali! Siapa sebenarnya gurumu!”

“Besok akan aku mengasih keterangan kepada kau!” menjawab si nona tertawa. “Sekarang aku mesti pergi dulu!”

Setahu bagaimana gerakkannya Thong Thian, tiba-¬tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke ambang pintu, untuk menghalangi di situ.

Oey Yong telah merasakan tadi bagaimana orang she See ini tanpa ia mengetahui, hingga kedua tangannya tidak dapat digerakkan lagi, sekarang ia menyaksikan cara mencelat orang, yang ada dari tipu “Menukar wujud, mengganti kedudukan”, semacam ilmu yang luhur, ia kaget sekali. Tapi ia dapat menenangkan diri, parasnya tidak menunjukkan perubahan. Ia hanya mengkerutkan kening.

“Mau apa kau menghalangi aku?” dia bertanya, berlagak pilon.

“Aku ingin ketahui kau murid siapa?” menyahut See Thong Thian. “Aku ingin ketahui untuk apa kau datang nyelusup ke istana ini?”

Sepasang alis yang bagus dari si nona bergerak bangun. “Jikalau aku tidak sudi mengasih keterangan?” tanyanya, menantang.

“Pertanyaan Kwie-bun Liong Ong harus dijawab!” sahut orang she See itu.

Oey Yong melihat ke sekitarnya. Pintu ada di belakang Thong Thian, tidak dapat ia memaksa menerobos keluar. Justru itu ia dapatkan Bio Cu Ong hendak pergi ke luar, ia lantas menegur.

“Lopepe, dia pegat aku, dia tidak mau kasih aku pulang?” katanya.

Hati Cu Ong tertarik. Suara orang merdu dan bernada minta dikasihani. Ia pun mau percaya, bocah ini bukan sembarang orang. Tanpa merasa, ia menjadi merasa suka kepada si nona.

“Kau jawablah pertanyaan See Liong Ong,” ia kata, tertawa. “Setelah kau berikan jawabanmu, dia nanti mengasih ijin kau berlalu.

Oey Yong tertawa, tetap dengan manis. “Aku justru tidak sudi menjawab dia!” sahutnya. Lantas dia hadapkan Thong Thian untuk mengancam, “Jikalau kau tidak mengijinkan aku pergi, nanti aku pergi dengan cara paksa!”

See Thong Thian tertawa dingin.”Asal kau mampu!” bilangnya.

“Tapi awas, kau tidak boleh serang aku!” berkata si nona, yang hendak menggunai pula kecerdikannya.

“Untuk memegat kau, budak cilik, buat apa See Liong Ong sampai menurunkan tangan?” katanya.

“Bagus!” seru Oey Yong. “Seorang laki-laki, satu kali ia mengucap, itu telah menjadi kepastian! Eh, See Liong Ong, kau lihat itu di sana apa?” Sembari mengucap, dia menunjuk ke arah kiri.

See Thong berpaling ke arah yang ditunjuk itu.

Oey Yong gunakan kesempatan ketika orang menoleh, tubuhnya melesat, lewat di samping jago tunggal dari sungai Hong Ho itu.

Benar-benar lihay See Thong Thian. Baru orang berkelebat, kepalanya sudah menghadang di depan si nona. Syukur si nona itu pun lihay, ia dapat menahan tubuhnya hingga ia tidak usah melanggar kepala orang itu. Ia mundur dengan cepat.

See Thong Thian mengawasi. Sekarang telah buntu jalannya si nona. Dua kali lagi ia mencoba, jago sungai Hong Ho itu senantiasa menghadang di depannya.

Nio Cu Ong menyaksikan itu, ia tertawa. “See Liong Ong, adalah satu ahli tersebar,” katanya. “Maka janganlah kau mensia-siakan tenaga, kau mengaku kalah saja!” Habis berkata, ia lantas hendak pergi, untuk lari ke kamarnya. Baru saja ia tiba di ambang pintu hidungnya sudah tercium bau yang membuatnya sangat terkejut.

“Celaka!” serunya. Ia sudah lantas nyalakan api, hingga ia menjadi tercengang. Di situ tergeletak bangkai ularnya, dan obat-obatannya kacau tidak karuan. Hampir ia menjerit menangis, karena habislah usahanya beberapa puluh tahun.

Som Sian Lao Koay bukan melainkan pandai ilmu silat tetapi pun ia paham ilmu tabib, maka kebetulan untuknya pada suatu waktu ia dapat resep yang istimewa, resep untuk membikin sehat dan kuat tubuh. Untuk ini, ia lantas pergi berkelana, untuk mencari bahan-bahan obatnya. Pula, setelah banyak kesulitan, ia telah dapatkan ular yang besar itu yang sangat berbisa. Lantas ular ini ia kasih makan pelbagai macan obat pilihan. Mulanya tubuh ular itu warnanya hitam abu-abu, setelah makan banyak macan obat, warnanya berubah menjadi merah mulus, warna merah itu menjadi marong sesudah sang ular dipiara duapuluh tahun lamanya.

Ia sudah memikir buat lagi beberapa hari akan menghisap darah ular itu, untuk membikin ia panjang umur, untuk menambah kekuatan tubuhnya, sebab ia berangan-angan untuk menjagoi dan merobohkan segala jago lainnya, siapa tahu sekarang ularnya itu binasa, malah ia ketahui juga terbinasanya ular itu sebab darahnya telah orang sedot.

Cepat setelah ia tersadar, io Cu Ong periksa tubuh ularnya itu, terutama lukanya, maka tahulah ia, musuh belum pergi jauh. Tidak bersangsi lagi, ia lari keluar, lompat naik ke atas pohon besar, untuk memandang sekitarnya, mencari si pencuri. Ia dapat melihat di dalam taman ada dua orang lagi bergumul. Bangkit hawa amarahnya, lantas ia lari ke arah taman. Sebentar saja ia sudah sampai si taman di mana Kwee Ceng dan Wanyen Kang tengah bertempur. Baru ia datang hidungnya dapat mencium bau obat tercampur bau amis yang datangnya dari arah si pemuda.

Dalam halnya ilmu silat, Kwee Ceng kalah dari Wanyen Kang, maka juga kali ini diwaktu mulai bertempur, ia sudah keteter, akan tetapi, begitu lewat beberapa jurus, datanglah perubahan atas dirinya. Mendadak ia merasa perutnya sangat panas seperti ada bola api di dalam perutnya. Disaat itu tenaganya bertambah dengan sendirinya. Satu kali ia serang Wanyen Kang, maka si pangeran menangkis, beda daripada biasanya, dia terhuyung.

“Heran, kenapa tenaganya menjadi kuat?” tanya si pangeran dalam hatinya.

Kwee Ceng pun pun terus merasakan perubahan. Tubuhnya panas hingga ia seperti tidak sanggup menahannya. Ia menjadi sangat berbahaya. Di mana-¬mana merasakan gatal pada tubuhnya.

“Kali ini habislah jiwaku…” pikirnya. “Tentulah bisa ular mulai bekerja…”

Ingat bisa ular, hatinya menjadi kecil. Ia pun menjadi alpa, hingga dua kali bebokongnya kena dihajar si pangeran yang sudah dapat memperbaiki dirinya. Tapi juga penyerangan ini mendatangkan perubahan lain. Biasanya kalo ia kena diserang, merasa sakit, tetapi sekarang, bukannya ia merasa sakit, hanya gatal, dan enak sekali rasa gatal itu. Ia menjadi heran berbareng girang, hingga sengaja ia membuatnya lowongan, sampai Wanyen Kang dapat menyerang sepuasnya. Tidak sedikit pun ia merasakan sakit lagi.

Siauw-ongya itu turut menjadi heran, karena pelbagai pukulannya tidak menyebabkan orang kesakitan atau roboh. “Kenapa sekalipun dengan pukulan yang membahayakan aku tidak dapat melukai dia?” pikirnya.

Sedang Kwee Ceng berpikir: “Heran, kenapa pukulannya empuk sekali, dia seperti meggaruki gatalku?”

Adalah aturan dari resepnya io Cu Ong itu, siapa habis minum darah ular, tubuhnya mesti dipukuli, supaya dengan begitu, hawa darah itu buyar, supaya racunnya tidak bekerja lagi, setelah mana, tubuh orang yang bersangkutan menjadi tambah kuat. Maka itu kebetulan sekali Kwee Ceng bertempur sama Wanyen Kang. Siauw-ongya tidak ketahui rahasia itu, tidak heran kalau ia menjadi bingung.

Tatkala Nio Cu Ong tiba, telah cukup lama Kwee Ceng terhajar, maka itu tubuhnya menjadi kuat luar biasa, pelbagai pukulan Wanyen Kang menjadi tidak ada artinya. Menyaksikan itu, Cu Ong menjadi menyesal berbareng penasaran dan mendongkol.

“Hai, bangsat anjing!” dia menegur. “Siapa yang anjurkan kau mencuri ularku?!” Dia percaya, sebagai bocah Kwee Ceng tentunya tidak ketahui rahasia resepnya itu, mestinya si bocah diberi petunjuk oleh seorang berilmu, yang entah siapa.

Kwee Ceng memang tidak tahu apapun mengenai resep itu atau darah ular yang ia minum, oleh karena itu ia gusar telah dicaci.

“Bagus, kiranya kau yang piara ular berbisa itu!” ia berseru. “Aku sekarang telah terkena bisanya binatang jahat itu, hendak aku mengadu nyawa denganmu!” Ia lompat maju untuk menyerang jago dari Kwan-gwa.

Nio Cu Ong merasakan pula sambaran bau obat dan amis dari ular, yang keluar dari baju atau tubuh Kwee Ceng, mendadak hatinya menjadi panas, lantas timbul pikirannya yang kejam. Ia pikir: “Dia telah minum darah ularku, baik aku bunuh dia, untuk sedot darah dari tubuhnya, mungkin kekuatan obat masih ada atau mungkin kekuatan itu bertambah besar…” Karena ini, ia menjadi girang, lantas ia menyambut serangan. Dengan lantas ia dapat menangkap tangannya si anak muda.

Tenaga Kwee Ceng telah bertambah luar biasa, maka ketika ia mengibaskan tangannya, untuk ditarik, tangan itu segera terlepas dari cekalan lawan.

Nio Cu Ong tidak menjadi heran ia tidak bisa mencekal terus tangannya bocah itu, ia lantas menggunakan akal. Ia menanti lain serangan, lalu ia menangkap pula. Kali ini ia menunggu sampai orang berontak, segera ia gunakan kakinya untuk menggaet.

Jago ini lihay berlipat kali dari kwee Ceng, ia tentu dapat berbuat sesukanya terhadap anak muda itu, yang kalah pandai dan kalah pengalaman, kalah cerdik juga. Begitulah ketika kakinya kena digaet, Kwee Ceng roboh dengan segera. Lantas Cu Ong menubruk, untuk memegang keras pundak orang, yang ia tekankan kepada tanah, setelah mana ia majukan mukanya ke arah leher, untuk menggigit leher itu, guna menyedot darah ularnya.

Sementara itu Oey Yong di dalam Hoa Cui Kok masih tidak dapat menerobos penjagaan See Thong Thian, biarpun sangat lincah, semua percobaannya sia-sia belaka. Sebenarnya, kalau Thong Thian menghendaki, dengan gampang ia bisa bekuk nona itu, dengan mencekal tangannya, tetapi di depan Chao Wang, dia hendak pertontonkan kepandaiannya, dia sengaja permainkan nona itu.

Oey Yong menjadi cemas. Akhirnya ia berhenti mencoba. “See Liong Ong,” katanya, untuk menggunakan akal pula, “Asal aku dapat lolos, kau tidak dapat mengganggu pula padaku. Akurkah kau?”

“Asal kau dapat molos, aku menyerah kalah!” Thong Thian jawab.

Oey Yong lantas menghela napas. “Sayang, sayang….” katanya dengan masgul. “Sayang, ayahku cuma ajarkan aku menyerang masuk, dia tidak mengajarkan aku ilmu menerjang keluar.....”

“Apakah itu menyerang masuk dan menerjang keluar?” tanya See Thong Thian. Biar bagaimana, ia belum pernah dengar hal ilmu masuk dan keluar itu.

"Itulah ilmu untuk merobohkan kau,” sahut si nona.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar