Rabu, 30 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 036

Oey Yong berlaku tenang. Ia kenal dua orang itu, dua dari keempat Hong Ho Su Koay, yaitu Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong. Mereka ini sebaliknya tidak mengenalinya, yang telah dandan sebagai asalnya, seorang gadis. Hanya melihat Kwee Ceng, mereka tercengang, lantas mereka seraya angkat tangan. Tapi sejenak itu, tidak dapat mereka menyerang dengan golok dan cambuk mereka. Tiba-¬tiba saja iga mereka kaku. Karena dengan kesebatannya yang luar biasa, Oey Yong sudah totok mereka.

Kwee Ceng kagum bukan main. Ia berada di samping si gadis tapi ia tak sempat melihat gerakan tangan orang. Mendadak ia ingat kejadian di rumah makan di Kalgan, waktu kawanan nona-nona serba putih hendak merampas kudanya, tahu-tahu mereka itu roboh tak berkutik.

“Pastilah mereka telah terkena tangan lihay dari si Yong ini,” pikirnya lebih jauh.

“Eh, kau pikirkan apa?” menegur si nona sambil tertawa menampak orang termenung. Ia lantas saja tarik Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong ke belakang pot-pot kembang, untuk disembunyikan, kemudian ia tarik tangan si pemuda, untuk menyusul si pengurus.

Di depan Hoa Cui Kok, Oey Yong tolak tubuh si pengurus, lalu ia masuk, bersama Kwee Ceng lantas lompat naik ke payon, mengintai dari jendela, hinngga mereka dapat melihat jelas ke dalam.

Terang sekali ruang dalam itu di mana ada sebuah meja penuh dengan pelbagai barang hidangan dan arak, tetapi yang membuat Kwee ceng terperanjat adalah ketika matanya bentrok sama hadirin yang duduk mengitari meja itu, sampai hatinya berdenyutan. Ia lihat dan mengenal Auwyang Kongcu dari pek To San, Kwie-bun Liong-ong See Thong Thian, Sam¬tauw-kauw Hauw Thong Hay, Som Sian Lao-koay Nio Cu Ong dan Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw. Menemani mereka itu, duduk di sebelah bawah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, Liok-hong-cu atau pangeran keenam dari negara Kim. Duduk di samping, di atas kursi tay-su-ie yang besar dan tebal amparnya, Tay-cu-in Leng Tie Siangjin, kedua mata siapa terbuka sedikit dan mukanya bagaikan kertas kuning, suatu tanda lukanya tak enteng.

Diam-diam Kwee Ceng girang sekali, ia berkata di dalam hatinya: “Kau hendak mencelakai Ong Totiang, kau juga dapat merasakan enak….”

Si pengurus bertindak masuk untuk terus berlutut di depan Nio Cu Ong, kedua tangannya mempersembahkan suratnya siauw-ongya.

Nio Cu Ong menyambut, ia baca surat itu, terus ia awasi si pembawa surat, kemudian ia angsurkan surat itu kepada Wanyen Lieh. “Ongya, benarkah ini tulisannya siauw-ongya?” ia tanya.

Chao Wang membaca surat itu, ia mengangguk. “Benar,” katanya. “Berikanlah dia obat itu.”

Nio Cu Ong menoleh kepada kacung di sisinya. “Tadi siauw-ongya ada mengirimkan empat macam rupa obat,” katanya. “Kau ambilkan masing-masing itu satu tail, berikan kepada koankee ini.”

Bocah itu menyahut, lalu ia ajak si koankee atau pengurus itu mengundurkan diri. Kwee Ceng berbisik di kupingnya Oey Yong: “Mari kita pergi, lekas! Semua mereka itu sangat lihay!”

Oey Yong tertawa perlahan, ia menggeleng kepala. Oleh karena ia menggoyang kepalanya, rambut si nona mengenai muka si pemuda, hingga Kwee Ceng merasa gatal dari muka terus ke hatinya.

Pemuda ini tidak hendak berbantahan, ia hanya lantas gerakkan tubuhnya melompat turun. Baru bergerak, si nona sambar tangannya, untuk ditahan. Untuk itu, nona itu mesti menyantel keras kedua kakinya pada payon, habis mana perlahan-¬lahan ia kasih turun tubuh si pemuda.

Kwee Ceng terkejut, di dalam hatinya ia kata, “Ah, aku semberono sekali. Tidakkah ini berbahaya? Bukankah orang-orang di dalam itu lihay semua? Jikalau aku berlompat mundur, bagaimana mereka tidak dapat memergokinya?” ia insyaf, dasar baru masuk dalam dunia kangouw, ia kurang berpengalaman. Lantas ia ikuti si pengurus dan kacung itu. Satu kali ia menoleh ke belakang, Oey Yong masih belum turun, masih bergelantungan nona itu mengawasi ke dalam ruangan.

Oey Yong tidak segera berangkat. Untuk mencari tahu orang di dalam ketahui tentang dirinya atau tidak, ia mengintai terus. Ia lakukan itu setelah ia lihat Kwee Ceng pergi belasan tembok jauhnya. Ketika ia mengawasi ke dalam, sinar matanya bentrok sama sinar mata tajam dari Pheng Lian Houw, yang kebetulan berpaling. Ia tidak berani mengawasi terus, ia hanya memasang kuping.

Seorang yang suaranya serak, berkata; “Saudara¬-saudara, bagaimana pandangan kamu mengenai Ong Cie It? Adakah ia datang dengan maksud sengaja atau itu cuma kebetulan saja?”

“Peduli ia datang dengan sengaja atau bukan!” berkata seseorang, yang suaranya nyaring dan keras sekali. “Dia telah merasai tangannya Leng Tie Siangjin, jika tidak mampus, sedikitnya ia mesti cacad seumur hidup!”

Oey Yong lantas mengawasi pula. Ia dapatkan orang itu adalah Pheng Lian Houw yang matanya tajam, yang tubuhnya kate dan kecil.

Seorang yang suaranya tedas sekali, berkata sambil tertawa; “Selama aku berada di wilayah Barat, aku pernah dengar namanya Coan Cin Cit Cu yang kesohor itu, sekarang terbukti mereka benar-benar lihay, coba Leng Tie Siangjin tidak menghadiahkan dia pukulan Tay-ciu-in, pastilah hari ini kita roboh di tangan mereka.”

Seorang yang suaranya keras tetapi dalam berkata; “Auwyang Kongcu, janganlah kau menempeli emas di mukamu….. Kita berdua pihak sama-sama nampak kerugian, siapa juga tidak ada yang menang…”

Orang yang dipanggil Auwyang Kongcu itu berkata pula: “Biar bagaimana, kalau ia tidak kehilangan jiwanya, dia bakal bercacad. Siangjin cuma perlu beristirahat sekian waktu.”

Sampai di situ, tuan rumah mempersilahkan tetamunya mengeringi arak mereka.

Habsi itu terdengar seseorang berkata: “Tuan-tuan telah memerlukan datang dari tempat yang jauh, atas itu siauw-ong sangat berterima kasih. Sungguh inilah keberuntungan dari Negara Kim yang tuan-tuan telah dapat diundang!”

“Dia tentulah Chao Wang Wanyen Lieh,” pikir Oey Yong.

Atas kata-kata itu, beberapa orang perdengarkan suara yang merendah.

Setelah itu, terdengar pula suaranya Chao Wang: “Leng Tie Siangjin adalah paderi suci mulia dari Tibet, Nio Losianseng adalah guru silat kenamaan Kwan¬gwa, Auwyang Kongcu biasa hidup berbahagia di wilayah Barat dan belum pernah datang ke Tionggoan. Pheng Ceecu jago dari Tionggoan dan See Pangcu jago dari sungai Hong Hoo. Dari lima tuan-tuan, satu saja sudi datang membantu, pasti usaha besar dari Negara Kim bakal berhasil, apapula sekarang lima-¬limanya telah datang semua. Hahahaha!”




Agaknya bukan main gembiranya pangeran itu.

“Jikalau ongya ada titah apa-apa, pasti kami akan lakukan itu dengan sepenuh tenaga kami,” berkata Nio Cu Ong sambil tertawa. “Apa yang dikhawatirkan adalah tenagaku tidak cukup nanti dan mensia-siakan kepercayaan ongya yang dilimpahkan kepada kami. Jikalau itu sampai terjadi, pastilah kami akan kehilangan muka.” Ia pun lantas tertawa.

Kelima orang itu adalah bangsa jago dari beberapa puluh tahun, maka itu meskipun mereka bicara secara merendah, masih tetap tak hilang sifat jumawanya.

Chao Wang mengangkat pula cawannya, mempersilahkan mereka minum. Terus ia kata: “Siauw-ong telah mengundang tuan-tuan, pasti sekali siauw-ong akan menaruh kepercayaan kepada tuan-¬tuan, urusan bagaimanapun besarnya, tidak akan siauw-ong sembunyikan, dilain pihak, apabila tuan-tuan telah ketahui segala apa, aku percaya tidak akan tuan-tuan beritahukan itu kepada orang lain, untuk mencegah pihak yang bersangkutan nanti mendapat ketahui dan dapat bersiap sedia….”

Semua orang itu mengerti maksudnya pangeran ini, yang mempercayai mereka tetapi secara tidak langsung masih memesan untuk mereka menyimpan rahasia itu.

“Baik Ongya tetapkan hati, kami tidak akan membikin rahasia bocor,” kata mereka. Dengan sendirinya mereka itu tegang hatinya. Mereka percaya, Chao Wang bakal percayakan mereka satu rahasia besar.

“Di tahun Thian-hwee ketika Sri Baginda Thay Cong dari Negara Kim,” berkata pula Chao Wang kemudian, “Itulah tahun Soan-hoo ketujuh dari Kaisar Hiw Cong dari Keluarga Tio. Ketika itu dua Panglima besar kami ienmeho dan Kanlipu telah pimpin angkatan perangnya menerjang kerajaan Song, mereka berhasil menawan kedua Kaisar Hwie Cong dan Kim Cong dari kerajaan musuh itu. Sejak jaman dahulu, belum pernah negeri kami sekuat itu, walaupun demikian, sampai sekarang ini, Keluarga Tio itu yang tetap duduk sebagai raja di Hangciu. Tahukah tuan-tuan sebab dari pada itu?”

Semua orang terdiam. Mereka heran raja muda itu membicarakan urusan negera. Cuma Nio Cu Ong yang lantas memohon penjelasan.

“Dunia telah ketahui kerajaan kami telah berulang-ulang kalah di tangan Gak Hui, tentang ini tak usah disembunyikan lagi,” berkata pula Chao Wang. “Wunchu, panglima kami, pandai mengatur tentara, akan tetapi menghadapi Gak Hui, dia selamanya kena dipecundangi. Benar kemudian Gak Hui dapat dibinasakan Cin Kwee yang dititahkan pemerintah kami, akan tetapi tenaga kami sudah lemah, kami tidak sanggup lagi berperang ke Selatan. Atas ini, aku tidak puas, tanpa mengukur tenaga sendiri, ingin aku mendirikan suatu jasa besar untuk negaraku. Untuk ini, tidak dapat tidak, aku mebutuhkan bantuan tuan-tuan.”

Orang saling memandang, bagi mereka belum jelas maskudnya raja muda ini. Mereka bukan orang peperangan tukang merobohkan atau merampas kota.

Chao Wang tampaknya sangat puas den bernafsu ketika ia berbicara pula, suaranya sedikit menggetar. Katanya: “Baru beberapa bulan yang lalu, diluar dugaanku, aku telah dapat menemui sebuah surat peninggalan pemerintahku yang dulu. Itulah suratnya Gak Hui yang bunyinya luar biasa. Selang beberapa bulan, barulah aku dapat terka maksudnya surat itu. Gak Hui menulis itu ketika ia dipenjarakan. Rupanya ia mengerti bahwa ia tidak bakal hidup lebih lama lagi, tetapi ia sangat mencintai negaranya, maka ia tinggalkan warisannya itu. Itulah surat yang merupakan rahasia ilmu perang, bagaimana harus mendidik tentara dan berperang. Ia mengharapkan warisannya itu terjatuh di dalam tangan seorang yang nanti bisa pakai itu untuk melawan negara Kim. Tapi Cin Kwee menjaga keras sekali, sampai hari matinya Gak Hui, surat itu tidak dapat diberikan kepada orang luar.”

Para hadiran sangat tertarik hatinya, sampai mereka melupakan arak dan barang hidangan mereka. Oey Yong pun ketarik hatinya.

“Gak Hui mengetahui warisan itu tidak dapat diloloskan, ia terus simpan itu ditubuhnya,” Chao Wang melanjutkan. “Sebagai gantinya, ia meninggalkan sepucuk surat warisan, yang bunyinya tidak keruan junterungannya. Cin Kwee mempunyai kepandaian sebagai conggoan, ia masih tidak dapat menangkap artinya surat wasiat itu, maka surat itu dikirim ke negriku. Selama beberapa puluh tahun, surat itu disimpan di dalam istana. Dipihak kami juga tidak ada yang bisa mengartikan surat itu, orang hanya menduga, saking berduka dan penasaran, disaat-saat kematiannya, Gak Hui menulis ngaco belo. Tidak tahunya, itu adalah sebuah teka-teki istimewa.”

Orang heran tetapi sekarang mereka memuji kecerdikan Chao Wang itu.

“Gak Hui begitu pandai, kalau kita bisa dapatkan surat warisan ilmu perangnya itu, bukankah gampang untuk negaraku mempersatukan benua ini?” berkata Chao Wang.

Mendengar itu barulah semua orang dapat menerka maksudnya pangeran ini. Mereka pada berkata dalam hati masing-masing. “Kiranya Chao Wang mengundang kita untuk minta menjadi pembongkar kuburan…”

“Turut dugaanku semula, surat wasiat itu mestinya dibawa Gak Hui ke dalam liang kubur,” Chao Wang berkata pula. Ia berdiam sebentar, agaknya ia berpaling. “Tapi….Tuan-tuan adalah orang-orang gagah, mustahil aku nanti meminta tuan-tuan mencuri dengan membongkar kuburan? Di samping itu, ada satu keberatan lainnya. Gak Hui itu memang musuh negaraku, tetapi ia adalah orang gagah dan setia, satu pencinta negara, siapa pun menghormatinya, dari itu, cara bagaimana aku berani mengganggu kuburannya? Karena ini, aku lantas memikirkannya terlebih jauh. Aku pun telah membongkar surat-surat kerajaan Song, yang telah dikirim semenjak dulu-dulu. Diakhirnya, aku telah berhasil memperoleh suatu sumber lain. Ketika itu Gak Hui menjalankan hukuman mati di paseban Hong Po Teng, dia dikubur di tepinya jembatan Ciong An Kio di dekat paseban itu, baru kemudian kaisar Song Hauw Cong memindahkan kuburannya ke tepi telaga See Ouw, dimana pun didirikan sebuah rumah abu untuknya. Dilain pihak, pakaian dan kopiahnya Gak Hui disimpan di tempat lain, di kota raja Lim¬an. Karena itu tidak gampang untuk mencari surat wasiat itu. Sekarang ada rahasia yang tidak boleh didengar orang lain, atau orang nanti mendahului kita mengambilnya. Harus diketahui di wilayah Selatan ada banyak sekali orang-orang gagah. Maka itu, setelah memikir lama, tidak ada jalan bagiku kecuali mengundang tuan-tuan, yang terhitung orang-orang Rimba Persilatan kelas satu.”

Mendengar ini, para hadiran pada mengangguk.

“Pernah aku menduga, mungkin surat wasiat itu telah diambil orang lain,” Wanyen Lieh berkata lebih jauh. “Bukankah pakaiannya Gak Hui itu telah dipindahkan? Ada kemungkinan, selama perpindahan itu, suratnya diambil orang. Hanya kalau surat itu sampai ada yang ambil, orang itu mesti mengerti kepentingannya. Siapa yang menghormati Gak Hui, dia tentu tidak berani menggangu pakaiannya. Aku percaya, belum ada orang lain yang mengetahuinya. Kalau kita sudah sampai di sana, aku percaya, kita bakal dapatkan surat itu. Memang, kalau dikata sukar, sukarnya bukan main, akan tetapi di mata orang lihay, gampangnya bukan buatan. Sebenarnya surat wasiat itu disimpan di…..”

Baru Chao Wang mengucapkan sampai di situ, tiba-¬tiba pintu ruang ada yang tabrak hingga terbuka terpentang, lalu seseorang terlihat menebros masuk, matanya bengkak dan mukanya matang biru. Dia lantas lari ke Nio Cu Ong. “Suhu…!” dia berseru, lantas suaranya tertahan. Segera orang kenal, dia adalah kacung yang tadi Nio Cu Ong titahkan pergi mengambil obat……

Kwee Ceng telah terus ikut si pengurus bersama si kacung pergi untuk mengambil obat. Jalanan ada berliku-liku. Selama itu ia masih terus mengancam si pengurus, yang khawatir nanti jatuh atau main gila. Akhirnya mereka tiba di tempatnya Nio Cu Ong. Kacung itu membuka pintu, ia masuk ke dalam dan menyulut lilin.

Begitu ia berada di dalam kamar, Kwee Ceng lihat obat-obatan memenuhi meja, pembaringan dan lantai. Di situ pun ada banyak botol dan guci, besar dan kecil. Rupanya Nio Cu Ong gemar sekali membuat obat-¬obatan.

Kacung itu rupanya mengerti obat-obatan, ia sudah lantas mengambil kertas, untuk menjumput empat rupa obat yang dibungkus masing-masing. Terus ia serahkan pada si koanke. Tapi Kwee Ceng yang tak tahan sabar, sudah lantas mengulur tangannya, sambut obat-obatan itu, tanpa pedulikan si koanke, bertindak untuk pergi lebih dulu. Si koankee itu cerdik, walaupun ia telah terluka, pikirannya bekerja. ia sengaja jalan perlahan. Ia tunggu sampai Kwee Ceng dan si kacung sudah keluar dari kamar, dengan sebat ia tiup padam api lilin, segera ia sambar daun pintu, untuk digabruki dan dikunci, menyusul mana ia berteriak-teriak: “Ada penjahat! Ada penjahat!“

Kwee Ceng terkejut, ia memutar tubuh, mencoba membuka pintu tetapi sia-sia belaka, ia sudah ketinggalan. Ia gusar dan terburu nafsu, selagi begitu si kacung sambar bungkusan obat di tangannya, bungkusan mana terus dilemparkan ke empang di dekat mereka.

Kacung itu adalah muridnya Nio Cu Ong, dia masih kecil tetapi cerdik, mendegar teriakannya si koanke, dia menjadi kaget dan heran, kemudian dia menjadi curiga, maka ia rampas obat itu dan dibuang.

Dalam gusarnya, kwee Ceng kerahkan tenaganya menghajar pula pintu kamar. Kali ini daun pintu dapat digempur terbuka. Dalam sengitnya, ia serang si koanke yang segera roboh tanpa dapat membuka suara. Tempo Kwee Kwee Ceng menoleh, si kacung sudah lari. Dalam murkanya, ia lompat untuk mengejar, segera ia berada di belakang kacung itu, pundaknya ia jambret.

Kacung itu dapat dengar suara menyambar, ia berkelit sambil mendak, lalu seraya memutar tubuh, ia membalas menyerang dengan sapuan kakinya.

Kwee Ceng jadi tambah penasaran, setelah berkelit, ia menyerang dengan hebat. Dua kali kacung itu kena dihajar mukanya, cuma sebab ia masih keburu membuang mukanya, dia tak sampai roboh. Adalah kemudian, setelah kepalanya disampok, dia roboh pingsan.

Dengan satu dupakan, Kwee Ceng bikin tubuh si kacung terlempar ke tempat tumbuh rumput didekatnya, habis itu ia lari ke dalam kamar. Ia lantas menyalakan api. Terlihat si koanke masih rebah tanpa berkutik. Ia mengawasi obat, ia menjadi bingung. tadi ketika si kacung mengambil obat, dia tidak perhatikan darimana orang mengambilnya. Pun nama obat yang tertempel di peles obat tidak dapat ia baca, sebab itu ditulis dalam huruf-huruf Nuchen. Tapi ia mesti bekerja cepat, tidak bisa ia memikir lama-lama.

“Tadi kacung ini berdiri di dekat sini, baik aku ambil semua obat ini, sebentar Ong Totiang yang pilih sendiri,” pikirnya kemudian. Maka ia lantas ambil kertas, ia membungkus setiap obat.

Karena ia bekerja cepat, tanpa sengaja Kwee Ceng kena langgar sebuah keranjang di sampingnya. Ketika itu jatuh ke lantai, tutupnya terbuka. Betapa kagetnya, ia lihat isi keranjang adalah sebuah ular besar yang tubuhnya merah mulus. Malah ular itu segera menyambar!

Kwee Ceng kaget, syukur ia masih sempat melompat. Sekarang ia dapat melihat dengan tegas, tubuh ular sebesar cangkir, separuh tubuhnya masih ada di dalam keranjang, jadi belum ketahuan berapa panjangnya tubuh ular itu. Yang aneh adalah itu warna merah mulus. Lidah ular, yang diulur keluar, bercabang dua, lidah itu bergerak-gerak tak hentinya.

Selagi mundur, Kwee Ceng membentur meja, lilin di atas meja roboh dan padam, maka ruangan menjadi gelap-gulita. Tapi obat telah didapat, ia lantas lari ke pintu untuk mengangkat kaki. Tiba-tiba ia merasakan kakinya disambar dan dipeluk, mirip dengan libatan dadung/tali, saking kaget, ia melompat untuk meloloskan diri. Tapi ia dapat berhasil. Sebaliknya ia lantas merasakan barang adem mengenai lengannya. Kembali ia menjadi kaget. Ia tahu sekarang ia telah dililit ular. Tapi ia tak hilang akal, dengan tangan kirinya ia cabut golok emas hadiah Jenghiz Khan. Disaat itu, ia merasakan bau obat tercampur bau amis menyambar hidungnya, mukanya terasa dingin. Itulah ular yang telah menjilati mukanya!

Sekali lagi ia kaget tak terkira! Tak sempat ia menghunus goloknya, dengan tangan kirinya ia sambar leher ular untuk dipencet.

Ular itu agaknya kaget, dia bertenaga besar, sebelum lehernya tercekik, ia pentang mulutnya, untuk mencoba menggigit muka Kwee Ceng. Dilain pihak, ia melibat dengan mengerahkan tenaganya, hingga Kwee Ceng lantas merasa tubuhnya terlilit keras, sampai napasnya mulai sesak bahkan tenaga tangan kirinya mulai berkurang. Baunya ular itu sangat mengganggu pernapasan si anak muda, hingga ia menjadi mual, hendak muntah. Sejenak kemudian, ia kehabisan tenaga, ia seperti hendak pingsan, cekikan tangan kirinya terlepas sendirinya…..

Adalah disaat itu dilain pihak si kacung telah sadar dari pingsannya. Dia mendapatkan kamar gelap sekali. Dia tahu, orang jahat itu tentu telah kabur. Maka tidak ayal lagi, ia lari keluar dari kamar, kabur kepada gurunya itu.

Oey Yong terkejut akan mendengar keterangan si kacung, dengan gerakan “Burung meliwis turun di pasir datar”, dengan enteng sekali, ia lompat turun. ia menaruh kaki tanpa menerbitkan suara. Meski begitu, tak urung ia telah kepergok. Inilah sebabnya, segera setelah keterangan si kacung, semua orang menjadi curiga. Mereka memang semuanya orang-orang lihay. Sejenak saja tubuh io Cu Ong sudah mencelat keluar, bahkan segera ia menghadang si nona. Dia lantas menegur; “Siapa kau?”

Oey Yong menginsyafi bahaya. Ia tahu orang lihay. Disamping dia ini, masih ada yang lainnya. Maka ia hendak menggunakan akal. Untuk ini ia cerdik sekali. Tiba-tiba saja ia tertawa dengan manis.

“Bunga bwee ini indah sekali, maukah kau memetiknya setangkai untukku?” ia berkata kepada orang she Nio itu, jago dari Kwan-gwa.

Nio Cu Ong tercengang. Tidak ia sangka bakal menghadapi seorang gadis, yang begitu cantik manis, suaranya halus dan merdu. Tanpa merasa ia mengulurkan tangannya, memetik setangkai bunga, terus diangsurkan kepada si nona.

Oey Yong menyambut. “Loya-cu, terim kasih!” katanya, kembali tertawa dengan suaranya yang halus merdu itu.

Di ambang pintu berkumpul semua orang lainnya, mereka berdiri mengawasi kedua orang itu. Ketika Oey Yong lantas memutar tubuhnya, untuk berlalu.

“Ongya,” Pheng Lian Houw menanya, “Adakah nona ini, nona dari istana ini?”

“Bukan,” menjawab Wanyen Lieh sambil menggelengkan kepala.

Hanya dengan menjejak dengan kakinya yang kiri, Lian ouw sudah mencelat ke depan si nona.

“Tunggu nona!” katanya, “Aku pun akan memetik setangkai bunga untukmu…!” Terus ia ulur tangannya yang kanan, hendak menangkap lengan orang, tetapi sebat luar biasa, ia ubah tujuan, untuk meraba buah dada si nona.

Oey Yong kaget bukan main. Ia sebenarnya hendak berpura-pura tidak mengerti ilmu silat. ia gagal. Lian Houw, sebagai jago di antara berandal di Hoopak, adalah sangat tajam matanya dan cerdik. Tidak bisa lain, ia gerakkan tangan kanannya, jari tangannya menyambut tangan jago itu.

Lian Houw terperanjat waktu ia merasakan getaran di jalan darahnya koik-tie-hiat, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya, dengan begitu dia dapat lolos dari bahaya. Dia menjadi heran, nona demikian muda tetapi demikian lihay, dia pun tak kenal ilmu silat si nona itu. Tentu saja ia tidak ketahui kepandaian Oey Yong dapatkan sebagai warisan, namanya Totokan Bunga Anggrek.

Yang lain-lain pun terkejut dan heran.

“Nona, kau she apa?” Lian Houw lantas menanya, “Siapakah gurumu?”

“Bukankah bunga bwee ini permai sekali?” tanya Oey Yong sambil tertawa. Ia terus berlagak pilon, ia tidak menunjukkan kagetnya tadi. “Bukankah kau menghendaki aku menancapnya di dalam pot?”

Sikap ini kembali membuat orang heran dan menjadi menduga-duga.

“Kau dengar apa tidak, apa yang kami tanya?” Lian Houw menegur. Ia tidak sabaran, dia lantas menunjukkan kesembronoannya dengan campur bicara. “Apakah itu yang kau bicarakan?” balik tanya Oey Yong, tertawa.

Justru itu, Pheng Lian Houw dapat mengenali si nona ini adalah si nona yang diwaktu siangnya sudah mempermainkan Hauw Thong Hay, cuma waktu itu orang menyamar menjadi satu bocah dekil.

“Lao Houw, apakah kau tidak kenal nona ini?” ia tanya sahabatnya. Ia tertawa.

Thong hay tercengang. Lantas ia awasi si nona, dari atas sampai bawah dan sebaliknya. Cepat sekali, ia mengenalinya. Mendadak saja hawa amarahnya meluap.

“Ha, anak busuk!” dia mendamprat. Dia pun terus pentang kedua tangannya untuk menubruk.

Dengan berkelit ke samping, Oey Yong bebaskan dirinya. Tapi di sini ia dipapaki See Thong Thian, yang tubuhnya tahu-tahu berkelebat dan tangannya menyambar ke lengan. “Kau hendak lari ke mana?” menegur Kwie-bun Liong Ong.

Oey Yong terkejut. Ia tidak menyangka lengannya bisa disambar secara demikian. Tapi ia tidak gugup, ia pun tidak kekurangan akal. Dengan dua jari dari tangan kirinya ia menotok kedua mata si orang she See itu.

Hebat See Thong Thian itu, hampir tak nampak bagaimana ia geraki tangannya, juga tangan kiri si nona sudah lantas kena dia cekal.

“Tidak tahu malu!” mendamprat Oey Yong, yang kaget sekali.

“Tidak tahu malu apa?!” balik tanya See Thong Thian.

“Tua bangka menghina anak kecil! Laki-laki menghina anak perempuan!” Oey Yong menyahuti.

See Thong Thian terperanjat. Dia memang seorang tua dan kenamaan juga. Memang, dengan perbuatannya ini, terang dia telah menghina anak kecil, seorang anak perempuan…..

“Masuk ke dalam!” katanya seraya kendorkan cekalannya.

Oey Yong tahu tidak dapat ia menolak, ia lantas turut masuk.

“Nanti aku bikin dia bercacad dulu baru kita bicara!” kata Hauw Thong Hay, yang ada sangat mendongkol. Dia terus maju, untuk menanyakan kata-katanya itu.

“Tanyakan dulu, siapa gurunya dan siapa yang menitah datang ke mari!” berkata Pheng Lian Houw.

Hauw Thong Hay tidak pedulikan jago dari Hoopak itu, sebelah tangannya sudah lantas melayang.

Oey Yong berkelit. “Benar-benarkah kau hendak menurunkan tangan?” ia menanya.

“Aku hendak cegah kau melarikan diri!” jawab Thong Hay. Dia paling takut si nona minggat, karena terang sudah, dia bakalan tidak dapat mengejar….

“Jikalau kau benar hendak adu kepandaian dengan aku, baiklah!” kata Oey Yong yang sikapnya sabar tapi rada mengejek. Ia terus mengisikan enam buah cawan arak di atas meja. Cawan yang satu ia letakkan di batok kepalanya dan dua yang lain ia cekal di antara kedua tangannya. Lantas ia menantang: “Beranikah kau mencontoh aku ini?”

“Setan alas!” berseru orang she See itu, jago tunggal dari sungai Hong Hoo.

Oey Yong tidak mengambil mumat, ia memandang kepada orang banyak. Ia kata, “Aku tidak bermusuhan dengan tuan ini, bagaimana jadinya apabila aku keliru menggerakkan tangan dan kena melukainya?”

Thong Hay maju setindak, kedua matanya terbuka lebar. “Kau dapat melukakan aku? Kau?” katanya sengit.

Kembali Oey Yong tidak mengambil mumat. Ia kata pula, “Dengan cara begini hendak aku mengadu kepandaian dengannya! Siapa yang araknya tumpah lebih dahulu, dialah yang kalah? Akurkah kau?”

Nona ini menggunakan kecerdikan. Ia tahu bahwa ia tidak bakal meloloskan diri dari orang-orang lihay ini. Sekalipun terhadap Hauw Thong Hay, ia menang cuma sebab ia andalkan kegesitan dan kelincahannya. Ia percaya, dengan bergurau secara demikian, ia bakal dapat lolos.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar