Selasa, 29 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 035

“Kau hati-hati, sahabat!” kata yang pertama, “Melihat macammu ini, hati-hatilah, nanti siauw-ongya kutungi batang lehermu…”

Kwee Ceng lantas berpikir: “Kiranya Wanyen Kang sudah punya pacar maka ia tidak sudi nikahi nona Bok. Dalam hal ini, dia tidak dapat disesalkan. Cuma mengapa ia mengurung nona itu? Mustahilkah si nona menolak dan ia hendak gunakan kekerasan untuk memaksa?”

Dua orang itu sudah lantas datang dekat sekali, yang satu membawa tengloleng, yang lainnya menenteng barang makanan.

Yang membawa makanan itu berkata pula sambil tertawa: “Siauw-ongya aneh! Dia mengurung orang, dia juga khawatir orang kelaparan! Lihat, sudah malam begini dia masih suruh mengantarkan barang makanan….”

“Jikalau tidak berlaku manis budi, mana dia dapat merampas hati si nona?” berkata yang membawa lentera.

Lantas mereka lewat, suara tertawa mereka masih terdengar.

“Mari kita lihat!” berbisik Oey Yong, yang hatinya menjadi tertarik. “Sebenarnya bagaimana sih cantiknya orang itu…”

“Lebih perlu kita mencari obat,” Kwee Ceng bilang.

“Aku ingin lihat dulu si cantik!” kata Oey Yong tertawa.

Kwee Ceng heran sekali. “Apa sih bagusnya orang perempuan untuk di lihat?” katanya dalam hati. Ia tidak menginsyafi sifat wanita. Kalau satu nona mendengar ada nona cantik lainnya, sebelum melihatnya, hatinya tidak akan puas, kalau dia sendiri cantik, lebih keras lagi keinginan melihatnya. “Ah, dasar anak kecil….!”

Luas pekarangan dalam dari gedung Chao wang. Mereka berdua berjalan berliku-liku menguntit dua hamba tadi. Mereka tiba di depan sebuah gedung besar yang gelap, tapi ada yang jaga. Mereka lantas umpatkan diri, untuk mendenagr kedua kacung itu bicara sama penjaga rumah, seorang serdadu. Dia ini lantas membuka pintu, untuk mengijinkan orang masuk.

Oey Yong cerdik. Ia menjumput sebutir batu, menimpuk lentera, hingga apinya padam seketika, membarengi ia tarik tangan si anak muda, untuk diajak melompat masuk ke pintu.

Kedua kacung dan serdadu itu tidak menduga jelek, mereka cuma menyangka batu jatuh dari atas. Sembari mengutuk, mereka nyalakan pula lenteranya. Setelah membuka sebuah pintu dalam yang kecil, mereka masuk lebih jauh.

Oey Yong dan Kwee Ceng menempatkan diri di sebelah belakang, dengan hati-hati mereka menguntit pula, sampai mereka berada di depan sebuah ruang seperti kerangkeng binatang liar, jerujinya semua besi kasar. Di dalam situ ada dua orang, terlihat samar-¬samar seperti pria dan wanita.

Satu bujang lantas memasang lilin, ia masuk ke dalam kerengkeng. Maka sekarang terlihat tegaslah dua orang yang terkurung itu. Mengenali mereka, Kwee Ceng terkejut. Mereka adalah Bok Ek serta gadisnya yang tadi siang mengadakan pibu mencari jodoh. Bok Ek nampaknya tengah bergusar. Liam Cu duduk di samping ayahnya dengan kepala tunduk.

“Bagaimana dengan Wanyen Kang? Sebenarnya dia suka nona ini atau tidak?” Kwee Ceng ragu-¬ragu.

Kedua bujang itu memasukkan barang makanan berikut araknya. Bok Ek sembat sebuah mangkok, terus ia lemparkan. Ia berseru: “Aku telah terjatuh ke dalam tipumu yang busuk, kalau kau hendak membinasakan, binasakanlah! Buat apa kamu berpura-pura menaruh belas kasihan?!”

Belum sampai si bujang bilang apa-apa, di sebelah luar terdengar suaranya serdadu penjaga pintu yang tadi: “Siauw-ongya baik?”

Mendengar itu, Kwee Ceng dan Oey Yong berpaling, lalu lekas-lekas mereka mencari tempat sembunyi.

Segera juga terdengar suara membentak sari Wanyen kang, yang datang dengan tindakan lebar: “Siapa yang bikin Bok Loenghiong gusar? Awas, sebentar aku hajar patah kaki anjingmu!”

Kedua hamba itu lantas bertekuk lutut. “Hambamu tidak berani…” berakat mereka.

“Lekas berlalu!” membentak pula si pangeran.

“Ya, ya…” menyahuti kedua hamba itu, yang berlalu dengan cepat. Hanya setibanya mereka di pintu luar, mereka saling mengawasi dengan mengulurkan lidahnya masing-masing…..

Wanyen Kang tunggu sampai orang merapatkan daun pintu, ia hampiri Bok Ek dan gadisnya.

“Jiwi silahkan kemari!” ia berkata, suaranya sabar sekali. “Aku hendak bilang sesuatu kepada kamu, harap jangan salah mengerti.”

“Kau telah kurung kami sebagai pesakitan, apakah artinya undanganmu ini?!” Bok Ek menegur. Ia gusar sekali.

“Maafkan aku, menyesal sekali,” berkata Wanyen kang. “Untuk sementara aku minta jiwi harap bersabar. Aku pun merasa tak enak hati.”

“Kau boleh akali bocah umur tiga tahun!” Bok Ek membentak pula. “Aku tahu baik sifatnya kamu orang besar! Hm!”

Wanyen Kang hendak bicara pula, saban-saban ia terhalang oleh bentakan orang tua itu, tetapi ia sabar luar biasa, sebaliknya dari bergusar, ia tertawa.

“Ayah, coba dengar dulu apa ia hendak bilang,” akhirnya Liam Cu berkata dengan perlahan.

“Hm!” orang tua itu perdengarkan suara di hidungnya.

“Nona seperti putrimu, mustahil aku tidak suka dia” berkata Wanyen Kang.

Mendengar itu, wajah Liam Cu menjadi merah, ia tunduk lebih rendah.

“Aku adalah pangeran dan aturan rumah tanggaku keras sekali,” Wanyen Kang berkata pula. “Umpama kata orang mendapat tahu aku mempunyai mertua seorang kangouw, bukan cuma ayahku bisa memarahinya, malah ada kemungkinan sri baginda juga nanti menegur ayahku…”

“Habis kau mau apa?” menanya Bok Ek. Ia anggap orang bicara beralasan juga.




“Sekarang ini aku mau minta jiwi berdiam dulu beberapa hari di sini, untuk sekalian merawat lukamu,” sahut pangeran itu. “Setelah itu barulah kamu pulang ke kampung halamanmu. Nanti, selang satu atau setengah tahun, setelah suasana reda, akan aku nikahi putrimu ini, baik dengan jalan aku pergi menjemput ke rumahmu atau dengan minta locianpwee datang ke mari. Tidakkah itu lebih bagus?” kata pangeran ini lebih lanjut.

Bok Ek diam. Ia tengah memikir satu hal lain.

“Peristiwa ini bisa merembet ayahku,” Wanyen Kang berkata pula, sambil tertawa. “Oleh karena kenakalanku, beberapa kali ayah pernah ditegur sri baginda raja, maka kalau urusan ini sampai didengar oleh sri baginda, pastilah pernikahan ini gagal. Maka itu aku minta sukalah locianpwee menyimpan rahasia.”

Bok Ek gusar. “Menurut caramu ini!” katanya sengit, “Kalau nanti anakku menikah sama kamu, untuk seumur hidupnya ia mesti main sembunyi-sembunyi! Dia jadinya bukan satu istri yang terang di muka umum!”

“Dalam hal ini pastilah aku akan mengatur lainnya,” Wanyen Kang memberi keterangan. “Sekarang pun aku sudah pikir nanti minta perantaraannya beberapa menteri sebagai orang pertengahan, supaya kita nanti menikah secara terhormat….”

Wajah Bok Ek berubah. “Kalau begitu, pergi kau panggil ibumu datang ke mari,” katanya. “Aku ingin kita omong depan berdepan dan secara terus terang!”

Wanyen Kang tersenyum. “Mana dapat ibuku menemui locianpwee?” katanya.

“Jikalau aku tidak dapat bicara dengan ibumu, biar bagaimana, tidak sudi aku melayani kamu!” kata Bok Ek kaku, tangannya menyambar sepoci arak, yang dia timpukkan di antara jeruji besi.

Bok Liam Cu kaget dan berduka menyaksikan sikap ayahnya ini. Sebenarnya, semenjak mulai bertanding sama pangeran itu, ia telah menaruh hati, maka ia senang mendengar pembicaraan si anak muda yang ia anggap beralasan. Ia tidak sangka, ayahnya telah ambil sikap yang tegas.

Wanen Kang gerakkan tangannya menyambar poci arak itu, terus ia letakkan ditempatnya, di atas meja. “Menyesal tidak dapat aku menemani lebih lama,” katanya. Ia tertawa dan memutar tubuhnya untuk berlalu.

Kwee Ceng anggap omongannya Wanyen Kang beralasan. Bukankah si pangeran ada kesulitannya sendiri? Maka itu, menyaksikan kemurkaan Bok Ek, ia lantas berpikir; “Baiklah aku bujuk ia…” Ia lantas gerakkan tubuhnya, untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi ia tidak dapat wujudkan apa yang ia pikirkan itu. Oey Yong telah tarik tangan bajunya, untuk ajak keluar.

“Apakah sudah diambil?” mereka lantas dengar suara Wanyen Kang, yang bicara sama seorang hambanya.

“Sudah,” sahut si hamba, yang terus angkat sebelah tangannya. Nyata ia mencekal seekor kelinci. Wanyen Kang menyambut dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja ia patahkan kedua kaki kelinci itu, terus dimasukkan ke dalam sakunya, setelah mana ia bertindak dengan cepat.

Binatang itu berpekik satu kali, lalu kelengar.

Oey Yong dan Kwee Ceng heran sekali. Mereka lantas kuntiti pangeran itu, yang jalan memutari sebuah pagar bambu, setelah terlihat sebuah rumah tembok putih yang kecil. Itulah rumah bermodel rumah rakyat di Kanglam. Maka heran di dalam pekarangan istana mentereng itu ada sebuah rumah yang begini sederhana. Maka mereka jadi bertambah heran.

Wanyen Kang menolak pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.

Dengan lekas Kwee Ceng berdua lari ke jendela untuk memasang kuping sambil mengintai di sela-sela jendela itu. Mereka percaya mesti ada perbuatan yang aneh dari si pangeran itu.

“Ma!” mereka lantas dengar suara si pangeran.

“Ya..!” demikian suara penyahutan perlahan, suaranya seorang wanita.

Wanyen Kang lantas masuk ke dalam kamar.

Untuk bisa melihat, Kwee Ceng berdua menghampiri sebuah jendela lain. Maka mereka lantas tampak seorang nyonya tengah duduk di pinggiran meja, sebelah tangannya menunjang dagu, matanya mendelong. Dia belum berumur empatpuluh tahun dan mukanya cantik sekali. Di rambut dekat kupingnya memakai setangkai bunga putih. Pakaiannya semua terdiri dari kain kasar.

“Mama, apakah hari ini kau kurang sehat?” tanya Wanyen Kang seraya pegangi tangan si nyonya.

Nyonya itu menghela napas. “Bukankah aku tak berlega hati untukmu?” sahutnya.

Wanyen Kang senderkan diri di tubuh nyonya itu, yang ia panggil ibu, agaknya ia manja sekali.

“Ma, bukankah anakmu berada di sini?” katanya, aleman. “Toh aku tidak kekurangan walaupun sebelah kakiku…?”

“Kau ngacau, kalau ayahmu dengar itu, masih tidak apa,” berkata si ibu itu, “Tetapi gurumu? Bagaimana kalau ia mendengar kabar? Tidakkah hebat?”

“Ma,” berkata si pangeran, tertawa, “Tahukah kau siapa imam itu yang datang menyela untuk menolong orang?”

“Siapakah imam itu?”

“Dia adik seperguruan dari guruku…”

“Celaka!” berseru si nyonya kaget. “Pernah aku melihatnya gurumu disaat ia tengah murka! Dia dapat membunuh orang! Sungguh menakutkan…!”

Wanyen Kang agaknya heran. “Pernah mama melihat suhu membunuh orang?” dia tanya. “Di manakah itu? Kenapa suhu membunuh orang?”

Nyonya itu angkat kepalanya, memandang lilin. Ia agaknya tengah memikir jauh. “Itu sudah lama,” katanya kemudian dengan perlahan. “Ah, kejadian dulu hampir aku lupa….”

Wanyen Kang tidak menanyakan lebih jauh, sebaliknya dengan gembira, ia kata; “Ong Susiok itu telah mendesak aku, menanyakan bagaimana urusan pibu hendak diselesaikan. Aku telah menjanjikan untuk menerima baik. Asal si orang she Bok itu datang, apa yang diatur, aku terima baik.”

“Apakah kau sudah bicara dengan ayahmu?” tanya si nyonya itu. “Bersediakah dia memberikan perkenannya?”

Wanyen Kang tertawa. “Ma, kau memang baik sekali!” katanya. “Dari siang-siang telah aku perdayakan orang she Bok itu dan gadisnya datang ke mari, sekarang mereka ditahan di kerangkeng di belakang sini. Mana Ong Susiok dapat mencari mereka?” Selagi si pangeran ini demikian gembira, Kwee Ceng sebaliknya bertambah mendongkol dan murka. Kata pemuda ini dalam hatinya; “Aku menyangka dia bermaksud baik, siapa tahu ia sebenarnya sangat licik!”

Si wanita pun tidak setuju putranya itu. “Kau telah permainkan anak dara orang,” katanya kurang senang, “Kau juga kurung mereka di sini. Apakah artinya itu? pergi lekas kau merdekakan mereka! Kau berikan mereka uang, kau menghanturkan maaf, lantas kau persilahkan mereka pulang ke kampung halaman mereka.”

Kwee Ceng mengangguk-angguk. Ia setujui sikap nyonya itu. “Begitu baru benar,” pikirnya.

Wanyen kang tetap tertawa. “Ma, kau belum tahu,” katanya. “Orang kangouw seperti mereka tidak memandang uang! Jika mereka dilepaskan, setelah merdeka, tentu mereka akan buka suara lebar-lebar. Kalau itu sampai terjadi, bagaimana suhu bisa tak ketahui urusan ini?”

“Habis, apakah kau hendak kurung mereka seumur hidup?” tanya si nyonya.

Putra itu tetap tertawa. “Akan aku bicara baik-baik dengan mereka, nanti aku perdayakan hingga mereka suka pulang ke kampung halaman mereka,” ia bilang. “Biarlah di sana mereka menanti hingga mereka putus asa…”. Lantas ia tertawa terbahak.

Kembali bangkit hawa amarah Kwee Ceng, hingga ia ayun sebelah tangannya ke daun jendela dan mulutnya pun hendak dibuka.

“Jangan turuti adat…!” demikian ia dengar bisikan di kupingnya, berbareng dengan mana sebuah tangan yang halus menutup mulutnya dan tangan yang lain menarik tangannya. Merdu bisikan itu……

Cuma sejenak itu, pemuda ini insyaf akan kekeliruannya, maka ia menoleh kepada si nona manis di sisinya dan tersenyum. Karena itulah Oey Yong yang mencegah padanya. Kemudian ia mengintai pula ke dalam kamar.

“Tua bangka she Bok itu sangat licin,” terdengar pula suaranya Wanyen Kang. “Telah aku bujuki dia, dia tak mau makan umpan. Maka biarlah dia ditahan lagi beberapa hari, untuk lihat akhirnya dia suka menurut atau tidak.”

“Aku lihat nona itu bagus romannya dan gerak-¬geriknya, aku suka dia,” berkata si nyonya. “Aku pikir hendak bicara dengan ayahmu, supaya kau diijinkan menikah dengannya. Bukankah dengan begitu selesai sudah semuanya?”

“Ah, mama, ada-ada saja!” berkata sang putra sambil tertawa. “ Kita dari keluarga apa? Cara bagaimana aku bisa menikah dengan seorang kangouw? Ayah sering bilang padaku bahwa dia hendak mencarikan jodoh dari keluarga agung. Sayangnya ayah bersaudara dengan raja yang sekarang…”

“Apakah yang dibuat sayang?” nyonya itu bertanya.

“Sebab,” menyahut sang putra, “Kalau tidak, pasti aku mendapatkan putri raja dan aku bakal menjadi menantu raja!”

Nyonya itu menghela napas, ia tak bicara lagi.

“Ma, ada satu lagi hal yang lucu,” Wanyen Kang berkata pula, tak ketinggalan tertawanya. “Tua bangka she Bok itu bilang ingin bertemu sama kau, ingin dia bicara sendiri, untuk mendapat kepastian, setelah itu barulah dia mau mempercayai aku.”

“Tidak nanti aku bantu kau memperdayakan orang, itulah perbuatan yang tidak baik!” berkata pula si ibu.

Wanyen Kang tertawa geli, ia jalan mondar-mandir di dalam kamar.

Oey Yong dan Kwee Ceng dapat kesempatan memperhatikan kamar itu. Semua meja dan kursi terbuat dari kayu kasar. Pembaringan serta perlengkapannya mirip dengan kepunyaan kebanyakan petani di Kanglam, semua kasar dan jelek. Di tembok ada tergantung tombak serta sebuah pacul. Di pojokan ada sebuah mesin tenun. Maka, menyaksikan semua itu, mereka menjadi heran.

“Wanita ini mulia sebagai selir, mengapa ia tinggal dalam kamar dengan perlengkapan semacam ini?” mereka berpikir.

Justru itu Wanyen Kang menekan ke dadanya, ke sakunya, lalu terdengar dua kali pekikan perlahan.

“Eh, apakah itu?” sang ibu bertanya.

“Oh, hampir aku lupa!” sahut putranya itu, agaknya ia terperanjat. “Tadi di tengah perjalanan pulang aku melihat seekor kelinci yang terluka, aku bawa dia pulang. Mama, coba kau tolong obati dia…”

Ia lantas keluarkan kelinci putih itu, diletakkan di atas meja. Dengan kakinya patah, binatang itu tidak dapat jalan.

“Anak yang baik!” berkata si nyonya. Ia lantas mencari obat, untuk mengobati kelinci itu.

Lagi-lagi darahnya Kwee Ceng bergolak. Ia sungguh membenci orang punya kelicinan dan kekejaman itu, terutama untuk memperdaya seorang ibu yang hatinya demikian mulia. Tidakkah binatang yang harus dikasihani itu sengaja disakiti? Bukankah ibu telah didustai, untuk mengobati binatang yang sengaja disiksa? Kalau terhadap ibu sendiri saja ia mendusta demikian, maka bisalah diketahui buruknya sifat anak itu.

Oey Yong yang tubuhnya menempel sama tubuh si anak muda merasakan tubuh orang bergemetar. Ia menginsyafi bahwa orang sangat gusar. Tentu saja ia khawatir kawan ini perluap hawa amarahnya itu hingga Wanyen kang bisa pergoki mereka. Ia lantas pegang tangannya si pemuda itu, yang ia tarik untuk diajak mengundurkan diri.

“Jangan pedulikan dia, mari kita pergi cari obat,” bisiknya.

“Tahukah kamu obat itu disimpan di mana?” Kwee Ceng tanya.

Nona itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu,” sahutnya. “Mari kita cari…”

Kwee Ceng sangsi. Dimana mesti mencari obat di istana demikan besar? Bukankah berbahaya kalau mereka kepergok See Thong Thian atau lainnya? Ia tidak sempat berpikir lama-lama. Pikirannya itu berhenti secara tiba-tiba. Sebab kupingnya segera mendengar orang mengoceh seorang diri dan di depan matanya berkelebat sinar api.

“Anak yang manis, kalau kau tidak mencintai aku, kau mencintai siapa lagi? Maka, kau kasihanilah aku…”

Sembari perdengarkan suaranya yang berlagu, terlihatlah seorang bertindak dengan perlahan-lahan. Dia mencekal sebuah tenglong.

Selagi Kwee ceng hendak menyembunyikan diri di belakang sebuah pohon, Oey Yong justru maju memapak orang itu, hingga ia menjadi tercengang, lalu lantas saja ia diam bagai patung, hatinya goncang keras. Oey Yong telah ancam dia dengan sebatang pisau belati.

“Siapa kau?” si nona menanya, membentak tapi perlahan.

Orang itu kaget dan ketakutan, selang beberapa detik baru ia dapat menyahut, suaranya tidak lancar. Ia adalah pengurus surat-surat di istana itu.

“Kau menjadi pengurus, bagus!” kata si nona. “Di mana disimpannya obat-obatan yang hari ini pangeranmu yang muda menitahkan orang membeli?!”

“Semua itu siauw-ongya yang simpan sendiri, aku… aku tidak tahu…”

Oey Yong cekal tangan orang dengan tangan kirinya untuk memencet, sedang ujung pisaunya ditempel kepada kulit leher. Orang itu kesakitan akan tetapi ia tidak berani berteriak.

“Kau hendak bilang atau tidak?!” si nona mengancam. “Benar-benar aku tidak tahu….” jawab orang itu dengan gugup.

Oey Yong kerahkan tenaga di tangan kirinya itu, lalu dengan menerbitkan suara membeletak, patahlah tangan kanan si pengurus itu. Ia buka mulutnya, untuk berteriak tetapi dengan cepat si nona sambar kopiah orang, untuk dipakai menyumbat mulutnya. Maka hanya sekali saja dia itu mengasih dengar suara keras tertahan, lalu ia roboh dengan pingsan.

Kwee Ceng tidak menyangka seorang gadis demikian cantik dan halus gerak-geriknya dapat berbuat demikian telengas, ia menjadi tercengang, tak dapat ia bilang apa-apa.

Oey Yong menotok dua kali iganya pengurus istana itu, lantas ia sadar. Ia tarik kopiah orang, untuk dibelesaki ke kepalanya.

“Apakah kau ingin tangan kirimu pun dipatahkan?” ia tanya.

Pengurus itu lantas saja menangis, ia menjatuhkan diri berlutut. “Dengan sebenarnya aku tidak tahu, percuma umpama nona membunuh aku,” katanya.

Sekarang Oey Yong mempercayainya, tetapi ia berkata “Sekarang pergi kau kepada pengeranmu itu, bilang bahwa kau jatuh dan patah tanganmu. Kau kasih tahu bahwa tabib bilang kau perlu obat hiat¬kat, gu-cit, thim-tha dan bu-yok. Obat itu semua tak dapat dibeli di kota raja ini, maka kau mintalah kepada pangeran itu.”

Pengurus itu sudah membuktikan si nona tidak pernah main gila, ia menurut.

“Siauw-ongya ada pada ibunya, lekas-lekas kau pergi padanya!” Oey Yong bilang. “Aku akan ikuti kamu. Jika kau tidak dengar dan sengaja kau membuka rahasia, akan aku patahkan batang lehermu, akan aku kerek matamu!”

Tubuh orang itu gemetar, ia merayap bangun, lalu dengan menggertak gigi, menahan sakit, ia lari ke arah kamarnya onghui, si selir.

Wanyen Kang masih ada pada ibunya, mereka masih pasang omong. Ia heran ketika melihat datangnya pengurus itu, yang bermandikan peluh dan air mata, dengan separuh mewek dia mohon diberi obat. Dia mengaku seperti ajaran Oey Yong.

“Kasihlah dia obat!” berkata onghui, yang hatinya lemah. Ia lihat muka orang berpucat-pasi dan ia merasa kasihan.

Wanyen Kang mengkerutkan alisnya. “Semua obat itu ada apa Nio Losianseng,” katanya. “Pergi kau mengambil sendiri!”

“Tolong ongya memberikan sehelai surat,” si pengurus meminta.

Onghui itu sudah lantas sediakan perabot tulisnya. Wanyen Kang menulis beberapa kata-kata, untuk si Nio Losianseng, ialah io Cu Ong.

Pengurus itu mengangguk-angguk mengucapkan terima kasih.

“Lekas kau pergi!” menitah onghui. “Sebentar sesudah sembuh baru kau haturkan terima kasihmu!”

Pengurus itu lantas saja bertindak keluar. Ia baru jalan beberapa tindak, pisau belati telah di pundaknya.

“Pergi kepada Nio Losianseng!” menitah Oey Yong separuh berbisik.

Orang itu berjalan, baru beberapa puluh tindak, ia sudah terhuyung, rupanya tak sanggup ia menahan rasa sakitnya.

“Sebelum kau dapatkan obat itu, jangan harap jiwamu selamat!” si nona mengancam pula.

Kaget hamba itu, ia mengeluarkan keringat dingin, entah dari mana, datanglah tenaga kekuatannya, maka dapat ia berjalan terus. Sekarang ia jalan dengan menemui beberapa hamba lainnya, mereka itu lihat ia diikuti si nona dan pemuda, mereka itu heran tetapi tidak ada di antara mereka yang menanya apa-apa.

Tiba di kamarnya Nio Cu Ong, pintu kamar terkunci. Pengurus itu tanya satu hamba, ia dapat jawaban bahwa Nio Losianseng lagi menghadar perjamuan pengeran di ruang Hoa Cui Kok.

Kwee ceng lantas merasa kasihan menampak orang seperti tidak kuat jalan, ia lantas mencekal tubuh orang, untuk dipepayang. Bersama-sama mereka menuju ke tempat pesta itu.

“Berhenti! Siapa kamu!” Itulah teguran dua orang, yang memapaki sekira beberapa tindak dari Hoa Cui Kok. Mereka itu masing-masing memegang golok dan cambuk.

“Aku hendak menemui Nio Losianseng,” sahut si pengurus, yang perlihatkan suratnya siauw-ongya. Dia lantas dikasih lewat. Ketika Kwee Ceng dan si nona ditanya, pengurus itu mendahului menerangkan “Mereka kawan kita.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar