Minggu, 27 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 034

Kwee Ceng kaget sekali. Ia dengar suara orang sangat lemah, seperti kehabisan napas. Ia juga lantas dapat melihat roman pucat dari si imam.

“Adakah totiang terluka?” tanyanya heran.

Ong Cie It mengangguk, lalu tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung.

Kwee Ceng mengerti, maka lantas saja ia membungkuk di depan si imam, menggendongnya, dibawa pergi dengan cepat. Ia mau mampir di sebuah hotel yang pertama diketemukan, tetapi Cie It bilang dengan perlahan: “Cari… cari tempat yang sepi dan hotel kecil…”

Kwee Ceng menurut, ia maju terus, sambil berlari-¬lari. Ia tahu imam ini khawatir nanti disusul musuh, ia terluka dan ia sendiri tidak punya guna, mereka bisa terancam bahaya. Ia tidak tahu jalanan, ia pilih yang sepi saja. Sementara itu ia merasakan napas si imam semakin mendesak. Syukur ia lantas dapat cari sebuah hotel yang kecil dan jorok, tetapi tanpa pedulikan itu, ia memasukinya. Setibanya di dalam, ia segera turunkan imam itu di atas pembaringan.

“Lekas…lekas cari sebuah jambangan besar…” berkata Ong Cie It. “Kau isikan penuh air bersih…”

“Untuk apakah itu, totiang?” Kwee Ceng tanya.

Cie It tidak menyahut, ia hanya memberi tanda dengan tangannya, supaya bocah itu lekas pergi.

Kwee Ceng menurut. Ia cari orang hotel, dengan sepotong perak di atas meja seraya minta lekas disediakan jambangan. Ia juga memberi persen kepada si jongos. Maka itu jongos kegirangan, cepat-¬cepat ia sediakan barang yang diminta itu, yang diletakkan di cimche, terus diisi air dingin.

Kwee Ceng lari ke dalam kamar untuk memberi kabar.

“Bagus, anak yang baik!” berkata Ong Cie It. “Sekarang pondong aku, kau letakkan aku di dalam jambangan itu. Kau larang orang lain datang mendekat…”

Kwee Ceng tidak mengerti tetapi ia menurut, masukkan tubuh orang ke dalam jambangan hingga sebatas leher, sedang jongos ia pesan untuk melarang siapa saja masuk ke cimche itu.

Ong Cie It merendam di dalam jambangan seraya memeramkan kedua matanya, dengan tenang ia mainkan napasnya.

Kira-kira semakanan nasi, air jambangan yang bersih bening itu berubah menjadi hitam. Di pihak lain, kulit muka si imam dari pucat pasi berubah menjadi bersemu dadu.

“Coba bantu aku bangun, air ini tukar dengan yang bersih,” ia minta kepada Kwee Ceng.

Permintaan itu diturut, maka sebentar kemudian, Cie It sudah berendam pula di dalam air yang baru.

Sekarang barulah Kwee Ceng tahu orang tengah mengerahkan tenaga dalamnya, untuk menyembuhkan diri dari luka di dalam akibat pertempuran dahsyat dengan Leng Tie Siangjin. Imam ini umpama kata cuma menang seurat.

Kwee Ceng melayani terus sampai ia tukar air tujuh kali, baru air itu tak lagi berubah hitam, Giok Yang Cu tertawa dan berkata: “Sudah tidak ada bahaya lagi!”

Dengan pegangi pinggiran jambangan, ia dapat merayap keluar. Tapi ia menghela napas ketika ia berkata pula: “Paderi dari Tibet itu sangat berbahaya!”

Kwee Ceng lega, ia girang sekali. “Apakah tangannya paderi Tibet itu ada racunnya?” ia tanya.

“Benar,” sahut Cie It. “Itulah racun dari Cu-see¬ciang. Ilmu semacam itu, Tangan Pasir Merah sering aku menemukan tetapi tidak ada yang lihay seperti ini. Hari ini hampir aku kehilangan jiwa…”

“Totiang ingin dahar apa? Nanti aku pergi belikan,” Kwee Ceng tanya kemudian.

Cie It pinjam perabot tulis pada tuan rumah, ia menulis sehelai surat obat. “Aku telah bebas dari bahaya jiwa,” berkata si imam itu. “Tetapi hawa racun di dalam tubuh belum bersih betul, jikalau dalam duabelas jam itu tak disingkirkan, akibatnya akan menyebabkan cacad seumur hidup. Sekarang kau tolong aku lekas membeli obat.”

Kwee Ceng mengerti, ia pergi sambil terus berlari. Di jalan perapatan ia lihat rumah obat yang pertama, segera mampir dan serahkan resepnya.

“Sayang tuan,” kata pelayan setelah membaca surat obat itu, “Kebetulan saja obat hiat-kat, gu-cit, bek-yo dan hitam baru habis.”

Tanpa minta penjelasan, Kwee Ceng samber resepnya, lari ke rumah obat yang lain. Di sini ia diberi tahu, empat rupa obat itu tidak ada. Makanya ia mesti pergi ke lain toko obat lagi. Herannya, tujuh atau delapan rumah obat semua kehabisan empat rupa bahan obat itu. Ia menjadi bingung dan mendongkol. Malah didua tiga rumah obat yang terbesar, obat-obatan itu masih tidak kedapatan, katanya baru saja ada orang yang borong.

“Akun mengerti sekarang,” kata bocah ini kemudian. “Tentulah orang dari istana Chao Wang yang memborong semua obat itu, sebab mereka tahu Ong Cinjin pasti membutuhkannya. Sungguh jahat!”

Dengan masgul, bocah ini lari pulang ke hotel, kepada Ong Cie It ia tuturkan kegagalannya.

Imam itu menghela napas, wajahnya menjadi guram.

Kwee Ceng sangat jujur dan hatinya lemah, ia lantas taruh kepalanya di atas meja dan menangis. Ia putus asa.

Ong Cie It tertawa. “Jiwa manusia sudah ditakdirkan,” ia berkata, “Kematian pun tidak harus disayangkan. Lagian belum tentu aku bakal mati, maka itu kenapa kau menangis?” Lalu dengan suara halus ia bernyanyi.

Kwee Ceng heran, ia mengawasi.

Cit It tertawa pula, terus ia duduk bersemadhi di atas pembaringan.

Bocah ini tidak berani mengganggu, diam-diam ia keluar dari kamar. “Kenapa aku tidak mau pergi ke tempat yang berdekatan,” pikirnya kemudian. “Di sana belum tentu obat itu telah orang beli juga…”

Ingat begini, hatinya lega. Maka ia mau tanya jongos, di dekat-dekat dimana ada toko obat. Justru ia mau cari jongos, jongos datang dengan cepat menyerahkan sepucuk surat kepadanya. Surat itu dialamatkan kepadanya.

Surat itu bagus tulisannya dan kertasnya berbau harum. Ia heran. “Siapa yang mengirim surat ini?” ia menanya dalam hatinya. Ia terus robek sampul surat, untuk dibaca isinya. Surat itu berbunyi singkat saja

“Aku menunggu kau di telaga di luar kota barat, jauhnya kira-kira sepuluh lie. Ada urusan penting yang hendak aku damaikan. Lekas datang!”

Surat itu tidak memakai tanda-tanda hanya lukisan gambar dari satu pengemis bocah. Untuk kegirangannya Kwee Ceng kenali romannya Oey Yong, yang tersenyum berseri-seri.

“Siapa bawa surat ini?” ia tanya jongos. Ia girang berbareng heran.

“Seorang gelandangan di jalan besar,” sahut jongos itu.

Kwee Ceng masuk ke dalam kamar Cie It, ia lihat imam itu lagi melatih kaki dan tangannya. Ia lantas kasih tahu bahwa ia mau pergi beli obat ditempat lain.

“Kita dapat pikir ini, kenapa mereka tidak?” berkata si imam. “Tidak usahlah kau pergi.”

Kwee Ceng tidak menjadi putus asa, ia ingin mencoba. Ia ingat Oey Yong cerdik sekali, mungkin ia dapat berunding dengan temannya itu. Maka itu ia beritahu bahwa ia ingin menemui sahabatnya itu. Ia pun beri lihat suratnya Oey Yong itu.

Ong Cie It berpikir. “Cara bagaimana kau kenal anak itu?” ia tanya.

Kwee ceng tuturkan pertemuannya sama Oey Yong, hingga mereka menjadi sahabat.

“Aku telah saksikan caranya ia mempermainkan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay,” berkata Ong Cinjin. “Dia luar biasa gerak tubuhnya. Kau harus berhati-hati,” ia pesan. “Di dalam ilmu kepandaian, dia jauh terlebih lihay daripada kau. Aku lihat padanya seperti ada terselip sifat-sifat kesesatan, hanya aku tidak tahu pasti apa itu…”

“Kita bersahabat sangat erat, sehidup semati, tidak nanti ia celakai kau,” menyatakan Kwee Ceng, yang percaya betul sahabatnya itu.

Ong Cinjin menghela napas. “Baru berapa lama kamu bersahabat?” katanya. “Mana itu dapat disebut persahataban sehidup semati? Jangan kau pandang enteng dia sebagai bocah! Kau tahu, jikalau ia hendak mencelakai padamu, kau tentu tidak dapat layani dia….”

Di dalam hatinya, Kwee Ceng berpikir “Totiang bilang begini sebab ia belum tahu sifatnya Oey Hiantee…” Ia menyebutnya “Oey Hiantee” = “adik she Oey”, tanda ia sangat percaya pada Oey Yong. Lantas ia tuturkan perihal kebaikan sahabatnya itu.

Ong Cinjin tertawa. “Baik, kau pergilah lekas!” katanya. “Semua anak muda berkelakuan seperti kamu. Tanpa mengalami sesuatu, tidak tambah kecerdikan kamu…”

Imam ini tetap percaya Oey Yong bukan orang dari golongan yang sadar.

Kwee Ceng tidak bilang apa-apa lagi, ia masuki resep ke dalam sakunya, lantas berlalu dari hotel. Ia lari keluar kota barat tanpa menghiraukan salju berterbangan menyampok mukanya. Disekitarnya yang luas, tampak segala apa putih meletak, disana tidak ada tapak-tapak manusia. Sesudah hampir sepuluh lie, ia lihat sinar terang dari air telaga. Karena hawa udara tidak sangat dingin, telaga itu tidak membeku, salju jatuh ke air, lantas lumer. Adalah di tepian, di pepohonan, salju melulu yang tampak.

Memandang ke sekitarnya, bocah ini menjadi heran. Tidak ada bayangan orang sekalipun.




“Apa mungkin dia sia-sia menanti aku dan dia lantas pergi duluan?” ia berpikir. Tapi ia buka mulutnya, akan perdengarkan suara nyaring: “Oey Hiantee! Oey Hiantee!”

Tidak ada jawaban, cuma dua ekor burung air yang terbang gelapakan di telaga.

“Oey Hiantee! Oey Hiantee!” ia memanggil pula, dengan hati masgul. Tapi ia masih dapat berpikir; “Mungkin ia belum datang, maka baiklah aku menunggu disini…”

Maka ia lantas menantikan sambil ia pandangi keindahan telaga di musim salju itu.

Belum terlalu lama atau dari tengah telaga terdengar suara tertawa halus, kapan Kwee Ceng menoleh, ia lihat sebuah perahu muncul dari bagian telaga yang lebat dengan pepohonan. Itulah sebuah perahu kecil dengan penumpangnya, yang duduk di belakang perahu, ada satu nona, yang rambutnya panjang meroyot melewati pundak, bajunya putih mulus, rambutnya di bagian atas ada pitanya dari emas, hingga emas itu bercahaya di antara sinar putih dari salju.

Kwee Ceng mengawasi dengan menjublak. Ia dapatkan si nona bagaikan bidadari. Orang berumur belum lima atau enambelas tahun, kulitnya putih halus, romannya cantik sekali dan manis, mukanya dadu segar. Ia lantas berpaling ke lain jurusan, tidak berani ia mengawasi terus-terusan. Ia pun bertindak dari tepian.

Si nona mengayuh perahunya sampai ke pinggir telaga. “Kwee Koko, mari naik ke perahu!” tiba-tiba dia memanggil. Dia menyebutnya “Kwee Koko” = “Engko Kwee”. Kwee Ceng terkejut. Ia dipanggil selagi ia menoleh ke lain jurusan. Begitu ia menoleh, tampak satu wajah yang manis sekali, sedang tangan baju orang memain di antara sampokan angin. Ia berdiri menjublak bagaikan orang yang tengah bermimpi, kemudian ia kucak-kucak matanya dengan kedua tangannya.

“Bagaimana, eh, engko Kwee,” berkata pula si nona. “Apakah kau tidak kenal aku?”

Kwee Ceng perhatikan suara orang. Itulah suaranya Oey Yong, sahabat eratnya, sahabat sehidup semiati…….. !

Tapi sahabatnya itu adalah seorang pemuda dengan muka kotor dan pakaian compang-camping…. Kenapa sekarang tercipta menjadi seorang bidadari?

Dalam kesangsiannya, bocah ini mengawasi dengan mendelong.

Nona itu tertawa. “Aku adalah Oey Hianteemu!” ia berkata. “Benarkah kau telah tidak kenali aku?”

Oleh karena ia menatap, Kwee Ceng kenali roman mukanya Oey Yong yang alisnya lentik dan mulutnya mungil, cuma dandannya lain. “Kau…kau….” katanya perlahan.

Oey Yong tertawa pula. “Sebenarnya aku adalah seorang wanita,” ia berkata pula. “Siapa suruh kau panggil aku Oey Hiantee dan Oey Hiantee tak sudahnya? Ayolah lekas naik ke perahu ini!”

Kwee Ceng sadar, ia enjot tubuhnya, lompat ke perahu itu. “Oey Hiantee…!” katanya.

Oey Yong tidak menyahut, hanya kayuh perahunya ke telaga. lantas sajikan bekalannya, barang makanan dan arak.

“Kita duduk disini, dahar dan minum arak sambil memandangi sang salju, bagus bukan?” katanya merdu.

Kwee Ceng mencoba menenangkan diri. “Ah…aku tolol sekali!” katanya kemudian. “Sampai sebegitu jauh, aku sangka kau adalah seorang pria! Selanjutnya tidak dapat aku panggil lagi kau Oey Hiantee….”

Oey Yong tertawa. “Kau juga jangan panggil aku Oey Hian-moay,” ia berkata. “Aku dipanggil Yong-jie. Ayahpun selalu memanggil aku begitu.”

Dengan sendirinya nona ini tidak menghendaki di panggil “Oey Hian-moay” = “adik Oey” dan menghendaki disebut namanya saja. “Yong-jie” berarti “anak Yong”.

Tiba-tiba Kwee Ceng ingat sesuatu. “Aku membekali kau tiamsim!” katanya seraya terus kasih keluar tiamsim yang ia bawa dari istananya Wanyen Kang. Cuma sekarang tiamsim itu sudah pusak-pesok tiada karuan.

Oey Yong mengawasi macamnya tiamsim yang tidak karuan itu, ia tertawa.

Merah mukanya Kwee Ceng, ia jengah. “Tiamsim ini tak dapat dimakan…” katanya. Ia ambil itu, untuk dilemparkan ke air.

Oey Yong sambar tiamsim itu. “Aku bisa makan!” katanya. “Aku doyan!”

Selagi si bocah tercengang, Oey Yong sudah menggayem tiamsim itu.

Kwee Ceng mengawasi, sampai ia mendadak menjadi heran sekali. Oey Yong dahar tiamsim itu, lantas perlahan-lahan matanya menjadi merah, lalu air matanya perlahan-lahan mengalir turun…

“Begitu aku dilahirkan, aku sudah tidak punya ibu,” berkata Oey Yong yang dapat membade pikiran sahabatnya. “Seumurku, belum pernah ada orang yang ingat aku seperti kau ini…”

Air matanya mengalir deras, ia keluarkan sapu tangannya yang putih bersih.

Kwee Ceng menyangka orang hendak menyusuti air matanya, tak tahunya dengan cara hati-hati nona itu bungkus sisa tiamsim yang kemudian ia masukkan ke dalam sakunya. “Aku akan dahar ini perlahan-lahan…” katanya, dan kali ini ia tertawa.

Benar-benar aneh kelakuan bocah wanita ini, Kwee Ceng asing betul dengan tingkah lakunya ini “Oey Hiantee”.

“Bilangnya ada urusan penting yang kau hendak bicarakan dengan aku, urusan apakah itu?” kemudian ia tanya. Ia sudah lantas ingat surat si nona dan untuk apa ia datang ke telaga ini.

Oey Yong tertawa ketika ia menyahut “Aku panggil kau datang kemari untuk memberitahukan padamu bahwa aku bukannya Oey Hianteemu, hanya Yong-jie. Apa ini bukannya urusan penting?”

Kwee Ceng tersenyum. Orang benar-benar jenaka. “Kau begitu manis untuk dipandang, kenapa kau menyamar sebagai penemis?” ia tanya.

Oey Yong melengos ke samping. “Kau bilang aku manis dipandang?” ia tanya.

“Manis sekali!” sahut si anak muda. “Kau mirip dengan bidadari dari puncak gunung salju!” Ia menghela napas.

Oey Yong tertawa pula. “Pernahkah kau melihat bidadari?” tanyanya.

“Aku belum pernah lihat. Kalau aku dapat menemui, mana aku masih hidup lagi…?”

Oey Yong heran. “Eh, kenapa begitu?” ia menegaskan.

“Sebab pernah aku dengar cerita orang-¬orang tua, siapa dapat melihat bidadari, dia tidak bakal kembali ke tanah datar, untuk selamanya ia akan duduk bengong saja di gunung salju, lalu lewat beberapa hari, dia akan mati beku….”

Oey Yong tertawa pula. “Sekarang kau melihat aku, kau bakal bengong saja atau tidak?” tanyanya kemudian.

Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. “Kita toh sahabat-sahabat kekal, kita lain…”

Oey Yong menganggguk. Lalu ia berkata dengan sungguh-sungguh: “Aku tahu kau baik hati dengan sesungguhnya, terhadap aku, tidak peduli aku pria ataupun wanita, biarpun aku bagus atau jelek.” Ia berhenti sebentar. “Dengan dandananku ini, kalau orang bersikap baik terhadap aku, apakah anehnya? Diwaktu aku menjadi pengemis, kau baik sekali dengan aku, nah itu barulah sahabat sejati.” Ia rupanya sangat girang, sembari tertawa ia kata pula “Aku ingin bernyanyi untukmu, sukakah kau mendengarnya?”

“Apakah tidak boleh besok saja kau bernyanyi?” Kwee Ceng minta. “Sekarang ini aku mesti pergi beli obat untuk Ong Totiang.”

Kwee Ceng lantas tuturkan tentang adu kepandaian di istana Chao Wang, sampai Ong Cie It, yang melindunginya, mendapat luka parah, bahwa sia-sia belaka ia mencari obat.

Oey Yong mengawasi, ia tertawa. “Aku pun heran sekali menyaksikan kau lari mondar-mandir di jalan besar dan memasuki rumah obat dari yang satu ke yang lain, entah kau bikin apa, tidak tahunya kau hendak membeli obat,” katanya.

Kwee Ceng menduga, selagi ia lari mondar-mandir, Oey Yong tentu telah mengintai tetapi ia tidak tahu, kalau tidak, niscaya nona itu tidak ketahui ia tinggal di hotel mana.

“Oey Hiantee,” katanya kemudian, “Apakah boleh pinjam kuda merahmu yang kecil untuk aku pergi membeli obat?”

Oey Yong menatap. “Ketahuilah!” katanya. “Kesatu, aku bukannya si Oey Hiantee! Kedua, kuda merah yang kecil itu adalah kepunyaanmu! Apakah kau sangka benar-benar aku menghendaki kudamu itu? Aku hanya menguji hatimu. Ketiga, di tempat sekitar ini, belum tentu kau dapat mencari obat itu…!”

Kwee Ceng berdiam, hatinya pepat. Ia bingung sekali. Dugaan si nona nyata cocok betul dengan dugaannya Ong Cie It.

Oey Yong tertawa. “Sekarang aku nyanyi, kau dengar!” dia kata. Lalu kedua bibirnya yang merah tergerak terbuka, segera lidahnya bergerak, memperdengarkan nyanyiannya yang halus dan merdu.

Kwee Ceng mendengarkan dengan hati kesengsem walaupun tidak mengerti jelas artinya nyanyian itu, hatinya menjadi goncang. Seumurnya belum pernah ia peroleh pengalaman ini.

“Inilah nyanyian Sui Ho Sian dari Sin Tayjin,” kata Oey Yong perlahan. “Bagaimana menurutmu, bagus atau tidak?”

“Aku kurang mengerti tetapi kedengarannya menarik hati,” Kwee Ceng menjawab. “Siapa itu Sin Tayjin?”

“Dialah Sin Kee Cie,” sahut Oey Yong. “Menurut ayahku dialah pembesar jempolan yang menyinta negara dan rakyat. Ketika dulu Tionggoan Utara jatuh ke tangan bangsa Kim dan Gak Bu Bok terbinasa di tangan dorna, tinggal Sin Tayjin sendiri yang masih berdaya untuk merampas pulang daerah-¬daerah yang hilang itu.”

Kwee Ceng tahu kekejaman bangsa Kim dari penuturan ibunya, karena ia hidup di Mongolia, ia kurang tahu. Ia kata: “Belum pernah aku pergi ke Tionggoan, maka hal ini baik nanti saja perlahan-lahan kau tuturkan padaku. Sekarang kita mesti pikirkan daya mencari obat untuk Ong Totiang.”

“Kau dengar aku,” kata Oey Yong. “Kita pesiar dulu disini, tak usah kau cemas tidak karuan.”

“Ong Totiang bilang, kalau dalam tempo dua belas jam ia tidak dapat obat, ia bisa celaka,” Kwee Ceng jelaskan.

“Aku tanggung, kau akan dapatkan obat itu,” si nona bilang.

Mendengar si nona bicara dengan sungguh¬-sungguh dan juga percaya memang dia lebih pandai dan cerdik daripada dirinya, Kwee Ceng dapat juga melegakan hati.

“Mungkin ia tidak akan membikin gagal,” pikirnya. Maka ia lantas layani si cantik itu minum arak dan dahar makanan sambil ngobrol.

Dengan gembira dan menarik hati, Oey Yong tuturkan bagaimana caranya ia menggangtung Hong Ho Su Koay, bagaimana ia ganggu Hauw Thong Hay sampai si Ular Naga Kepala Tiga itu mendongkol bukan main.

“Bagus!” seru Kwee Ceng saking gembira.

“Memang bagus!” kata si nona. Dan keduanya bertepuk tangan.

Tanpa terasa sang waktu telah berlalu, Oey Yong lihat bagaimana secara perlaha-lahan sang mega atau kabut mulai menutupi air telaga yang putih. Dengan perlahan sekali ia ulur tangannya, ia genggam tangan Kwee Ceng, sembari berbuat begitu ia berkata perlahan: “Sekarang aku tidak takut apapun…!”

“Kenapa?” menanya si anak muda dengan heran.

“Taruh ayah tidak menginginkan aku, tentunya sudi aku ikut kau, bukankah?” si nona tanya tanpa ia menyahut pertanyaan orang.

“Pasti!” jawab Kwee Ceng sungguh-sungguh. “Aku sendiri belum pernah gembira seperti sekarang ini!”

Oey Yong membawa tubuhnya mendekati dada si pemuda dan menempelkannya, maka Kwee Ceng lantas saja merasakan terkurung bau harum, bau yang meliputi juga antero telaga, seluruh langit dan bumi……

Tanpa mengucap sepatah kata, keduanya saling berpegang tangan…..

Setelah sekian lama, tiba-tiba Oey Yong menghela napas. “Tempat ini sungguh indah, sayang kita bakal meninggalkannya…” katanya.

“Kenapa begitu?” Kwee Ceng tanya. Ia heran.

“Bukankah kita harus mencari obat untuk menolong Ong Totiang?” sahut si nona.

Kwee Ceng sadar, ia menjadi girang sekali. “Ah, ke mana kita mencarinya?”

“Ke manakah perginya itu beberapa rupa obat yang dibutuhkan, yang tidak berada di rumah-rumah obat?” Oey Yong menanya.

“Tentulah semua itu dibeli oleh orangnya Chao Wang,” menyahut Kwee Ceng.

“Benar!” berkata si nona.

“Tetapi tidak dapat kita pergi ke sana!” Kwee Ceng bilang. “Pergi ke sana artinya kita mengantar jiwa…”

“Habis apakah kau tega membiarkan Ong Totiang menjadi cacad seumur hidup?” Oey Yong tanya. “Jangan-jangan, karena lukanya itu berubah menjadi berbahaya, ia pun bisa hilang jiwanya….”

Darahnya Kwee Ceng bergolak. “Baik, aku akan pergi!” ia bilang. “Tapi kau jangan turut…”

“Jangan turut? Kenapa?” tanya si nona.

Kwee Ceng berdiam. Ia tidak punya alasan untuk kata-katanya itu.

Oey Yong mengawasi. “Engko yang baik,” katanya perlahan. “Kau kasihanilah aku. Umpama kata kau menemui bencana, apakah kau sangka aku dapat hidup seorang diri saja?”

Kwee Ceng menjadi sangat bersyukur dan bergirang. “Baiklah!” katanya kemudian. “Mari kita pergi bersama!”

Keduanya lantas mengayuh, membuat perahu ke pinggir, setelah mendarat mereka menuju langsung ke istana Chao Wang, ke arah belakang. Mereka memasuki pekarangan dengan melompati tembok.

“Engko Ceng, sempurna sekali ilmu ringan tubuhmu!” Oey Yong memuji selagi si anak muda mendekam di kaki tembok untuk memasang kuping dan mata.

Mendengar pujian itu, Kwee Ceng gembira bukan main. Merdu sekali suara si nona. Tak lama, mereka mendapat dengar tindakan kaki dibarengi suara bicara sambil tertawa. Mereka menutup mulut.

“Siauw-ongya mengurung si nona di sini, kau tahu untuk apa?” terdengar seorang menanya. “Siauw¬ongya” itu ialah pangeran muda.

“Buat apa lagi!” tertawa orang yang kedua. “Si nona demikian cantik! Sejak kau dilahirkan, pernahkah kau melihat nona secantik itu?”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar