Jumat, 25 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 033

Ong Cie It pandai berpikir, ia tidak unjuk kemurkaan. Ia mengerti, semua hadirin di situ ada bangsa lihay, percuma kalau ia melayani mereka. Maka ia lantas pandang tuan rumah.

“Mana gurumu?” ia tanya. “Kenapa tidak kau minta ia keluar?”

“Ya,” sahut Wanyen Kang dengan sederhana. Lantas ia berpaling kepada pengiringnya dan memrintah dengan singkat “Undang suhu!”

Pengiring itu sudah lantas mengundurkan diri.

Cie It merasakan hatinya lega. Ia telah berpikir: “Dengan adanya Khu Suheng disini, musuh boleh tambah lagi, masih dapat kami membela diri…”

Tidak lama lantas terdengar tindakan sepatu, lalu di depan pintu thia terlihat seseorang bertubuh gemuk yang mengenakan seragam baju sulam, suatu tanda ia adalah seorang opsir. Dia berjanggut lebat, usianya empat puluh lebih, romannya sangat keren.

“Suhu!” Wanyen Kang lantas memanggil. “Totiang ini hendak bertemu sama suhu, malah ia sudah menanyakan beberapa kali…”

Melihat orang itu dan mendengar perkataan si pangeran, hatinya Ong Cie It menjadi panas sekali. Ia telah berpikir: “Bocah binatang ini, kau permainkan aku..!” Tapi ia mencoba untuk mengendalikan diri.

“Untuk urusan apakah kau hendak bertemu sama aku, imam?” si opsir menanya, sikapnya jumawa. “Adalah sudah biasa bagi aku, paling tidak senang terhadap segala paderi, imam atau paderi perempuan!”

Dengan paksakan diri, Ong Cinjin tertawa. “Tayjin hendak memohon derma,” ia berkata. “Ingin aku minta buat banyaknya seribu tail perak!”

Heran opsir itu atas permintaan derma tersebut. Ia bernama Thung Couw Tek, kepala barisan pengiring dari Wanyen Lieh di masa Wanyen Kang masih muda sekali, pernah ia ajarkan ilmu silat kepada pangeran itu, karenanya ia dipanggil guru. Yang lain-lain pun turut memanggil guru padanya.

“Itulah selayaknya,” berkata Wanyen Kang, yang mendahului gurunya itu. Ia lantas kata pada pengiringnya “Lekas kau siapkan uang itu, sebentar kau antarkan ke hotelnya totiang.”

Thung Couw Tek celangap, ia mengawasi imam itu, dari kepala ke kaki, dari kaki ke kepala. Tidak dapat ia menduga, imam ini orang macam apa.

“Tuan-tuan, silahkan duduk!” Wanyen Kang mengundang. “Totiang baru pertama ini tiba disini, silakan duduk di kursi kepala.”

Ong Cie It merendahkan diri tetapi ia didesak terus, akhirnya ia duduk juga di kursi pertama itu. Setelah tiga edaran arak, ia berkata: “Sekarang ini telah hadir banyak cianpwee kaum Rimba Persilatan, maka bolehlah kita bicara dari hal keadilan. Tentang si orang she Bok ayah dan anak itu, bagaimana urusannya itu harus diatur?”

Mendengar pertanyaan itu, semua mata diarahkan kepada Wanyen Kang.

Pangeran itu mengisikan sebuah cangkir, ia bangkit untuk bawa itu kepada Ong Cie It seraya berkata “Silahkan totiang keringkan dalu cawan ini. Tentang itu, bagaimana juga hendak diaturnya, boanpwe selalu bersedia menuruti.”

Cie It heran hingga ia tercengang. ia tidak sangka pangeran ini dapat bersikap demikian. Ia lantas hirup arak itu. Ia berkata kemudian “Bagus! Sekarang baik si orang she Bok itu diundang kemari, kita membicarakan urusannya.”

“Bagus begitu,” menyahut Wanyen Kang. “Aku minta saudara Kwee saja yang pergi mengundang tuan Bok itu.”

Ong Cie It menagngguk dan Kwee Ceng segera bangkit, pergi ke hotel dimana Bok Ek dan gadisnya menumpang. Tiba di sana, ia menjadi heran. Ayah dan anak dara itu tidak ada di kamarnya, barang-¬barangnya pun telah dibawa pergi. Ketika jongos ditanya, jawabannya adalah Bok Ek dan gadisnya itu ada yang undang sudah pergi entah ke mana, uang sewa kamar pun sudah dibayar lunas.

Kwee Ceng heran. Ia tanya jongos, siapa itu yang mengundang. Jongos itu tidak dapat memberikan keterangan. Maka terpaksa pemuda ini pulang ke onghu dengan tangan hampa.

Sambil tertawa, Wanyen Kang sambut tetamunya. “Banyak cape, tuan Kwee!” katanya. “Mana tuan Bok itu?”

“Ia telah pergi, entah kemana,” sahut Kwee Ceng, yang terus tuturkan kepergiannya Bok Ek serta anaknya itu.

“Oh, aku menyesal…” berkata Wanyen Kang cepat. Terus ia menoleh pada pengiringnya, untuk memerintah: “Kau lekas ajak orang pergi mencari tuan Bok dan putrinya itu, dia mesti dapat diundang datang kemari!”

Pengiring itu menyahut, terus undurkan diri.

Ong Cie It menjadi bungkam, tetapi ia curiga. Akhirnya, ia berkata “Tidak peduli orang bermain sandiwara apa, urusan toh akan ketahuan akhirnya!”

“Totiang benar,” berkata Wanyen Kang sembari tertawa.

Sementara itu Thung Couw Tek heran dan mendongkol. Tidak karu-karuan cukongnya kehilangan uang seribu tail perak. ia penasaran sekali, selagi si pangeran berlaku manis, si imam bersikap seperti tidak tahu aturan. Akhirnya ia menegur “Eh, tosu, kau asal kuil mana? Kenapa kau datang kemari untuk main gila?!”

Ong Cie It tidak menyahut, ia hanya balik bertanya: “Jenderal, kau ada asal negara mana? Kau mengandal apa kau datang kemari dan menjadi pembesar negeri?”

Couw Tek gusar sekali. Bukankah ia orang Han yang bekerja pada bangsa Kim? Kenapa ia mesti ditanya lagi kalau bukan orang hendak menghina padanya? Ia justru paling tidak senang orang menyebut-nyebut kebangsaannya. Ia memang tidak puas dengan kedudukannya. Ia anggap dirinya gagah, ia sudah bekerja mati-matian untuk negara Kim, tetapi pemerintah Kim tidak pernah mengijinkan ia memimpin pasukan tentara sendiri. Sudah duapuluh tahun ia bekerja, pangkatnya bukan kecil tetapi ia tetap ditempatkan di onghu. Maka juga perkataannya Ong Cie It membikin ia merasa tersinggung. Lantas ia lompat bangun, walaupun di depannya ada Nio Cu Ong dan Auwyang Kongcu, ia ulur tangannya meninju muka Ong Cinjin!

Cie It tertawa. “Kau tidak hendak memberitahu pun tidak apa, ciangkun,” ia berkata, “Maka perlu apa kau gusar dan menggunakan kekerasan?” Ia angkat sumpitnya untuk menjempit kepalan orang.




Kepalan Couw Tek kena tertahan, tak dapat ia meneruskan meninju.

“Imam siluman, kau menggunaikan ilmumu!” ia membentak, kaget dan gusar menjadi satu. Dia terus menarik pulang tangannya, tetapi tidak berhasil. Maka mukanya menjadi merah, dia jengah sekali.

“Jangan gusar, ciangkun,” berkata Nio Cu Ong, yang berada di sampingnya. “Baiklah ciangkun duduk dan keringkan arakmu!” Ia ulur tangannya, tekan pundak si jenderal.

Thie Kak Sian Giok Yang Cu tahu, sumpitnya dapat mempengaruhi Couw Tek tetapi tidak si orang she Nio ini, maka selagi orang menekan pundak si jenderal itu, cepat luar biasa, ia melepaskan jepitannya, sumpit itu terus ia pakai menyambar sepotong paha ayam, yang segera dibawa masuk ke dalam mulutnya she Thung itu, disuapi dengan paksa!

Couw Tel menjadi gelagapan, selagi mulutnya tersumpel, tubuhnya jatuh terduduk di kursi akibat tekanan Nio Cu Ong. Ia malu bukan main, ia sangat mendongkol, maka ketika ia bangkit pula, terus lari ke dalam.

Menyaksikan kejadian itu, semua hadirin tertawa.

“Coan Cin Pay berpengaruh di Selatan dan Utara, sungguh namanya bukan kosong belaka!” berkata See Thong Thian. “Aku hendak memohon sesuatu kepada totiang, sudikah totiang meluluskannya?”

“Tidak berani aku menerima pujianmu, See Locianpwe,” berkata Giok Yang Cu. “Silakan locianpwe mengatakannya.”

“Pihak kami tidak ada sangkutannya sama Coan Cin Pay,” berkata Kwie-bun Liong Ong, “Maka itu aku mohon keterangan, kenapa pihakmu berdiri sepenuhnya dibelakang Kanglam Cit Koay dan dengan begitu menyusahkan pihakku? Walaupun Coan Cin Pay banyak anggotanya dan sangat berpengaruh, aku yang bodoh tidak merasa takut.”

“See Locianpwe, pada ini terang ada salah mengerti,” berkata Giok Yang Cu. “Pinto tahu tentang Kanglam Cit Koay, tetapi dengan mereka itu, tidak satu pun yang pinto kenal, hanya salah satu suhengku ada punya sangkutan dengan mereka. Maka itu sama sekali tidak ada soal pihakku membantu Kanglam Cit Koay menghadapi Hong Ho Su Koay.”

“Bagus, kalau begitu!” berseru See Thong Thian. “Sekarang kau serahkan ini bocah kepadaku!” ia lantas berbangkit, akan ulur sebelah tangannya, guna menjambak batang lehernya Kwee Ceng.

Ong Cie It mengerti, bocah itu tidak bakal lolos dari jambakan itu, sedikitnya ia tentu terluka enteng, maka itu, ia lekas berbangkit, untuk menghalang, lengan kirinya berbareng dipakai membentur bocah itu, hingga tubuhnya Kwee Ceng tertolak mental. Menyusul itu jambakannya si orang she See itu mengenai kursi yang diduduki Kwee Ceng, hingga kursi itu tercengkeram rusak seraya menerbitkan suara keras.

Jambakan itu adalah jambakan dari Gwa-kang, ilmu Bagian Luar, hebatnya tak sama dengan Kiu-im Pek-ku Jiauw dari Hek Hong Siang Sat akan tetapi toh tidak kalah.

“Hau, kau lindungi bocah ini?” menegur Thong Thian karena kegagalannya itu.

“Sabar, locianpwe,” berkata Cie It tenang. “Anak ini pinto yang bawa datang ke istana ini, maka itu sudah selayaknya kalau nanti pinto membawanya keluar secara baik-baik. Kalau benar saudara tidak sudi melepaskannya, tidak dapatkah kau mencari ia dilain hari?”

Auwyang Kongcu lantas campur bicara. “Bagaimana caranya bocah ini mendapat salah dari saudara See?” dia tanya. “Coba jelaskan duduknya hal, supaya kita dapat menimbangnya.”

Sebelum menjawab, See Thong Thian telah berpikir: “Imam ini lihay tak ada di bawahku, kalau ia ngotot, bocah ini pasti tidak bisa dibiarkan tinggal tetap di sini. Untuk melayani dia, aku mesti dapat satu pembantu yang lihay…” Maka itu, ia lantas duduk pula, cawannya ia hirup kering. Kemudian ia berkata: “Sebenarnya aku tidak bermusuh langsung dengan anak she Kwee ini. Aku ada punya empat murid tolol, mereka turut Yang Mulia Chao Wang pergi ke Mongolia untuk suatu urusan, selagi mereka berkerja dan nampaknya bakal berhasil, tiba-tiba mereka diganggu oleh bocah ini. Yang Mulia Chao Wang menjadi sangat gusar karenanya. Coba tuan-tuan pikir, kalau satu bocah begini tidak dapat dibereskan, cara bagaimana kami bisa lakukan usaha yang besar?”

Kata-kata itu berpengaruh untuk para hadirin itu. Kecuali Cie It dan Kwee Ceng, mereka adalah orang-¬orang undangan Wanyen Lieh, yang diundang dengan kehormatan dan bingkisan berarti. Dengan lantas mereka itu memikir untuk menahan si bocah, guna diserahkan pada Chao Wang.

Diam-diam Cie It bingung juga mendapatkan semua mata diarahkan kepada Kwee Ceng. Ia lantas memikirkan daya untuk meloloskan diri bocah itu. Ia bingung sebab musuh tangguh semuanya. Sejak turun gunung, ia pernah menghadapi pelbagai pertempuran tetapi tidak seperti ini kali, bahkan ia berbareng mesti melindungi satu bocah. Ia lihat, jalan yang terbuka ialah memperlambat tempo sambil mencoba mencari tahu sikap sebenarnya dari para hadirin.

“Nama besar dari tuan-tuan telah lama pinto buat pangenan,” ia berkata, “Hari ini pinto berjodoh bertemu sama tuan-tuan, itulah hal yang sangat menggembirakan pinto. Tentang bocah ini,” ia menambahkan, seraya menunjuk Kwee Ceng, “Ia muda dan tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, ia mendapat salah dari Yang Mulia Chao Wang, pinto tidak dapat bilang apapun. Tuan-tuan berniat menahan dia, ini juga pinto tidak dapat menentang. Cuma lebih dulu daripada itu, dengan membesarkan nyali, pinto minta tuan-tuan mempertunjukkan dulu ilmu kepandaian, supaya bocah ini dapat melihatnya, supaya nanti ia jangan mengatakan pinto tidak sudi melindunginya, sedang sebenarnya pinto tidak sanggup berbuat demikian….”

Hauw Thong Hay sudah menahan sabar sekian lama, mendengar perkatannya Giok Yang Cu, ia mendahului bangkit, untuk singsatkan bajunya.

“Biarlah aku yang belajar kenal lebih dulu denganmu,” ia berkata, menentang si imam.

“Kebiasaanku tidak berarti, mana berani pinto mengadu kepandaian dengan tuan-tuan,” Ong Cie It berkata pula.

“Maka itu saudara Hauw, aku minta sukalah kau mempertunjukkan sesuatu agar pinto dapat pentang mataku, sekalian untuk memberi pengajaran kepada bocah ini, supaya ia insyaf bahwa di luar langit ada langit lainnya, di atas orang pandai ada pula yang terlebih pandai lagi, supaya selanjutnya dibelakang hari, dia jangan berani pula banyak tingkah!”

Hauw Thong Hay mendongkol sekali. Ia tahu orang mengejek padanya tetapi tidak tahu ia bagaimana harus memberikan jawaban. Perkataan orang diatur dengan halus.

See Thong Thian juga berpikir: “Imam-imam dari Coan Cin Pay tidak dapat dibuat permainan, memang lebih baik tidak usah bertempur dengannya.” Maka ia lantas awasi Thong Hay dan berkata kepadanya: “Sutee, coba kau perlihatkan Soat-lie May Jin, untuk minta Ong Cinjin memberi pengajaran padamu!”

“Itulah aku tidak berani,” Cie It membilang keras.

Ketika itu hujan salju masih belum berhenti, Hauw Thong Hay sudah lantas pergi ke lataran dimana dengan kedua tangannya ia menumpuk salju sampai tingginya tiga kaki, untuk membikin padat, ia menginjak-injak, habis itu, ia mundur tiga tindak, lalu mendadak ia lompat maju, kepala di bawah kaki di atas, kepala itu nuncap melesak ke dalam tumpukan salju itu, sampai sebatas dada.

Kwee Ceng heran. ia tidak tahu ilmu silat apa itu, meski ia tahu namanya seperti telah disebutkan See Thong Thian, yaitu “Soat-lie May Jin” atau “Mengubur orang di dalam salju”

See Thong Thian lantas berkata pada pengiring-¬pengiringnya Wanyen Kang: “Tolong tuan-tuan membikin padat dan keras salju disekitarnya Tuan Huaw!”

Kawanan pengiring itu girang sekali, dengan bergembira mereka luluskan permintaan itu.

Sebenarnya See Thong Thian bersama-sama Hauw Thong Hay telah menjagoi di sungai Hong Ho, mereka pandai berenang dan tahan selulup lama, karena ini Thong Hay dapat nyelusup ke dalam salju, untuk mana ia mesti menahan napas.

Orang semua heran dan kagum, tetapi mereka terus minum arak.

Selang sekian lama. barulah dua tangan Thong Hay bergerak, tubuhnya ikut, lalu sejenak saja, ia sudah keluar dari salju dan berdiri tegak.

Saking kagum, Kwee Ceng yang polos memuji sambil bertepuk tangan.

Thong Hay melirik bocah itu, lalu ia kembali ke kursinya.

“Kasar kepandaiannya suteeku ini, ia hanya mendatangkan tertawaan…” berkata See Thong Thian, yang sembari bicara mengulurkan tangannya ke piring kwaci, untuk menjumput, setelah mana jari tangannya yang tengah disentilkan tak hentinya, maka biji kwaci itu meluncur ke tembok putih di hoa-thia itu, nancap di tembok merupakan satu huruf “Yauw”. Jarak ke tembok ada kira-kira tiga tembok, biji kwaci enteng, tetapi biji kwaci itu dapat disentilkan sedemikian rupa, itulah bukti dari tenaga dalam yang terlatih sempurna.

Kata Ong Cie It dalam hatinya: “Tidak heran Kwie¬bun Liong Ong menjagoi sungai Hong Ho, dia memang lihay sekali.”

Di tembok sekarang terlihat lagi dua huruf, “Bu” dan “Yang”, maka itu dapat diduga See Thong Thian hendak menuliskan empat huruf “yauw bu yang wie” yang artinya menentang pengaruh atau menjagoi.

Menyaksikan itu Peng Lian Houw manjadi bertangan gatal. Ia berkata, “See toako, kepandaianmu ini membuatnya aku takluk sekali! Kita biasa berkerjasama, maka setelah totiang ini hendak menguji kepandaian kita, aku pun dengan meminjam pengaruhmu, ingin mempertunjukkan sesuatu…” Ia lantas saja lompat ke tengah ruangan itu.

Ketika itu See Thong Thian benar-benar telah membuat huruf “Wie” yang terakhir, akan tetapi baru huruf selesai separuhnya, Peng Lian Houw sudah memegat meluncurnya biji-biji kwaci itu, mulanya ia merintangi , lalu semua biji beruntun dikasih masuk ke dalam mulutnya, atas mana, mulutnya itu sudah lantas kermak-kermik, seperti burung menyisit, kwaci itu ia makan isinya dan kulitnya dilepehkan!

“Bagus!” orang banyak berseru memuji. “Ah, aku tidak sanggup memakan lebih jauh!” berseru Peng Lian Houw, yang terus aja lompat balik ke kursinya.

Setelah itu barulah See Thong Thian rampungkan huruf “Wie” itu.

Gangguannya Peng Lian Houw itu tidak membuat Thong Thian kecil hati, dia malah tersenyum. Persahabatan mereka adalah dari persahabatan dua tigapuluh tahun, mereka telah mengenal baik satu dengan lain. kemudian Thong Thian menoleh kepada Auwyang Kongcu, untuk mengatakan: “Auwyang Kongcu hendak mempertunjukan apa untuk kami dapat membuka mata kami?”

Kongcu itu dengar suara orang ada mengandung nada menyindir, dia berdiam saja. Ia tunggu sampai pelayan membawa datang tambahan barang makanan dan semua sumpit bekas ditukar dengan yang baru, sumpit bekas itu ia ambil dari tangannya si pelayan. Segera setalah memegang, ia ayun tangannya, lantas semua sumpit – dua puluh pasang – terlempar ke salju dan nancap. Apa yang luar biasa, semua sumpit nancap rapi merupakan empat tangkai bunga bwee!

Kwee ceng dan Wanyen Kang kurang mengerti ilmu kepandaian itu, tidak demikian dengan Ong Cie It, See Thong Thian dan lainnya yang lihay, maka mereka ini diam-diam terkejut. Malah Ong Cie It segera berpikir: “Kenapa orang-orang lihay ini dapat berkumpul di sini? Biasanya, untuk menemui satu saja sudah sukar! Apakah tak boleh jadi bahwa mereka mengandung sesuatu maksud?”

Selagi si imam berpikir, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong bangkit sambil tertawa, ia pergi ke samping tambur batu di depan hoa-thia itu, ulur tangannya yang kanan ke pinggang batu, begitu ia kerahkan tenaganya, batu itu kena terangkat, sedang beratnya batu ada tujuh atau delapan puluh kati. Batu itu segera diapungkan, terlepas dari tangan dan mencelat naik dua tombak tingginya. Sebelum batu itu turun, dua batu lagi diangkat dan diapungkan seperti yang pertama.

Dan ketika batu yang pertama turun, ia tanggapi dengan dahi, maka batu itu lantas diam di dahinya. Lalu menyusul batu yang kedua dan yang ketiga, ketiganya menjadi saling susul. Dengan rangkapkan kedua tangannya, memberi hormat kepada orang banyak, Cu Ong jalan perlahan-lahan ke tengah latar. Dengan satu lompatan, ia tiba diatasnya pelatok-¬pelatok sumpit Auwyang Kongcu tadi, berdiri di atasnya lantas bersilat, memainkan ilmu silat “Yan Ceng Kun.” Ia menjunjung tiga buah batu yang beratnya rua ratus kati lebih, tapi barang berat itu tidak mengurangi kegesitannya, dan setiap tindakan kakinya tidak pernah meleset dari ujung sumpit. Baru setelah habis semua jurus itu, ia lompat turun dari pelatok sumpit, dan setelah turunkan ketiga batu itu, ia kembali ke kursinya. Ia mengasih lihat senyuman, tidak ada tanda bahwa ia merasa letih.

Adalah biasa untuk tukang-tukang dangsu mempertunjukan permainan batu seperti Nio Cu Ong ini, hanya yang istimewa, ini dimainkan di atas pelatok sumpit dan sumpitnya tidak ada yang patah atau miring karena ketindihan tubuh dan batu yang berat itu.

Kwee Ceng kagum bukan main, ia memuji tak henti-¬hentinya. Kelihatan pesta bakal ditutup sampai disitu. Pelayan-pelayan telah datang dengan baskom yang terisi air hangat, untuk semua tamu membersihkan tangan.

“Cuma Leng Siangjin yang belum mengasih lihat kepandaiannya,” Cie It berpikir. “Mungkin sehabis dia, mereka ini bakal turun tangan…”

Maka itu si imam segera melirik paderi dari Tibet itu.

Leng Tie Siangjin mencuci tangan seperti yang lain-¬lain, sikapnya wajar saja, hanya selagi yang lain-lain selesai, ia masih merendam kedua tangannya di dalam baskom. Hal ini dapat dilihat semua orang, mereka menjadi heran. Mereka justru menantikan tanda dari paderi itu untuk bergerak.

Selang beberapa saat, Ong Cie It dan Auwyang Kongcu adalah yang paling dulu menampak perubahan. Baskomnya si paderi mengeluarkan uap. Yang lain-lain baru dapat melihat setelah uap itu nampak semakin nyata, mirip asap, kemudian terdengar suara perlahan dari air bergolak.

Selagi semua orang heran dan kagum, Ong Cie It terperanjat. “Hebat tenaga dalamnya paderi ini,” katanya dalam hati. “Aku tidak boleh berlambat lagi, aku mesti mendahului turun tangan terhadap dia…”

Tengah semua mata diarahkan kepada Leng Tie Siangjin, Ong Cie It cenderung tubuhnya melewati dua orang, tangannya menyambar kepada Wanyen Kang, yang duduk berselang, ia menangkap nadinya siauw-ongya itu, terus diangkat, digeser ke depannya.

Orang lantas melihat kejadian ini, mereka heran. Kemudian, untuk kagetnya, mereka lihat pangeran itu ditotok hingga menjadi tak berdaya lagi. Kemudian lagi si imam taruh tangan kirinya di punggung pangeran itu. See Thong Thian semua kaget berbareng gusar tetapi mereka tak segera dapat berdaya.

Dengan tangan kanannya, Ong Cinjin angkat poci arak, terus ia berkata: “Barusan aku saksikan kepandaian mengagumkan dari tuan-tuan, maka dengan ini aku hendak menghormati kamu dengan secawan arak.” Ia tidak berbangkit tapi dapat menuangkan arak ke dalam cawannya semua orang. Asal tangannya digerakkan, arak meluncur keluar dari mulut poci, turun ke dalam cawan, mengisi hingga penuh, tidak ada arak yang berceceran.

Leng Tie Siangjin beramai menginsyafi tenaga dalam yang terlatih baik dari imam ini, maka itu, asal tangan kirinya digerakkan, celakalah Wanyen Kang. Mereka insyaf juga, Ong Cinjin berbuat begini tentulah disebabkan dia sendirian saja.

Paling akhir Ong Cie It isikan cawannya Kwee Ceng serta cawannya sendiri, kemudian ia letaki poci arak, untuk angkat cawannya yang ia hirup kering. Habis itu ia berbicara,

“Pinto tidak berselisih, tidak bermusuhan dengan tuan-tuan,” katanya, “Pinto juga tidak bersanak tidak bersahabat dengan anak ini, cuma pinto merasa suka kepadanya karena dia berhati polos dan pemurah, ia bersemangat. Maka itu dengan memandang kepada mukaku, pinto minta sukalah tuan-tuan melepaskan dia hari ini.”

Semua orang berdiam. Mereka berdiam sejak Wanyen Kang dicekuk.

“Jikalau tuan-tuan memberi ampun kepada anak ini,” berkata pula Ong Cie It, yang menanti jawaban, “Maka pinto juga akan bebaskan siauw-ongya. Siauw-ongya adalah seumpama cabang emas daun kumala, ini anak sebaliknya adalah satu anak rakyat jelata, dari itu jikalau mereka ditukar guling, tidakkah siauw-ongya rugi? Bagaimana?”

“Ong Totiang, kau baik sekali!” berkata Nio Cu Ong tertawa. “Baiklah, beginilah kita mengambil keputusan.”

Tanpa bersangsi sedikit juga, dengan sikutnya Ong Cie It bentur pinggangnya Wanyen Kang, maka pangeran itu bebas dari totokan, terus dikembalikan ke kursinya. Ia percaya semua jago itu, tidak peduli mereka licin atau licik. Habis itu ia mengangguk kepada semua orang, lalu ia tarik tangannya Kwee Ceng untuk diajak pergi. Masih ia mengucapkan “Ijinkanlah kami mengundurkan diri. Sampai bertemu pula!”

Semua orang mengawasi dengan air muka guram. Bukankah ikan telah masuk ke dalam jala tetapi dapat lolos pula? Tidakkah itu sayang?

Wanyen Kang telah lantas dapat menenangkan hatinya. Sambil tersenyum, ia kata kepada Ong Cinjin: “Totiang, apabila ada tempo luang, silahkan sembarang waktu datang untuk pasang omong di sini, supaya aku yang lebih muda dapat banyak pengajaran.” Ia lantas bangkit, dengan sikapnya yang menghormat, ia mengantarkan keluar.

“Hm!” bersuara si imam, yang terus bilang “Urusan kita telah selesai, maka itu mesti ada harinya yang kita nanti bertemu pula!”

Setibanya mereka di pintu hoa-thia, tiba-tiba Leng Tie Siangjin berbicara. “Totiang sangat lihay, kau membuat orang sangat kagum!” demikian katanya. Ia merangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat, akan tetapi ketika ia buka kedua tangannya itu, siuran angin hebat menyambar ke arah si imam!

“Celaka!” Ong Cie It berseru di dalam hatinya ia lekas-lekas angkat kedua tangannya untuk membalas hormat. Ia kerahkan tenaga untuk memecahkan serangan hebat itu.

Sebat luar biasa, Leng Tie Siangjin mengubah tenaga dalamnya menjadi tenaga luar, tangan kanannya diulur, untuk menyambar lengannya Ong Cie It. tetapi si imam pun tidak diam saja, ia menyambuti dengan sama kerasnya, karena ia telah lantas dapat melihat sambaran itu, ia pun berbalik menyambar lengan lawan.

Cuma hanya sekali bentrok, kedua tangan sama-¬sama ditarik pulang.

“Sungguh aku takluk, aku takluk!” berkata Leng Tie Siangjin yang air mukanya berubah, seraya melompat mundur.

Ong Cie It tersenyum, ia bertanya: “Nama Taysu bersemarak dalam dunia kangouw, mengapa kata-¬katanya tidak masuk hitungan?”

Leng Tie menjadi gusar. “Aku bukan hendak menahan ini bocah she Kwee, aku hanya hendak menahan kau…” katanya, tapi belum dapat ia meneruskan, lantas saja ia muntah darah. Sebab bentrokan itu membuat ia terluka. Coba ia berlaku tenang dan mainkan napasnya, darahnya itu tidak nanti menyemprot keluar, tetapi ia diejek si imam, ia tidak dapat mengendalikan diri.

Ong Cie It segera tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak berlalu dengan cepat-cepat dari istana itu.

See Thong Thian beramai tidak berani mencegah, bukan saja memang mereka seudah berjanji, contoh dalam dirinya Leng Tie Siangjin juga membikin hati mereka gentar. Imam ini benar-benar tidak dapat dibuat permainan, tidak berani mereka merintangi.

Sesudah belasan tombak keluar dari pintu istana, setelah melintasi sebuah tikungan dan melihat di belakangnya tidak ada orang yang menyusul, dengan perlahan Giok Yang Cu berkata kepada bocah yang ia tuntun itu: “Kau gendong aku sampai di rumah penginapan…







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar