Minggu, 20 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 032

Bok Ek tetap perhatikan ilmu silat tombak dari siauw-ongya, makin lama ia menjadi makin heran. Itulah terang Yo Kee Ciang-hoat, ilmu tombak Keluarga Yo, ilmu mana diturunkan hanya kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan. Yang mengerti ilmu itu, untuk bagian Selatan Tionggoan saja sudah jarang, maka heran kenapa di negara Kim ada yang dapat memainkannya? Ia terus mengawasi, sampai akhirnya ia merasa sedih sendiri, tidak dapat ia mencegah mengucurnya air mata.

Nona Bok pun memperhatikan jalannya pertempuran, ia juga agaknya berpikir keras.

Akhirnya terdengar teriakan onghui: “Berhenti! Berhenti! Jangan berkelahi lagi!” Karena nyonya agung itu mendapatkan putranya telah bermandikan keringat.

Mendengar suara onghui, Peng Lian Houw bertindak ke dalam kalangan. ia segera gerakkan tangan kirinya, untuk menyampok tiang bendera. Kwee Ceng merasakan telapak tangannya sakit, tiang bendera terlepas dari cekalannya, mental ke udara, hingga benderanya berkibar-kibar bagus.

Anak muda itu terkejut. Seumurnya kecuali Bwee Tiauw Hong, belum pernah ia menemui tandingan selihay ini. Belum sempat ia memandang orang, atau satu pukulan telah menjurus ke mukanya. Ia berkelit dengan cepat, tetapi tidak urung, lengannya kena terhajar. Tidak ampun lagi, ia terguling roboh.

Setelah merobohkan bocah itu, Pheng Lian Houw berpaling kepada si pangeran muda dan berkata sambil tertawa: “Siauw-ongya, akan aku bereskan dia ini, supaya dia jangan mengganggu terlebih jauh…” Sembari berkata, ia maju ke Kwee Ceng, ia ulur tangan kanannya ke arah kepala orang, justru si anak muda lagi merayap bangun.

Kwee Ceng kaget, lebih-lebih ia tahu, kedua tangannya sakit. Untuk tolongi dirinya, ia memaksa menangkis juga.

Disaat anak muda ini terancam bahaya maut, sekonyong-konyong datang teriakan dari kerumunan orang banyak: “Perlahan!” Lalu terlihat melesatnya satu bayangan abu-abu perak disusul serangan semacam senjata, yang terus melibat tangan si orang she Pheng itu, hingga serangan itu batal. Tetapi Lian Houw tidak diam saja, ia segera menarik pulang tangannya, begitu keras, hingga senjata yang melibatnya terputus.

Orang yang baru datang itu agaknya terperanjat, hingga ia tercengang, tetapi lekas ia sambar Kwee Ceng, pinggangnya ia peluk, setelah itu lompat mundur.

Sekarang orang bisa lihat, dia adalah satu tojin atau imam usia pertengahan, jubahnya warna abu-abu, tangannya mencekal sebatang hudtim atau kebutan, hanya kebutan itu tinggal sepotong, sepotong yang lain masih melibat ditangan Lian Houw. Ia terus mengawasi Lian Houw kemudian berkata: “Tuan, adakah kau Pheng Cecu yang namanya sangat tersohor? Hari ini aku dapat bertemu denganmu, sungguh aku merasa sangat girang!”

“Tidak berani aku menerima namaku yang rendah dijunjung sedemikian tinggi olehmu,” sahut Lian Houw. “Aku mohon ketahui gelaran suci dari totiang.”

Semua orang lantas mengawasi imam itu, yang romannya tampan, kumis dan janggutnya terbelah tiga. Kaos kakinya yang putih serta sepatunya yang abu-abu bersih sekali. Ia tidak menjawab, hanya Ia ulur kakinya, untuk dimajukan satu tindak, lalu ia menarik pulang, tetapi karena injakan atau tindakannya itu, di tanah lalu tertapak dalam. Sedang di tanah utara ini, tanah kering dan keras.

Melihat tapak sepatu itu, Peng Lian Houw terperanjat. “Jadi totiang adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu Ong Cinjin?” ia menanya.

Imam itu menjura. “Teecu terlalu memuji kepadaku,” ia menyahut. “Memang benar, pinto adalah Ong Cie It. Tidak berani pinto menerima itu sebutan cinjin.”

Peng Lian Houw, begitu juga Som Sian Lao Koay, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin mengawasi imam itu, yang mereka tahu namanya tidak kalah daripada Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Sudah lama mereka ketahui hal imam ini, baru sekarang mereka menemui sendiri orangnya. Mereka dapatkan orang sungguh alim dan agung. Coba tadi mereka tidak telah menyaksikan gerakan yang gesit dan melihat itu tapak kaki, tidak nanti mereka mau percaya dia adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu si Dewa Kaki Besi yang pernah menaklukkan jago-jago di Utara.

Ong Cie It tersenyum, terus ia menunjuk pada Kwee Ceng dan berkata: “Pinto tidak kenal anak ini, hanya karena kemuliaan hatinya dan kegagahannya barusan, hatiku menjadi sangat tertarik, maka itu dengan besarkan nyali, pinto mohon Pheng Ceecu memberi ampun kepada jiwanya.”

Melihat sikap orang yang demikian hormat, sedang orang pun dari Coan Cin Kauw, Peng Lian Houw suka berbuat baik, maka itu sambil membalas hormat, memberikan persetujuannya.

Ong Cie It menjura pula seraya menghanturkan terima kasih, ketika ia memutar tubuh, ia menghadapi si siauw-ongya dengan wajahnya keren sekali.

“Siapakah namamu?” ia menanya bengis, “Siapakah gurumu?!” Siauw-ongya itu telah merasa kurang enak hati. Sebenarnya ia sudah memikir untuk berlalu, tetapi ia terlambat. Ia berdiri diam dan menyahut: “Namaku Wanyen Kang. Nama guruku tidak dapat aku beritahukan padamu.”

“Bukankah gurumu ada tanda tahi lalat merah pada pipinya yang kiri?” Ong Cit It tanya pula.

Wanyen Kang tertawa hihi-hihi, hendak ia menjawab secara jenaka, atau mendadak matanya si imam bersinar tajam bagaikan kilat, maka hatinya terkesiap, batal ia untuk main gila. Ia lantas mengangguk.

“Memang telah aku duga, kau adalah muridnya Khu Suhengku itu,” berkata Ong Cinjin. “Hm, bagus benar perbuatanmu ya? Pada mula kali gurumu hendak mengajarkan silat padamu, apakah ia telah bilang padamu? Apakah pesannya?”

Wanyen Kang perlihatkan roman cemas. Ia dapat lihat suasana buruk.

“Anak, lekas pulang!” demikain terdengar suara ibunya dari dalam joli.

Anak ini dapat dengar panggilan itu, justru berbareng dengan itu, ia mendapat satu pikiran. Ia insyaf, kalau gurunya ketahui perbuatannya, inilah hebat. Maka itu, lekas ia ubah sikapnya. Dengan sabar, ia berkata: “Totiang kenal guruku itu, terang totiang adalah satu cianpwee, oleh karena itu boanpwe mohon sukalah totiang datang ke rumahku, untuk boanpwe nanti mendengar segala pengajaranmu.”

Dengan lantas siauw-ongya ini membahasakan diri “boanpwe”, orang dari tingkat lebih rendah, karena ia tahu lagi berhadapan dengan satu cianpwee, orang yang tingkat derajatnya lebih tua.

“Hm!” Ong Cie It perdengarkan suaranya.

Wanyen Kang benar-benar cerdik, tanpa tunggu orang buka mulut lagi, ia sudah lantas menjura kepada Kwee Ceng, sembari tersenyum, ia berkata: “Saudara Kwee, kalau kita tidak bertempur, pasti kita tidak kenal satu sama lain. Ilmu silat kau saudara, aku sangat mengaguminya. Maka itu, aku pun minta suka kau bersama totiang berkunjung ke rumahku. Sukalah kau kalau kita mengikat persahabatan?”

Kwee Ceng tidak menjawab, ia hanya menunjuk kepada Bok Ek dan gadisnya serta bertanya: “Bagaimana urusan jodohmu dengan nona itu?”




Wanyen Kang menjadi likat. “Hal itu perlahan-lahan saja kita bicarakan,” katanya.

Mendengar itu, Bok Ek tarik tangannya Kwee Ceng. “Engko Kwee kecil, mari kita pulang!” berkata ia. “Buat apa kau layani pula manusia hina dina ini?”

Wanyen Kang dengar suara orang menghina itu, ia tidak menjadi gusar, ia hanya menjura pula kepada Ong Cie It seraya berkata: “Totiang, bownpwe menantikan segala kehormatan atas kedatangan totiang ke rumahku. Totiang tanyakan saja istananya Chao Wang.”

Habis berkata begitu, ia sambar les dari seekor kuda pilihan yang satu pengiringnya bawakan, ia lompat naik ke atas kuda itu, kemudian lari di antara orang banyak, hingga mereka itu berlari-¬lari untuk menyingkir dari bahaya kena diterjang kuda.

Ong Cie It mendongkol melihat sikap keagung-¬agungan itu. Tapinya ia berkata kepada Kwee ceng, “Engko kecil, kau turut aku,”

“Aku hendak menantikan dulu sahabatku…” Kwee ceng menjawab.

Belum berhenti suaranya bocah ini, Oey Yong muncul dari kerumunan orang banyak, lantas ia berkata sambil tertawa “Aku tidak kenapa-kenapa! Sebentar aku pergi mencari padamu…!” Baru ia mengucap, kemudian ia menyelinap di antara orang banyak itu. Ia memang bertubuh kecil dan lincah.

Di lain pihak, lantas terlihat Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay lari mendatangi.

Melihat si Ular Naga Kepala Tiga ini, Kwee Ceng tertawa di dalam hati. Tapi ia pun cerdik, ia lantas menjatuhkan diri di depan Ong Cinjin. “Totiang, banyak-banyak terima kasih,” ia berkata.

Ong Cie It tidak bilang apapun, ia cekal tangan si bocah, untuk diajak pergi, hingga dilain saat mereka sudah metinggalkan orang banyak dan menuju keluar kota.

Cepat tindakan si imam, sebentar saja mereka sudah berada diluar kota. Selang lagi beberapa lie, tibalah mereka di belakang sebuah puncak buklit. Di sini si imam berjalan semakin cepat. Memang ia hendak menguji enteng tubuhnya si bocah.

Sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng dapat mengikuti dengan baik si imam itu. Ia sudah belajar lari keras, tubuhnya enteng, dan dibawah pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok, ia dapat manjat puncak, maka itu, ia bisa berlari tanpa napasnya memburu atau hatinya berdenyutan.

Ong Cie It cekal tangan orang, ia lari terus-¬terusan, tiba-tiba ia melepaskannya. Ia terperanjat dan mengawasi bocah itu.

“Dasarmu tidak jelek!” ia berkata dalam herannya itu. “Kenapa kau tidak dapat mengalahkan dia itu?”

Kwee Ceng tidak tahu bagaimana harus menjawab, ia cuma tertawa saja.

“Siapakah gurumu?” Ong Cinjin menanya lagi.

Kwee Cneg tahu di antara adik seperguruan dari ma Giok ada yang bernama Ong Cie It, ialah imam, ia tidak mau mendusta. Ia menyebutkan Kanglam Cit Koay dan Ma Giok.

Mendengar itu Ong Cie It menjadi girang sekali. “Toasuko telah ajarkan kau ilmu silat, bagus!” katanya. “Sekarang aku tidak usah mengkhawatirkan apa-apa lagi!”

Kwee Ceng heran, ia mengawasi imam itu.

“Dengan siapa tadi kau bertempur, setahuku yang dipanggil siauw-ongya Wanyen Kang itu adalah muridnya suhengku Tiang Cun Cu, kau tahu atau tidak?” bertanya si imam.

Bocah itu tercengang. “Apa?” dia menanya. “Aku tidak tahu…”

Ma Giok mengajarkan Kwee Ceng tanpa penjelasan, bocah ini menjadi tidak tahu tentang ilmu silat kaum Coan Cin Kauw, sekarang setelah mendengar pertanyaannya Ong Cie It, ia menjadi ingat kepada pertempurannya sama In Cie Peng hingga ia ingat juga, ilmu silat Wanyen Kang sama dengan ilmu silatnya In Cie Peng itu. Ia lantas menundukkan kepala.

“Teecu tidak tahu siauw-ongya itu adalah muridnya Khu Totiang, teecu telah berlaku kurang ajar, teecu mohon totiang suka memberi maaf,” ia memohon.

Ong Cie It tertawa bergelak.

“Hatimu mulia, aku suka sekali! Mustahil aku nanti persalahkan kau!” ia berkata. Kemudian ia meneruskan dengan sikapnya sungguh-sungguh “Kami kaum Coan Cin Kauw punya aturan yang keras, kalau ada murid yang bersalah, dia dapat dihukum berat, tetapi tidak nanti dilindungi atau dieloni. Siauw-ongya itu sombong dan ceriwis, nanti aku suka minta toasuko menghukum padanya!”

“Asal ia suka menikah dengan nona Bok, baiklah totiang memberi ampun padanya,” berkata Kwee Ceng, yang tidak mendendam, hatinya masih ingin merekoki jodohnya nona Bok.

Ong Cie It menggeleng kepala, ia tidak bilang suatu apa, di dalam hatinya ia suka bocah ini yang jujur dan hatinya pemurah. kemudian setelah berpikir, ia berkata-kata seorang diri: “Toasuko biasanya benci kejahatan sebagai musuh besarnya, dia lebih-lebih membenci bangsa Kim, maka itu kenapa dia mengajari silat kepada satu pangeran Kim? Sungguh membikin pusing kepala…” Terus ia mengawasi Kwee Ceng dan berkata pula: “Khu Toasuko telah menjanjikan bertemu di Yan-khia, dalam beberapa hari ini tentu ia bakal tiba, maka setelah bertemu dengannya, aku akan menanya jelas segalanya. Toasuka telah menerima satu murid she Yo, dia kata hendak ajak muridnya itu pergi ke Kee-hin untuk dicoba pibu denganmu. Entah bagaimana kepandaiannya murid she Yo itu, nanti kau jangan khawatir. Di sini ada aku, tidak nanti aku bikin kau memdapat susah….”

Kwee Ceng telah terima titah gurunya untuk sebelum tanggal duapuluh empat bulan tiga sampai di Kee-hin, Ciat-kang untuk apa ia dimestikan pergi ke Kee.hin itu, gurunya tidak memberikan keterangan apa-apa, maka itu ia heran atas kata-katanya imam ini.

“Totiang, pibu apakah itu?” ia bertanya.

Ong Cie It dapat menduga, ia menghela napas. “Gurumu belum membilang apapun kepadamu, tak baik aku mewakilkan mereka memberi keterangan,” ia menjawab.

Ong Cie It ketahui maksudnya Kanglam Cit Koay. Dia telah mendengar lelakonnya kedua keluarga Yo dan Kwee itu, bahwa dalam pibu, Kanglam Cit Koay pasti menghendaki kemenangan, maka itu tidak heran Tujuh Manusia Aneh dari Kanglam itu tidak mau menjelaskan sesuatu kepada Kwee Ceng, maksudnya pasti untuk mencegah Kwee Ceng menjadi susah hati hingga peryakinan ilmu silatnya menjadi terganggu. Atau mungkin disebabkan musuh adalah turunan sahabat ayahnya, Kwee Ceng itu nanti berkelahi tidak dengan sungguh-sungguh dan karenanya menjadi tidak memperoleh kemenangan.

Kwee Ceng juga tidak berani menanya apa-apa lagi, dia cuma manggut-manggut.

“Sekarang mari kita lihat orang she Bok dan gadisnya,” berkata Ong Cie It kemudian. “Nonan itu bertabiat keras, aku khawatir dia nanti menerbitkan bencana jiwa…”

Kwee Ceng terkejut. ia menjadi ingat kepada nona itu. Maka keduanya lantas berjalan dengan cepat ke kota barat, terus ke rumah penginapan Kho Seng di jalan besar utama. Baru mereka sampai di depan pintu, dari dalam hotel sudah muncul beberapa pengiring dengan pakaian seragam bersulam, semua lantas memberi hormat kepada Ong Cinjin seraya berkata: “Kami diperintahkan siauw-ongya mengundang totiang serta Tuan Kwee menghadiri pesta di gedung kami.” Mereka lantas menyerahkan sehelai kartu nama di atas mana ada tertera: “Hormat dari teecu Wanyen Kang.”

“Sebentar kita datang,” berkata Ong Cie It.

“Dan ini kue-kue dan bebuahan, siauw-ongya minta totiang dan Tuan Kwee sudi menerimanya,” berkata pula si pengiring. “Dimana totiang dan Tuan Kwee tinggal? Nanti kami pergi mengantarkan ke sana.”

Beberapa pengiring lainnya lantas maju untuk mengasih lihat barang antaran mereka, yang terdiri dari duabelas, isinya semua adalah makanan dan bebuahan yang istimewa.

“Oey Yong suka dahar makanan semacam ini, baik aku tinggalkan untuk dia,” Kwee Ceng berpikir. Ia polos, ia bersedia menerima antaran itu.

Ong Cie It tak berkesan baik terhadap Wanyen Kang, hendak ia menampik, akan tetapi kapan ia melihat sikap Kwee Ceng, ia lantas terima. Ia tersenyum, di dalam hatinya ia berkata: “Dasar bocah! Dia tidak harus dipersalahkan.”

Habis menerima antaran itu, Ong Cie It menanyakan keterangan kamarnya Bok Ek, lalu ia terus masuk ke dalam kamar orang, ia dapatkan she Bok itu sedang rebah dengan muka pucat dan di tepi pembaringan, gadisnya duduk sambil menangis. Kapan mereka lihat tetamu, si nona bangkit berdiri, Bok Ek sendiri bangkit duduk di atas pembaringan.

Ong Cinjin periksa lukanya Bok Ek, yang setiap belakang telapak tangannya bertanda lima lobang jari tangan, hingga nampak tulang-tulangnya dan kedua lengannya bengkak besar. Luka itu telah ditorehkan obat, tetapi mungkin khawatir menjadi nowa, sudah tidak dibalut.

“Aneh,” pikir Ong Cie It. “Ilmu silat Wanyen Kang terang adalah ajarannya toasuko, maka darimana dia dapatkan ilmu pukulan jahat ini? Pada ini mesti ada rahasianya…?” Lantas ia pandang si nona dan menanya: “Nona, siapakah namamu?”

Nona itu menunduk. “Namaku Bok Liam Cu,” ia menyahut perlahan.

“Luka ayahmu ini tak enteng, dia perlu dirawat baik-¬baik,” kata Cie It, yang terus merogoh sakunya, untuk mengeluarkan uang perak dua potong, yang mana ia letakkan di atas meja, seraya menambahkan “Besok aku akan datang untuk menjenguk lagi.” Lalu menanti jawaban si nona, ia tarik tangan Kwee Ceng meninggalkan hotel.

Di luar hotel, mereka dipapaki empat pengiring, setelah mereka itu memberi hormat, yang satunya memberitahukan bahwa siauw-ongya mereka lagi menantikan di gedung dan imam serta bocah itu diundang ke sana.

Ong Cie It mengangguk.

“Totiang, kau tunggu sebentar,” berkata Kwee Ceng, yang terus lari masuk pula ke dalam hotel, ke dalam kamar di mana ada bingkisan kue dan buah dari Wanyen Kang. Ia pilih empat rupa kue, ia bungkus dengan sapu tangan, sesudah masukkannya ke dalam saku, ia lari pula ke luar, untuk bersama si imam pergi mengikuti keempat pengiring itu pergi ke onghu, gedungnya Wanyen Kang.

Tiba di muka gedung, atau lebih tepat istana, Kwee Ceng paling dulu lihat dua lembar bendera berkibar di tiang yang tinggi, di kiri dan di kanan pintu ada nongkrong masing-masing seekor cio-say, atau singa batu, yang romannya bengis. Undakan tangga dari batu putih semua, dipasang terus sampai di thia depan. Di pintu besar ada dituliskan tiga huruf besar air emas, bunyinya: “Chao Wang Hu” atau istana pangeran Chao Wang.

Kwee Ceng tahu, Chao Wang itu adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Maka tanpa merasa, hatinya tercekat.

“Mungkinkah si pangeran muda itu adalah putranya Wanyen Lieh?” ia kata dalam hati. “Wanyen Lieh mengenali aku, kalau di sini aku bertemu dengannya, inilah cade….”

Selagi si bocah terbenam dalam keragu-raguan, lantas ia dengar ramainya suara tetabuhan, yang rupanya diperdengarkan untuk menyambut ia dan Ong Cie It, menyusul mana ia tampak si siauw-ongya keluar menyambut, pakaiannya jubah merah dengan gioktay atau ikat pinggang kumala, sedang kepalanya ditutupi kopiah emas.

Melihat dandanan pangeran itu, Ong Cie It mengkerutkan keningnya. ia diam saja, ia turut dipimpin ke dalam thia, dimana ia lantas dipersilahkan duduk di kursi atas.

“Totiang bersama saudara Kwee sudi datang kemari, sungguh aku merasa sangat beruntung!” berkata tuan rumah yang muda ini.

Ong Cie It tidak puas, bahkan ia mendongkol. Pangeran itu tidak berlutut didepannya dan tidak juga memanggil susiok atau paman guru kepadanya.

“Sudah berapa lama kau ikuti gurumu belajar silat?” ia tanya.

“Mana boanpwe mengerti ilmu silat?” sahut Wanyen Kang sambil tertawa. “Aku ikut suhu dua tahun lamanya, selama itu aku main-main kucing kaki tiga hingga aku membikinnya totiang dan saudara Kwee menertawakan aku.”

“Hm!” Ong Cie It kasih dengar suaranya. “Walaupun ilmu silat Coan Cin kauw tidak tinggi tetapi ilmu itu bukannya ilmu kucing kaki tiga! Gurumu bakal tiba di sini, kau tahu tidak?”

“Guruku ada di sini, apakah totiang ingin bertemu dengannya?” Wanyen Kang balas menanya.

Ong Cie It menjadi heran sekali. “Ada di mana ia sekarang?” ia tanya.

Wanyen Kang menepuk tangan dua kali. “Siapkan meja santapan!” ia memberi perintah kepada pengiringnya.

Pengiring itu berlalu untuk menyampaikan titah lebih jauh.

Wanyen Kang sudah lantas ajak kedua tetamunya pergi ke hoa-thia, mereka melintasi sebuah lorong, mengitari lauwteng yang indah, hingga mereka mesti jalan sekian lama. Selama itu, Kwee Ceng dapak menyaksikan keindahan istana, sampai ia merasakan matanya berkunang-kunang. Hatinya pun tidak tentram, tidak tahu ia mesti bersikap bagaimana andaikata ia bertemu dengan Wanyen Lieh. Setibanya di hoa-thia, di sana sudah menantikan enam-tujuh orang, yang tubuhnya jangkung dan kate tidak rata, di antara siapa yang kepalanya benjut tiga, yaitu Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dia itu mengawasi anak muda kita ini dengan sorot mata bengis! Biar bagaimana, Kwee Ceng terkejut juga hingga ia pernahkan dirinya dekat sekali dengan si imam.

Wanyen Kang girang ketika ia kata pada Ong Cie It “Totiang, beberapa tuan ini sudah lama mengagumi kau dan semuanya merasa sangat ingin bertemu denganmu!” Ia lantas menunjuk Peng Lian Houw dan berkata “Inilah Pheng Cecu, kedua pihak sudah saling mengenal.”

Kedua orang itu saling memberi hormat.

“Dan ini adalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, locianpwe dari Tiang Pek San,” Wanyen Kang memperkenalkan pula orang yang rambutnya putih tapi mukanya segar bagai muka seorang bocah.

Ong Cie It heran hingga ia berpikir: “Kenapa Siluman Tua ada disini juga?”

io Cu Ong sudah lantas memberi hormat dan berkata: “Di sini lohu dapat bertemu sama Thie Kak Sian Ong Cinjin, maka tidaklah kecewa yang lohu sudah datang ke Tionggoan ini.” Dan lantas ia perkenalkan paderi di sampingnya, katanya: “Ini adalah Leng Tie Siangjin, ahli Tay-ciu-in dari partai Bit Cong Tibet. Kami berdua, satu dari timur utara, satu lagi dari barat selatan, dari empat ribu lie, maka pertemuan ini benar-benar jodoh!”

Ong Cie It memberi hormat kepada paderi dari Tibet itu dengan menjura dan si paderi membalasnya seraya menakopi kedua tangannya.

Justru itu seorang yang suaranya serak terdengar berkata nyaring: “Kiranya Kanglam Cit Koay didukung dari belakang oleh Coan Cin Pay, maka juga mereka menjadi begini malang melintang.”

Ong Cie It awasi orang yang pentang bacot itu, kepala siapa lanang, tidak ada selembar rambutnya, matanya merah, biji matanya menonjol keluar. Dengan melihat roman orang saja, ia sudah lantas mengenalinya.

“Bukankah tuan adalah Kwie-bun Liong Ong See Locianpwee?” ia bertanya.

“Benar!” sahut orang itu, suaranya menandakan kemarahannya, “Kiranya kau masih kenal aku!”

Cie It heran, hingga kata dalam hati kecilnya “Kita ada bagaikan air kali dan air sungai yang tidak saling menerjang, kapan dan di dalam hal apa aku pernah berbuat salah terhadapnya?” Ia menunjuki sikap sabar, ia berkata “Nama besar dari See Locianpwee memang telah lama aku pangeni.”

Orang she See ini tidak ambil mumat sikap orang yang halus itu, ia tengah diliputi kemarahan besar. Memangnya dia bertabiat keras. Dia bernama Thong Thian dan gelarannya, Kwie-bun Liong Ong ialah Raja Naga dari Pintu Iblis. Dia banyak lebih lihay daripada Hauw Thong Hay, adik seperguruannya. Sebab tabiatnya itu, di waktu mengajari silat, ia tetap berangasan dan galak. Inilah sebabnya kenapa murid--muridnya tidak dapat wariskan tiga bagian saja dari sepuluh ilmu kepandaiannya, tidak heran kalau Hong Ho Su Koay gagal mengepung Kwee Ceng. Thong Thian gusar bukan main waktu ia dengar kekalahan empat muridnya itu, ia hajar mereka, dia mendamprat habis-habisan. Sesudah itu ia kirim Hauw Thong Hay untuk menuntut balas, supaya Kwee Ceng dibekuk. Celakanya Thong Hay telah kena dipermainkan oleh Oey Yong, hingga adik seperguruan ini juga gagal. Karena ini, tak terkira gusarnya Thong Thian, maka juga, sekalipun di depan orang banyak, tak dapat ia mengatasi diri, tak peduli ia bahwa perbuatannya melanggar adat sopan santun. Demikian ia ulur sebelah tangannya, akan jambak Kwee Ceng.

Bocah itu mundur, sedang Ong Cie It segera maju, untuk menghalang di depannya.

“Bagus! benar-benar kau melindungi binatang cilik ini!” ia berseru, tangannya terus menyambar si imam.

Melihat orang demikian galak, Ong Cie It tidak dapat mundur, maka ia pun angkat tangannya, untuk menangkis.

Disaat kedua tangan hampir bentrok, dari samping mereka tiba-tiba muncul satu orang, tangan kirinya menyambar lengan See Thong Thian, tangan kanannya menyambar lengan Ong Cinjin, terus ia mengibas keluar, maka dengan berbareng, dua orang itu dapat dipisahkan, diundurkan satu dari yang lain.

See Thong Thian dan Ong Cie It terperanjat. Mereka bukan sembarang orang, maka mereka heran ada orang yang dapat pisahkan mereka secara demikian gampang. Tanpa merasa keduanya lantas mengawasi si pemisah itu, seoarng dengan jubah putih, sikapnya tenang sekali, umurnya ditaksir tigapuluh lima atau tigapuluh enam tahun, alisnya panjang hingga ujungnya mengenai rambut di pelipisnya, romannya tampan, hingga ia mirip dengan sastrawan, siucay. Dandanannya, seumumnya, seperti dandanan seorang bangsawan.

Segera juga Wanyen Kang menghampiri, sembari tertawa ia berkata “Tuan ini adalah Auwyang Kongcu, sancu dari Pek To San dari pegunungan Kun Lun San di Tibet. Dia belum pernah datang ke Tionggoan, ini adalah pertama kalinya ia bertemu sama tuan-tuan!”

Ong Cie It dan Kwee Ceng yang belum pernah melihat sancu- pemilik bukit dari Pek To San itu, juga Nio Cu Ong dan Peng Lian Houw serta lainnya hadir di situ. Dan semua mereka kagum akan caranya sancu ini datang menengah. Mereka belum pernah mendengar nama Pek To San – Bukit Unta Putih itu.

Auwyang Kongcu ini sudah lantas rankap kedua tangannya, terus ia berkata “Sebenarnya aku telah mesti siang-siang tiba di kota Yankhia ini, sayang di tengah jalan aku mendapatkan satu urusan penting dan karenanya menjadi terlambat beberapa hari. Untuk itu aku mohon tuan-tuan suka memaafkannya.”

Kwee Ceng tidak kenal sancu ini, tetapi mendengar nama bukit Pek To San itu, ia lantas ingat kepada si nona-nona serba putih yang di tengah jalan sudah mencoba merampas kudanya. Ia menjadi menduga-duga: “Mungkinkah enam guruku sudah bertempur dengan dia ini?”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar