Jumat, 18 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 031

Kwee Ceng gelagapan. Justru itu dua kali iganya kena dihajar, sebab si kongcu sudah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu.

Kena dihajar demikian, pemuda kita merasa kegelapan mata. Tidak sempat ia mengempos semangatnya. Bagus untuknya, selama dua tahun ia telah memperoleh latihan tenaga dalam dari Tang Yang Cu Ma Giok, walaupun ia dihajar hebat, ia tidak terluka, tidak patah tulang-tulang rusuknya, ia cuma merasakan sangat sakit. Dalam pada itu, ia sadar akan dirinya, maka tidak membuat tempo lagi, ia melakukan pembalasan, dengan tendangan beruntun Wanyoh Lian-hoan-twie, maka dalam sekejap saja, ia dapat menendang terus-terusan sembilan kali, semuanya cepat dan hebat. Inilah pelajaran yang ia wariskan dari Ma Ong Sin Han Po Kie si Malaikat Raja Kuda, dengan ilmu mana Han Po Kie pernah robohkan beberapa jago dari Selatan dan Utara. Hanya sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng belum mendapatkan kesempurnaannya.

Kongcu itu menjadi repot, ia berkelit dan berlompatan tiada hentinya. Tujuh tendangan ia bisa kasih lolos, tetapi yang kedelapan dan kesembilan, telah mengenakan kempolannya kiri dan kanan. Syukur untuknya, karena berbarang ia berkelit, ia tak sampai tertendang roboh, ia cuma terjerunuk.

Karena ini keduanya menjadi terpisah. Kwee Ceng lantas aja singkirkan jubah sulam yang menungkrup kepalanya itu. Ia menjadi kaget dan mendongkol. Pertempuran itu merupakan satu pengalaman luar biasa untuknya. Mulanya di Mongolia ia menghadapi orang-orang jujur, lalu perlahan-lahan ia melihat perubahan. Ia merasa asing untuk kelakuan curang.

Kongcu itu kena tertendang, ia menjadi gusar sekali, maka dia segera maju seraya tangan kirinya dipakai menyerang ke pundaknya si pemuda.

Kwee Ceng menangkis, atau ia menjadi kaget. Tiba¬-tiba saja ia merasakan sakit pada dadanya. Karena ini ketika ia didesak, ia kewalahan, maka tempo kakinya disambar, terdengar suara “Bruk!” ia roboh memegang tanah!

Semua pengiringnya si kongcu lantas bertepuk tangan dan tertawa.

Kongcu itu tepuki kempolannya yang penuh debu, ia tertawa tawar. “Dengan kepandaian begini kau hendak mencari balas untuk orang lain?” ia mengejek. “Hm, baik kau pulang dulu untuk belajar lagi sama gurumu sedikitnya duapuluh tahun!”

Kwee Ceng tidak menyahut, ia hanya menjalankan napasnya, hingga ia merasakan sakit di dadanya berkurang. Ia melompat bangun ketika melihat orang kembali hendak ngeloyor pergi.

“Lihat kepalan!” ia berseru sambil menyerang.

Dengan mendak, kongcu itu berkelit. Kwee Ceng tidak berhenti sampai disitu, tangan kirinya menyambar ke muka orang. Si kongcu menangkis. Kedua tangan lantas bentrok, mereka saling menolak. Kelihatan nyata, tenaga dalam Kwee Ceng terlatih besar tetapi si kongcu menang latihan ilmu silatnya. Maka itu mereka menjadi berimbang.

Kwee Ceng menyedot napas, ia hendak mengerahkan tenaganya, selagi begitu ia masih tetap menolak. Tiba-tiba ia rasai tenaga lawan lenyap, tak sempat ia menahan dirinya, tubuhnya terhuyung ke depan. Ketika ia bisa menahan dirinya, dari belakangnya datang serangan. Ia sudah terjerunuk melewati lawannya, dalam keadaan sulit itu, ia menangkis dari belakang, tubuhnya sekalian diputar.

“Kau pergi!” berseru si kongcu, yang tangannya menolak keras.

Tidak dapat Kwee Ceng bertahan, ia rubuh ngusruk, tetapi sikutnya mengenai tanah, dengan cepat ia mencelat bangun, kakinya dibarengi dipakai menendang dada lawannya. Ia berlaku sangat sebat, ia ingin membalas, untuk mencari kemenangan.

Kongcu itu dapat berkelit, hanya setelah itu, ia didesak oleh si pemuda yang bersilat dengan “Hun-kin Co-kut Ciu” yaitu ilmu silat untuk memisah otot-otot dan tulang.

Kongcu ini pernah juga menyakinkan Hun-kin Co-ku Ciu hanya pelajarannya beda daripada pelajaran Kwee Ceng yang didapat dari Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong, maka itu, ia membela diri dengan berlaku hati-hati. Habis itu, keduanya bertempur terus. Selama tujuhpuluh jurus, mereka berimbang dengan ketangguhannya.

Menampak demikian si kongcu menggunakan akal.

Kwee Ceng tidak tahu lawannya memancing lagi, ia lantas menyerang. Ia hendak menotok jalan darah hian-kie-hiat. Tiba-tiba ia ingat bahwa tidak bermusuhan sama si kongcu, ia lantas geser incarannya ke sisi sasanan semula. Maka adalah diluar dugaannya ketika si kongcu, yang menangkis dengan tangan kiri, sudah membarengi menyerang dengan tangan kanan ke arah pinggang, malah tinjuan itu dilakukan saling susul hingga tiga kali.

Kwee Ceng berkelit, dengan menggeser pinggangnya, lalu ia membalas. Ketika ini digunakan si kongcu, untuk memegang tangan orang yang kanan itu, buat terus ditarik dengan kaget sambil berbareng kakinya dipakai menjejak paha si pemuda. Maka tidak ampun lagi, pemuda itu terguling jatuh.

Bok Ek menonton dari bawah benderanya. Lukanya telah dibalut rapi oleh putrinya. mendapatkan tiga kali Kwee Ceng roboh, ia lantas maju, untuk mengasih bangun. Ia tahu sekarang, pemuda itu bukan lawan si kongcu, yang menang seurat. Ia pun kata: “Lao-tee, mari kita pergi, jangan kita layani segala manusia hina!”

Kwee Ceng roboh dengan mata kabur dan kepala pusing, ia menjadi gusar sekali, maka setelah dikasih bangun, ia lepaskan diri dari tangan Bok Ek, ia maju pula, untuk menyerang.

“Eh, kau masih belum takluk?” berkata si kongcu, seraya mundur.

Kwee Ceng tidak menyahut, hanya ia merangsak.

“Jikalau kau tetap ganggu aku, jangan salahkan aku berlaku kejam!” kongcu itu mengancam.

“Kau pulangi sepatu orang!” bentak Kwee Ceng. “Kalau tidak, aku tidak mau mengerti!”

Kongcu itu tertawa melihat orang berkukuh, romannya ketolol-tololan. “Bukankah nona itu bukan adikmu?” ia bertanya, “Kenapa kau seperti hendak mengadu jiwa memaksa aku menjadi toakomu!”

“Kurang ajar!” mencaci Kwee Ceng. “Aku tidak kenal dia, siapa bilang dia adikku!” Ia gusar sebab kongcu itu ejek dia sebagai toaku, ipar. Itulah cacian di antara orang Pakhia, tetapi ia tidak tahu, ia cuma mendongkol. Karena dicaci begitu, ia ditertawai sekalian pengikut si kongcu.

Si kongcu sendiri merasa lucu berbareng mendeluh. “Tolol, awas!” ia berseru seraya menyerang.

Kwee Ceng melawan, mereka menjadi bergumul pula. Kali ini pemuda ini berlaku waspada, tidak lagi ia kena dipancing. ia kalah pandai tapi ia bersemangat, maka kewalahan juga si kongcu.

Pertempuran seru itu ditonton semakin banyak orang. Bok Ek jadi merasa tidak enak hati. Ia tahu, kalau datang polisi, ia bisa dapat susah, sedikitnya ia bakal diseret ke kantor pembesar setempat. Ia juga khawatir banyaknya orang, antara siapa ia tampak beberapa yang matanya tajam dan air mukanya luar biasa, ada juga yang membekal senjata. Di sebelah mereka, yang bicarakan silat kedua anak muda itu, ada yang bertaruh untuk siapa yang bakal menang.




Dengan perlahan-lahan Bok Ek menggeser ke tempat pengiring-pengiringnya si kongcu, segera ia lihat, diantara mereka itu ada tiga orang yang menarik perhatiannya. Yang satu adalah satu pendeta bangsa Tibet, tubuhnya besar, kopiahnya disalut emas, jubahnya merah dan gerombongan. Dia berdiri tegar hingga ia melebihkan tingginya semua orang. Orang yang kedua sudah lanjut usianya, sebab rambutnya sudah putih semua, tubuhnya sedang saja, hanya mukanya bercahaya segar, dan tidak keriputan. Dia pun bermata tajam. Karena romannya yang luar biasa itu, tak bisa diduga usianya yang tepat. Orang yang ketiga bertubuh kate dan kecil, nampaknya sangat gesit, mukanya pun bersinar merah, matanya mencorong tajam. Maka juga, mengawasi mereka, tukang jual silat ini terkejut hatinya.

“Leng Tie Siangjin,” berkata satu pengiring, “Baik kau maju dan hajar bocah itu, kalau mereka bertempur terus dan siauw-ongya salah tangan hingga ia terluka, hilanglah jiwa kami semua…”

Itulah si pendeta Tibet yang ditegur. Dia tersenyum, dia tidak menjawab. Adalah si rambut ubanan yang berkata sambil tertawa: “Paling juga kakimu dikemplang patah! Mustahil ongya hendak menghendaki jiwamu?”

Bok Ek terperanjat. Orang disebutnya siauw-ongya dan ongya, pangeran muda dan pangeran. Kalau begitu, benar juga, bencana akan datang kalau sampai siauw-ongya itu terluka. Tidakkah di antara pengiring-¬pengiringnya si siauw-ongya adalah orang-orang yag gagah dan lihay?”

“Jangan takut!” berkata si orang kate dan kecil. “Siauw-ongya lebih lihay daripada lawannya itu!”

Orang ini kate dan kecil akan tetapi suaranya mengejutkan. Suara itu nyaring, hingga beberapa orang disampingnya menjadi terkejut, semua pada berpaling memandang dia, yang matanya bersinar, hingga mereka lekas-lekas melengos.

Si rambut putih tertawa, dia pun berkata: “Siauw¬ongya telah belajar ilmu silat belasan tahun, kecewa kalau itu tidak dipertontonkan di muka orang banyak. Dia tentu tidak senang ada orang yang membantu padanya…”

“Eh, saudara Nio, coba bilang,” berkata si kate kecil, “Ilmu silat siauw-ongya itu dari partai mana?” Kali ini ia berbicara dengan perlahan.

Si rambut putih tertawa. “Haouw Laotee, kau lagi uji mataku, bukan?” ia berkata. “Kalau mataku tidak salah, itulah ilmu silatnya kaum agama Coan Cin Kauw.”

“Sungguh begitu, sungguh aneh!” kata si kate kecil itu. “Bukankah kaum Coan Cin Kauw itu bangsa aneh? Kenapa mereka justru mewariskan kepandaiannya pada siauw-ongya…?”

“Ongya pandai bergaul, siapa saja tak dapat ia undang?” kata pula si rambut ubanan itu. “Umpama kau sendiri, Haouw Laotee. Kau biasa menjagoi di dua propinsi Shoatang dan Shoasay, kenapa kau juga berada di istana ongya?”

Si kate kecil itu mengangguk.

Si ubanan sudah lantas mengawasi kedua anak muda yang lagi bertempur itu. Ia dapatkan Kwee Ceng berubah silatnya, gerakannya jadi ayal tapi tubuhnya terjaga rapat, sia-sia saja beberapa kali siauw-ongya menyerang padanya.

“Haouw Laotee, coba lihat, dari partai mana asalnya ilmu silat si bocah itu?” ia tanya.

“Kelihatannya kepandaiannya itu kacau, dia tentu bukan satu gurunya,” sahut si kate kecil itu kemudian.

“Pheng Ceecu benar,” berkata seorang di pinggiran, “Bocah ini adalah muridnya Kanglam Cit Koay.”

Bok Ek pandang orang itu, yang mukanya kurus dan sinarnya biru, di jidatnya ada tiga tahi lalatnya. Ia kata di dalam hatinya: “Dia memanggil Pheng Ceecu, mungkinkah si kate kecil ini adalah kepala berandal? Nama Kanglam Cit Koay sudah lama tidak terdengar, apa benar mereka masih hidup?”

Selagi Bok Ek berpikir, si muka biru dan kurus itu sudah berlompatan maju ke tengah kalangan seraya ia berseru: “Hai bocah, kau ke sini!” Dia pun menarik keluar sebatang kongce atau cagak dari dalam sakunya.

Orang banyak terkejut, ada yang berteriak. Bok Ek pun tidak kurang kagetnya, tapi ia segera bersiap, untuk membantu Kwee Ceng. Tentu saja ia tidak kenal si orang ini, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, paman gurunya Hong Ho Su Koay.

Hauw Thong Hay bukan menyerang Kwee Ceng, dia hanya maju ke antara orang banyak, di antara siapa ada satu anak muda yang tubuhnya kurus lemah, yang pakaiannya compang-camping, kapan anak itu dapat lihat dia, dia menjerit “Ayo!” seraya terus memutar tubuh, untuk angkat langkah panjang. Thong Hay mengejar terus, ia diikuti empat orang lainnya yang bukan lain daripada Hong Ho Su Koay.

Kwee Ceng sedang bertempur, ia heran atas itu suara bentakan, kapan ia lihat siapa yang dikejar Thong Hay, ia terkejut. Pemuda dengan pakaian tidak karuan itu adalah Oey Yong, sahabat barunya. Karena ini, ia sudah lantas kena ditendang si kongcu.

“Tahan dulu!” ia berseru seraya lompat keluar kalangan. “Aku hendak pergi sebentar, segera aku kembali!”

“Lebih baik kau mengaku kalah!” mengejek si kongcu.

Kwee Ceng tidak berniat berkelahi terus, pikirannya lagi kusut, ia khawatir keselamatannya Oey Yong, tetapi justru ia hendak melompat lari, tiba-tiba tampak sahabatnya itu lari mendatangi, sepatu kulitnya diseret hingga berisik kedengarannya. Dia pun terus tertawa. Di belakangnya tampak Thong Hay tengah mengejar, mulutnya mencaci kalang kabut, setelah datang dekat, berulang-ulang ia tikam bebokong orang yang ia kejar itu!

Oey Yong sangat lincah, selalu dapat ia kelit tubuhnya.

Kongce itu ada cagak tiga, semuanya tajam, di bawah cahaya matahari, sinarnya berkilauan, sinar itu ditimpali tiga gelangnya yang bergerak dan berbunyi nyaring setiap kali digerakkan. tapi senjata itu tidak dihiraukan Oey Yong. Ia nyelusup sana dan nyelusup sini di antara orang banyak.

Segera juga orang banyak tertawa riuh. Mukanya Hauw Thong Hay, pada pipinya yang kiri dan kanan, tambah tanda tapak lima jari tangan, tanda arang hitam. Terang sudah dia telah kena ditampar oleh lawannya yang licin itu.

“Mari! Mari!” Oey Yong menantang, setiap kali ia dapat pisahkan diri jauh-jauh dari lawannya, yang ia tinggalkan lalu ia berdiri diam, menoleh dan mengejek, tangannya menggapai berulang-ulang.

“Jikalau aku tidak berhasil menggeset kulitmu dan mematahkan tulang-tulangmu, aku Sam-tauw-kauw tidak sudi menjadi manusia!” Thong Hay sesumbar. Ia berteriakan, ia mengejar.

Oey Yong menanti sampai orang sudah datang dekat, kembali ia lari. Kelakuannya ini, ditimpali sama kalapnya Thong Hay, membuat orang banyak tertawa riuh.

Dalam saat itu, terlihatlah datang memburunya tiga orang yang napasnya tersengal-sengal. Merekalah tiga Siluman dari Hong Ho. Song-bun-hu Cian Ceng Kian, Siluman yang keempat, tidak tampak.

Waktu itu barulah Kwee Ceng menginsyafi bahwa sebenarnya Oey Yong itu lihay ilmu silatnya, waktu itu di hutan cemara Hek-siong-lim di Kalgan sudah menggantung Hong Ho Su Koay di atas pohon dan memancing Hauw Thong Hay.

“Bagus perbuatannya,” ia pikir.

Kelakuan Hauw Thong Hay itu, yang dipermainkan Oey Yong, menyebabkan rombongan Leng Tie Siangjin memperbincangkannya.

Leng Tie itu adalah paderi dari Tibet, dari partai Cong Gee, keistimewaannya ialah ilmu Tay-ciu-in, Tapak Tangan yang lihay, kawannya yang ubanan tapi mukanya tampak segar bagai muka anak kecil, adalah Nio Cu Ong, ketua dari partai Tiang Pek Pay dari Gunung Tiang Pek San. Ia tetap awet muda sebab sejak masih kecil ia doyan makan jinsom serta lainnya pohon obat, hingga ia dijuluki Som Sian Lao Koay, Dewa Jinsom-Siluman Tua. Julukan ini harus dipecah dua: Siapa yang menghormati dia, memanggilnya Som Sian, Dewa Jinsom, dan siapa bukan orang-orang partainya, dibelakangnya, menyebut ia Lao Koay, si Siluman Tua.

Dan orang yang matanya tajam bagaikan kilat itu adalah orang yang sangat terkenal di Tionggoan, namanya Pheng Lian Houw, julukannya Cian-ciu Jin Touw, Pembunuh Sribu Tangan. Di selatan dan utara Sungai Besar, sekalipun wanita umumnya kenal namanya itu, dan anak-anak yang lagi nangis, kalu ditakut-takuti; “Peng Lian Houw datang!” tentulah berhenti tangisnya.

Berkatalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong: “Selama aku di Kwan-gwa, telah aku dengar nama besar dari Kwie Bun Liong Ong, ia lihay sekali, kenapa adik seperguruannya begini tidak punya guna, sampai satu bocah pun dia tidak sanggup layani?”

Pheng Lian Houw mengkerutkan keningnya, dia bungkam. Dia bersahabat erat dengan Kwie-bun Liong Ong See Thong Thian si Raja Naga Pintu Iblis, sering mereka “bekerja tanpa modal”, dan ia tahu baik Houw Thong Hay lihay, maka kenapa hari ini orang she Hauw itu jadi demikian tidak berdaya?

Selagi Oey Yong permainkan Hauw Thong Hay, pertempuran di antara Kwee Ceng dan si siauw-ongya, pangeran muda, telah berhenti. Siauw-ongya telah robohkan Kwee Ceng lima-enam kali, dia sangat letih, tangan dan kakinya dirasakan ngilu, dia pun dahaga dan lapar, dengan sapu tangannya, ia susuti peluhnya.

Dipihak lain, Bok Ek telah kasih turun bendera Pi¬bu Ciauw-cin, ia hampiri Kwee Ceng untuk dihibur, diajak pulang ke penginapannya, untuk beristirahat. Tapi, belum keburu mereka berangkat, mereka sudah dengar ramainya tindakan kaki serta berisiknya gelang konce, lalu terlihat Oey Yong berlari-lari kembali dengan tetap dikejar oleh Hauw Thong Hay. Tangannya Oey Yong sambil mengibar-ibarkan dua potong kain. Hauw Thong Hay sebaliknya, pakaiannya menjadi tidak karuan macam: Baju di dadanya robek putus, hingga kelihatan baju dalamnya yang putih. Jauh di belakang mereka terlihat Gouw Ceng Liat serta Ma Ceng Hiong, yang satu bersenjatakan tombak, yang lainnya ruyung, lari mendatangi dengan napas memburu. Ketika mereka ini datang dekat, Oey Yong dan Hauw Thong Hay sudah lenyap pula.

Para penonton heran juga merasa lucu, mereka tertarik untuk menonton terus. Justru itu, mereka lantas dengar bentakan-bentakan riuh yang datang dari arah barat, lalu mereka tampak belasan orang polisi serta pengiring, dengan cambuk di tangan, lagi menyerang kalang-kabut ke kira dan ke kanan, kepada orang banyak, yang mereka usir pergi. Maka itu, orang banyak itu lantas saja mundur ke kedua pinggir jalan. Menyusul rombongan hamba-hamba galak itu, terlihatlah enam orang menggotong sebuah joli besar yang indah.

“Ong-hui datang! Ong-hui datang!” pengikut¬-pengikutnya si siauw-ongya berseru berulang-ulang setelah mereka melihat joli itu.

Siauw-ongya lantas mengerutkan keningnya.

“Rewel!” ia menggerutu. “Siapakah telah pergi membawa berita kepada ong-hui!?”

Tidak ada yang berani menjawab. Segera juga joli telah sampai di lapangan pibu, semua pengikut maju untuk memberi hormat.

Dari dalam joli, yang tertutup rapat, lantas terdengar suaranya seorang wanita, suara yang halus: “Kenapa berkelahi? Baju luar pun tidak dipakai! Nanti masuk angin!”

Bok Ek dapat mendengar tegas sekali suara itu, hatinya tercekat. Suara itu seperti mengaung di kupingnya, ia diam sambil berpikir keras.

“Kenapa suara ini sama suaranya orangku ini?” katanya di dalam hatinya. Tiba-tiba ia tertawa sendiri. Ia berpikir pula: “Orang ini adalah onghui dari negeri Kim, aku pikir istriku, apakah aku sudah pikun? Sungguh gila untuk mikir yang tidak-tidak…”

Tidak dapat ia lantas melenyapkan pikirannya itu, maka ia bertindak, untuk mendekati joli indah itu. Kebetulan waktu itu, dari dalam joli diulur keluar sebelah tangan yang putih dan halus, yang memegang sapu tangan putih, dengan apa mukanya si siauw-ongya disusut, untuk singkirkan peluh dan debunya, sembari berbuat begitu, si wanita masih mengucapkan beberapa kata-kata, yang halus dan perlahan, hingga si penjual silat ini tak dapat mendengarnya dengan tegas. Mungkin si saiuw-ongya ditegur dan dihibur oleh onghui ini, selir seorang pangeran atau raja.

“Ibu, aku senang bermain-main,” terdengar suara pangeran muda itu. “Tidak apa-apa…”

“Lekas pakai bajumu, mari kita pulang bersama!” kata si onghui kembali.

Kembali si Bok Ek terperanjat. “Benarkah di kolong langit ini ada dua orang yang suaranya sangat mirip satu dengan lainnya?” ia menanya dalam hatinya, yang terus berdebaran.

Satu pengiring menjumput jubah sulam dari siauw¬ongya, sembari berbuat begitu, ia pandang Kwee Ceng dengan bengis dan memdamprat: “Binatang cilik! Lihat, kau telah bikin kotor jubah ini!”

Satu pengiring lain, yang tangannya mencekal cambuk, terus saja menghajar ke arah kepala si anak muda, Kwee Ceng berkelit, sebelah tangannya diangkat, untuk menangkap lengan orang, berbareng dengan satu kakinya menyapu. Tidak ampun lagi, pengiring itu roboh terguling. Tapi Kwee Ceng tidak berhenti sampai disitu, ia rampas cambuk orang itu, guna dipakai menyabet hingga tiga kali.

“Siapa suruh kau menganiaya rakyat jelata!” ia menegur.

Orang senang melihat kejadian itu. Belasan serdadu maju, menolong kawannya, mereka mulai menyerang Kwee Ceng, satu demi satu, mereka ditangkap si anak muda, lalu dilemparkan saling susul.

Siauw-ongya menjadi gusar. “Kau masih berani main gila?!” tegurnya. Ia terus lompat, untuk tolong dua serdadu yang dilemparkan paling belakang, ia tendang itu anak muda.

Kwee Ceng berkelit, lalu ia menyerang. Dengan begitu, keduanya jadi bertempur lagi.

“Jangan! Jangan berkelahi!” onghui berseru mencegah.

Terhadap ibunya, siauw-ongya itu agaknya tidak takut, malah ia seperti termanjakan. Ia berkelahi terus, sembari berkelahi, ia menyahut “Tidak, ibu , tidak dapat tidak, ini hari aku mesti labrak dia ini!”

Setelah belasan jurus, siauw-ongya itu berkelahi dengan hebat sekali, rupanya ia hendak banggakan kegagahannya di depan ibunya. Kwee Ceng lantas terdesak lagi, dua kali ia kena dibikin memegang tanah.

Selama itu, Bok Ek tidak pedulikan segala apa disekitarnya, sepasang matanya terus diarahkan kepada joli indah itu. Maka tempo tenda tersingkap, ia dapat melihat satu wajah dengan sepasang mata jeli dan rambut yang bagus, sinar mata itu ayu sekali, mengawasi kedua anak muda yang lagi bertarung. Mengawasi mata orang itu, Bok Ek berdiri menjublak bagaikan patung.

Kwee Ceng dirobohkan dua kali, dia bukan menyerah kalah, ia menjadi lebih kosen, maka kali ini, ia tidak dapat dirobohkan pula. Ia bertubuh kuat, dapat melayani pukulan berulang-ulang kepada tubuhnya. Ia pun menang ‘kang-lat’ atau tenaga latihan, ia menjadi ulet sekali.

Waktu itu, Oey Yong dan Thong Hay telah berlari¬-lari balik, sekarang di rambutnya Sam-tauw-kauw, Ular Naga Kepala Tiga itu, ada ditancapkan cauw-piauw atau tanda barang hendak dijual, dengan begitu berarti, Thong Hay hendak menjual kepalanya itu! Ia hanya tidak tahu bahwa ia telah dipermainkan oleh Oey Yong, lawannya yang lincah dan licik itu. Di belakang mereka tidak tampak dua Siluman, mungkin mereka telah kena dirobohkan pemuda itu.

Nio Cu Ong bertiga menjadi heran, hingga mereka menduga-duga, Oey Yong itu sebenarnya orang macam apa.

Selagi bertempur, lengan Kwee Ceng kena dihajar satu kali, lalu ia membalas memukul paha siauw¬ongya. Mereka jadi semakin sengit berkelahi. Kwee Ceng berkelahi dengan ilmu silat Hun-kin Co-ku-hoat, untuk merabu otot dan tulang musuh, siauw-ongya sebaliknya dengan Kim-na-ciu, ilmu menangkap yang terdiri ari tujuh puluh dua jurus. Maka itu, kedua-¬duanya saling terancam hilang jiwa atau terluka parah. Karena ini Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong lantas menyiapkan senjata rahasia mereka, untuk menolong apabila siauw-ongya benar-benar terancam jiwanya. Mereka adalah orang-orang tua yang kosen, sungkan mereka mengepung Kwee Ceng, sebaliknya mereka merasa, kapan perlu, bisa mereka mencegah Kwee Ceng menurunkan tangan jahat terhadap si pangeran muda.

Makin lama Kwee Ceng makin gagah. Ini tidak heran ia biasa hidup di tanah gurun. Sebaliknya siauw-ongya biasa hidup di istana, manja dan kalah ulet, maka ia lantas terdesak.

Satu kali Kwee Ceng menyambar ke muka siauw¬ongya. Siauw-ongya berkelit, terus ia membalas meninju. Atas itu, Kwee Ceng mendahului, dengan tangan kanannya, ia membentur sikut kanan si pemuda agung, berbareng dengan itu, ia maju, tangan kirinya membangkol tangan lawan, lalu tangan kanannya diteruskan untuk memegang leher lawan. Siauw-ongya terkejut, ia membalas membangkol dan memegang leher lawannya itu. Maka keduanya menjadi berkutat, yang satu hendak mematahkan tangan, yang lain hendak mencekik.

Semua orang kaget, onghui sampai berparas pucat, separuh mukanya keluar dari tenda. Putrinya Bok Ek, yang tadinya numprah di tanah, lompat bangun, parasnya pun pucat.

Disaat itu terdengar suara menggelepok. Nyata muka Kwee Ceng kena digaplok, sebab siauw-ongya merubah siasat. Keras pukulan itu, Kwee Ceng merasakan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing. Tapi ia masih sadar, sambil berseru, ia sambar bajunya siuaw-ongya, terus ia kerahkan tenaganya, ia angkat tubuh siauw-ongya, untuk dilemparkan. Ia telah menggunai ilmu silat bangsa Mongolia, yang ia peroleh dari Jebe.

Siauw-ongya dilemparkannya, tapi sebelum tubuhnya dilepas, ia sudah berdaya, dengan cepat ia ayun tubuhnya itu, Kedua tangannya menyambar tanah, dengan begitu, ia tidak terbanting. Habis itu sama sebatnya, ia menyambar kedua kaki lawannya itu, ia menarik keras, maka Kwee Ceng kena ditarik roboh hingga saling tindih, hanya siauw-ongya berada disebelah atas. Dia ini sebat, dia lompat, tangannya menyambar tombak di tangan seorang serdadu yang berada dekat dengannya, dengan tombak itu, segera ia menikam Kwee Ceng.

Dengan menggulingkan tubuh, Kwee Ceng menghindarkan diri, tapi ia didesak, ia dikam terus, lagi dua kali, terpaksa ia kembali bergulingan, hingga sukar untuk ia melompat bangun, terpaksa sambil bergulingan, ia layani tombak musuhnya itu. Karena didesak tak hentinya, ia berguling hingga ke dekat tiang bendera Pibu Tiauw-cin. Di sini ia gunakan kesempatan, sambar tiang itu, terus ia pakai menangkis, kemudian ia berlompat bangun, untuk melakukan penyerangan balasan. Maka sekarang mereka bertempur dengan senjata, meskipun Kwee Ceng hanya tiang bendera.

Tiang bendera itu terlalu panjang, kurang tepat untuk Kwee Ceng, yang bersilat denagn tipu Hang Mo Thung-hoat, pengajaran dari gurunya yang pertama, Hek Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam, akan tetapi, ia dapat mainkan itu dengan baik. Siauw-ongya tidak kenal permainan silat lawannya itu, ia lantas saja kena didesak hingga ia mesti selalu membela diri.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar