Rabu, 16 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 030

Paderi ini menantang, tetapi, belum lagi ia peroleh jawaban, sebelah tangannya sudah melayang.

Si empe-empe berkelit, segera balas menyerang. Maka dengan itu, keduanya menjadi bertempur.

Kwee Ceng menonton. Ia dapatkan si paderi bersilat dengan jurus-jurus Lo Han Kun dari ilmu silat Siauw Lim Pay, sedang si empe menggunakan ilmu silat Ngo Heng Kun. Jadi keduanya dari golongan Gawkang, ilmu Bagian Luar. Si paderi dapat berlompat dan mendekam dengan cepat, lincah gerakannya. Si empek sebaliknya tenang tegar, jangan pandang usianya yang tua, tenaganya sebenarnya masih besar.

Satu kali si paderi dapat merapatkan diri, kepalannya menghajar tiga kali beruntun, ke arah pinggang lawannya. Si empek kuat sekali, ia terima serangan tanpa berkelit atau menangkis, tapi berbareng dengan itu, ia angkat tinggi tangan kanannya, untuk dikasih turun ke arah kepala lawannya, bagaikan martil, kepalannya menumbuk kepala licin mengkilap dari si paderi. Tak tahan paderi itu, segera ia jatuh duduk, numprah di tanah. Ia berdiam tidak lama, mendadak ia tarik keluar sebatang golok kayto dari dalam jubahnya, dengan itu ia membabat kakinya si tua!

“Celaka!” berteriak orang banyak.

Si tua dapat menolong diri dengan berlompat berkelit, berbareng dengan mana, tangannya meraba ke pinggang, untuk mengasih keluar sepotong thiephie atau ruyung besi. Kiranya mereka sama-sama membekal senjata. Sekarang mereka melangsungkan pertandingan dengan golok dan ruyung.

“Bagus! Bagus!” teriak orang banyak berulangkali. Hanya sambil berseru-seru, mereka pada mengundurkan diri setindak demi setindak. Hebat menyambar-nyambarnya golok kayto dan ruyung besi, takut mereka nanti kena terserempet….

“Tuan-tuan, tahan!” Bok Ek berseru seraya menghampiri. “Di sini adalah kota raja, tidak dapat kita sembarang menggunakan senjata tajam!”

Dua orang itu lagi bertempur seru sekali, mereka tidak memperdulikan seruan itu.

Melihat ia tidak dihiraukan, tiba-tiba Bok Ek menyerbu. Dengan satu dupakan, ia membuat golok kayto terpental tinggi dan dengan sambaran tangan ia rampas ruyungnya si empek-empek, kemudian selagi golok turun, ia hajar itu dengan ruyung sehingga golok itu patah dua!

Para penonton kagum, mereka bersorak. Tapi itu belum semua, dalam sengitnya, Bok Ek cekal kedua ujung ruyung, ia lantas menekuk, maka ruyung itu menjadi bengkok melengkung, hingga sudah tentu saja selanjutnya tak dapat digunakan lagi!

Si tua dan si paderi tercengang, mereka menjadi kuncup hatinya, tanpa membilang suatu apa lagi, keduanya nyelusup diantara orang banyak, angkat kaki!

Kwee Ceng mengawasi Bok Ek, yang tubuhnya sedikit bongkok tetapi badannya lebar dan kekar, tanda dari tenaganya yang besar, Cuma rambut dekat kedua samping kupingnya sudah berwarna kelabu dan kulit mukanya berkerenyut dan waktu itu wajahnya guram. Dilihat dari roman, ia mungkin telah berusia hampir enam puluh.

“Besok kita pulang ke selatan…” berkata dia dengan masgul. Dia pun menghela napas.

“Ya,” menyahut si nona, yang diajak bicara.

Sampai disitu, penonton hendak bubaran. Bukankah pibu telah berakhir? Tapi justru itu, mereka dengar suara kelenengan kuda, hingga mereka pada menoleh, Kwee Ceng pun tak terkecuali.

Ke situ datang satu kongcu atau pemuda sambil diiringi beberapa puluh pengikut. Suara kelenengan itu datang dari rombongan itu. Kapan Kwee Ceng telah melihat si koncu, lekas-lekas ia sembunyikan diri di antara orang banyak itu. Ia kenali si kongcu yang ia telah ketemukan di rumah makan di Kalgan.

Kongcu itu melihat bendera Pi Bu Ciauw Cin, ia lantas awasi si nona baju merah, terus ia loncat dari kudanya, sembari tersenyum, ia masuk ke dalam kalangan.

“Apakah nona yang mengadakan pibu untuk mencari jodoh?” ia menanya sambil memberi hormat.

Nona itu dengan wajah bersemu merah, melengos, tidak menyahut. Adalah Bok Ek, yang menghampiri pemuda itu, untuk memberi hormat.

“Aku yang rendah she Bok. Kongcu ada keperluan apakah?” ia menanya.

“Bagaimana aturan atau syarat-syaratnya pibu perjodohan ini?” menanya si pemuda.

Bok Ek memberikan keterangannya.

“Kalau begitu, hendak aku mencoba-coba,” kata si pemuda.

“Ah, kongcu bergurau!” berkata Bok Ek tertawa. Lagi-lagi ia memberi hormat.

“Kenapa begitu?” si pemuda menegaskan.

“Kami adalah orang kangouw, mana berani kami beradu tangan sama kongcu?” menyahut Bok Ek. “Lagian ini bukannya cuma soal menang atau kalah, ini mengenai hari kemudian dari anakku. Aku minta kongcu sudi memaafkan aku.”

Pemuda itu mengawasi si nona. “Sudah berapa lama sejak kamu mengadakan pibu ini?” ia tanya pula.

“Sampai sebegitu jauh sudah satu tahun lebih dan kami telah menjelajahi tiga belas propinsi,” menjawab Bok Ek dengan sebenarnya. Pemuda itu tampaknya heran.

“Apakah mungkin belum pernah ada orang yang dapat menangkan dia?” ia menegaskan. “Ah, aku tidak percaya!” Ia tunjuk si nona.

Bok Ek tersenyum. “Sebabnya mungkin, orang yang pandai silat itu sudah menikah atau ia sungkan beradu tangan dengan anakku,” ia menerangkan.

“Kalau begitu, mari, mari!” berkata si pemuda, menantang. Ia bertindak ke tengah kalangan.

Diam-diam girang hatinya Bok Ek. Ia dapatkan orang, muda dan tampan. Si nona agaknya kagumi pemuda itu. Ia tahu, di dalam tiga belas propinsi, belum pernah ia bertemu pemuda semacam ini. Maka ia loloskan mantelnya, hampiri si pemuda untuk memberi hormat.

Pemuda itu membalas hormat, ia tersenyum. “Silakan mulai, nona!” ia kata.

“Silakan kongcu membuka dulu bajumu,” berkata nona itu.

“Tidak usah,” menyahuti si kongcu. 




Para penonton pada berkata dalam hatinya, “Si nona lihay sekali, sebentar kau nanti merasai…” Tapi ada juga yang berpikir: “Bok Ek ayah dan anak adalah orang kangouw, masa mereka berani bikin malu satu kongcu? Tentu si kongcu bakal dibikin mundur teratur, supaya ia tidak hilang mukanya…”

“Silahkan, kongcu!” berkata si nona.

Kali ini kongcu itu sudah tidak sungkan lagi. Tiba-¬tiba ia memutar ke kanan, hingga bajunya yang panjang dan tangan bajunya juga turut bergerak, lalu tangan kirinya menyambar ke pundak si nona.

Terkejut si nona menyaksikan gerakan yang luar biasa itu. Sambil mendak, ia nyelusup di bawah ujung bajunya pemuda itu. Di luar dugaan, orang ini sangat gesit. Sekarang ujung baju dari tangan kanan si pemuda yang menyusul menyambar. Sukar untuk menyingkir dari serangan susulan itu, maka si nona menjejak tanah untuk mencelat mundur.

“Bagus!” berseru si kongcu. Ia lantas merangsak, tidak menunggu kedua kaki si nona keburu menginjak tanah, ia mengebut pula.

Nona itu tidak melompat mundur, ia hanya berjumpalitan, maka itu ketika si kongcu datang dekat, sebelah kakinya menjejak ke arah hidung si kongcu.

Untuk membebaskan diri, kongcu itu lompat ke kanan. maka barenglah mereka menurunkan tubuh.

Penonton semua kagum, untuk lihaynya si kongcu dan untuk kelincahan si nona. Mereka itu sama-sama lincah.

Si nona dengan wajah merah, mulai membalas menyerang. Sekarang si kongcu yang main berkelit. Menjadi menarik menyaksikan baju indah si kongcu bagaikan bercahaya, dan baju si nona seperti mega bermain.

Kwee Ceng pun kagum. Pemuda-pemudi itu berimbang usianya, mereka tampan dan elok, mereka pun pandai silat, sungguh cocok apabila mereka menjadi pasangan hidup, menjadi suami-istri. Karena ini tidak lagi ia benci si kongcu untuk kelakuannya di rumah makan baru-baru ini, sekarang ia mengharap akan kemenangan si kongcu.

Pertandingan itu berjalan terus dengan seru, sampai tiba-tiba orang dengar suara “bret!” robek. Nyata si nona dapat menjambret ujung baju si kongcu dan ia menariknya, sebab si kongcu juga membetot, ujung baju itu putus dengan menerbitkan suara nyaring itu. Si nona lantas lompat mundur jauh-jauh, tangannya mengibaskan baju rampasannya itu!

“Tunggu dulu!” Bok Ek segera kasih dengar suaranya. “Kongcu, silahkan kau loloskan bajumu, untuk kamu menentukan kemenangan terakhir!”

Kongcu itu muram wajahnya, kedua tangannya bergerak, maka robeklah kancing-kancing bajunya, jatuh di tanah. Ia bukan membuka dengan baik, ia hanya menyobeknya!

Satu pengiring lari menghampiri membantu meloloskan baju itu.

Sekarang terlihat kongcu ini dengan pakaian dalamnya dari sutera hijau muda yang indah, yang pinggangnya dilibat dengan sabuk hijau. Ia nampak semakin tampan. Bercahaya wajahnya yang putih dan bibirnya yang merah.

Tanpa berkata apa-apa, kongcu ini mulai menyerang. Ia menggunakan tangan kirinya, anginnya menyambar keras. Melihat itu si nona, Bok Ek dan Kwee Ceng terperanjat. Mereka tidak sangka, kongcu ini demikian lihay.

Setelah menyaksikan lagi sekian lama, Kwee Ceng jadi berpikir: “Ilmu silatnya mirip betul sama ilmu silatnya In Cie Peng, si imam muda, yang malam itu menempurku. Apakah boleh jadi mereka berasal dari satu perguruan?”

Sekarang si kongcu tidak mau mengalah lagi, karena sukar untuk si nona membalas mendesak, malah untuk merapatkan saja sulit.

“Kongcu ini lebih lihay daripada In Cie Peng, si nona bukan tandingannya,” berpikir Kwee Ceng setelah ia menyaksikan terlebih jauh. “Pasti jodoh mereka bakal terangkap…”

Bok Ek pun girang melihat jalannya pertempuran ini, malah ia lantas berseru: “Anak Liam, sudah tak usah kau melawan lebih lama lagi, kongcu menang jauh daripadamu…!”

Tapi orang lagi bertempur hebat sekali, sedang si kongcu kata di dalam hatinya,: “Kalau sekarang aku hendak robohkan kau, gampang sekali, Cuma aku tidak tega…”

Benar saja, ketika tangan kirinya menyambar, tangan kiri si nona kena dicekal. Ia tahu si nona bakal mengibas keluar, selagi si nona mengerahkan tenaganya, ia sekalian menolak seraya cekalannya itu dilepaskan. Maka tidak ampun lagi, nona itu rubuh terjengkang. Hanya, belum lagi tubuh orang mengenai tanah, tangan kanan si kongcu sudah menyambar, merangkul, hingga si nona manis lantas berada di dalam pelukannya.

Orang banyak bertempik sorak, tapi ada juga yang menggerutu.

Si nona menjadi sangat malu. “Lekas lepaskan aku!” ia minta, suaranya perlahan.

Si kongcu tertawa. “Kau panggil engko padaku, nanti aku lepas kau!” sahutnya.

Nona itu mendongkol. Itu permintaann ceriwis. Ia lantas berontak. Tapi sia-sia saja, ia malah terpeluk semakin keras.

Bok Ek lantas maju. “Kongcu sudah menang, tolong kau lepaskan anakku,” ia minta.

Pemuda itu tertawa lebar, ia masih belum mau melepaskan pelukannya. Dalam sengitnya, si nona menjejak.

Kongcu itu melepaskan tangannya yang kanan, tangan itu dipakai menangkis dan menangkap kaki orang, dengan begitu, tetap ia memegang tubuh di nona.

Nona ini penasaran, ia berontak sekuat tenaga, akhirnya ia bebas, ia jatuh terduduk di tanah. Ia menjadi malu sekali, ia tunduk, sembari tunduk, ia raba kaos kakinya yang putih. Sebab sepatunya telah terlepas.

Kongcu itu berdiri sambil tertawa haha-hihi, tangannya mencekali sepatu orang, yang ia bawa ke hidungnya!

Melihat itu, beberapa penonton bangsa bergajul, lantas saja berseru-seru, “Harum! Harum!”

“Kau she apa kongcu?” Bok Ek menanya. Ia tertawa, ia tidak menghiraukan sikap ceriwis si pemuda.

Kongcu itu pun tertawa.

“Tidak usah bicara lagi!” katanya, seraya ia putar tubuhnya untuk minta jubah sulamnya dari pengiringnya. Ia menoleh kepada si nona, sepatu itu ia masuki ke dalam sakunya.

“Kami tinggal di Hotel Ko Seng di jalan utama kota barat,” berkata Bok Ek, “Mari kita pergi sama-sama ke sana untuk berbicara.”

“Aku tidak sempat,” berkata si anak muda. “Apakah yang hendak dibicarakan?” tanyanya kemudian.

Bok Ek heran, air mukanya sampai berubah. “Kau toh telah mengalahkan anakku!” ia kata. “Aku telah melepas kata, maka itu tentu saja aku hendak jodohkan anakku ini denganmu. Ini adalah urusan seumur hidup, mana bisa kita memandang enteng?”

Kongcu itu melengak, ia tertawa besar. “Bukankah kita main-main dengan ilmu silat?” katanya. “Tidakkah itu sangat menarik hati? Tentang perjodohan, terima kasih banyak!”

Mukanya Bok Ek menjadi pucat, ia sampai berdiam saja.

“Kau…! Kau…!” katanya kemudian seraya menuding.

Pengiring si kongcu tertawa dingin dan menyela, “Kau kira kongcu kami ini bangsa apa? Kongcu kami bersanak dengan kamu orang kangouw tukang jual silat dari kelas tiga rendah empat bawah? Hm! Pergilah kau tidur dengan mimpimu di siang bolong!”

Bukan main gusarnya Bok Ek, tangannya melayang, maka pengiring itu berkoak kesakitan, mulutnya mengeluarkan darah, beberapa giginya rontok, seketika ia roboh di tanah, terus pingsan!

Kongcu itu tidak ambil peduli kejadian itu, ia suruh pengiring lainnya metolong, ia sendiri menghampirkan kuda.

“Jadi kau sengaja mengganggu kami?!” berteriak Bok Ek.

Kongcu itu tetap tidak mengambil mumat, ia injak sanggurdi dengan sebelah kakinya.

Bok Ek habis sabar, dengan tangan kirinya ia cekal lengan kiri pemuda itu. “Baik!” serunya. “Anakku pun tidak akan nikah dengan kau, manusia hina dina! Kembalikan sepatu anakku!”

Kongcu itu mengawasi, ia tertawa. “Sepatu ini toh anakmu yang dengan suka sendiri menghanturkannya kepadaku,” ia menyahut. “Ada apa sangkut pautnya denganmu?”

Ia terus gerakkan tangan kirinya itu dan terlepaslah cekalan Bok Ek.

“Akan aku adu jiwa!” berteriak ayah yang dipermainkan itu seraya ia lompat berjingkrak, kedua tangannya digerakkan berbareng, untuk menyerang kedua pelipis orang. Itulah jurus “Ciong kouw cie beng” atau “Gembreng dan tambur ditabuh berbareng.”

Kongcu ini berkelit sambil menjajak sanggurdinya, maka tubuhnya lantas mencelat ke tengah kalangan.

“Jikalau aku hajar roboh dirimu, orang tua, kau tentunya tidak bakal memaksa aku nikahi anakmu, bukan?” katanya sambil tertawa mengejek.

Kecuali bangsa bergajul, semua penonton menjadi panas hatinya, dari berkesan baik mereka menjadi jemu dan benci. Kongcu ini terang selain ceriwis pun kurang ajar dan keterlaluan. Cuma mereka bisa mendelu saja, tidak ada yang berani membuka mulut.

Bok Ek sudah lantas lompat untuk menerjang pemuda itu.

Kongcu itu mengetahui orang seperti kalap, bahwa serangannya itu sangat berbahaya, maka dengan sebat ia berkelit, sesudah mana dari samping, tangan kirinya membalas menyerang perut dengan jurusnya “Tok coa sim hiat” yaitu “Ular berbisa mencari lubang.”

Bok Ek berkelit ke kanan, dari situ ia menyerang pula, dua jari tangannya mencari pundak bagian yang kosong. Itulah salah satu jurus “Eng Jiauw Kun” atau “Kuku Garuda” dari ilmu silat Utara.

Kongcu itu lihay, agaknya dengan gampang saja ia mendak sedikit, lalu ia lolos dari bahaya, menyusul itu, tidak kelihatan ia menarik pulang tangan kirinya atau tangan kanannya sudah melakukan penyerangan pembalasan. Tangan kirinya itu telah diangkat ke depan mukanya, dalam sikap “Touw in hoat jit” atau “Nyelusup ke mega menukar matahari”, guna melindungi mukanya.

Bok Ek tarik lengan kirinya, dilain pihak ia menyerang dengan tangan kanannya. Untuk membalas serangan dengan serangan, dengan tidak kalah sebatnya. Ketika lawan itu berkelit, ia mendesak, menyerang lagi, kali ini dengan kedua tangannya, ke arah kedua belah pipi. Inilah pukulan “Wie Hok Hong cu” atau “Malaikat Wie Hok mempersembahkan toya”.

Kongcu itu tidak memandang enteng kepada musuh ini, ia hanya tidak menyangka semua serangan lawan sedemikian berbahayanya, maka ia tidak mau main acuh tak acuh lagi, ia membalas dengan sama hebatnya. mendadak saja kedua tangannya bergerak, menyambar kedua tangan Bok Ek itu, pada bagian belakang telapak tangan, menyusul ia menarik tubuhnya, mencelat mundur, sepuluh jarinya berubah menjadi merah semuanya. Para penonton berseru kaget. Sebab belakang telapak tangan dari Bok Ek telah berlumuran darah!

Si nona menjadi kaget berbareng gusar, ia memburu ayahnya, untuk menolong. Ia robek ujung baju si ayah, guna dipakai membalut lukanya.

Bok Ek tolak mundur anaknya. “Kau minggir!” katanya sengit. “Hari ini aku mesti mengadu jiwa dengannya, atau aku tidak hendak berhenti!”

Wajah si nona guram, ia memandang tajam kepada si pemuda. Tiba-tiba tangannya merogoh ke sakunya, mengasih keluar sebuah pisau belati dengan apa ia terus tublas dadanya sendiri.

Bok Ek kaget bukan main, lupa kepada tangannya yang sakit, ia tangkis tublasan itu, maka sekarang ia terluka anaknya itu, sebab si nona tidak keburu membatalkan tikamannya.

Para penonton menjadi mendongkol berbarang berduka. Inilah mereka tidak sangka. Mereka pun tidak berani campur tangan.

Adalah Kwee Ceng yang tidak dapat melihat terlebih jauh. Selagi si kongcu hendak naik kudanya, ia bertindak ke dalam kalangan, ia berseru. “Halo, sahabat! Perbuatanmu ini tidak tepat!”

Kongcu itu berpaling, kapan ia lihat anak muda kita, ia tercengang. Tapi cuma sebentar saja, terus ia tertawa. “Habis kau mau apa!” ia menantang. “Bagaimana baru tepat?”

Semua pengiring si kongcu tertawa ramai. Mereka lihat roman orang yang ketolol-tololan, dan lagu suaranya pun beda dari lagu suara mereka, sikap dan lagu suara itu telah diajoki kongcu mereka. Tentu saja mereka menganggap itu lucu.

Kwee Ceng melongo sebentar. Ia tidak lantas menginsyafi orang lagi permainkan dirinya.

“Kau harus menikah baik-baik dengan nona ini!” ia menjawab kongcu itu.

Si kongcu miringkan kepalanya, ia tertawa haha¬hihi. “Jikalau aku tidak sudi nikahi dia?” dia tanya.

“Jikalau kau tidak sudi menikah dengannya, apa perlunya kau maju dalam pertandingan?” Kwee Ceng tanya. “Apakah kau tidak melihat bendera mereka yang menjelaskan pibu untuk pernikahan?”

Kongcu itu tidak menjawab, ia hanya mengawasi dengan tajam. “Sebenarnya kau hendak main gila denganku atau bagaimana?” kemudian dia bertanya tegas.

Kwee ceng tidak menjawab, ia balik bertanya. “Nona ini cantik dan ilmu silatnya pun sempurna, kenapa kau tidak sudi menikah dengannya? Jikalau kau tidak hendak menikah sama nona macam begini, di belakang hari ke mana lagi kau hendak mencarinya?”

“Eh, kau tidak mengerti urusan, bicara denganmu sia-sia saja!” kata si kongcu. “Kau sebenarnya murid siapa? Kau memanggil apa kepada Oey Yok Su dari pulau Tho Hoa To?”

Kwee Ceng menggoyangkan kepalanya. “Siapa guruku, tak dapat aku beritahu padamu!” ia jawab. “Aku tidak tahu Oey Yok Su itu orang macam apa.”

“Habis, siapa yang ajarkan kau ilmu menotok istimewa dari pulau Tho Hoa To it?” si kongcu masih menanya.

“Ilmu menotok jalan darahku itu adalah guruku yang kedua yang mengajarkannya,” menjawab Kwee Ceng.

“Siapa itu gurumu yang kedua?” tanya kongcu itu kemudian.

“Aku tidak mau memberitahu” jawab Kwee Ceng pula.

“Baiklah, masa bodoh!” berkata pemuda itu yang lantas memutar tubuhnya.

Kwee Ceng ulur tangannya untuk mencegah. “Eh, kenapa kau hendak pergi pula?” ia menanya.

“Habis kenapa?” kata si kongcu lagi.

“Bukankah aku telah beri nasehat kepadamu untuk kau nikahi nona ini?” kata Kwee Ceng.

Kongcu itu tertawa dingin, dia buka tindakannya yang lebar, untuk berjalan pergi.

Sampai di situ, Bok Ek hampairi anak muda ini. Sejak tadi ia mendengari orang pasang omong, disamping ia mendongkol terhadap si kongcu, tahu bahwa anak muda ini baik hatinya dan berpihak padanya. Ia Cuma merasa orang masih terlalu muda dan belum mengenal dunia.

“Saudara kecil, jangan kau ladeni dia!” dia berkata. “Asal nyawaku masih ada, sakit hati ini tidak dapat tidak dilampiaskan!” Terus ia kata dengan suara nyaring: “Anak muda, kau tinggalkan she dan namamu!”

Kongcu itu berpaling, ia tertawa. “Aku sudah bilang, tidak dapat aku memanggil mertua kepadamu, maka kenapa kau begini melit hendak mengetahui she dan namaku?” ia bertanya.

Kwee Ceng menjadi habis sabar, ia melompat kepada pemuda itu. “Kalau begitu, kau kembalikan sepatunya si nona!” ia membentak.

Kongcu itu menatap. “Kau gemar campur urusan bukan urusanmu!” ia berkata. “Bukankah kau menaruh hati kepada nona itu?”

“Bukan!” jawab Kwee Ceng, yang menggeleng kepalanya. “Sebenarnya kau hendak kembalikan sepatu itu atau tidak?”

Dengan mendadak saja anak muda ini menggerakkan kedua tangannya, mencekal kedua nadi si kongcu. Ia telah gunakan salah satu tipu dari ilmu silat Kim-na-ciu, yang semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Ilmu silat itu adalah untuk menangkap tangan lawan.

Kongcu itu terkejut berbareng gusar. Ia berontak tetapi tidak berdaya. “Kau mau mampus?!” tanyanya, sebelah kakinya menendang ke bawah perut si anak muda.

Kwee Ceng tidak menangkis atau berkelit, dengan sebat ia tarik tangannya kongcu itu, hingga orang terlempar tubuhnya, dengan begitu, ia bebas dari tendangan orang itu.

Kongcu itu enteng sekali tubuhnya, walaupun ia telah terlempar, ia Cuma terpelanting, tidak sampai mencium tanah. Hanya dengan begitu, ia telah kalah satu babak. Ia menjadi gusar sekali.

“Kau sudah bosan hidup, bocah?” ia berseru.

Kwee Ceng mengawasi, ia menggeleng kepala. “Buat apakah aku bertempur denganmu?” ia berkata, “Kau tidak mau nikahi dia, sudah saja, kau kembalikan sepatunya itu!”

Orang banyak menyangka pemuda ini hendak membela keadilan, mereka tidak ayana, akhirnya cuma sebegitu saja sikapnya. Mereka yang gemar menonton menjadi kecele.

Kongcu ini jeri juga terhadap Kwee Ceng, bahwa orang tidak ingin berkelahi, itu cocok dengan keinginannya, akan tetapi ia dipaksa menyerahkan sepatu si nona, mana dapat ia mengalah. Tidakkah ia berada di hadapan orang banyak? Maka itu seraya menyingkap jubahnya, ia memutar tubuh, mulutnya mengasih dengar tertawa dingin.

“Apakah kau hendak pergi?” menegur Kwee Ceng seraya menyambar jubah orang itu.

Si kongcu lantas menggunakan ketikanya. Ia berkelit, jubahnya itu dilayangkan sekali, dipakai menungkrap kepala orang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar