Selasa, 15 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 029

Selagi kedua pemuda ini bicara dengan asyik, di tangga lauwteng terdengar suara langkah kaki, lalu tampak muncul tiga orang, dua kacung yang mengiringi pemuda dengan baju sulam yang indah. tampan sekali, wajahnya terang, usianya barangkali baru delapan atau sembilanbelas tahun. Ia memandang Kwee Ceng dan Oey Yong. Melihat pakaian yang kotor, ia mengerutkan kening, lantas ia menunjuk meja yang terpisah jauh. Kedua kacungnya menghampiri meja yang ditunjuk itu, mengatur mangkok dan sepasang sumpit yang ia bawa dari rumah. Mangkok dan sumpit yang mana disimpan dalam sebuah kotak. Jongos juga segera repot melayani tamu baru ini.

Kwee Ceng mengawasi sebentar, lantas ia tidak pedulikan lagi tamu itu. Ia kembali mengobrol bersama sahabat barunya itu.

Belum lama, di bawah lauwteng terdengar suara kuda meringkik, disusul beberapa kali bentakan dari beberapa orang. Ia ingat akan kudanya, maka ia lari ke jendela untuk melongok ke bawah. Ia melihat beberapa orang dengan pakaian serba putih tengah mengurung kudanya, hendak ditangkap, tetapi kuda itu berjingkrakan, hingga ia tak dapat didekati. Ia menjadi gusar sekali, terutama ketika ia kenali orang-orang itu adalah delapan penunggang unta yang memang berniat merampas kudanya. Ia hanya heran kenapa orang dapat menyusul demikian cepat. Lantas ia berseru: “Di siang bolong kamu berani merampas kudaku?” Lantas ia lari turun dari lauwteng. Setibanya di depan rumah makan, ia dapatkan delapan orang berpakaian putih itu sedang rebah tanpa berkutik. Ia menjadi heran sekali, sehingga ia berdiri menjublak.

Tiba-tiba Kwee Ceng sadar. Ia merasakan ada tangan yang lemas memegang tangannya. Ketika ia menoleh, ternyata Oey Yong, entah kapan telah turun dari lauwteng.

“Jangan pedulikan mereka, mari kita naik lagi ke lauwteng!” berkata sahabat barunya ini.

“Mereka ini hendak merampas kudaku,” kata Kwee Ceng. “Entah kenapa, mereka pada rubuh sendirinya….”

Meski ia mengucap demikian, Kwee ceng menurut, ia memutar tubuhnya. Demikian juga si anak muda itu.

Justru mereka memutar tubuh, si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu juga telah berada di depan, malah ia sudah lantas membungkuk melihat delapan pemudi yang menyamar sebagai pemuda-pemuda itu, kemudian ia mengawasi kedua anak muda itu, sinar matanya menandakan sangat heran.

Oey Yong tarik tangannya Kwee ceng, untuk naik tangga, kemudian sembari tertawa manis, ia tuangkan air teh di cawan pemuda itu.

“Toako, kudamu itu bagus sekali!” katanya memuji.

Kwee Ceng hendak sahuti sahabatnya ketika tatkala dengar ramai suara kelengan unta di depan rumah makan, ia pergi ke jendela diikuti Oey Yong, mereka melongok ke bawah, melihat delapan nona serba putih itu berlalu dengan unta mereka, salah satu nona menoleh ke belakang, ia memandang Kwee Ceng dengan sinar matanya yang tajam, tanda kemurkaan, sepasang alisnya pun terbangun. Tiba-tiba saja ia ayun tangannya yang kanan, dua potong ginso menyambar ke loteng.

Cepat-cepat Kwee Ceng cabuti kopiahnya, menyambut torak perak itu. Akan tetapi si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu telah mendului, dengan menyentil dua kali, dua batang senjata rahasia yang bersinar emas berkilauan itu melayang, lalu di antara dua kali suara tintong, ginso itu jatuh bareng bersama senjata penyerangnya. kedua kacung lantas pungut empat senjata rahasia itu, diserahkan kepada si pemuda, yang menyambut seraya memasukkannya ke dalam saku. Habis itu, ia lantas bertindak naik di tangga lauwteng, menghampirkan Kwee Ceng, segera memberi hormat sambil berjura.

“Aku mohon tanya she dan nama mulia dari toako,” ia minta.

Kwee ceng cepat-cepat membalas hormat. “Siauwte she Kwee, bernama ceng,” ia menyahut. “Kongcu ada pengajaran apakah?” lanjutnya.

“Apakah saudara Kwee datang dari pulau Tho Hoa To dari Tang-hay?” pemuda itu menanya. “Aku mohon tanya, ada urusan apakah saudara datang ke mari?”

Ditanya begitu, Kwee melengak. “Siauwtee datang dari gurun pasir utara,” ia menyahut. “Belum pernah siauwtee pergi ke pulau Tho Hoa To. Barusan kongcu membantu, aku sangat berterima kasih.”

Kongcu itu berkata: “Saudara Kwee tak hendak mengenalkan diri, nah di sini saja kita berpisahan, sampai nanti kita bertemu pula!” Lalu ia menjura dalam sekali.

Kwee ceng lekas-lekas membalas, di waktu mana ia merasakan sambaran angin. Kongcu itu telah mengibaskan tangannya, ujung tangan bajunya menjurus ke matanya.

Inilah Kwee ceng tidak sangka. Sembari memberi hormat orang menyerang secara hebat sekali. Celaka kalau ia kena tersampok. Maka ia lantas tunduk, untuk masuki kepalanya ke selangkangannya, guna terus lompat berjumpalitan. Meski begitu, pundaknya kena tersambar juga, hingga terbit satu suara nyaring dan ia merasakan sakit ngilu pada pundaknya. Karena ini, diwaktu ia sudah taruh kakinya, ia kaget dan gusar dengan berbareng.

“Kau…kau….”

Tapi si kongcu pegat ia, sembari tertawa, ia kata: Aku cuma mencoba ilmu kepandaianmu, saudara Kwee. Ilmu totok kau lihay sekali, tapi ilmu silatmu tangan kosong biasa saja. Maaf…!” Kembali ia menjura.

Kwee ceng khawatir orang nanti bokong pula padanya, ia mundur setindak.

Oey Yong agaknya kaget, tubuhnya bergeser, tangannya menjatuhkan sebatang sumpit ke kaki kongcu, disaat kongcu itu mengangkat tubuhnya habis menjura, Oey Yong pun telah dapat menjumput sumpitnya itu. Si kongcu rupanya jijik untuk pakaian kotor anak muda ini, ia mundur satu tindak, kepada Kwee Ceng ia tersenyum, terus ia putar tubuhnya untuk bertindak ke tangga lauwteng.

“Ini untuk kau…” kata Oey Yong dengan perlahan, tangannya disodorkan.

Kwee Ceng melihat telapak tangan anak muda ini, ia tercengang. Di tangan kawan ini terlihat dua potong tusuk konde emas serta dua potong ginso, yang bergemerlapan kuning dan putih. Itulah ginso yang tadi si kongcu simpan dalam sakunya. Entah kapan sahabat ini mengambilnya. Ia tercengang sebentar lantas ia ingat, ia mengerti. Ia sambut tusuk konde emas dan ginso itu.

“Kongcu, kau lupakan barangmu ini!” ia panggil si pemuda yang seperti anak bangsawan itu.

Kongcu itu menghentikan tindakannya, ia berpaling.

Kwee Ceng angsurkan kedua barang emas dan perak itu. 




Menampak barangnya itu, kongcu terkejut sehingga air mukanya berubah, cepat luar biasa tangannya menyambar ke arah Kwee ceng, lima jarinya yang kuat seperti kuku garuda menyambar.

Kwee Ceng kaget tidak terkira. Dari gerakannya saja, ia sudah dapat menduga orang bergerak dengan ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw seperti keenam gurunya sering menuturkan kepadanya. Maka ia menduga, adakah kongcu ini sekaum dengan Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi? Ia menginsyafi hebatnya cengkeraman Tulang Putih itu, sebab masih ada bekas cengkeramannya Bwee Tiauw Hong dulu hari pada lengannya, cuma ia dapat membedakannya, sambaran kongcu ini kalah jauhnya dengan sambaran si Mayat Besi. Tidak berani ia menangkis atau menyambut cengkeraman itu, belum ia terjambak, empat senjata di tangannya sudah lantas mencelat. cepat luar biasa ia telah kerahkan tenaganya.

Kongcu itu terkejut. Ia dapatkan, belum lagi serangannya mengenai, empat senjata itu sudah menyambar ke arahnya. ia juga dapat lihat anak muda itu berdiri tegar ditempatnya. Dengan terpaksa ia sambut empat potong benda itu. Setelah menatap, ia memutar tubuhnya terus menuruni tangga.

Ketika Kwee Ceng kembali ke kursinya, Oey Yong sahabatnya itu mengawasi sambil tertawa geli.

“Kenapa barang itu berada di tanganmu?” ia menanya, heran.

“Dia membikinnya jatuh selagi dia menjura kepadamu, lantas aku jumput!” sahut Oey Yong masih tertawa.

Kwee Ceng jujur, ia tidak menduga orang mendusta.

“Toako, kenapa rombongan wanita itu mencoba merampas kudamu?” kemudian Oey Yong menanya.

“Sebab kudaku adalah han-hiat-po-ma,” jawab Kwee Ceng, yang terus tuturkan perihal kuda itu sampai ia bertemu rombongan si wanita itu, yang menyamar sebagai pemuda-pemuda dan menunggang unta. Kemudian ia melanjuti: “Entah siapa yang membantuku diam-diam dengan merobohkan mereka. Kalau tidak tentulah mesti terjadi pertempuran hebat…”

Oey Yong masih tersenyum.

“Kudaku itu lari cepat sekali, sebenarnya aku telah mendahului mereka seperjalanan tiga hari, entah kenapa, mereka dapat menyusul…” Kwee Ceng kemudian mengutarakan keheranannya. “Sungguh memusingkan kepala..”

“Aku lihat di antara mereka ada yang memegang sepasang burung dara,” kata Oey Yong.

Tiba-tiba Kwee ceng menepuk meja. “Ya, aku ingat sekarang!” ia kata pula separuh berseru. “waktu itu aku lihat terbangnya dua ekor burung di atas kepala. Rupanya tiga wanita itu melepaskan burung itu untuk memberi kabar kepada lima kawannya, untuk mereka memegat atau mengawasi aku, dari itu, mereka gampang saja mencariku.”

Setelah itu, Oey Yong tanya tentang tenaga larinya kuda merah itu dan Kwee ceng menuturkannya dengan jelas. Ia kelihatannya menjadi kagum sekali. Ia keringkan secawan teh, lalu ia tertawa.

“Toako,” katanya, “Hendak aku meminta sesuatu yang berharga darimu, apa kau sudi mengabulkannya?” dia bertanya.

“Kenapa tidak?” Kwee Ceng menjawab.

“Sebenarnya aku suka sekali dengan kudamu itu,” menerangkan Oey Yong.

“Baik, hiantee, aku hadiahkan itu padamu!” kata Kwee Ceng tanpa ragu-ragu.

Oey Yong terperanjat. Sebenarnya ia main-main saja. Bukankah mereka baru pertama bertemu? Ia malah mengharap jawaban si pemuda adalah penolakan. Ia lantas mendekam di meja, terus terdengar tangisannya sesegukan.

Sekarang adalah giliran Kwee Ceng yang menjadi heran. “Hiantee, kau kenapakah?” ia menanya cepat. “Apakah kau kurang sehat?”

Oey Yong angkat kepalanya, ia mengawasi si pemuda. Mukanya penuh air mata. Tapi sekarang ia tidak menangis, sebaliknya ia tertawa. Air matanya itu yang mengalir di kedua belah pipinya, menyebabkan mehongan luntur, hingga tampak dua baris kulitnya yang putih mulus.

“Toako, marilah kita pergi!” ia mengajak. Kwee Ceng menurut. Bersama-sama mereka turun dari lauwteng. Lebih dulu ia membayar uang makan, baru ia tuntun kudanya. Ia pesan kepada kudanya: “Aku haturkan kau kepada sahabatku yang baik, maka baik-baiklah kau mendengar katanya, jangan kau bawa adatmu.” Kemudian sembari menoleh kepada si anak muda, ia mepersilakan: “Hiantee, kau naiklah!”

Sebenarnya kuda itu tak dapat ditunggangi orang lain, akan tetapi ia sekarang tidak membangkang.

Oey Yong naik kuda itu. Kwee Ceng menyerahkan les kuda itu, ia terus tepuk kempolan kudanya itu. Dengan lantas kuda itu berlari pergi.

Pemuda itu menanti sampai orang tidak terlihat lagi, baru ia melihat langit. Ia mendapatkan sang malam bakal lekas tiba. Karena ini, ia lantas pergi mencari rumah penginapan. Ketika disaat ia hendak memadamkan api, untuk rebahkan diri, tiba-tiba ia dengar ketokan pada pintu.

“Siapa?” ia tanya heran.

“Satu sahabat,” sahut suara di luar, suaranya parau.

Kwee Ceng turun dari pembaringan, ia membuka pintu. Di antara cahaya lilin, ia tampak lima orang berdiri di depannya. Setelah ia mengenali orang, ia terkejut bukan main. Empat di antaranya ada membawa golok dan ruyung. Mereka itulah Hong Ho Su Koay. Dua orang yang ke lima, yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya kurus, mukanya lonjong, di jidatnya ada tiga kutil besar, romannya sangat tidak mengasih untuk diawasi.

Si kurus sudah lantas tertawa tawar, tanpa bilang suatu apa, ia membuka tindakan lebar akan memasuki kamar orang, akan terus mencokol di atas pembaringan, sambil melirik, ia awasi tuan rumah.

Kwee Ceng pun mengawasi, hingga ia melihat tegas, muka orang ada tanda bekas luka-luka senjata tajam, hingga dia itu tak dapat melihat lepas ke depan.

Toan-hu-to Sim Ceng Kong si Golok Memutus Roh, dengan dingin, lantas berkata: “Inilah paman guru kami, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay yang sangat ternama! Lekas kau berlutut!”

Kwee Ceng mengerti bahwa ia telah terkurung, bahwa Hong Ho Su Koay saja sudah bukan tandingannya, apapula mereka dibantu oleh paman gurunya itu, yang julukannya pun berarti si Ular Naga Kepala Tiga.

“Tuan-tuan ada punya urusan apa?” ia tanya sambil menjura.

“Mana guru-guru kamu?” Hauw Thong hay menanya.

“Guruku tidak ada di sini,” sahut Kwee Ceng.

“Ah! Kalau begitu aku memberi padamu untuk hidup lagi setengah harian!” kata Ular Naga Kepala Tiga itu. “Sekarang hendak kau memberi pengajaran kepadamu, agar orang tidak nanti mengatakan Sam-tauw-kauw menghina anak kecil. Besok tengah hari aku menantikan di rimba Hek-siong¬lim di luar kota, kau datang ke sana bersama semua gurumu!” Habis berkata, ia bangkit, tanpa menanti penyahutan Kwee Ceng, ia sudah ngeloyor keluar. Sesampai di luar, ia suruh Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat si Tombak Mengejar Jiwa menutup pintu, hingga terdengar suara membeletok.

Kwee Ceng memadamkan api, terus ia duduk numprah di atas pembaringan. Kemudian memandang ke jendela, tampak bayangan orang mondar-mandir. Rupanya orang telah menjaga ia di luar kamar. Ia masih berdiam saja. Selang tidak lama, ia dapat dengar apa-apa di atas genting. Itulah suara ketokan beberapa kali, disusul sama bentakan: “Bocah, jangan kau memikir untuk kabur, engkongmu menunggu kau disini!”

Jadi terang dia telah dikurung keras. Dia lantas rebahkan dirinya, niatnya untuk tidur tanpa menghiraukan segala apa. Tapi ia tidak dapat pulas, ia mesti gulak-galik saja.

Besok pagi, jongos muncul dengan air cuci muka dan tiamsim, untuk sarapan. Di belakang jongos itu terlihat Cian Ceng Kian dengan sepasang kampaknya.

“Suhu semua berada di tempat jauh, dapatkah mereka menolongu,” Kwee Ceng berpikir. “Sudah terang aku tidak dapat lolos, baiklah aku mati bertempur!”

Oleh karena berpikir begini, hatinya menjadi mantap. Ia lantas saja bercokol di atas pembaringan, untuk bersemadhi menuruti ajarannya Ma Giok. Ia bersemadhi hingga tengah hari, baru ia bangkit turun.

“Mari kita pergi!” ia kata kepada Cian Ceng Kian.

Mereka jalan berendeng, menuju ke arah barat, sampai sepuluh lie lebih. Di sana ada sebuah rimba besar, yang menutupi matahari. Seram suasana di situ. Di sini Ceng Kian tinggalkan si pemuda, untuk dengan cepat bertindak ke sebelah dalam rimba.

Kwee ceng loloskan joan-pian, cambuk lemasnya. Ia berlaku tenang, setindak demi setindak, ia maju. Ia menjaga diri dari bokongan di kiri atau kanannya. Satu lie sudah ia berjalan, ia tidak bertemu dengan musuhnya. Tiba-tiba iateringat pesan gurunya yang keempat: “Jikalau tidak ungkulan, lari!” Maka ia berpikir: “Sekarang tidak ada orang mengawasi aku, rimba pun lebat, kenapa aku tidak hendak sembunyikan diri?” Maka hendak ia segera mewujudkan pikirannya ini. Tapi tiba-tiba.

“Bocah haram! Anak campuran! Anak jadah!” demikian ia dengar makian hebat.

Sambil berlompat, Kwee Ceng putar cambuknya, untuk melindungi diri. Akan tetapi tidak ada serangan terhadapnya. Sambil berdiri diam, ia angkat kepalanya, memandang ke arah dari mana cacian itu datang. Lantas ia berdiri menjublak!

Di atas empat pohon di dekatnya, tampak Hong Ho Su Koay tergantung masing-masing di sebuah cabang besar, kaki dan tangan mereka terbelenggu, tubuh mereka bergelantungan, sia-sia saja mereka mencoba meronta-ronta, melainkan mulut mereka yang dapat di pentang lebar-lebar. Mereka mencaci kalang-kabu ketika mereka tampak si pemuda musuhnya itu.

Kwee Ceng heran bukan kepalang, akan tetapi ia tertawa. “Apakah kau tengah main ayunan di sini?” dia bertanya. “Sungguh menggembirkan, bukan? Nah sampai bertemu pula! Sampai bertemu pula! Maaf, tidak dapat aku menemani kalian lama-lama…!”

Sim Ceng Kong berempat mencaci maki pula, semakin hebat. Mereka malu untuk minta tolong. Di samping itu mereka heran sekali kenapa paman guru mereka Hauw Thong Hay, tidak lekas kembali. Selagi Kwee ceng bertindak, hampir ia lenyap dari pandangan mata, tiba-tiba Toat-pek-pian, Ma Ceng Hiong si Cambuk Perampas Roh, berubah pikiran. Ia takut mati, maka ia lupa akan malunya.

“Kwee Enghiong, kami menyerah kalah!” dia berteriak. “Aku mohon sukalah kau membebaskan kami!”

Kwee Ceng sudah lantas berpikir: “Sebenarnya aku tidak bermusuhan dengan mereka, adalah mereka yang memusuhi aku, apa perlunya membiarkan mereka mati sengsara di sini?” Dengan cepat ia mengambil keputusan, terus ia kembali dengan berlompatan, ia kasih turun mereka itu satu per satu. Pantas Hong Ho Su Koay tidak sanggup berontak melepaskan diri, alat menggantungnya itu adalah tambang kulit yang kuat. Ia pun mengutanginya itu dengan golok emasnya.

Sesudah empat Siluman itu direbahkan di tanah, pemuda itu totok mereka bergantian, maka mereka itu lantas saja tidak dapat geraki kaki dan tangan mereka, habis mana barulah ia putuskan belengguan mereka itu. Sambil tertawa, ia berkata: “dua belas jam lagi baru kamu dapat pulang tenaga dalam dan merdeka. Sebetulnya, siapakah yang menggantung kamu di sini?”

“Kau masih berpura-pura!” membentak Cian Ceng Kian mendongkol. “Kalau bukan kau, siapa lagi?”

Kwee Ceng heran. Ia lantas angkat kaki, meninggalkan mereka. Ia heran orang menuduh padanya, tetapi ia mengerti, mesti ada orang yang sudah menolongnya. Di mana di situ tidak ada Hauw Thong Hay, ia khawatir paman guru mereka itu nanti keburu kembali, maka ia pikir, mesti ia lekas menyingkir. Ia lari keluar rimba, balik ke kota, malah di sini ia segera membeli seekor kuda untuk melanjuti perjalanannya ke selatan.

“Siapakah itu orang secara diam-diam menolongaku?” ia berpikir di sepanjang jalan. Keanehan itu tak dapat ia melupakannya. “Hong Ho Su Koay lihay tetapi mereka dapat digantung, teranglah lawannya itu mesti jauh lebih lihay daripada mereka. Yang hebat mereka sampai tidak melihat, hingga mereka menyangka aku. Herannya, ke mana perginya Hauw Thong Hay si Ular Naga itu? dia tidak tampak sekalipun bayangannya?”

Kwee Ceng terus melakukan perjalan. Pada suatu hari, tibalah ia di Tiongtouw, kota raja Tay Kim Kok, negara Kim (Kin) yang besar, yang paling ramai dan indah, sampai tidak dapat dilawan oleh Pian-liang, kota raja yang lama dari kerajaan Song, atau Lim-an, kota raja yang baru. Ia besar di gurun pasir, belum pernah ia menyaksikan suasana kota besar, yang indah lauwteng dan rangonnya, yang permai sero-seronya, sedang kereta-kereta bagus dengan semua kuda pilihannya mondar-mandir di jalan-jalan besar. Di pelbagai rumah minum ia pun dengar suara tertawa, merdunya bunyi tetabuan. Semua itu ia saksikan diwaktu siang berderang. Untuk bersantap, ia sampai tidak berani memilih restoran yang mentereng, ia cari sebuah restoran yang kecil. habis dahar, ia berjalan-jalan, baru berhenti ketika di sebelah depannya terdengar sorak-sorai yang ramai, ada berkumpul sejumlah orang. Ia mendekat. Ia menyelak di antara banyak orang itu, untuk melihat ke sebelah dalam.

Orang banyak itu mengurung sebuah tanah lapang, di situ ada dipancar bendera suram, dasarnya putih, ada sulaman empat huruf besar: “Pi Bu Ciauw Cin”. Artinya: mencari jodoh dengan jalan pibu atau mengadu kepandaian. Di bawah bendera itu ada satu nona dengan baju merah tengah bertempur sama seorang pria, yang tubuhnya jangkung dan besar, bertempur dengan seru sekali. Heran Kwee Ceng apabila ia saksikan ilmu silat si nona itu. Ia berpikir: “Dia lihay, kenapa dia munculkan diri di tempat umum seperti ini?”

Selang lagi beberapa jurus, nona itu menggunakan akal. Si pria dapat melihat lowongan, ia menjadi kegirangan, lantas menyerang dengan kedua tangannya, ke arah dada. Nona itu tidak mengambil sikap menangkis, atau berkelit. Pria itu tidak sampai hati, batal meninju, hanya mengubah kepalannya menjadi tangan terbuka, ia menolak ke arah pundak.

Luar biasa gesitnya nona itu, ia berkelit dengan mendak, kedua kakinya bergerak saling susul-¬menyusul, membawa tubuhnya melejit ke samping ke belakang penyerangnya, tangan kirinya diayunkan, “Buk!” punggung si pria kena terhajar, sampai terjerunuk ke depan, roboh ke tanah, hanya syukur, setelah memegang tanah, dia dapat menahan diri dan mengerahkan tenaga, untuk berlompat bangun. Muka pemuda itu menjadi merah, dengan kemalu-maluan ia menyelinap di antara orang banyak. Syukur untuknya, ia tadi berkasihan terhadap si nona, maka sekarang si nona tidak menghajar hebat kepadanya.

Para penonton lantas saja bertampik sorak.

Nona itu singkap naik rambut yang turun ke dahinya, lalu mundur ke bawah bendera.

Kwee Ceng pandang nona itu, cantik sekali, umurnya mungkin baru tujuh atau delapanbelas tahun, sikapnya pun berpengaruh. Mendadak ia ingat sesuatu, hingga ia berpikir: “Kenapa aku seperti kenal dia? seperti aku pernah bertemu dengannya, entah dimana…?” kemudian ia tersenyum sendiri, ia ingat: “Baru sekarang kau tiba di Tionggoan, kapan aku pernah bertemu orang lain? Aku tadinya menyangka, nona-nona serba putih dan menunggang unta itu sudah elok semua, aku pikir kenapa ada demikian banyak wanita cantik, siapa tahu nona ini melebihi mereka…. Dasar aku kurang berpengalaman! Rupanya di Tionggoan ini dimana-mana wanitanya cantik semua, maka tak usahlah aku menjadi heran…”

Pemuda ini polos, hatinya masih terbuka, maka itu, walaupun ia telah melihat wajah-wajah yang cantik manis, hatinya tidak tergiur. Maka itu ia lantas memandang ke kiri dan kanannya.

Si nona lantas bicara perlahan sama seorang yang berdiri di dekatnya, pria itu mengangguk, terus ia mengangguk keempat penjuru seraya berkata: “Aku yang rendah bernama Bok Ek, aku lewat di tempat tuan-tuan tidak dengan maksud mencari nama atau mencari uang, hanya guna anakku ini. Anakku sudah dewasa usianya, ia masih belum ketemu jodohnya, maka itu sekarang aku mencarikan jodoh. Adalah keinginanku, pasangan anakku tidak usah berharta, cukup asal ia satu pria sejati yang mengerti ilmu silat. Karena ini dengan beranikan diri, aku mancarikan jadoh dengan jalan pibu ini. Siapa yang usianya di bawah tiga puluh tahun dan belum menikah, asal ia bisa menyerang anakku dengan satu kepalannya atau kakinya, akan aku rangkap jodoh anakku ini dengan jodohnya. Kami berdua, ayah dan anak, sudah membuat perjalanan dari selatan hingga utara, sudah melintas tiga belas propinsi, akan tetapi kami masih belum menemukan jodoh, sebab rupanya, mereka yang gagah sudah pada menikah atau mereka yang muda sungkan hatinya?” Ia berhenti sebentar, lagi ia menjura kepada orang banyak, baru ia menambahkan: “Kota Pakhia ini adalah tempat rebahnya harimau atau tempat sembunyi naga, disini mesti banyak orang berilmu dan gagah, oleh karena itu, aku harap tuan-tuan memaafkannya kalau ada kata-kataku yang tidak tepat. Tuan-tuan, perkenankanlah kami undurkan diri, pulang ke rumah penginapan guna beristirahat, besok kami datang lagi ke mari untuk melayani tuan-tuan.”

Habis mengucap, sekali lagi mengangguk, lalu ia cabut benderanya, bendera Pi Bu Ciauw Cin. Tiba-tiba saja.

“Tunggu dulu!”

Itulah suara berbareng, yang datangnya dari sebelah kiri dan kanan, dari mana lantas terlihat dua orang berlompatan ke dalam kalangan.

Orang banyak lantas mengawasi, akhirnya mereka semua tertawa geli. Yang muncul dari sebelah timur itu adalah seorang tua dengan tubuh terokmok, mukanya penuh berewokan, kumisnya sudah ubanan separuh lebih, dan umurnya juga sudah lewat lebih dari setengah abad. Yang datang dari barat itu lebih lucu pula. Dialah satu paderi yang kepalanya licin lanang!

“Eh, kamu tertawakan apa?” tanya si tua itu kepada orang banyak, yang ia awasi. “Bukankah dia mau adu kepandaian untuk mencari suami? Nah, aku masih belum menikah! Mustahilkah aku tidak cocok?”

Si paderi itu awasi si tua, ia tertawa. “Oh, kakek-¬kakek!” katanya. “Taruh kata kau menang, apakah kau tidak kasihan terhadap si nona yang masih demikan remaja bagaikan sekuntum bunga? Apakah setelah kau menikah kau hendak membuatnya ia menjadi janda?”

Orang tua itu menjadi gusar. “Habis kau, apakah kau mau dengan datang kemari?” ia menegur.

Paderi itu tersenyum. “Setelah aku mendapatkan istri begini cantik, aku akan segera pulang menjadi orang biasa lagi!” sahutnya.

Mendengar itu, kembali riuhlah tawa orang banyak.

Si nona menjadi mendongkol. Ia merasa bagaimana orang hendak mempermainkan dirinya, wajahnya menjadi merah, sepasang alisnya terbangun, matanya bersorot tajam. Ia lantas loloskan mantelnya, berniat menghajar kedua manusia ceriwis itu.

Bok Ek tarik tangan gadisnya. “Tenang, nanti aku yang melayani mereka,” ia membujuk.

Si empe dan paderi masih adu omong terus, mereka jadi sengit sekali. Disamping mereka, para penonton juga tak henti-hentinya tertawa. Tidakkah pemandangan itu sangat lucu?

“Saudara-saudara, nah kamu pibulah terlebih dulu!” satu penonton yang membuka mulut. “Nanti, siapa yang menang, ia yang maju melawan si nonan manis!”

“Bagus!” berseru si paderi, yang agaknya tidak menghiraukan ejekan orang banyak itu. “Aki-aki, mari kita berdua main-main…!”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar