Senin, 14 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 028

“Wanita itu membawa pedang, dia tentu mengerti ilmu silat,” kata satu orang. “Dia juga cantik sekali, coba dia lebih muda sepuluh tahun, barulah anadikata heran San-cu melihat dia dan menjadi kerindu-rinduan…”

Tin Ok tahu Siauw Eng yang menjadi bulan-¬bulanan, ia mendongkol. ia percaya orang yang dipanggil “San-cu” itu atau “majikan gunung” mestilah bukan orang baik-baik.

“Awas, jangan kau mencari muka dari San-cu dan hendak mati-matian mencarikan nona manis untuknya…!” memperingati satu kawan.

Orang itu tertawa, ia tidak menyahuti.

“Kita harus berhati-hati,” berkata pula seorang yang lain. “Kali ini kita datang ke Tionggoan untuk mengangkat nama, guna menaklukkan orang kosen, supaya orang-orang kosen di kolong langit ini tahu kegagahan kita dari Pek To San, maka itu kita harus waspada, jangan seperti Hong Ho Su Koay yang sial dangkalan itu, yang menyebabkan orang tertawa hingga giginya copot!”

Tin Ok tidak tahu Pek To San itu, yang berarti Gunung Unta Putih, dari mana partainya, akan tetapi mendengar disebutnya Hong Ho Su Koay – Empat Siluman dari sungai Hong Ho, ia teringat kepada mereka yang mengeroyok Kwee Ceng.

Seorang berkata pula: “Menurut katanya San-cu, Hong Ho Su Koay adalah murid-murid paling disayangi oleh Kwie-bun Liong Ong, untuk di Liongsee dan Tiong-ciu, namanya sangat kesohor, sangat aneh mereka kabarnya roboh ditangan bocah berumur belasan tahun…”

Satu kawannya menyahut: “Ada orang bilang bocah itu pandai ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw, karena tubuh Hong Ho Su Koay itu masing-masing meninggalkan bekas cengkeraman…”

“Maka hati-hatilah kau!” tertawa satu kawannya, “Supaya kau jangan sampai kena dijambak bocah itu!”

“Cis!” sang kawan berludah.

Kembali mereka itu tertawa.

Mendengar pembicaraan itu, Tin Ok mendongkol juga merasa lucu. “Sungguh pesat sekali tersiar di dunia kangouw!” katanya. “Hanya tidak tepat berita anak ceng mengerti Kiu-im Pek-kut Jiauw. Ilmu itu mana dapat dikuasai tanpa belajar belasan tahun? Anak umur belasan tahun mana mempunyakan ilmu silat itu?”

Diam-diam Tin Ok puas murid mereka dapat mengalahkan Hong Ho Su Koay, maka tidaklah kecewa didikan mereka selama sepuluh tahun lebih ini.

Habis dahar mie, delapan pemuda itu berlalu dengan cepat bersama untanya.

Tin Ok tunggu sampai mereka pergi jauh, kemudian tanya adiknya yang kedua: “Jietee, bagaimana kau lihat kepandaiannya delapan wanita itu?”

“Wanita?” Cu Cong mengulangi dengan heran sebelum ia menjawab.

“Habis?” sang kakak membalasi.

“Oh, mereka menyamar demikian sempurna!” berkata Cu Cong. “Nampaknya mereka luar biasa, kayanya mengerti ilmu silat, namun kelihatan tidak mengerti…”

“Apakah pernah kau dengar tentang Pek To San?” Tin Ok tanya pula.

“Tidak,” sahut Cu Cong setelah berpikir sejenak.

Tin Ok lantas tuturkan apa yang ia dengar barusan. Cu Cong semua tertawa. Besar nyali mereka berani berniat menggempur gunung Tay San….

“Perkara kecil niat mereka merampas kuda anak Ceng,” Tin Ok berkata pula. “Yang penting harus diperhitungakan bahwa ada banyak orang gagah hendak berkumpul di kota raja. Mungkin ada gerakan rahasia. Aku pikir tak dapat kita membiarkannya saja, perlu kita mencari tahu.”

“Tetapi janji pibu di Kee-hin bakal tiba harinya, tidak dapat kita main ayal-ayalan,” Coan Kim Hoat memperingati.

Mereka itu berdiam, merasa sulit juga.

“Kalau begitu, biarlah anak Ceng berangkat lebih dahulu!” Lam Hie Jin menyarankan.

“Apakah sieko maksudkan biar anak Ceng pergi seorang diri ke Kee-hin? Kita menyusul dia sesudah kita menyelidiki warta perihal orang-orang gagah yang berkumpul di kota raja?” Siauw Eng menegaskan.

Lam Hie Jin mengangguk.

“Benar,” Cu Cong menyatakan setuju. “Biar anak Ceng berjalan seorang diri, untuk mencari pengalaman.”

Mendengar itu Kwee Ceng merasa tidak puas. Tidak menggembirakan berjalan seorang diri. Ia utarakan perasaannya itu.

“Orang begini besar masih bersifat kebocahan!” Tin Ok menegur.

Siauw Eng lantas membujuk: “Kau pergi lebih dahulu kesana. Tak sampai satu bulan, kami akan menyusul. Seandainya di hari pibu kita tidak dapat kumpul semua berenam, satu atau dua tentulah dapat tiba untuk mengurus kamu. Jangan kau khawatir.”

Dengan terpaksa Kwee Ceng memberikan persetujuannya.

“Delapan wanita itu hendak merampas kudamu,” Tin Ok pesan, “Pergi kau ambil jalan kecil, untuk mendahului mareka. Kudamu keras larinya, mereka tak mungkin bisa menyusul. Kau mempunyai urusan penting, jagalah supaya kau jangan terganggu urusan tak berguna.”

“Umpama benar mereka main gila, Kanglam Cit Koay tidak akan melepaskan mereka!” berkata Han Po Kie. Dia tetap menyebut diri Cit Koay meskipun sudah belasan tahun semenjak meninggalnya Thio A Seng, hingga sekarang mereka tinggal berenam (Liok Koay). Itulah tandanya ia tidak bisa melupakan saudara angkatnya itu.

Habis bersantap, Kwee Ceng lantas memberi hormat kepada keenam gurunya, untuk mengucapkan selamat jalan.

Liok Koay lega melepaskan muridnya ini, yang kelihatan sudah dapat diandalkan menyaksikan perlawanannya terhadap Hong Ho Su Koay. Memang perlu murid ini membuat perjalanan sendiri, pengalaman tak dapat diajarkan. Mereka itu pada memesan, paling belakang pesan Hie Jin singkat saja: “Jikalau tidak ungkulan, menyingkir!” Pesan ini diberikan sebab ia melihat, melayani Empat Siluman dari Hong Ho, muridnya ini ngotot dan membahayakan diri sendiri.

“Memang,” berkata Coan Kim Hoat, “Ilmu silat tidak ada batasnya, di luar gunung ada gunung lain yang lebih tinggi, di sebelah orang ada lagi lain orang yang lebih pandai, biarpun kau sangat lihay, tidak dapat kau menjagoi sendiri di kolong langit. Maka ingatlah pesa gurumu yang keempat ini.




Kwee Ceng mengangguk. Ia payku kepada enam gurunya itu, lantas ia menuju ke selatan. Belum ada dua lie, sudah menghadapi jalan cabang dua. Ia turuti pesan Tin Ok, ia ambil jalan kecil. Jalanan ini lebih jauh, sebab kecil dan berliku-liku, di sini sangat sedikit orang berlalu lintas. Jalanan pun sukar, banyak kolar dan pasirnya, ada pepohonan kecil yang liar. Untungnya ia menunggang kuda dan kudanya pun dapat lari pesat.

Sekitar tujuh atau delapan lie, Kwee Ceng tiba di jalanan pegunungan yang sulit dan berbahaya, jalanan sempit dan banyak batu besarnya, mau tidak mau, ia berlaku hati-hati. Ia pun meraba ganggang pedangnya.

“Kalau sam-suhu melihat sikapku nini, dia pasti akan marah…” pikirnya.

Selagi jalan terus, di sebuah tikungan, Kwee Ceng terkejut. Di depan ada tiga nona dengan pakaian serba putih, ketiganya bercokol di atas punggung unta. Mereka itu melintag di tengah jalan. Dari jauh-jauh, ia tahan kudanya, hatinya pun tercekat. “Numpag jalan!” ia lantas berkata, suaranya nyaring.

Ketiga nona itu tertawa bergelak. “Adik kecil, takut apa?” kata satu diantaranya. “Lewat saja! Kami pun tidak gegares padamu!”

Kwee Ceng jengah, mukanya terasa panas. Ia sangsi. Bicara dulu atau menerjang saja?

“Kudamu bagus, mari kasih aku lihat!” kata satu nona lain. Ia mengasih dengar nada bicara seperti anak kecil.

Tentu saja tak puas Kwee Ceng diperlakukan demikian. Ia mengawasi jalanan yang sempit itu. Di tempat begitu, tak dapat bertempur. Maka ia lantas ambil keputusan. Ia tarik les kudanya, kedua kakinya menjepit, kudanya kaget, lalu lari dengan tiba-tiba. ia seperti hendak menerjang ketiga orang itu.

“Awas! Buka jalan!” ia berseru seraya hunus pedangnya.

Pesat lari kudanya, sebentar saja ia sudah datang dekat.

Satu nona lompat turun dari untanya, seraya ulur tangannya, maksudnya hendak menyambar les kuda, untuk tahan kuda itu. Tapi Kwee Ceng membentak, kudanya berbenger, terus melompat tinggi, melompati tiga nona itu!

Ketiga nona itu terkejut, Kwee Ceng sendiri tidak tak terkecuali, saking heran atas lihaynya kuda itu, pengalaman ini luar biasa. Belum sempat ia menoleh ke belakang, ia sudah mendengar bentakan ketiga nona itu, tepat waktu ia menoleh, ia lihat menyambarnya barang berkilauan. Ia berlaku hati-hati, ia khawatir senjata rahasia itu ada racunnya, ia menyambut dengan kopiahnya, yang ia lekas cabut.

“Bagus!” memuji dua nona.

Kwee Ceng periksa kopiahnya. Nyata dua senjata rahasia itu adalah gin-so atau torak terbuat dari perak yang indah, ujungnya tajam, tajam juga kedua pinggirannya.

“Kamu telengas hendak mengambil jiwaku,” pikir si anak muda dengan mendongkol. “Bukankah kita tidak kenal satu sama lain dan tidak bermusuhan?” Tapi ia tidak mau membalas, tak sudi melayani, gin-so itu ia masukkan sakunya. Ia hanya dapat lihat, gin-so bertabur emas yang merupakan unta-unta kecil.

Sampai disitu, pemuda ini larikan lagi kudanya. Ia tidak menaruh perhatian ketika ia mendengar dua ekor burung dara terbang lewat di atas kepalanya, dari utara ke selatan. Ia hanya khawatir nanti ada yang halangan pula. Tidak sampai satu jam, ia sudah melalui seratus lie lebih. Ia singgah sebentar, terus jalan pula. belum sore sudah tiba di Kalgan. ia percaya ketiga nona tadi tidak bakal dapat menyusul, sebab jarak mereka ada seperjalanan tiga hari…….

Kalgan adalah kota hidup lalu-lintas antara selatan dan utara, penduduknya padat, perdagangannya ramai. Di situ terutama terdapat banyak kulit dan bulu binatang, yang datangnya dari berbagai tempat. Di sini Kwee Ceng turun dari kudanya, berjalan seraya menuntun binatang ini, matanya menoleh ke kiri-kanan. Belum pernah ia melihat kota seramai ini. Kebetulan tiba di depan restoran, ia merasa lapar, maka ia tambat kudanya di luar, ia masuk ke dalam, mencari tempat duduk. Ia minta sepiring daging kerbau dan dua kati mie. Seorang diri ia dahar dengan bernafsu. Ia tidak pakai sumpit, kebiasaan orang Mongolia, memakai tangan.

Tengah bersantap, mendengar suara kerisik di luar rumah makan. Ia ingat kudanya, cepat lompat bangun melongok keluar. Ia dapatkan kudanya sedang makan rumput dengan tenang. Yang membikin banyak berisik adalah dua jongos terhadap seorang pemuda yang tubuhnya kurus dan pakaiannya butut.

Pemuda itu berumur lima atau enambelas tahun, kepalanya ditutup dengan kopiah kulit yang sudah pecah dan hitam dekil, mukanya pun hitam mehongan, hingga tidak terlihat tegas wajahnya. Di utara, sekalipun di musim semi, hawa udara dingin, dan pemuda ini tidak memakai sepatu. Teranglah ia seorang melarat. Di tangannya mencekal sepotong bakpauw. Ia mengawasi kedua jongos dengan tertawa, hingga terlihat dua baris giginya yang putih, rata, gigi bagus itu tak sebanding sama dandannya yang compang-camping itu.

“Mau apa lagi?!” menegur satu jongos, “Kenapa kau tidak mau lantas pergi?!”

“Baiklah, pergi ya pergi…” kata pemuda itu seraya ia putar tubuhnya.

“Eh, lepas bakpauw itu!” menitah jongos yang satunya.

Pemuda itu dengan bakpauwnya yang sekarang tertanda tapak tangan, hitam dan kotor. Tentu saja kue itu tak bakalan laku dijual.

Jongos itu menjadi gusar. Ser! kepalannya melayang. pemuda itu mendak, kepalan lewat diatasan kepalanya.

Kwee Ceng menjadi kasihan. ia tahu orang tentu sudah lapar. “Jangan!” ia cegah si jongos. “Aku yang membayar.” Ia jumput bakpauw itu, ia sodorkan kepada si pemuda.

Pemuda itu menyambut. “Makhluk yang harus dikasihani, ini aku bagi kau!” berkata ia. Dan ia lemparkan itu kepada seekor anjing buduk di depan pintu.

Anjing itu, seekor anjing kecil, menubruk dengan kegirangan, terus ia gegares bakpauw itu.

“Sayang…sayang…” kata satu jongos. “Bakpauw yang lezat dikasih ke anjing….”

Kwee Ceng pun heran, tetapi ia diam saja, ia balik ke mejanya untuk melanjutkan bersantap. Pemuda itu mengikuti ke dalam, ia mengawasi anak muda kita

Kwee Ceng lihat kelakuan orang, ia menjadi malu hati. “Mari dahar bersama!” ia mengundang.

“Baik!” tertawa pula pemuda itu. “Aku sendirian tidak gembira, aku memang lagi mencari kawan.” Ia bicara dengan lidah Selatan. Kwee Ceng mengerti omongan orang. Bukankah ibunya berasal dari Lim-an, Cit-kang, dan ia biasa dengar ibunya bicara? Ia malah girang mendengar lagu suara orang sekampung.

Pemuda itu menghampiri, untuk duduk bersama.

Kwee ceng teriaki jongos, meminta tambahan makanan. Jongos itu melayani dengan ogah-ogahan, sebab ia lihat pakaian orang yang butut dan kotor itu.

“Apakah kau sangka aku melarat dan jadinya tak pantas aku dahar barang makananmu?” si pemuda tegur jongos itu, yang ia lihat lagak lagunya. “Aku khawatir, meski kau menyuguhkan makananmu yang paling jempol, bagiku itu rasanya masih kurang cocok.” lanjutnya lagi.

“Apa?!” sahut jongos itu tawar, “Coba lojinkee menyebutkannya, pasti kami dapat membuatnya! Hanya aku khawatir, habis kau dahar, kau tidak punya uang untuk membayar!”

Dengan sengaja ia menyebut “lojinkee” atau orang tua yang dihormati, untuk menyindir.

Pemuda itu mengawasi Kwee Ceng. “Tidak peduli aku dahar berapa banyak, maukah kau yang mentraktir?” tanyanya.

“Pasti!” sahut Kwee Ceng tanpa berpikir lagi. Ia menoleh kepada si jongos, serta memerintahkan: “Potongi aku sekati daging kerbau serta setengah kati hati daging kambing!” Ia telah hidup terlalu lama di Mongolia hingga tahunya, makanan yang paling lezat di kolong langit ini adalah daging kerbau dan kambing. Ia menoleh pula kepada si anak muda: “Kita minum arak atau tidak?” ia tanya.

“Kita jangan repoti mendahar daging, baik kita makan bebuahan dulu!” sahut si anak muda. Ia lantas kata pada jongos: “Eh, kawan, lebih dulu kau sediakan empat rupa buah kering dan empat rupa buah segar, dua yang asam manis, dua yang manis bermadu.”

Jongos itu heran hingga ia terperanjat. Ia tidak menyangka orang omong demikian takabur.

“Toaya menghendaki buah apa yang segar bermadu?” tanyanya, suaranya tawar.

“Rumah makanmu ini rumah makan kecil dan tempatmu ini tempat melarat, pasti tidak dapat kamu menyediakan barang bagus,” berkata si anak muda. “Sekarang begini saja! Empat rupa buah kering itu leeci, lengkeng, co dan ginheng. Buah yang segar yaitu kau cari yang baru dipetik, yang asam aku ingin buah ento harum, dan kiang-sie-bwee. Entah disini ada yang jual atau tidak? Yang manis bermadu? Ialah jeruk tiauw-hoa-kim-kie, anggur hiangyoh, buah tho-tong-songtiauw dan buah lay-hauwlongkun….”

Mendengar itu, jongos itu menjadi melongo. Sekarang ia tak berani lagi memandang enteng kepada anak muda ini.

Si anak muda berkata pula; “Untuk teman arak, di sini tidak ada ikan dan udang segar, maka kau sajikan saja delapan rupa barang hidangan yang biasa!”

Jongos itu mengawasi. “Sebenarnya tuan-tuan ingin dahar masakan apa?” ia tanya.

“Ah, tidak dijelaskan, tidak beres!” berkata si anak muda itu. “Delapan rupa masakan itu puyuh asap, ceker bebek goreng, lidah ayam cah, soto manjangan keekangyauw, soto burung wanyoh, bakso kelinci, paha mencak dan kaki babi hong.”

Mendengari itu mulutnya si jongos ternganga.

“Delapan masakan itu mahal harganya,” katanya kemudian. “Untuk ceker bebek dan lidah ayam saja kita membutuhkan beberapapuluh ekor ayam….

Si anak muda menunjuk Kwee Ceng. “Tuan ini yang mentraktir, apakah kau kira dia tidak kuat membayarnya?” tanyanya.

Jongos mengawasi pemuda kita, yang dandannya indah dan malah mengenakan bulu tiauw, nampak bukan orang sembarang.

“Baiklah,” sahutnya kemudian. “Apakah sudah cukup semua ini?”

“Habis itu, kau sajikan lagi duabelas rupa untuk teman nasi,” berkata pula si anak muda. “Lainnya ialah delapan rupa tiamsim. Nah, sebegitu dulu!”

Jongos itu berlalu dengan cepat, ia khawatir orang nanti minta pula makanan lainnya. Setelah pesan koki, baru ia keluar pula. Sekarang ia tanya tetamunya, hendak minum arak apa. Ia kata, ada arak Pek-hun-ciu simpanan sepuluh tahun, apa boleh ia menyediakan dulu dua poci?

“Baiklah!” sahut si anak muda yang mengenal arak tak banyak cerewet.

Tidak terlalu lama, semua buah yang diminta telah disajikan saling susul-menyusul.

Kwee ceng cobai itu semua, satu demi satu, dan ia merasakan kelezatan yang dulu-dulunya belum pernah merasakan.

Sembari dahar bebuahan, si anak muda bercerita banyak, tentang segala apa di Kanglam. Kwee ceng tertarik hatinya. Orang bicara rapi, enak didengarnya. Rupanya luas pengetahuannya. Ia percaya, anak muda itu lebih pintar daripada gurunya yang kedua.

“Aku menyangka ia cuma miskin, tak tahunya dia terpelajar tinggi,” katanya dalam hati.

Selang kira-kira setengah jam, datanglah barang hidangan, yang mesti disajikan atas dua meja disambung menjadi satu.

Anak muda itu minum sedikit sekali. Barang hidangan yang ia pilih, Cuma dahar beberapa sumpitan. Sembari berdahar, ia sekarang banyak bertanya kepada Kwee Ceng, yang mengaku datang dari padang pasir. Kwee Ceng ingat pesan gurunya, ia tidak berani bicara terlalu banyak, ia jadi Cuma bicara tentang memburu binatang liar, memanah burung rajawali, menunggang kuda dan menggembala kambing. tapi si anak muda sangat tertarik hatinya, hingga ia tertawa dan bertepuk tangan.

Kwee Ceng sendiri sangat gembira berkumpul bersama kawan baru ini. Di gurun pasir ia bergaul erat sekali dengan Tuli dan Gochin, toh masih ada perbedaannya, Tuli sering mendampingi ayahnya. Gochin benar baik tetapi putri itu kadang-¬kadang manja sekali dan tidak sudi mengalah, maka sering mereka bertengkar. Maka itu, bicara lebih jauh, ia pun suka omong lebih banyak, kecuali hal ia mengerti silat dan mempunyai hubungan erat dengan Temuchin. Satu kali, saking gembira, ia cekal tangan si anak muda, untuk dipegang keras-keras. Hanya aneh, tangan itu ia rasai halus sekali. Si anak muda pun tersenyum dan menunduk.

Pernah Kwee Ceng menatap muka si anak muda, walaupun mehongan, kult muka itu agaknya halus dan bersemu putih, tetapi tentang ini, ia tidak memperhatikan.

“Sudah terlalu lama kita bicara, hidangan keburu dingin,” kata si anak muda seraya tarik tangannya. “Nasi pun sudah dingin…”

“Benar,” sahut Kwee ceng, sadar. “Baik suruh panasi lagi…”

“Tidak usahlah, terlalu panas pun tidak dapat didahar,” kata si anak muda, yang lalu memanggil jongos, menyuruh menukar hidangan yang terlalu dingin dengan yang baru! Jongos dan kuasa rumah menjadi heran. Seumurnya, baru kali ini mereka mendapat tamu seaneh ini. Tapi mereka ikuti kehendak itu.

Kwee Ceng pun diam saja, ia tidak pikirkan harganya barang makanan itu.

Sesudah makanan siap semua, anak muda itu dahar lagi sedikit saja, lalu ia mengatakan sudah cukup. Menyaksikan itu, si jongos katakan Kwee ceng dalam hatinya: “Dasar kau, bocah tolol! Bocah hina ini permainkan padamu!”

Kapan kuasa restoran sudah berhitungan, harganya semua buah dan makanan itu berjumlah tigaratus sembilan tail, tujuh chie empat hun. Untuk membayar itu, Kwee Ceng mengeluarkan dua potong emas, untuk ditukar dengan limaratus tael perak. Sehabis membayar, Kwee ceng pun kasih persen sepuluh tael hingga kuasa restoran dan jongos itu menjadi girang, dengan kelakuan sangat menghormat, mereka mengantar keluar kedua tamunya itu.

Di luar salju memenuhi jalan besar.

“Aku telah mengganggu kamu, ijinkan aku pamitan,” si anak muda meminta diri seraya memberi hormat.

Kwee Ceng berhati mulia, melihat pakaian orang yang tipis dan pecah, ia loloskan baju kulit tiauwnya, ia kerobongi itu di tubuh si anak muda. Ia kata: “Saudara, kita baru ketemu tetapi kita sudah seperti ¬sahabat kekal, maka aku minta sukalah kau pakai baju ini!” Tidak Cuma baju, ia pun memberikan uang. Ia masih punya sisa empat potong emas, yang tiga ia sisipkan ke dalam saku baju tiauw itu.

Si anak muda tidak mengucap terima kasih, ia pakai baju itu, terus negeloyor pergi. Adalah setelah jalan beberapa tindak, ia baru menoleh ke belakang, tampak Kwee Ceng lagi berdiri bengong dengan tangan memegangi les kuda merahnya, sepertinya pemuda itu kehilangan sesuatu. ia lantas saja angkat tangannya, menggapai.

Kwee Ceng lihat itu panggilan, ia menghampiri dengan cepat. “Saudaraku, apakah kau masih kekurangan sesuatu?” ia menanya. Ia sebenarnya memanggil adik (hiantee).

Anak muda itu tersenyum. “Aku masih belum belajar kenal she dan nama kakak yang mulia,” ia menyahut.

Kwee ceng pun tertawa. “Benar, benar!” katanya. “aku pun sampai lupa! Aku she Kwee, namaku Ceng. Kau sendiri hiantee?”

“Aku she Oey, namaku pun satu, Yong,” jawab anak muda itu.

“Sekarang hiantee hendak pergi kemana?” Kwee ceng bertanya. “Umpama kata hiantee hendak kembali ke Kanglam, bagaimana apabila kita jalan bersama?”

Oey Yong menggeleng kepala. “Aku tidak berniat pulang ke Selatan,” sahutnya. “Tapi toako, aku merasa lapar pula…” ia menambahkan.

“Baiklah, mari aku temani lagi kau bersantap,” jawab Kwee ceng, yang tidak merasa aneh atau mendongkol.

Kali ini Oey Yong yang mengajak kawannya itu. Ia pilih rumah makan yang paling besar dan kenamaan untuk kota Kalgan, yaitu Restoran Tiang Keng Lauw, yang bangunannya juga mencontoh model restoran besar dari Pian Liang, ibukota dahulu. Hanya kali ini ia tidak meminta banyak macam makanan, cuma empat rupa serta sepoci teh Liong-ceng.

Di sini kembali mereka pasang omong.

Kapan Oey Yong dengar Kwee ceng omong perihal dua ekor burung rajawali putih, ia menjadi tertarik hatinya.

“Justru sekarang tidak tahu aku mesti pergi ke mana, baik besok aku pergi saja ke Mongolia,” ia kata. “Di sana aku cari dan tangkap dua anak burung itu untuk aku buat main.”

“Hanya sukar untuk mencari anaknya,” Kwee ceng beritahu.

“Tapi kau toh dapat menemukannya,” berkata si anak muda.

Kwee Ceng tidak dapat menjawab, ia pun menemuinya burung itu secara kebetulan.

“Eh, hiantee, rumahmu di mana?” ia tanya. “Kenapa kau tidak pulang saja?”

Tiba-tiba saja mata Oey Yong menjadi merah. “Ayahku tidak menginginkan aku…” ia menyahut.

“Kenapa begitu?” Kwee Ceng tanya.

“Ayahku larang aku pergi pesiar, aku justru mau pergi,” sahut Oey Yong. “Ayah damprat aku. Karena itu malam-malam aku minggat….”

“Sekarang pasti ayahmu tengah memikirkan kau,” Kwee ceng berkata pula. “Dan ibumu?”

“Ibuku sudah meninggal dunia. Aku tidak punya ibu sejak masih kecil…”

“Kalau begitu, habis pesiar, kau mesti pulang.” kata Kwee ceng lagi.

Oey Yong menangis. “Ayahku tidak menginginkan aku lagi…” katanya.

“Ah, tak mungkin,” Kwee Ceng bilang.

“kalau begitu, kenapa ayah tidak mencariku?” kata si anak muda lagi.

“Mungkin ia mencari, Cuma tidak ketemu…” Kwee ceng mencoba menghibur.

Oey Yong tertawa. “Kalau begitu, baiklah, habis pesiar aku pulang!” katanya. “Cuma aku mesti dapati dulu dua ekor anak rajawali putih…”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar