Kamis, 10 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 027

Matanya Jebe sangat tajam, ia lantas kenali enam orang itu. “Kwee Ceng, gurumu datang!”, ia berseru.

Kwee Ceng sudah letih betul, kedua matanya pun sudah mulai kabur, begitu mendengar teriakan itu, semangatnya terbangun, terus ia melawan dengan hebat.

Cu Cong dan Coan Kim Hoat lari paling depan, segera tampak murid mereka dalam bahaya. Kim Hoat melompat maju, dengan dacinnya ia rabu empat batang senjata musuh. “Tidak tahu malu!” ia membentak.

Empat musuh itu segera melompat mundur, tangan mereka kesemutan bekas rabuhan senjata aneh dari orang yang baru datang ini. Mereka merasa bahwa dalam tenaga dalam, kalah jauh.

Cu Cong melompat maju, membantu muridnya bangun. Waktu itu, Tin Ok bersama yang lainnya telah tiba.

“Bandit-bandit tidak tahu malu, pergi kamu!” Kim Hoat mengusir.

Si toasuheng yang bersenjatakan golok menebali muka. Ia tahu pihaknya tak berdaya tetapi mereka malu untuk lari turun gunung, mereka malu bertemu sama pangeran keenam.

“Liok-wie, adakah kamu Kanglam Liok Koay?” ia tanya enam orang itu.

“Tidak salah!” sahut Cu Cong tertawa. “Siapakah tuan berempat?”

“Kami adalah empat muridnya Kwie-bun Liong Ong,” sahut si toasuheng.

Kwa Tin OK dan Cu Cong mulanya menyangka orang adalah orang-orang yang tak bernama, sebab mereka itu main keroyok, maka terkejutlah mereka mengetahui empat orang itu adalah murid-,muridnya Kwie-bun Liong Ong.

“Pasti kamu berdusta!” bentak Tin Ok. “Kwie-bun Liong Ong bernama besar, mana bisa murid-muridnya berbangsa tak berguna seperti kamu!”

“Siapa berdusta!” berseru orang yang dicekik Kwee Ceng tadi, yang masih merasakan sakit pada tenggorokannya, “Inilah toasuheng kami, Toan-hun-to Sim Ceng Kong! Ini jiesuheng Tiwi-beng-chiop Gouw Ceng Liat! Ini samsuheng Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong! Dan aku sendiri, Song-bun-hu Cian Ceng Kian!”

“Kedengarannya kamu tidak berdusta,” berkata Tin Ok pula, “Benarlah kau adalah Hong Ho Su Koay! Kamu cukup ternama, kenapa kamu merendahkan diri begini rupa, empat orang bersaudara mengepung satu musuh, seorang bocah! Dia muridku!”

Gouw Ceng Liat membelar. “Siapa bilang kami berempat mengepung satu orang?!” katanya, “Bukankah di sini ada banyak orang Mongolia yang membantunya?”

Cian Ceng Kong pun tanya Ma Ceng Hiong: “Samsuheng, orang buta dan pengkor ini berlagak, siapakah dia?”

Ceng Kong menanya perlahan sekali, tetapi Kwa Tin Ok dapat mendengarnya, ia menjadi mendongkol. Tiba-tiba ia menekan dengan tongkatnya, tubuhnya terus mencelat, sebelah tangannya menyambar, maka tidak ampun lagi, punggung Ceng Kong kena dijambak, terus dilemparkan ke bawah gunung! Tiga pengepung lainnya menjadi kaget, mereka maju untuk menolong, tetapi mereka tidak berdaya, malah sebaliknya, cepat luar biasa, satu demi satu, mereka juga kena dilempar-lemparkan si Kelelawar Terbangkan Langit!

Tentara Mongolia di atas bukit bersorak-sorai menyaksikan keempat saudara itu, yaitu Hong Ho Su Koay, merayap bangun dengan muka penuh debu dan seluruh badan dan pinggangnya sakit bekas jatuh terbanting dan bergeluntungan. Syukur mereka tidak patah tangan dan kaki atau singkal batang lehernya.

Waktu itu terlihat debu mengepul naik, tanda datangnya ribuan serdadu, maka itu, menampak demikian, tentaranya Sangum menjadi kecil hatinya.

Temuchin menampak datangnya bala bantuan, mengetahui Jamukha lihay dan Sangum hanya mengandal kepintaran ayahnya, ia menunjuk ke kiri ke pasukannya Sangum itu seraya berseru: “Mari menerjang ke sini!”

Jebe berempat dengan Borchu, Juji dan Jagatai sudah lantas mendahulukan menerjang ke bawah, darimana terdengar seruannya bala bantuan.

Mukhali kaburkan kudanya sambil memeluk Tusaga, batang leher siapa ia tandalkan goloknya, sembari turut menerjang, ia berteriak-teriak: “Lekas buka jalan! Lekas buka jalan!”

Sangum menyaksikan musuh menerobos turun, ia hendak memegat, tapi tampak putranya berada di bawah ancama maut, putranya tak berkutik, ia menjadi tergugu, hingga tak tahu ia harus mengambil tindakan apa.

Sementara itu rombongan Temuchin sudah sampai di bawah bukit, malah Jebe sudah lantas saja turun tangan, dengan mengincar Sangum, ia memanah.

Sangum terperanjat, ia berkelit ke kiri, tidak urung pipi kanannya kena tertancap anak panah, maka tak ampun lagi, ia rubuh terjungkal dari kudanya. Tentu saja, karenanya, tentaranya menjadi kaget dan kalut.

Temuchin ajak rombongannya kabur terus. Ada beberapa ratus musuh yang mengejar, akan tetapi mereka dirintangi panahnya Jebe dan Borchu, sembari menyingkir menoleh ke belekang dan saban-saban menyerang dengan panah mereka.

Kanglam Liok Koay turut mundur dengan Lam Hie Jin yang memondong Kwee Ceng.

Sesudah melalui beberapa lie, rombongan ini bertemu bala bantuan, barisannya Tuli, putra keempat Temuchin, mereka lantas menggabungkan diri.

Tuli masih muda, walaupun ia pangeran, kepala-kepala suku dan panglima-panglima Temuchin tidak suka mendengar titahnya, dari itu, ia datang cuma bersama beberapa ribu serdadu anak-anak muda, hanya ia telah didulukan Kanglam Liok Koay. Tapi ia cerdik, ia tahu jumlah musuh terlebih besar, ia perintahkan semua serdadu mengikat cabang pohon diekor masing-masing kuda mereka, sehingga nampak debu membumbung besar dan musuh menyangka bala bantuan lawan berjumlah besar sekali. Di tengah jalan pulang, Temuchin bertemu bersama Gochin, yang datang bersama sejumlah serdadu. Putri ini girang bukan main melihat ayahnya semua tidak kurang suatu apa pun.

Malam itu Temuchin membuat pesta dengan semua panglima dan tentaranya diberi hadiah. Hanya semua orang menjadi heran, hatinya mendongkol, melihat Tusaga diundang duduk bersama di meja pesta, dan diperlakukan sebagai tamu agung.

Temuchin hanturkan tiga cawan arak kepada putra Sangum itu.

“Aku tidak bermusuh dengan ayah Wang Khan dan saudaraku Sangum,” ia berkata kepada putranya Sangum itu, “Maka itu aku persilahkan kau pulang untuk menyampaikan maafku. Aku pun akan mengantar bingkisan kepada ayah dan saudara angkatku itu, yang aku minta supaya tidak menjadi berkecil hati.”

Tusaga girang bukan main. Bukankah ia telah tidak dibunuh? Maka ia berjanji akan meyampaikan permohonan maaf dari Temuchin itu.

Semua orang menjadi bertambah heran dan mendongkol menyaksikan Khan mereka yang besar menjadi demikian lemah dan jeri terhadap Wang Khan, tetapi terpaksa mereka berdiam saja.

Besok harinya Temuchin kirim sepuluh serdadu mengiringi Tusaga pulang, berbareng dengan itu ia mengirimkan dua buah kereta yang berisikan emas dan kulit tiauw.

Tiga hari sepulangnya Tusaga itu, Temuchin kumpulkan tentaranya. Dengan mendadak ia perintahkan mereka itu kumpulkan tentara mereka.

“Sekarang juga kita menyerang Wang Khan!” demikian titahnya.

Heran semua panglima itu, mereka melongo. 




“Wang Khan banyak tentaranya, serdadu kita sedikit, tak dapat kita melawan dia dengan terang-terangan,” menjelaskan Temuchin. “Kita mesti membokong! Aku bebaskan Tusaga dan mengirim bingkisan, itulah untuk membuatnya tidak bersiaga.

Baru semua panglima itu sadar, mereka jadi sangat mengagumi Khan mereka itu. Segera mereka bertindak maju dalam tiga pasukan.

Wang Khan dan Sangum dilain pihak girang melihat Tusaga pulang dengan selamat dan Temuchin pun mengirim bingkisan, mereka menyangka Temuchin jeri, mereka tidak bercuriga, maka di dalam tendanya, mereka jamu Wanyen Lieh dan Jamukha, yang mereka layani dengan hormat. Adalah tengah mereka berpesta malam ketika mendadak datang serangan Temuchin. Mereka menjadi kacau, tanpa berdaya mereka pada melarikan diri.

Wang Khan bersama Sangum kabur ke barat. Di sana mereka kemudian terbinasa di tangan bangsa Naiman dan Liauw Barat. Tusaga terbinasa terinjak-injak kuda tentara.

Hong Ho Su Koay, Empat Siluman dari sungai Hong Ho, yang bisa menerobos kepungan melindungi Wanyen Lieh kabur pulang ke Tiongtouw (Pakkhia).

Jamukha kehilangan tentaranya, dia lari ke gunung Tannu, di sana selagi ia dahar daging kambing, dia ditawan oleh tentara pengiringnya, terus dibawa kepada Temuchin.

Temuchin terima tawanan itu, tetapi ia gusar, ia berseru “Serdadu pengiring pemberontak dan berkhianat kepada majikan! Apakah gunanya akan mengasih hidup kepada orang-orang tak berbudi begini?” Di depan Jamukha sendiri, ia perintahkan hukum mati kelima pengiring itu. Kepada Jamukha, yang ia awasi, ia kata: “Apakah tetap kita menjadi sahabat-sahabat kekal?”

Jemukha mengucurkan air mata. “Meskipun saudara suka memberi ampun padaku, aku sendiri tidak mempunyai muka akan hidup lebih lama pula di dalam dunia ini,” ia menyahut. “Saudara, aku minta sudilah kau memberi kematian tak mengucurkan darah padaku, supaya rohku tidak mengikuti darahku dan meninggalkan tubuh ragaku….”

Temuchin berdiam sekian lama. “Baiklah,” berkata ia kemudian. “Akan aku menghadiahkan kau kematian tak mengalirkan darah, nanti aku kubur kau di tempat di mana dahulu hari, semasa kecil, kita bermain bersama…”

Jemukha memberi hormat sambil berlutut, habis itu ia putar tubuhnya untuk bertindak keluar kemah.

Besoknya Temuchin mengadakan rapat besar di datar sungai Onon. Ketika itu namanya telah naik tinggi sekali, maka rakyat dan tentara dari pelbagai suku tak ada yang tak tunduk kepadanya, semuanya menyanjung. Maka di dalam rapat besar itu ia telah diangkat menjadi Kha Khan, atau Khan terbesar dari Mongolia, dengan gelaran Jenghiz Khan, artinya Khan yang besar dan gagah bagaikan pengaruhnya lautan besar.

Di sini Jenghiz Khan membagi hadiah besar. Empat pahlawannya yakni Mukhali, Borchu, Boroul dan Chiluan serta Jebe, Jelmi dan Subotai, diangkat menjadi cian-hu-thio, semacam kapten dari seribu serdadu. Kwee Ceng yang dianggap jasanya paling istimewa, dijadikan cian-hu-thio juga. Maka anehlah satu bocah umur belasan tahun, pangkatnya sama dengan satu pahlawan panglima yang berjasa.

Dalam pesta itu Jenghiz Khan minum banyak arak hadiah dari pelbagai panglimanya, dalam keadaan seperti itu, ia berkata kepada Kwee Ceng: “Anak yang baik, aku akan menghadiahkan pula kepadamu sesuatu yang aku paling hargakan!”

Kwee Ceng sudah lantas berlutut untuk menghanturkan terima kasih.

“Aku serahkan Putri Gochin kepadamu!” berkata Jenghiz Khan. “Mulai besok kau adalah Kim-to Hu¬ma!”.

Semua panglima bersorak, lalu mereka memberi selamat kepada Kwee Ceng. Mereka juga berseru “Kim-to Hu-ma! Kim-to Hu-ma! Bagus! Bagus!”

“Kim-to Hu-ma” itu berarti menantu raja golok emas.

Tuli sangat girang sehingga ia merangkul Kwee Ceng erat-erat, tak mau ia lekas-lekas melepaskannya. Si anak muda sebaliknya berdiam, tubuhnya terpaku, mulutnya bungkam. Ia menyukai Gochin, tetapi sebagai adik, bukan sebagai kekasih. Ia lagi mengutamakan ilmu silat, tak memikirkan soal lainnya apa lagi jodoh, soal asmara. Maka ia kaget mendengar hadiah Khan yang maha besar itu. Selagi ia tercengang, semua orang tertawa padanya, menggoda.

Setelah pesta bubar, Kwee Ceng lantas cari ibunya, tuturkan hadiah dari Jenghiz Khan itu.

Liep Peng terdiam, ia pun bingung. “Coba undang gurumu semua!” titahnya kemudian.

Kanglam Liok Koay lantas datang. Ketika mereka mendengar hal pertunangan itu, mereka girang, mereka lantas memberi selamat kepada nyonya Kwee itu. Bukankah murid mereka sangat dihargai oleh Khan dan peruntungannya bagus sekali?

Lie Peng berdiam sebentar, lalu tiba-tiba ia berlutut di depan enam manusia aneh itu, sehingga mereka itu menjadi heran.

“Ada apa, enso?” mereka tanya. “Kenapa enso menjalankan kehormatan besar ini? Harap enso lekas bangun!”

“Aku sangat bersyukur suhu semua sudah didik anakku ini sehingga ia menjadi seorang yang berharga,” berkata nyonya ini. “Budi ini tak dapat aku balas walaupun tubuhku hancur lebur. Hanya sekarang ada satu hal sulit untuk mana aku mohon pertimbangan dan keputusan suhu semua.”

Lie Peng tuturkan keputusan suaminya almarhum dengan Yo Tiat Sim, yang tunangkan anak-anak mereka sebelum lahir.

“Maka itu, kendati kedudukan anakku mulia sekali, mana dapat ia menjadi hu-ma?” kata si nyonya kemudian. “Kalau aku menyangkal janji ini, aku malu sekali. Bagaimana nanti suamiku dan aku menemui paman Yo dan istrinya di dunia baka?”

Mengdengar keterangan ini, Kanglam Liok Koay tertawa.

Lie Peng heran, ia mengawasi mereka.

“Orang she Yo itu benar telah memperoleh keturunan tetapi bukannya perempuan, melainkan pria,” Cu Cong kasih keterangan.

“Bagaimana suhu ketahui itu?” menanya Lie Peng kaget.

“Seorang sahabat di Tionggoan mengabarkan kami dengan sepucuk surat,” menerangkan Cu Cong lebih jauh. “Sahabat itu pun mengharap kami mengajak anak Ceng ke sana untuk menemui putranya orang she Yo itu, untuk mereka menguji kepandaian silat mereka.”

Mendengar itu, Lie Peng sangat girang. Ia setuju anaknya diajak pergi. Ia berharap, sekalian anaknya mencari Toan Thian Thek, guna menuntut balas. Sepulangnya dari perjalanan itu, baru Kwee Ceng nanti menikah dengan Gochin.

Setelah mendapat keputusan, Kwee Ceng menghadap Jenghiz Khan, untuk memberitahukan tentang niat perjalanannya itu.

“Bagus, kau pergilah!” Khan itu setuju. “Sekalian kau pulang nanti bawalah juga kepalanya Wanyen Lieh, putra keenam raja Kim! Untuk melakukan pekerjaan besar itu, berapa banyak pengiring yang kau butuhkan?”

“Anak akan pergi bersama keenam guruku, tak usah anak membawa pengiring,” sahut Kwee Ceng. Ia anggap dengan pergi bersama guru-gurunya, ia tentu bakal berhasil, sedang membawa pengiring, yang tidak mengerti ilmu meringankan tubuh, menambah berabe saja. Ia senang sekali dengan perkataan Khan ini, untuk membinasakan Wanyen Lieh. Memang semenjak kecil ia telah diempos ibunya, yang sangat membenci bangsa Kim.

Jenhiz Khan menerima baik, ia berpesan pula “Sekarang ini kuda kita belum terpelihara gemuk dan tentara kita belum terlatih sempurna, kita belum dapat menandingi negara Kim, maka itu kau harus bekerja baik-baik supaya kau tidak meninggalkan ¬bekas!”

Kwee Ceng memberikan janjinya.

Jenghis Khan lantas hadiahkan baba mantu itu uang emas tigapuluh tael, untuk ongkos di jalan, sedang Kanglam Liok Koay dipersen barang-barang emas dan berharga bekas rampasan dari Wang Khan.

Di hari ketiga, setelah pamitan dari ibunya dengan kedua mengucurkan air mata, Kwee Ceng berangkat bersama guru-gurunya. Lebih dahulu mereka sambangi kuburan Thio A Seng, untuk ambil selamat berpisah dari rohnya guru almarhum itu. Lalu tujuan mereka adalah selatan.

Baru mereka jalan sepuluh lie lebih, di atasan kepala mereka terlihat dua ekor burung rajawali kepala putih terbang berputaran, lalu terlihat Tuli datang bersama Gochin dengan dua saudara itu merendengi kuda mereka. Tuli memberi bingkisan sepotong baju bulu tiauw yang mahal, barang rampasan dari Wang Khan.

Gochin datang menemui bakal suaminya itu, akan tetapi ia tidak dapat berbicara, cuma kulit mukanya menjadi bersemu merah.

“Adikku, kau bicaralah dengannya, aku tak akan mendengarkan!” berkata Tuli sambil tertawa, terus ia larikan kudanya, untuk menjauhkan diri.

Gochin menoleh, ia masih belum dapat bicara. Selang beberapa lama, barulah ia pesan: “Kau segeralah pulang…..”

Kwee Ceng mengangguk. “Ada pesan lagi?” ia bertanya.

Gochin menggelengkan kepalanya.

Kwee Ceng dekati putri itu, ia pondong tubuhnya, terus ia bawa kepada Tuli. Lalu ia pun saling rangkul dengan Tuli itu, habis mana ia larikan kudanya guna menyusul keenam gurunya, yang sudah berjalan jauh juga.

Gochin melongo, hatinya menjadi tawar. Ia dapatkan sikap Kwee Ceng sama seperti biasa, bukan sebagai satu tunangan. Saking masgul, ia hajar kudanya hingga binatang itu lari berjimpratan.

Kwee Ceng sendiri berjalan terus, keenam gurunya ajak dia menuju ke timur selatan, siang jalan, malam singgah. Segera juga mereka melintasi tanah datar gurun pasir. Pada suatu hari hampir tiba di Hek Sui Ho, tak jauh lagi dari Kalgan, Kwee Ceng lantas merasakan suasana lain. Belum pernah ia melintas dari gurun, sekarang ia mulai tiba di Tionggoan, ia dapatkan pemandangan mata yang lain. Tanpa merasa, ia gencet perut kudanya, membikin kudanya itu lari pesat. Maka lekas sekali tibalah ia di Hek Sui o, disebuah rumah makan di tepi jalanan.

Kwee Ceng merasa kasihan melihat kudanya yang kecil itu lari demikian keras hingga bermandikan keringat, ia ambil sabuk menyusuti. Tiba-tiba saja ia menjadi kaget. Sabuk itu menjadi merah seluruhnya. Ketika ia meraba kudanya, tangannya itu juga menjadi merah, penuh dengan darah. Hampir ia mengucurkan air mata saking menyesal sudah menyiksa kudanya itu. Tidakkah kuda itu bercelaka diluar keinginannya? Maka ia rangkul leher kuda itu, untuk menghibur.

Kuda itu sebaliknya nampak segar bugar, tidak ada tanda-tandanya terluka.

Kwee Ceng menoleh, mengawasi jalan besar darimana tadi ia datang. Ia mengharap segera tiba gurunya yang ketiga, Han Po Kie, supaya guru itu suka tolong mengobati kudanya itu. Ia tidak melihat guru-gurunya, yang ketinggalan jauh, maka berulangkali ia menoleh dan menoleh pula.

Masih enam guru itu tak nampak, sebaliknya, kupingnya bocah ini mendengar mengalunnya kelenengan unta. Ketika ia perhatikan, lihat mendatanginya empat ekor unta bulu putih, yang penunggangnya pun berpakaian serba putih. Mereka itu pria semua.

Belum pernah Kwee ceng melihat unta-unta yang begitu bagus. Ia pun menjadi tertarik dan heran akan mendapatkan keempat penunggangnya semua masih muda-muda, mungkin baru berumur duapuluh dua atau duapuluh tiga tahun, dan semuanya pun beroman tampan.

Setibanya di depan restauran, keempat penunggang unta itu melompat turun, mereka terus bertindak ke dalam rumah makan. Dari gerak-geriknya, terang mereka itu mengerti ilmu silat. Disamping pakaian mereka yang putih, di leher mereka itu terlihat bulu rase.

Seorang pemuda melihat Kwee Ceng mengawasi, ia menjadi likat, wajahnya pun bersemu dadu, lekas-lekas ia tunduk. Adalah satu kawannya menjadi tidak senang.

“Eh, bocah kau awasi apa?” ia menegur.

Kwee Ceng terperanjat, lekas-lekas ia melengos. Ia lantas mendengar mereka itu berbicara satu sama lain, entah apa yang mereka bicarakan, habis itu mereka tertawa riuh. Ia malu sendiri. tentu orang tengah menertawakannya. Ia sempat berpikir untuk menukar tempat singgahnya. Syukur unttuknya, ia dapatkan tibanya Han Po Kie. Ia lari kepada gurunya itu, terus beritahukan hal kudanya mengeluarkan keringat darah.

“Begitu?” tanya guru itu heran. Ia dekati kuda Kwee Ceng, ia raba punduknya kuda itu, setelah mana, ia bawa tangannya yang berlepotan darah itu ke arah matahari. Ia mengawasi sekian lama, lalu tiba-tiba ia tertawa lebar.

“Ini bukannya darah, inilah keringat!” serunya.

Kwee Ceng tercengang. “Keringat?” ia menanya. “Ada keringat merah?”

Po Kie tidak sahuti muridnya itu, hanya dengan bersemangat ia berkata “Anak Ceng, kau telah dapatkan han-hiat po-ma, yang untuk seribu tahun sukar didapatkan!”

Kwee Ceng heran dan girang. Ia girang sebab kudanya tidak terluka. Ia heran akan mendengar halnya han-hiat po-ma, ialah kuda istimewa dengan keringat seperti darah.

“Suhu, kenapa dia mengeluarkan keringat bagaikan darah?” ia menegasi.

“Dulu pernah aku dengar keterangan guruku, almarhum,” sahut Po Kie. “Turut katanya guruku itu, di tanah barat, yaitu di daerah Ferghana, ada kedapatan sebangsa kuda liar biasa, yang disebut kuda langit, punduk kuda itu mengeluarkan keringat merah seperti darah, bahwa kuda itu keras larinya, satu hari dapat menempuh jarak seribu lie. Tentu itu baru cerita saja, belum pernah ada yang melihat buktinya.”

Selagi guru dan murid ini berbicara, rombongan Tin Ok tiba. Mereka lantas beritahukan tentang kuda berkeringat merah itu.

Cu Cong adalah seorang sastrawan, ia luas pengetahuannya.

“Tentang itu ada ditulis jelas dalam Kitab Hikayat dan Kitab Jaman Han,” berkata Cu Cong. “Ketika dahulu hari itu bangsawan Pok-bong-houw Thio Kian diutus ke Tanah Barat, di Ferghana dia telah melihat seekor kuda han-hiat po-ma itu, sekembali ke negerinya, ia memberitahukan kepada rajanya, Kaisar Han Bu Tee. Kaisar menjadi kagum, ingin ia mempunyai kuda itu, terus ia kirim utusan membawa emas seribu kati serta seekor kuda-kudaan emas, sebesar kuda biasa, ke Barat itu, untuk dipakai menukar dengan kuda istimewa itu. Raja Ferghana menolak permintaan itu, dia mengatakan “Kuda itu adalah kuda pusaka negara Ferghana, jadi kuda itu tidak dapat dihadiahkan kepada bangsa Han.” Utusan Han itu menjadi gusar, mengumbar tabiatnya, ia hajar rusak kuda emas itu, terus ia pulang. Raja Ferghan pun gusar, dia perintah menawan utusan itu, terus dibunuh, emas dan kuda emas itu dirampas.

Kwee Ceng berseru heran.

Cu Cong menghirup air tehnya.

“Kemudian bagaimana?” tanya murid itu.

Dipihak lain, keempat pemuda serba putih itu juga memperhatikan cerita itu.

“Shatee,” tanya Cu Cong sehabis ia minum pula tehnya, “Kau ahli pemelihara kuda, tahukah kau darimana asalnya po-ma?”

“Menurut keterangan guruku, po-ma terlahir dari perkawinan kuda rumahan dengan kuda liar!” sahut Po Kie.

“Benar!” berkata Cu Cong. “Menurut kitab, di negara Ferghana itu ada sebuah gunung di dalam mana kedapatan sebangsa kuda liar, yang dapat lari seperti terbang, hingga orang liar tidak dapat mengejarnya. Tapi orang Ferghana telah mendapat satu akal bagus. Pada suatu malam musim semi, mereka lepas satu ekor kuda betina yang berwarna lima di kaki gunung. Kuda liar itu kena pincuk, dia kawin dengan kuda pancingan itu, ketika kemudian kuda biang itu mendapat anak, anak kuda itulah po-ma tersebut. Anak Ceng, mungkin sekali kudamu itu adalah keturunan dari kuda Ferghana itu.

“Bagaimana dengan Kaisar Han Bu Tee itu, apa dia mau sudah saja?” menanya Han Siauw Eng, yang tertarik dengan cerita kakak angkatnya itu.

“Mana mau dia sudah begitu saja,” kata Cu Cong. “Dia lantas perintah Jenderal Lie Kong mengepalai beberapa laksa serdadu pergi ke Ferghana untuk mendapatkan kuda itu. Untuk itu, Lie Kong diangkat menjadi jenderal istimewa. Tapi Ferghana adalah negara gurun pasir, tak ada rangsum dan air disana, selama perjalanan banyak tentara binasa sebelum mencapai tempat tujuan, pasukan tentara itu tinggal hanya tiga bagian. Lie Kong kalah orang, ia terpaksa mundur ke Tun-hong, darisana ia meminta rajanya mengirim pula bala bantuan. Raja gusar, ia kirim utusan membawa pedang, ke kota Gak-bun¬kwan, untuk menjaga. Utusan itu diberi tugas dan kekuasaan: Panglima atau serdadu mana saja yang pergi berperang benani memasuki kota Gak-bun-kwan itu, dia mesti dihukum mati! Lie Kong menjadi serba salah, terpaksa ia menunda di Tun-hong itu.”

Ketika itu terdengar pula kelenengan unta, lalu tertampak datangnya lagi empat penunggang unta seperti empat yang pertama itu. Melihat mereka itu, yang masuk ke dalam restauran, Kwee Ceng heran. Mereka itu muda dan tampan dan pakaiannya serba putih seperti rombongan pertama. Dan mereka dua rombongan lantas duduk bersama-sama.

Cu Cong melanjuti ceritanya: “Kaisar Han Bu Tee tidak puas, ia merasa malu. Dengan kalah perang, ia khawatir bangsa lain memandang enteng bangsa Han. Maka ia mengerahkan pula lebih daripada duapuluh laksa serdadu, ia siapkan serbau, kuda dan rangsum tak terhingga banyaknya. Masih ia khawatir tentaranya itu belum cukup, ia menambah dengan semua orang hukuman, pamong praja rendah, baba-baba mantu dan kaum pedagang, yang dijadikan serdadu, hingga negara menjadi gempar. Pula dua ahli kuda diberi pangkat tinggi, satu menjadi Kie-ma Kawm-oet, yang lainnya menjadi Cit-ma Kauw-oet, tugasnya nanti sesudah Ferghana dipukul pecah mereka mesti memilih kuda jempolan. Lioktee, kerajaan Han itu mengutamakan tani dan sebaliknya memandang enteng bangsa saudagar, kalau kau hidup di jaman Kaisar Han Bu Tee, apeslah kau, sebaliknya dengan shatee, dia bisa memangku pangkat! Ha ha ha!”

“Dan baba-baba mantu itu, apakah salahnya mereka?” Siauw Eng menanya.

“Siapa miskin dan tak punya sandaran, siapa sudi dipungut mantu?” Cu Cong menjawab. “Kali ini Lie Kong memimpin angkatan perang yang besar itu. Untuk lebih daripada empatpuluh hari, ia kurung dan serang kota musuh. Banyak panglima musuh binasa. Akhirnya kaum ningrat Ferghana menjadi ketakutkan, mereka berontak, rajanya dibunuh, kepala raja diserahkan. Mereka mohon menakluk. Mereka pun serahkan kuda yang diperebutkan itu. Lie Kong pulang dengan kemenangan besar, raja sangat girang, dia di anugrahkan menjadi bangsawan Hay-see-houw. Tentara yang lainnya pun turut kenaikan pangkat. untuk seekor kuda po-ma itu, entah berapa banyak jiwa sudah melayang, setahu berapa banyak uang sudah dikorbankan. Kaisar mengadakan satu pesta besar, ia perintah mengarang syair untuk memuji kuda langit itu, yang dianggap melainkan naga yang pantas menjadi kawannya….”

Mendengar cerita itu, delapan pemuda itu mengawasi kudanya Kwee Ceng, agaknya mereka sangat tertarik.

Cu Cong berkata pula: “Kuda langit menjadi kuda jempolan sebab perkawinannya dengan kuda liar, Kaisar Bu Han Tee sudah kerahkan kekuatan seluruh negeri untuk mendapatkan beberapa ekor kuda itu tapi kemudian ia tidak mendapatkan kuda liar, maka selang beberapa turunan, semua kuda itu tak lagi menjadi po¬ma dan keringatnya pun tidak merah…”

Habis Cu Cong bercerita, mereka melanjuti memasang omong sambil dahar mie.

Delapan pemuda itu duduk jauh-jauh, mereka kasak-kusuk tetapi kupingnya Kwa Tin Ok lihay, ia dapat mendengar jelas pembicaraan mereka.

“Kalau kita hendak rampas kuda itu, cukup dengan satu kali turun tangan,” berakta satu pemuda, “Satu kali kita sudah naik atas punggung kuda itu, siapa dapat mengubarnya?”

“Tapi disini ada banyak orang lain dan ia pun ada kawan-kawannya…” kata seorang yang lain.

“Jikalau kawannya berani membantui, kita bunuh saja semua!” kata seorang lagi.

Hu Thian Pian-hk Kwa Tin Ok menjadi heran sekali. “Mereka berdelapan wanita semuanya, mengapa mereka jadi begini galak dan telengas?” tanyanya dalam hati. Ia berdiam saja, ia sengaja berpaling ke luar rumah makan. dengan begitu delapan pemuda itu menjadi tidak curiga.

“Setelah mendapatkan kuda jempolan ini, kita menghadiahkannya kepada San-cu,” berkata seorang pula. “Dengan menungggang kuda ini, San-cu pergi ke kota raja, tentunya dia menjadi semakin terang mukanya! Pasti seklai Som Sian lao Koay dari Tiang Pek San dan Leng Tie Sianjin jago Bit Cong Pay dari Tibet tak dapat menangkan keagungannya…!”

Tin Ok berpikir. Ia pernah dengar namanya Leng Tie siangkin, seorang paderi kenamaan dari Tibet itu, tetapi tak tahu ia perihal Som Sian Lao Koay. Ia terus memasang kupingnya.

“Dalam beberapa hari ini di tengah jalan kita menemui tak sedikit sahabat dari Jalan Hitam,” berkata seorang muda yang lainnya lagi, “Katanya mereka adalah bawahannya Cian-ciu jin-touw Peng Lian Houw. Mereka itu tentu hendak berkumpul juga di kota raja, maka kalau mereka dapat lihat kuda ini, mana kita dapat kebagian?”

Tentang Peng Lian Houw ini Tin Ok ketahui dengan baik. Dialah kepala penjahat paling berpengaruh untuk wilayah Hopak dan Shoasay, yang sangat kejam, maka juga dia dapat gelarannya itu, “Pembunuh Ribuan Jiwa”. Maka ia berpikir, “Orang lihay itu pergi ke kota raja, mereka hendak bikin apa di sana? Delapan wanita ini, siapakah mereka?”

Mendengar terlebih jauh, Tin Ok mendapat kepastian mereka itu hendak merampas kudanya Kwee Ceng. Mereka hendak pergi lebih dulu, guna memegat di tengah jalan.

Habis mengambil keputusan, delapan pemuda itu, yang Tin Ok mengatakan pemudi-pemudi, lalu berkasak-kusuk tentang asmara, mereka pun bergurau. Ada yang kata “San-cu paling sukai kamu!” Ada yang membilang, “Diwaktu begini tentulah San-cu lagi menantikanmu!” maka ia menjadi mengerutkan keningnya, ia menajdi sebal….

“Kalau kita menghadiahkan kuda ini kepada San-cu, coba kau terka, San-vu bakal menghadiahkan apa kepada kita?” berkata satu orang, yang kembali ke urusan kuda.

Yang seorang tertawa dan berkata: “ Pasti San-cu menghendaki kau menemani ia tidur untuk beberapa malam…!

“Kurang ajar!” membentak kawan yang digoda itu dan hendak mencubit. Yang lain-lain lantas tertawa geli.

“Kira-kira, hati-hatilah!” seorang memperingatkan. “Jangan kita membocorkan rahasia sendiri…!”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar