Senin, 07 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 026

Sangum pun menjawab dengan pertanyaan “Adakah sejak jaman dahulu kala bangsa Mongol tinggal pada masing-masing sukunya, ternak kambing dan kerbau adalah kepunyaan bersama, tetapi kau kenapa, kau langgar aturan leluhur kita? Kenapa kau hendak persatukan semua suku?”

“Bangsa Mongolia telah diperhina oleh negara Kim, negara itu menghendaki kita setiap tahun membayar upeti beberapa laksa ekor kerbau, kambing dan kuda, adakah itu selayaknya?” Temuchin balik tanya. “Asal saja kuta bangsa Mongolia tidak saling menyerang, kenapa kita mesti takuti bangsa Kim itu?”

Kata-kata ini tajam, ketika orang-orang Sangum mendengar, hati mereka goncang. Mereka setujui perkataan itu.

Temuchin lanjuti perkataannya: “Bangsa Mongolia bangsa orang-tentara yang pandai, kenapa kita tidak mengambil emas, perak dan permata bangsa Kim? Kenapa kita mesti tiap tahun membayar upeti terhadap mereka? Kita bangsa Mongolia diantaranya ada yang rajin memelihara kerbau dan kambing, ada juga yang malas dan cuma doyan gegares! Kenapa mereka yang rajin mengasih makan mereka yang malas? Kenapa kita tidak hendak memberikan lebih banyak kerbau dan kambing kepada yang rajin? Kenapa kita tidak mau membiarkan si malas itu mati kelaparan?”

Dijaman dahulu bangsa Mongolia hidup dalam suatu keluarga atau suku, ternaknya adalah kepunyaan bersama, kemudian karena tenaga pertumbuhan mereka bertambah dan adanya pemakaian alat-alat dari besi, perlahan-lahan sifat itu berubah, kebanyakan bangsa penggembala itu memakai cara sendiri-sendiri. Temuchin sengaja singgung sifat itu, membuat tentara Sangum menyetujuinya, diam-diam mereka itu pada mengangguk.

Sangum mengerti orang lagi menghasut tentaranya. “Jikalau kau tidak mau menyerah!” ia membentak, “Asal aku menuding dengan cambukku ini, laksanaan anak panah bakal dilepaskan terhadap dirimu! Jikalau itu sampai terjadi, jangan kau berpikir untuk hidup lebih lama lagi!”

Kwee Ceng menjadi cemas sekali. Keadaan sangat mendesak dan sulit. Bagaimana bahaya dapat dihindarkan? Selagi ia berpikir, terlihat penunggang kuda di kaki bukit. Penunggang kuda itu dandanannya sebagai panglima perang, di sebelahnya baju lapis, ia mengenakan juga mantel bulu kulit binatang tiauw yang mahal. Di tangannya panglima itu sebatang golok besar. Dengan aksi ia larikan kudanya mondar-mandir. Kwee Ceng kenal panglima yang masih muda itu, Tusaga adanya, putra Sangum, ia pernah berkelahi waktu kecil. Ia lantas ingat sesuatu, maka ia jepit kudanya, ia kasih lari turun gunung, untuk menghampiri pemuda itu.

Celaka untuk Tusaga, begitu kena di cekal, ia mati kutu, tidak dapat memberontak, maka ketika Kwee Ceng menarik, tubuhnya diangkat dari kudanya.

Selagi Kwee ceng hendak geser pemuda itu, ia dengar suara angin senjata mengaung dari arah belakangnya. Cepat ia berpaling, dan tangan kirinya menangkis. Sepasang tombak terpental ke udara. Segera ia bentur perut kudanya dengan dengkul kanan. Kudanya mengerti, lantas lari mendaki bukit. Dia dapat lari tak kalah pesatnya seperti waktu turun tadi.

“Lepas panah!” orang-orangnya Sangum berteriak.

Kwee Ceng tidak takut, ia pegang tubuh Tusaga, dipakai menjadi tameng. Menampak itu, tidak ada satu serdadu pun yang berani memanah, mereka khawatir nanti kena memanah pemimpin mereka yang muda itu.

Dengan tidak kurang suatu apa pun Kwee Ceng tiba di samping Temuchin. Ia lempar tubuh Tusaga ke tanah, ke dekatnya khan yang agung.

Bukan main girangnya Temuchin. Ia segera menuding dada Tusaga dengan ujung tombaknya, ia teriaki Sangum “Lekas kau suruh semua orangmu mundur seratus tombak!”

Sangum murka berbareng bingung. Ia kaget dan tidak menyangka putranya dapat ditawan musuh selagi berada dalam lindungan tentaranya yang berjumlah besar itu. ia tidak bisa berbuat lain daripada keluarkan titahnya untuk pasukan itu mundur seratus tombak. Mereka Cuma mundur, tapi pengurungan tidak dibubarkan, malah kereta besar dikitarkan diseputar bukit itu, dalam tujuh dan delapan lapis!

Temuchin puji Kwee Ceng, yang diperintah gunai dadung, untuk ringkus Tusaga.

Tiga kali Sangum mengirim utusan, meminta putranya dimerdekakan, supaya Temuchin menyerah, nanti jiwanya Temuchin akan diberi ampun, katanya. tapi tiga-tiga kalinya, Temuchin usir utusan itu.

Tanpa terasa, langit telah menjadi gelap. Temuchin khawatir Sangum menyerbu, ia kasih perintah orang-¬orangnya terus memasang mata.

Kira-kira tengah malam, seseorang dengan pakaian putih muncul di kaki bukit. ia lantas berteriak: “Di sini Jamukha! Aku ingin bicara dengan saudara Temuchin!”

“Kau naiklah kemari!” Temuchin menjawab

Jamukha mendaki dengan perlahan-lahan. Temuchin berdiri menantikan dengan romannya yang angker. Ia maju mendekati, ingin ia memeluk. Adalah adat istiadat bangsa Mongolia akan saudara muda memeluk dan merangkul saudara tuanya.

Temuchin hunus goloknya. “Adakah kau masih anggap aku sebagai kakak angkatmu?” ia menegur.

Jamukha menghela napas. Ia lantas duduk bersila. “Kakak kau telah menjadi Khan yang agung, kenapa kau masih berambekan besar sekali?” ia tanya. “Kenapa kau bercita-cita mempersatukan bangsa Mongolia?”

“Kau sebenarnya menghendaki apa?” Temuchin tanya.

“Pelbagai kepala suku pada bilang bahwa leluhur kita sudah turun temurun beberapa ratus tahun hidup secara begini, maka itu kenapa khan yang agung Temuchin hendak mengubahnya? Tuhan juga tidak memperkenankan itu,” kata Jamukha.

“Apakah kau masih ingat cerita tentang leluhur kita Maral Goa?” Temuchin tanya. “Lima putra mereka tidak hidup rukun, ia masaki daging kambing kepada mereka, mereka juga masing-masing diberikan seorang sebatang anak panah, ia suruh masing-masing mematahkannya. Dengan gampang mereka itu melakukannya. Lalu ia berikan mereka lima batang anak panah yang digabung menjadi satu, kembali ia menitahkan mereka untuk mematahkannya. Bergantian mereka berlima mencoba mematahkan anak panah itu, mereka gagal. Ingatkah apa pesan leluhur kita itu?”

Dengan perlahan Jamukha mengatakan: “Jikalau kamu masing-masing bercerai-berai, kamu menjadi seperti anak panah ini, yang gampang sekali orang siapapun dapat mematahkannya; jikalau kamu berpadu hati bersatu tenaga, kamu menjadi seperti lima batang anak panah yang digabung menjadi satu ini, yang tak dapat dipatahkan siapapun juga!”

“Kau masih ingat itu, bagus!” seru Temuchin. “Kemudian bagaimana?”

“Kemudian mereka berlima bersatu padu bekerja sama, mereka menjadi leluhur kita bangsa Mongolia!” sahut Jamukha.

“Benar begitu!” kata Temuchin. “Kita juga adalah orang-orang gagah, kenapa kita tidak hendak mempersatukan bangsa Monglia kita? Kita harus saling kepruk, kita bersatu hati bekerja sama untuk memusnahkan bangsa Kim!”

Jamukha terkejut. “Negeri Kim itu banyak tentaranya dan banyak panglima perangnya, emasnya tersebar di seluruh negaranya, rangsumnya bertumpuk bagaikan gunung, cara bagaimana bangsa Mongolia bisa main gila terhadapnya?”

“Hm!” Temuchin mengejek. “Jadi kau suka kita semua diperhina dan ditindih bangsa Kim itu?”

“Mereka pun tidak menghina dan menindih kita,” kata Jamukha. “Raja Kim itu telah anugerahkan pangkat Ciauwtouwusu padamu.”

Temuchin menjadi mendongkol. “Mulanya aku juga menyangka raja Kim itu baik hati,” katanya. “Siapa tahu permintaannya kepada kita makin lama jadi makin hebat! Sudah minta kerbau dan kambing, dia minta kuda, dan sekarang dia menghendaki orang-tentara kita membantu berperang!”




“Wang Khan dan Sangum tidak ingin memberontak terhadap negara Kim itu,!” kata Jamukha pula.

“Berontak? Hm! Berontak!” seru Temuchin menghina. “Dan bagaimana dengan kau sendiri?”

“Aku datang untuk meminta kau jangan gusar, kakak. Aku minta supaya kau kasih pulang Tusaga kepada Sangum. Aku tanggung Sangum nanti melepaskan kau pulang dengan selamat!”

“Aku tidak percaya Sangum! Aku juga tidak percaya kau!”

“Sangum bilang, kalau satu putranya terbinasa, dia bakal melahirkan dua putra lagi! Kalau satu Temuchin terbinasa, untuk selamanya tidak bakal ada Temuchin lagi! Jikalau kau tidak merdekakan Tusaga, kau bakal tak dapat melihat lagi matahari besok!”

Temuchin membacok ke udara. “Aku lebih suka binasa dalam perang, daripada aku menyerah!” serunya.

Jamukha bangkit berdiri. “Kita membagi-bagikan kerbau dan kambing rampasan kepada tentara, kau mengatakannya itu milik mereka pribadi, bukannya milik bersama. Mengenai itu, semua kepala suku mengatakan kau berlaku buruk, tak tepat dengan pengajaran leluhur kita!”

Temuchin berseru: “Akan tetapi pasukan yang muda-muda senang dengan caraku itu!”

“Baiklah saudara Temuchin,” kata Jamukha. “Harap kau tidak mengatakannya aku tidak berbudi!”

Temuchin lantas keluarkan satu bungkusan kecil dari dalam sakunya, ia lemparkan ke depan Jamukha. Ia bilang: “Inilah tanda mata ketika angkat saudara untuk ketiga kalinya, sekarang kau terimalah kembali! Besok kau membawa golokmu untuk berperang di sini!” Sembari berkata begitu, ia gerakkan tangannya seperti hendak membacok batang lehernya. Ia tambahkan. “Yang dibunuh itu adalah musuh, bukan kakak angkatmu!”

Jamukha jemput bungkusan kecil itu. Ia pun keluarkan satu kantung kulit kecil dari sakunya, tanpa bilang apa-apa, ia letakkan di samping kakinya Temuchin, lalu ia memutar tubuhnya turun dari bukit itu.

Temuchin mengawasi belakang orang, sekian lama ia diam saja. Ia ada sangat berduka. Sungguh tidak ia sangka, saudara angkat itu yang bagaikan saudara kandungnya bisa berubah sedemikian rupa, hingga membaliki belakang kepadanya. Lalu dengan perlahan-lahan ia buka kantung kulit itu, keluarkan isinya, kepala panah dan biji piesek yang diwaktu muda mereka sering membuat main. Segera terbayang di hadapan matanya saat dahulu ketika mereka sama-sama bermain di es. Ia menghela napas. Dengan goloknya ia mencongkel sebuah liang di tanah, di situ ia pendam barang tanda mata dari adik angkatnya itu.

Kwee Ceng di samping mengawasi dengan perasaan berat. Ia mengerti, apa yang Temuchin pendam itu adalah persahabatan yang ia paling hargakan….

Habis menguruk tanah dengan kedua tangannya, Temuchin bangun berdiri. Ia memandag ke depan. Nampak api dinyalakan tentara Sangum dan Jamukha, yang menerangi tanah datar seperti juga banyak bintang di langit. Ia berdiam sekian lama, kemudaian berpaling, dapatkan Kwee Ceng berdiri diam di sampingnya.

“Apakah kau takut?” ia tanya.

“Aku tengah memikirkan ibuku,” Kwee Ceng menyahut.

“Kau orang gagah yang baik sekali,” Temuchin memuji. Ia menunjuk kepada api di kejauhan itu, lanjutnya “Mereka itu juga orang-¬orang gagah! Kami bangsa Mongolia punya begini banyak orang gagah, sayang kami saling bunuh satu sama lain! Coba semua dapat berserikat menjadi satu…” Ia memandang ke ujung langit, lalu menambahkan pula; “….kita pasti dapat membuat seluruh dunia, membuat seluruh dua menjadi ladang tempat kita menggembala ternak kita!”

Kagum Kwee Ceng mendengar cita-cita dari Khan yang agung ini. Ia lantas berkata “Khan yang agung, kita bisa menang perang, tidak nanti kita dapat dikalahkan Sangum yang berhati kecil dan hina dina itu!”

Temuchin pun menjadi bersemangat. “Benar!” sambutnya. “Mari kita ingat pembicaraan kita malam ini! Selanjutnya aku pandang kau sebagai anak kandungku!” Dan ia rangkul si anak muda!

Sementara itu, cuaca sudah mulai terang. Di dalam pasukannya Sangum dan Jamukha segera terdengar suara terompet.

“Bala bantuan tidak datang. Hari ini kita akan mati perang di gunung ini!” kata Temuchin.

Ini waktu terlihat tentara musuh sudah mulai bergerak, rupanya mereka hendak memulai penyerbuan.

Temuchin bersama ketiga putra dan semua panglimanya mendekam di belakang tumpukan tanah, anak panah diarahkan ke setiap jalanan di gunung itu, yang akan dilewati musuh.

Tidak berapa lama, sebuah bendera kuning muncul dari dalam pasukan Sangum. Di bawah bendera itu ada tiga orang yang menuju ke sisi gunung. Mereka itu adalah, di kiri Sangum, di kanan Jamukha, dan di tengah-tengah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Pangeran Kim ini memakai kopiah dan jubah perang bersalut emas, tangan kirinya mencekal tameng untuk pencegah panah.

“Temuchin, apakah kau hendak memberontak terhadap negara Kim yang agung?!” tanya pangeran.

Juji, putra sulung Temuchin, tujukan panahnya dan memanah pangeran itu. Di belakang pangeran ini segera muncul satu orang, menyambuti anak panah itu dengan tangannya. Dia sangat gesit dan gapa.

Wanyen Lieh lantas saja berseru dengan titahnya: “Tolong Tusaga! Bekuk Temuchin!”

Atas titah itu, empat orang berlompat maju, lari mendaki ke atas gunung.

Kwee Ceng terperanjat menyaksikan kegesitan empat orang itu. Mereka itu menggunakan ilmu meringankan tubuh. Jadi mereka adalah orang-orang Rimba Persilatan, bukan tentara biasa.

Setibanya empat orang itu di tengah jalan, dipapaki hujan panah oleh Jebe dan Borchu beramai, tetapi dengan tamengnya, mereka halau setiap anak panah itu.

Kwee Ceng jadi berkhawatir, “Kita di sini adalah tentara semua, kita bukannya tandingan jago-jago Rimba Persilatan itu…” pikirnya. “Bagaimana sekarang?”

Satu di antara empat orang itu, pemuda dengan pakaian hitam sudah sampai di atas gunung. Dia dirintangi oleh Ogotai yang bersenjatakan sebatang golok besar. Dia ayun tangannya, lantas sebatang panah tangan menyambar ke batang lehernya putra Temuchin itu, disusul sama bacokan goloknya. Berbareng dengan itu, berkelebatlah sebatang golok putih mengkilap, menikam dari samping lengan penyerang itu. Dia terkejut, sambil kelit lengannya, ia melompat mundur. Ia melihat di depannya berdiri anak muda dengan alis gompiak dan mata besar, yang mencekal pedang. Pemuda ini menghadang di depan Ogotai. Dia heran dalam rombongan Temuchin ada orang yang pandai ilmu pedang.

“Kau siapa?” dia menegur. “Beritahu she dan namamu!” Dia bicara dalam bahasa Tionghoa.

“Aku Kwee Ceng!” sahut anak muda itu.

“Tidak pernah aku dengar namamu! Lekas kau menyerah!” kata orang itu sombong.

Kwee Ceng sementara itu telah melihat, tiga kawannya orang ini sudah tiba di atas gunung dan tengah bertempur dengan Chilaun, Boroul dan lainnya. Dilain pihak orang-orangnya Sangum hendak bergerak pula.

Mukhali lantas saja tandalkan goloknya di leher Tusaga. “Siapa berani maju!” ia berteriak. “Akan aku penggal!”

Sangum menjadi khawatir dan bingung. “Tuan pangeran, titahkanlah mereka turun!” ia memohon kepada Wanyen Lieh. “Mari kita berpikir cara lain, jangan sampai anakku terbinasa…!”

“Tetapkan hatimu, anakmu tak bakal terbinasa!” kata Wanyen Lieh sambil tertawa.

Orang-orang Sangum tidak berani naik, sedang empat orangnya Wanyen Lieh itu melanjutkan pertempuran.

Kwee Ceng gunakan ilmu pedang Wat Lie Kiam ajaran Han Siauw Eng, ia layani musuh yang bersenjatakan golok itu. Segera ia dapat kenyataan, berat tangannya lawan itu, yang goloknya tebal, benar-¬benar musuh ini bukan sembarang orang. Ia tidak mengerti cara bersilatnya orang, sedang dari enam gurunya pernah ia dengar pelbagai macam ilmu silat. Orang ini mengancam ke kanan, tiba-tiba ancamannya itu berubah di tengah jalan, menjadi bacokan ke kiri………

Mau tidak mau, Kwee Ceng main mundur. Ia teringat ajaran gurunya yang kesatu: “Di waktu bertempur mesti mempengaruhi orang tetapi jangan kasih diri kena dipengaruhi. “Sekarang aku main menangkis aja, apakah itu bukan berarti aku kena didesak?” karena ini, ketika datang bacokan, ia tidak mundur lagi, sebaliknya menyambut seraya tekuk kaki kanan dan tangan kiri bersiap sedia. Keras sekali, tangan kanannya, pedangnya membalas menikam lurus.

Terkejut juga musuh menyaksikan orang nekat, bersedia ingin celaka bersama, ia lantas tarik pulang goloknya. Kwee Ceng lihat ini adalah kesempatan baik segera menikam pula, ketika musuh berkelit, ia mengirim serangan beruntun. Terus ia bersilat dengan Wat Lie Kiam-hoat. Kali ini, membuat lawannya repot.

Dipihak lain, tiga kawannya musuh itu sudah berhasil merubuhkan empat atau lima lawannya, satu di antaranya melihat ia terdesak, dengan bawa tombaknya, melompat menghampiri. “Toasuko, mari aku bantu kau!” dia berteriak.

“Kau lihat saja dari samping, lihat kepandaiannya toasukomu!” berseru orang yang bergenggaman golok itu, yang dipanggil toasuko atau kakak seperguruan yang tertua. Dia ini menganggap dirinya adalah tertua kaum Rimba Persilatan, sebab ia adalah orang undangan Wanyen Lieh, untuk itu telah mengeluarkan banyak uang, sedang hari ini adalah yang pertama kalinya ia muncul di medan pertempuran. Tentu saja di hadapan ribuan serdadu, ia malu mengaku kalah terhadap adik seperguruannya itu. Memangnya di antara empat saudara seperguruan ini ada perbedaan tabiat atau sikap, masing-masing tidak sudi mengalah.

Kwee ceng memanfaatkan ketika orang bicara, ia tekuk kaki kirinya dan menikam dari bawah ke atas. Itulah gerakan “Kie hong teng kauw” atau “Burung hong bangkit dan ular naga mencelat”. Musuh kaget dan melompat berkelit, tidak urung tangan bajunya yang kiri telah kena tersontek robek.

“Lihat kepandaiannya toasuko!” berseru saudaranya yang memegang tombka itu sambil tertawa.

Waktu itu Temuchin telah dilindungi dengan dikurung oleh Jebe dan lainnya yang belum terluka, sikap garang mereka membuat dua musuh lainnya yang memegang ruyung besi dan sepasang kampak pendek, tidak berani sembarangan maju. Mereka dengar suara jiesuko, saudara yang kedua, maka mereka anggap baiklah menonton kakak mereka yang kesatu. Mereka percaya musuh tidak bakal lolos lagi. Mereka hampiri jiesuko, berdiri berendeng bertiga, menonton pertempuran sang kakak tertua.

Sebelum berkelahi terus, si pemegang golok itu melompat keluar kalangan. “Kau muridnya siapa?!” ia tegur Kwee Ceng. “Kenapa kau datang kemari meantarkan jiwamu?!”

Kwee Ceng lintangi pedangnya, ia bersikap tenang. “Teecu adalah murid Kanglam Cit Koay,” ia menjawab dengan terus terang. “Teecu mohon tanya suwie empunya she dan nama yang besar?” ia terus berbalik menanya empat orang itu. “Suwie” ialah “keempat tuan”.

Orang itu menoleh kepada ketiga saudaranya. Lalu ia berpaling pula, katanya: “Tentang nama kami berempat, taruh kami mengatakannya, kau satu anak kecil tentulah tak dapat mengetahuinya. Lihat golokku!” Ia lantas menyerang.

Kwee Ceng sudah tempur orang, ia merasa orang ini lebih terlatih daripadanya, akan tetapi ia adalah murid tujuh guru, telah banyak pengetahuannya, dan ilmun pedangnya pun sudah dapat mendesak musuh ini, maka itu ia melawan dengan berani, bukan mundur, ia mencoba mendesak terus.

Sebentar saja, tigapuluh jurus telah lewat.

Puluhan ribu serdadu musuh, juga Temuchin semua, berdiam menyaksikan pertempuran itu. Tidak terkecuali adik seperguruannya si toasuko. Ia cemas juga setelah banyak jurus, ia masih belum bisa berbuat apapun. Akhirnya, ia menjadi nekat. Demikian satu kali, dengan bengis ia membacok melintang.

Kwee Ceng lihat pinggangnya terancam tebasan, ia mendahului menikam ke arah lengan musuhnya. Musuh itu menjadi girang melihat lawan tidak berkelit hanya membalas menyerang. Di dalam hatinya ia berkata: “Belum lagi pedangmu tiba, golokku sudah mengenai tubuhmu.” ia menebas terus tanpa membuat perubahan.

Tenang adanya sikap Kwee Ceng, jeli matanya, sebat tangannya. Ia tunggu sampai ujung golok hampir mampir di pedangnya, mendadak ia mengegos sedikit, sedang tangan kanannya menikam terus ke dada lawannya!

Bukan main kagetnya si toasuko. Sambil berteriak, ia lepas dan lemparkan pedangnya, sebagai gantinya, dengan tangan kosong ia sampok pedang si anak muda. Keras sampokan ini, pedang Kwee Ceng terlepas dan jatuh ke tanah. Ia tertolong jiwanya tetapi pedangnya toh mampir juga di tangannya, maka tangan itu bercucuran darah!

“Sayang!” kata Kwee Ceng di dalam hati. Cuma karena kurang pengalaman, ia gagal, sedang sebenarnya, dengan sedikit lebih sebat saja, ia akan dapat tancapkam pedangnya di dada lawannya itu. Selagi musuh lompat mundur, ia jumput golok musuh yang jatuh di dekatnya.

Hampir bersamaan ada angin menyambar di belakangnya.

“Awas!” Jebe teriaki muridnya.

Kwee Ceng dengar pemberian peringatan itu, tanpa membalik tubuh lagi, sambil mendak sedikit, ia mendupak ke belakang. Tepat dupakannya ini, membuat tombak musuh terpental, setelah itu sambil memutar tubuh, ia membacok ke arah lengan musuh. Kali ini ia gunakan bacokan ajaran Lam Hie Jin, yaitu jurus “Burung walet masuk ke sarangnya” dari tipu silat “Lam Sam Too-hoat” – ilmu pedang Lam San.

“Bagus!” seru lawan yang bersenjatakan tombak itu, yang membokong. Setelah berkelit dari bacokan, ia menikam ke dada pula.

Kembali Kwee Ceng bebaskan diri dengan kelitan “Dalam mabuk meloloskan sepatu”, untuk membarengi membalas menyerang, sambil melayangkan kaki kanannya ke bahu musuh.

Penyerang bertombak ini menggunakan waktunya yang baik. Ia lihat Kwee Ceng lihay dengan ilmu pedangnya, setelah pedang orang terlepas, ia membokong. Ia tidak sangka si anak muda luas pengetahuannya dan gesit, tikamannya itu dapat dihalau dan ia ditendang, terpaksa ia menarik pulang serangannya. Tapi ia penasaran, maju lagi, hingga ia melayani musuh muda ini. Ia penasaran sebab ia tahu, dengan tombaknya sudah punya pengalaman dua puluh tahun…………

Kwee Ceng berkelahi sambil matanya melitah dan otaknya bekerja. ia tahu musuh ingin menerbangkan goloknya, bahwa musuh itu ingin memperlekas kemenangannya.

Maka ia melawannya dengan sabar dan hati-hati. Tapi ini bukan berarti ia berlaku kendor. Ia tetap berlaku cepat dan keras, seperti tadi melawan si toasuko, ia mencoba mendesak, guna mempengaruhi musuh. Karena ini ia tampaknya jadi semakin lihay, sehingga ia membuatnya si toasuko heran. Si toasuko ini tadinya menyangka orang hanya lihay dengan pedangnya, tak tahunya, goloknya sama aja.

Lagi beberapa lama, Kwee Ceng dapatkan musuh mulai ayal gerakannya. ia lantas menantikan satu tikaman. Turut kebiasaan, ia mestinya menyampok tombak seraya membarengi membacok. Tiba-tiba ia merasa tenaga musuh berkurang, maka itu, ia batal membacok, ia terus memapas ke sepanjang batang tombak, ke arah jari tangan musuh itu. Celaka kalau musuh itu tidak lepaskan cekalannya.

Musuh itu terkejut, lantas mendahului lompat mundur.

Menghadapi lawan yang menggunakan tombak, Kwee Ceng punya satu keuntungan. ia telah dipertaruhkan akan bertempur sama anaknya Yo Tiat Sim, karena Tiat Sim adalah keturunan kaum keluarga Yo yang terkenal ilmu tombaknya keluarga Yo, yaitu Yo Kee Chio-hoat, maka Lam Hie Jin sengaja ajarkan muridnya ini tipu golok melawan tombak. Kebetulan sekali, sekarang Kwee Ceng ada kesempatan menggunakan ilmu goloknya yang istimewa itu dan ia berhasil. Apa yang tidak disangka, ilmu ini bukan digunakan di Kee-hi hanya di sini.

Setelah dapat merampas tombak musuh, Kwee Ceng lempar goloknya ke bawah gunung. Ia lantas berdiri diam mengawasi keempat musuhnya itu.

Musuh yang keempat, yang paling muda, tidak tahan sabaran, dengan putar kampaknya, ia maju menyerang, mulutnya pun perdengarkan seruan. ia agaknya penasaran mereka kalah dari satu bocah. Karena ia menggunakan senjata pendek, harus berkelahi rapat, baru ia bisa mengenai musuh, demikian pikirnya, dia mencoba merapatkan Kwee Ceng. Tapi pemuda kita, dengan tombaknya, membuat orang kewalahan, sia-sia saja dia itu mencoba berulang-ulang.

Sesudah lewat beberapa jurus, Kwee Ceng menggunakan tipu. Dengan cara biasa, tidak dapat rubuhkan atau melukai musuhnya. Ia berhasil. Musuh tidak menduga jelek, ia mendesak, sambil membentak, ia lompat menubruk, sepasang kampaknya turun dengan berbareng.

Kwee Ceng angkat tombaknya untuk menangkis. Hebat kampaknya itu, gagang tombak kalah dan kena terkampak patah hingga menjadi tiga potong. Disaat kemenangannya itu, musuh hendak mengulangi kampakannya. Diluar dugaan, baru ia kerahkan tenaga, tiba-tiba perutnya merasa sakit. Tanpa ia ketahui, sebelah kaki Kwee Ceng telah melayang ke perutnya, malah ia terdumpak mental. Berbareng ia mental, tangan kirinya membalik, mengampak ke arah kepalanya sendiri.

Melihat bahaya itu, si saudara yang ketiga melompat dengan ruyung besinya, hajar kampak di tangan kiri itu, maka di antara satu suara nyaring, kampak itu terlepas dan terpental, si pemiliknya sendiri jatuh numprah. Syukur untuknya, ia tertolong dari bahaya maut. Tapi ia bertabiat keras, ia gusar dan penasaran, ia lompat bangun untuk merangsak pula, mulutnya berteriak tak henti-henti.

Kwee Ceng tidak punya senjata, ia melawan dengan ilmu silat tangan kosong melawan senjata. Segera ia dikepung oleh musuhnya yang ketiga, yang bersenjatakan ruyung besi itu.

Melihat orang main keroyok, tentara Mongolia di kaki gunung menjadi tidak senang, mereka ribut dengan mencaci maki dua pengeroyok itu. Bangsa Mongolia adalah bangsa yang polos dan memuja orang gagah, maka itu tidak puas mereka menyaksikan empat orang mengepung bergantian kepada satu musuh, apapula satu musuh itu bertangan kosong.

Sampai disitu, Boroul dan Jebe maju untuk membantu Kwee Ceng. Karena majunya mereka berdua, dua musuh lainnya turut maju juga. Berat untuk Jebe berdua, mereka adalah tentara biasa, mereka bukan orang kaum Rimba Persilatan, repot mereka menghadapi musuh-musuhnya yang lihay itu. Lekas juga senjata mereka dirampas musuh.

Kwee Ceng lihat Boroul terancam bahaya, ia melompat kepada toasuheng yang bersenjatakan golok sebatang, untuk menghajar punggungnya, ketika si orang Hwee menebas tangannya, ia segera tarik pulang tangannya itu untuk terus dipakai menyikut si jiesuheng, hingga dengan begitu ia pun dapat menolongi Jebe.

Orang itu rupanya satu pikiran, mereka lantas meluruk anak muda she Kwee ini, mereka tidak menghiraukan lagi Jebe berdua.

Segera juga Kwee Ceng terancam bahaya, karena tidak mempunya senjata, terpaksa ia melawan dengan kelincahannya, main berkelit dengan mengegos tubuh atau berlompatan.

“Ini golok!” teriak Borchu seraya ia melemparkan goloknya.

Disaat Kwee Ceng hendak sambut golok itu, ia diserang oleh musuhnya yang menggenggam ruyung besi hingga golok Borchu kena disampok mental, sedang musuh yang memegang sepasang kampak membarengi mengampak juga. Dia ini sakit hati kena didupak tadi.

Kwee Ceng berkelit dengan berlompat, atau sebatang golok melayang ke arahnya. Ia masih sempat berkelit pula seraya ia angkat kakinya yang kiri untuk menendang musuh yang memegang kampak yang berada paling dekat dengannya. Hanya ketika itu, ia dibarengi musuh yang mencekal ruyung besi, maka tidak ampun lagi, paha kanannya kena dihajar. ia merasakan sangat sakit, matanya pun kabur, hampir ia rubuh pingsan. Syukur untuknya, tulang pahanya itu tidak patah, tetapi gerakannya menjadi lambat, ia lantas kena ditubruk musuh yang bersenjatakan kampak, yang telah melepaskan kampaknya itu. Karena ini, ia roboh bersama-sama musuh itu, yang tak sudi melepaskan pelukannya.

Kwee Ceng insyaf ia berada dalam bahaya, sekejab itu ia ingat ibunya, tujuh gurunya, Tuli dan Gochin, lalu semangatnya bangun, maka ia jambak dada musuh, dengan kerahkan semua tenaganya, ia angkat tubuh orang ke atasan tubuhnya sendiri, dengan begitu ia pakai musuh sebagai tameng.

Benar saja ketiga musuh lainnya berhenti menyerang karena mereka khawatir mencelakai kawan sendiri.

Kwee Ceng tetap bertahan secara demikian, hanya sekarang ia ubah caranya mencekal. dengan sebelah tangan ia memencet nadi musuh, untuk membikin dia itu tak dapat bergerak, dengan tangan yang lainnya, ia mencekik tenggorokan. Ia tidak pedulikan orang menendangi pundak atau kakinya. ia berpikir “Biar aku mati, asal aku pun telah membunuh seorang musuh!”

Jebe berdua yang tadi telah terpukul mundur, maju pula untuk membantu kawannya.

“Kamu pegat mereka, nanti aku bunuh ini bocah haram!” kata si suheng yang memegang golok sebatang kepada dua saudaranya, habis mana ia terus bekerja.

Kwee Ceng kaget, ia merasakan sakit pada pundaknya, terpaksa ia menggulingkan tubuh sekitar dua tombak, habis mana ia lompat bangun, untuk berdiri. Musuhnya yang ia cekik, telah rebah diam karena pingsan. Baru ia berdiri dengan niat melawan musuh, akan tetapi kaki kanannya sangat sakit, sekali lagi ia roboh.

Musuh sudah lantas tiba. Dalam keadaan sangat berbahaya itu, Kwee Ceng ingat ia ada punya joan¬pian atau cambuk lemas pembela dirinya, cepat ia lepaskan dari pinggangnya, lalu dengan menggulingkan tubuh, ia menangkis, kemudian selanjutnya, ia melakukan perlawanan dengan terus main bergulingan dengan ilmu silatnya “Kim Liong Pian-hoat” atau “Ilmu cambuk lemas naga emas”

Musuh yang pingsan telah sadar, ia ingin membalas sakit hatinya, ia lompat bangun, untuk membantu saudaranya. Tak lama, mereka pun dibantu oleh dua saudara yang lain, yang telah berhasil memukul mundur Jebe berdua. Kwee Ceng kembali dikepung berempat.

Selagi Kwee Ceng terancam bahaya, di bawah bukit, pasukan tentara kacau sendirinya, lalu tampak enam orang bergerak dengan lincah mengacau barisan itu, terus mereka berenam lari naik ke atas gunung.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar