Sabtu, 05 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 025

Saat itu terdengar suara Ma Giok. “Pinto bukan hendak menangi lain orang dengan merendahkan diri sendiri, sebenarnya Bwee Tiauw Hong itu telah jadi sangat lihay. Dia sekarang telah dapat mewariskan kepandaiannya Tocu Oey Yok Su dari Tho Hoa To, Tanghay. ilmunya Kiu Im Pek-kut Jiauw sudah terlatih sempurna, sedang cambuknya luar biasa. Kalau kita bekerjasama berdelapan, kita tidak bakal kalah, tetapi untuk singkirkan dia, jangan harap malah mungkin bakal rugi sendiri…”

“Habis apa sakit hatinya ngoko dan toako mesti dibiarkan tak terbalas?” kata Siauw Eng yang selalu ingat Thio A Seng.

“Sejak dahulu kala, permusuhan harus dilenyapkan, jangan diperhebat,” Ma Giok bilang. “Tuan-tuan telah binasakan suaminya, bukankah berarti sakit hati itu telah terbalas? Dia sebatang kara, dia pun buta matanya, dia harus dikasihani.”

Liok Koay berdiam. “Dia melatih diri secara hebat, setiap tahun ia telah bunuh berapa banyak orang yang tidak berdosa,” kata Po Kie kemudian, “Maka itu totiang, dapatkah kau membiarkannya saja?”

“Sekarang dia mencari kami, bukan kami yang mencari dia,” Cu Cong berkata pula.

“Taruh sekarang kita menyingkir dari dia,” Coan Kim Hoat menyambung, “Kalau benar dia hendak menuntut balas, untuk selanjutnya tak dapat kita tidak berjaga-jaga. Ini sulit!”

“Untuk itu pinto telah dapat pikir suatu jalan untuk menghindarkannya,” berkata Ma Giok. “Jalan ini sempurna, asal tuan-tuan suka berlaku murah dan suka mengasihani dia untul membuka satu jalan baru untuknya.”

Cu Cong semua berdiam, mereka awasi kakak mereka, untuk dengar putusan si kakak.

“Kami Kanglam Cit Koay biasa sembrono, kami Cuma gemar berkelahi,” kata Tin Ok kemudian. “Kalau totiang sudi menunjuki suatu jalan terang, kami pasti akan bersyukur. Silahkan totiang bicara.”

Tin Ok mengerti, imam ini bukan melulu memintakan ampun untuk Bwee Tiauw Hong, akan tetapi mencoba melindungi mereka juga. Selama sepuluh tahun ini, entah bagaimana kemajuan si Mayat Besi. Suara kakaknya ini membikin heran saudara-saudaranya yang lain.

“Kwa tayhiap berhati mulia, Thian tentu akan memberkahi,” kata Ma Giok seraya mengangguk. “Satu hal hendak pinto memberitahukannya. Turut pikiranku, selama sepuluh tahun ini, mungkin sekali Bwee Tiauw Hong telah dapat pengajaran baru dari Oey Yok Su….

Cu Cong semua terkejut. “Hek Hong Siang Sat adalah murid-murid murtad dari Oey Yok Yu, cara bagaimana dia dapat ajarakan pula ilmu?” ia tanya.

“Itulah memang benar,” berkata Ma Giok, “Hanya setelah mendengar Kwa tayhiap berusan perihal pertempuran pada belasan tahun yang sudah lalu itu, pinto dapat menyatakan kepandaiannya Bwee Tiauw Hong telah maju pesat seklai, tanpa dapat penunjuk dari guru yang lihay, dengan belajar sendiri, tidak nanti ia dapat peroleh itu. Umpama kata sekarang kita dapat singkirkan Bwee Tiauw Hong, kemudian Oey Yok Su mendapat tahu, bagaimana nanti…?”

Tin Ok semua berdiam. Mereka pernah mendengar perihal kepandaian Oey Yok Su itu, mereka masih kurang percaya sepenuhnya. Mereka menyangka orang bicara secara dilebih-lebihkan. tapi aneh kenapa Ma Giok ini nampaknya jeri kepada pemilik pulau Tho Hoa To itu?

“Totiang benar,” Cu Cong berkata kemudian. “Silahkan totiang beri petunjuk kepada kami.”

“Pinto harap tuan-tuan tidak menertawainya,” Ma Giok minta.

“Harap totiang tidak terlalu merendah,” kata Cu Cong. “Ada siapakah yang tidak menghormati Cit Cu?” “Cit Cu” dimaksudkan tujuh persaudaraan Tiang Cun Cu.

“Bersyukur kepada guru kami, memang Cit Cu ini ada juga nama kosongnya di dalam dunia kangouw,” kata Ma Giok. “Pinto percaya, terhadap kami dari Coan Cin Kauw, mungkin Bwee Tiauw Hong tidak berani lancang turun tangan. Karena ini juga, pinto hendak menggunakan akal untuk membikin ia kabur…” Lantas imam itu tuturkan tipu muslihatnya.

Sebenarnya Tin Ok tidak sudi mengalah, tetapi untuk memberi muka kepada Ma Giok, terpaksa mereka menurut. Maka itu, habis bersantap, mereka sama-sama mandaki jurang. Ma Giok dan Kwee Ceng yang jalan di muka, Tin Ok berenam jalan di belakang Kwee Ceng, murid mereka. Mereka dapat lihat cara naiknya ma Giok. Mereka percaya, imam ini tidak ada di sebawahannya Khu Cie Kee, Cuma tabiatnya saja kedua saudara seperguruan berbeda.

Setibanya Ma Giok dan Kwee Ceng di atas, mereka lantas kasih turun dadung mereka, untuk membantu menggerek naik Kanglam Liok Koay.

Sesampai di atas, enam saudara itu segera dapat melihat tumpukan tengkorak Bwee Tiauw Hong. Sekarang baru mereka percaya.

Lantas semua orang duduk bersamedhi, sambil beristirahat, mereka menantikan sang sore. Dengan lewatnya sang waktu, cuaca mulai menjadi guram, lalu perlahan-lahan menjadi gelap. Masih mereka menantikan, hingga tibanya tengah malam.

“Eh, mengapa dia masih belum datang?” tanya Po Kie, mulai habis sabarnya.

“Ssstt! Dia datang…!” kata Tin Ok.

Semua orang berdiam, hati mereka berdenyut. Kesunyian yang mencekam di atas jurang itu.

Sebenarnya Tiauw Hong masih jauh tetapi kuping lihay dari Tin Ok sudah mendengarnya.

Sungguh gesit si Mayat Besi ini. Dia muncul dalam rupa seperti segumpal asap hitam. Dia terlihat nyata di bawah sinar rembulan. Setibanya di kaki jurang, ia lantas mulai mendaki. Ia seperti tidak menggunakan kaki, Cuma kedua tangannya. Dia seperti naik di tangga saja.

Cu Cong semua mejadi kagum. Kapan Cu Cong berpaling pada Coan kim Hoat dan Han Siauw Eng, wajah mereka nampak tegang. Ia percaya, wajahnya sendiri tentu begitu juga.

Tiauw Hong tiba di atas. Di bebokongnya ia menggendol satu orang, yang lemas, entah mayat atau orang hidup.

Kwee Ceng terkejut kekita melihat pakaian orang itu, kulit burung tiauw yang putih. Itulah Gochin Baki, putrinya Temuchin, kawan kesayangannya. Tak dapat dicegah lagi, mulutnya bergerak, suaranya terdengar. tapi disaat itu juga, Cu Cong bekap mulutnya, seraya guru yang kedua ini berkata terus: “Kalau Bwee Tiauw Hong, si wanita siluman itu terjatuh ke dalam tanganku, - aku Khu Cie Kee – pasti aku tidak akan mau sudah saja!”

Tiauw Hong dengar seruan kaget dan suara Kwee Ceng, ia heran, sekarang ia dengar suara orang bicara dan menyebut-nyebut Khu Cie Kee dan namanya juga, ia menjadi lebih kaget. Ia lantas saja bersembunyi di samping batu untuk memasang telinga.




Ma Giok semua melihat tingkah laku si Mayat Besi ini, di dalam hati mereka tertawa. Cuma Kwee Ceng yang hatinya tergoncang, memikirkan keselamatan Gochin.

“Bwee Tiauw Hong mengatur tulang-tulang di sini, sebentar lagi bakal datang,” kata Han Po Kie. “Kita tunggu saja.”

Tiauw Hong sembunyi tanpa berani berkutik. Ia tidak tahu ada berapa orang lihay yang bersembunyi di situ. “Dia memang banyak kejahatannya,” ia dengar suaranya Han Siauw Eng, “Tapi karena Coan Cit Kauw mengutamakan wales asih, baiklah ia diberi jalan baru….”

Cu Cong tertawa. “Ceng Ceng San-jin sangat murah hati, pantas suhu pernah bilang kau gampang untuk mencapai kesempurnaan!” katanya. Siauw Eng juga bicara sebagai juga ia adalah Ceng Ceng San-jin.

Kauwcu Ong Tiong Yang punya tujuh murid yang mendapat nama baik, tentang mereka itu, tidak seorang juga kaum kangouw yang tidak mengetahuinya. Murid kepala, si toa-suheng, Tan-yang-cu Ma Giok. Yang kedua adalah Tiang-cin¬cu Tam Cie Toan, yang ketiga Tiang-sen-cu Lauw Cie Hian. Yang keempat ialah Tang Cun Cu Khu Cie Kee, yang kelima Giok-yang-cu Ong Cie It. Yang keenam Kong-leng-cu Cek Tay Thong. Dan yang terakhir adalah Ceng Ceng San-jin Sun Put Jie, istrinya Ma Giok sebelum Ma Giok sucikan diri.

“Tam Suko, bagaimana pikiranmu?” tanya Siauw Eng. Ia tanya Hie Jin, yang disini menyamar sebagai Tam Cie Toan.

“Dia berdosa tak terampunkan!” sahut Hie Jin sebagai Cie Toan.

“Tam Suko,” berkata Cu Cong, “Selama ini kau maju pesat dalam ilmu Cie-pit-kang, kalau si siluman perempuan datang, kau yang turun tangan, supaya kami yang menjadi saudara-saudaramu dapat membuka mata kami. Akur?”

Hie in sengaja menyahut: “Lebih baik minta Ong Sutee yang punya kaki besinya, antarkan dia pergi ke sorga di Barat…”

Dalam Coan Cin Cit Cu, Khu Cie Kee yang namanya paling tersohor, yang kedua adalah Ong Cie It, yang mendapat julukan Thie Kak Sian si Dewa Kaki Besi, karena lihay tendangannya dan pernah ia bertaruh mendaki jurang yang tinggi hingga ia dapat menaklukkan beberapa puluh orang gagah di Utara. Sembilan tahun ia mengeram di dalam gua, untuk menyakinkan kekuatan kakinya. Cie Kee sendiri memujinya.

Demikian mereka ini berbicara, seperti sandiwara. Cuma Tin Ok yang bungkam, karena ia khawatir suaranya dikenali Bwee Tiauw Hong. Pembicaraan itu membikin gentar si Mayat Besi, hingga ia berpikir: “Coan Cin Cit Cu telah berkumpul semua, kepandaian mereka juga maju pesat, kalau aku terlihat mereka, mana bisa aku hidup lebih lama?”

Cu Cong berkata pula: “Malam ini gelap sekali sampai lima jari tangan sukar terlihat, kalau kita turun tangan, baik semua berlaku hati-hati. Kita mesti mencegah si siluman perempuan itu meloloskan diri!”

Girang Tiauw Hong mendengar itu. “Syukur langit gelap,” katanya dalam hati. “Kalau tidak, dengan mata mereka yang lihay, mereka tentu dapat melihat aku. Berterima kasih kepada Langit dan Bumi sang rembulan tidak muncul!”

Kwee ceng sendiri mengawasi Gochin, perlahan-¬lahan si nona membuka matanya. Ia menjadi lega hatinya. Itu tandanya jiwa si nona tidak dalam bahaya. ia lantas menggoyang tangan, untuk mencegah si nona itu berbicara. Tapi Si nona tidak mengerti. “Engko Ceng lekas tolong aku!” ia berteriak.

Kwee Ceng menjadi sangat bingung. “Jangan bicara!” katanya. Tapi dia toh bicara dengan suara keras!

Kagetnya Tiauw Hong tidak kalah dengan kagetnya si anak muda. Segera ia totok urat gagu si tuan putri itu. Ia lalu menjadi heran dan curiga.

“Cie Peng, apakah kau yang barusan bicara?” tanya Coan Kim kepada muridnya, yang disamarkan sebagai In Cie Peng.

Kwee Ceng tahu peranannya. “Barusan teecu seperti dengar suara wanita,” ia menyahut.

Tiba-tiba Tiauw Hong teringat sesuatu. “Coan Cin Cit Cu ada disini semua? Benarkah begini kebetulan? Bukankah orang lagi menghina aku karena buta dan sengaja mereka mengatur sandiwara?” ia mulai gerakkan tubuhnya.

Ma Giok kasih lihat gerakan si Mayat Besi itu, mengertilah ia bahwa orang mulai curiga. Ia menjadi berkhawatir. Kalau terjadi pertempuran, pihaknya tak usah takut, Cuma dikhawatirkan keselamatan Kwee Ceng dan Gochin. Dipihak Liok Koay juga mungkin bakal ada yang celaka.

Cu Cong mengawasi gerak-geriknya Bwee Tiauw Hong, ia lihat bahaya mengancam, segera ia berkata dengan nyaring: “Toa suko, bagaimana dengan meyakinkan pelajaran yang suhu ajarkan beberapa tahun ini, Kim-kwan Giok-cauw ie-sie Koat? Pastilah kau telah memperoleh kemajuan. Coba kau tunjukkan pada kami.”

Ma Giok tahu Cu Cong ingin perlihatkan kepandaiannya guna menaklukkan Bwe Tiauw Hong, ia lantas menjawab: “Sebenarnya walaupun aku menjadi saudara yang tertua, lantaran aku bebal, tak dapat aku lawan kau, saudara-saudaraku. Apa yang aku dapat dari guru kita, dalam sepuluh tahun tidak ada dua….

Imam ini bicara secara merendah akan tetapi ia gunakan tenaga dalamnya, sehingga suaranya nyaring luar biasa, terdengar sampai jauh, berkumandang di dalam lembah.

Bwee Tiauw Hong mengkerat mendengar suara orang itu. Perlahan-lahan ia kembali ke tempat sembunyinya.

Ma Giok lihat kelakuan orang, ia berkata pula: “Kabarnya Bwee Tiauw Hong telah buta kedua matanya, kalau benar, ia harus dikasihani juga, seandainya ia menyesal dan suka mengubah kesalahannya yang dulu-dulu dan tidak tidak lagi mencelakai orang-orang yang tidak bersalah serta tidak akan mengganggu pula kepada Kanglam Liok Koay, baiklah kita beri ampun kepadanya. Khu Sutee, kau bersahabat erat dengan Kanglam Liok Koay, pergi kau menemui mereka, untuk mohon mereka jangan membuat perhitungan pula dengan dia. Aku pikir, kedua pihak baiklah menyudahi urusan mereka.”

“Itu perkara gampang,” sahut Cu Cong. “Penyelesaiannya berada di pihak Bwee Tiauw Hong sendiri, asal dia suka mengubah perbuatannya….”

Tiba-tiba terdengar suara dingin dari belakang batu: “Terima kasih untuk kebaikan Coan Cin Cit Cu! Aku, Bwee Tiauw Hong ada di sini!”

Semua orang terperanjat sangking herannya. Mereka duga Tiauw Hong jeri dan bakal menyingkirkan diri secara diam-diam, tidak tahunya dia bernyali besar, dia malah menghampiri mereka.

Tiauw Hong berkata pula: “Aku adalah seorang wanita, tidak berani aku memohon pengajaran dari totiang semua, tapi telah lama aku dengar ilmu silat Ceng Ceng San-jin, ingin aku mohon pengajaran…” Habis berkata, ia berdiri, siap sedia dengan cambuknya yang panjang itu.

Kwee Ceng lihat Gochin rebah di tanah, tubuhnya diam saja, ia khawatir. Memang persahabatannya erat sekali dengan putri serta Tuli. Maka sekarang, tanpa pedulikan lihaynya Bwee Tiauw Hong, ia melompat kepada kawannya itu, untuk mengasih bangun padanya. Tahu-tahu tangan kirinya si Mayat Besi sudah lantas menyambar dan mencekal tangan kirinya. Tentu saja, ia tinggal diam. Di satu pihak ia lemparkan tubuh Gochin kepada Siauw Eng, dilain pihak ia gerakkan tangan kirinya, untuk berkelit. Ia dapat lolos. Tapi Tiauw Hong benar-benar lihay, ia menyambar pula, kali ini ia memegang nadi orang, maka anak muda itu menjadi mati kutu. “Siapa kau?” tanya si buta.

Cu Cong memberi tanda dengan tangan kepada muridnya itu, atas mana Kwee Ceng segera memberikan penyahutan: “Teecu adalah In Cie Peng, murid dari Tiang Cun Cin-jin.”

Tiauw Hong segera berpikir: “Muridnya begini muda tetapi tenaga dalamnya sudah bagus sekali, ia dapat meloloskan diri dari tanganku. Baiklah aku menyingkir dari mereka…” Dengan perdengarkan suara, “Hm!” ia lepaskan cekalannya.

Kwee Ceng lantas lari menjauhkan diri, apabila ia lihat tangannya, di situ ada petahan lima jari tangan, dagingnya melesak ke dalam. Coba si Mayat Besi tidak jeri, mungkin tangannya itu sudah tidak dapat ditolong lagi….

Oleh karena ini, Tiauw Hong pun tidak berani mengulang tantangannya untuk mencoba menempur Sun Put Jie. Tapi ia ingat sesuatu, maka ia tanya Ma Giok: “Ma totiang, timah dan air perak disimpan denagn hati-hati, apakah artinya itu?”

Ma Giok menyahut “Timah itu sifatnya berat, diumpamakan dengan rasa hati. Itu artinya, rasa hati harus dikendalikan, dengan berdiam, peryakinan berhasil.”

Tiauw Hong tanya pula: “Nona muda dan anak muda, apakah artinya itu?”

Pertanyaan itu membuat Ma Giok terkejut. Itu bukanlah pertanyaan biasa. Kata-kata itu istilah dalam kalangan agama To Kauw. Maka ia lantas membentak: “Silumanm, kau hendak mendapatkan pelajaran sejati? Lekas pergi!”

Tiauw Hong tertawa lebar. “Terima kasih atas petunjukmu, totiang!” katanya. Terus ia berlompat, cambuknya digerakkan melilit batu, ia menarik dan tubuhnya mencelat, ia melompat ke arah jurang, gerakannya sangat enteng dan pesat, hingga semua orang merasa kagum.

Di lain pihak, orang berlega hati melihat perginya wanita bagaikan siluman itu. Ma Giok segera totok sadar Gochin yang diletakkan di atas batu untuk beristirahat.

“Sepuluh tahun ia tak tampak, tidak disangka si Mayat Besi telah jadi begini lihay,” berkata Cu Cong. “Coba totiang tidak membantu kami, sudah tentu kami sukar lolos dari nasib celaka.”

“Jangan begitu,” berkata Ma Giok, yang keningnya berkerut, suatu tanda bahwa ia ada mendukakan apa-apa.

“Totiang, apabila kau memerlukan sesuatu, walupun kami tidak punya guna, kami bersedia untuk menerima titah-titahmu,” Cu Cong tawarkan diri. Ia lihat imam itu berduka. “Harap totiang jangan segan-segan menitah kami.”

“Oleh karena kurang pikir, sejenak barusan pinto telah kena tipu wanita yang sangat licin itu,” kata si imam setelah menghela napas panjang.

Cu Cong semua terkejut. “Adakah totiang dilukai senjata rahasia?” mereka tanya.

“Bukan,” sahut imam itu. “Hanya tadi ketika ia tanya padaku, tanpa berpikir lagi, pinto telah menjawab. Pinto khawatir jawaban itu nanti menjadi bahaya di belakang hari…”

Cu Cong semua memperhatikan, mereka tidak mengerti.

“Ilmunya si Mayat Besi ini, Gwa¬mui atau ilmu luar, telah berada di atas pinto dan saudara-saudara,” sahut si imam kemudian, “Walaupun Khu Sutee dan Ong Sutee berada di sini, belum tentu kita dapat menang. Hanya dalam Iweekang, atau ilmu dalam, dia belum menemui jalannya yang benar. Setahu darimana, dia rupanya telah dapat cari jalan itu, hanya karena tidak ada orang yang tunjuki, dia belum berhasil menyakinkannya. Tadi ia menanyakan jalan itu kepada pinto. Mestinya itu adalah jalan yang ia belum dapat tangkap artinya. Benar pinto telah baru menjawab sekali, akan tetapi itu satu juga bisa membantu banyak padanya untuk ia peroleh kemajuan…”

“Harap saja ia insyaf dan tidak nanti melakukan pula kejahatan,” kata Siauw Eng separuh menghibur.

“Harap saja begitu. Kalau dia tambah lihay dan tetap ia berbuat jahat, jadi lebih sukar untuk ditaklukkan. Ah, dasar aku yang semberono, aku tidak curiga….!”

Selagi Ma Giok mengatakan demikian, Gochin perdengarkan suara, lalu ia sadar. Terus ia angkat tubuhnya, duduk di atas batu. Ia rupanya sadar seluruhnya, karena ia lantas berkata kepada Kwee Ceng: “Engko Ceng, ayahku tidak percaya keteranganku, ayah sudah ajak orang pergi ke Wang Khan…”

Kwee Ceng kaget. “Kenapa Khan tidak percaya kepadamu?” ia tanya.

“Ketika aku beritahukan bahwa kedua paman Sangum dan Jamukha hendak membikin ayah celaka, ayah tertawa terbahak-bahak. Ayah bilang, lantaran aku tidak sudi menikah denagn Tusaga, aku jadi hendak memperdayainya. Aku telah jelaskan bahwa hal itu kau dengar dengan kupingmu sendiri, ayah malah jadi semakin tidak percaya. Ayah bilang, sepulangnya nanti, ia hendak menghukum kamu. Ayah pergi dengan mengajak ketiga kakakku serta belasan pengiring. Karena itu aku segera berangkat untuk mencarimu, tetapi di tengah jalan aku dibekuk perempuan buta itu. Adakah dia yang membawa aku menemuimu?”

Putri ini tak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, maka itu Cu Cong dan yang lainnya kata dalam hati mereka: “Coba tidak ada kita disini, tentulah batok kepalamu sudah berlobang lima jari tangan…”

“Sudah berapa lama Khan pergi?” tanya Kwee Ceng yang hatinya cemas.

“Sudah sekian lama,” sahut Gochin. “Mereka menunggang kuda pilihan. Tidak lama lagi tentulah mereka akan sampai di tempat Wang Khan. Engko Ceng, Sangum dan Jamukha bakal mencelakai ayah, bagaimana sekarang?” Lantas saja ia menangis.

Kwee Ceng menjadi bingung. Inilah pertama kali ia menghadapi persoalan sulit.

“Anak Ceng lekas kau pergi!” kata Cu Cong. “Kau pakai kuda merahmu itu untuk menyusul Khan yang agung! Biarpun ia tidak mempercayaimu, seharusnya mengirim orang mencari keterangan terlebih dahulu. Dan kau, tuan putri, lekas kau pergi kepada kakakmu Tuli, untuk minta ia lekas siapkan tentara guna segera pergi menyusul dan menolongi ayahmu!”

Kwee Ceng menginsyafi keadaan, tanpa ayal lagi, ia mendahului turun dari atas jurang, sedang Ma Giok dengan mengikat tubuh Gochin, telah turunkan tuan putri itu.

Setibanya di lembah. Kwee Ceng kabur ke kemah di mana ia ambil kudanya, guna dikasih lari sekeras-kerasnya. Ia khawatir Temuchin keburu sampai di tempat Wang Khan dan itu artinya bahaya untuk Khan yang maha agung itu. Di lain pihak ia menjadi girang sekali, ia puas benar dengan kuda yang larinya sangat pesat, apapula di tanah rata. Pernah ia mencoba menahan, untuk berjalan perlahan-lahan, ia khawatir hewan itu terlalu letih, tetapi si kuda tidak mau berhenti, terus lari, nampaknya ia tidak takut capek.

Selang dua jam, baru kuda itu mau juga diistirahatkan sebentar, habis itu, ia kabur lagi. Sesudah lari lagi satu jam, tibalah Kwee Ceng di tempat datar dimana kedapatan tiga baris tentera yang jumlahnya mungkin tiga ribu jiwa. Dari benderanya ketahuan, itulah pasukan Wang Khan, yang siap sedia dengan panah dan golok terhunus.

Di dalam hati Kwee Ceng mengeluh. Terang Temuchin telah lewat di situ, dan itu berarti, jalan pulang dari Khan agung itu telah terpegat. Karena ini, ia keprak kudanya untuk kasih lari lewat tentara itu. Ketika si opsir dapat ketahui dan berseru, untuk mencegah, ia sudah lewat jauh!

Di tengah jalan Kwee Ceng tidak berani berlambat, malah tiga penjagaan telah ia lewati. Maka itu kemudian ia sudah mulai dapat melihat bendera yang besar dari Temuchin. Setelah ia mendatangi lebih dekat, tampak rombongan dari belasan orang yang tengah maju terus, keprak kudanya, untuk tiba di samping khan.

“Kha Khan, lekas kembali!” ia berteriak. “Jangan pergi lebih jauh!”

Temuchin heran, ia tahan kudanya, “Ada apa?” ia menanya.

“Ada bahaya,” sahut Kwee Ceng, yang terus tuturkan persekutuannya Wanyen Lieh. Ia pun beritahukan perihal tentera pencegat di belakang mereka.

Dengan roman bersangsi, Temuchin awasi bocah tanggung ini. Ia pun berpikir: “Memang Sangum tidak akur dengan aku, tetapi ayah angkatku, Wang Khan, tengah mengandali tenagaku. Saudaraku Jamukha sangat baik, kita sehidup semati, apa mungkin ia hendak mencelaki aku?”

Kwee Ceng tahu khan itu bersangsi, ia berkata “Kha Khan, cobalah kirim orang untuk periksa benar atau tidak ada tentara pencegat jalan!”

Biar bagaimana, Temuchin adalah seorang yang teliti. Ia pun berpendirian, “Lebih baik terpedaya satu kali tetapi jangan mati konyol!” Maka ia terus berpaling pada Ogotai, putranya yang kedua itu dan Chilaun, panglimanya, untuk mengatakan: “Lekas kamu pergi menyelediki!”

Dua orang itu sudah lantas lari balik.

Temuchin memandang ke sekelilingnya. “Naik ke bukit itu!” Ia kasih perintah. “Siap sedia!”

Dalam keadaan seperti itu, khan ini tidak jeri. Ia pun ada bersama orang-orangnya yang gagah, malah mereka ini tahu tugasnya, begitu naik ke atas bukit, mereka lantas menggali lobang dan memindahkan batu, buat berjaga-jaga diri dari serangan anak panah.

Tak lama dari selatan terlihat debu mengepul naik, disusul sama munculnya satu pasukan tentara terdiri dari beberapa ribu jiwa. Paling depan pasukan itu terlihat Ogotai dan Chilaun lari kabur mendatangi.

Jebe sangat awas, ia melihat tentara itu tengah mengejar. “Benar-benar pasukannya Wang Khan!” ia berseru.

Segera terlihat pula, pasukan pengejar itu memecah diri dalam jumlah ratusan jiwa, mereka ambil sikap mengurung, memegat Ogotai dan Chilaun, siapa sudah lari terus, tubuhnya mendekam di punggung kuda, cambuknya dipecut berulang-ulang.

“Anak Ceng, mari kita sambut mereka!” Jebe berteriak. Dan ia keprak kudanya, diturut oleh muridnya.

Hebat lari kudanya kwee Ceng, mendahului gurunya, ia tiba lebih dahulu kepada Ogotai dan Chilaun, terus ia gunakan panah, tiga anak panahnya melesat, tiga pengejar terdepan rubuh dari kuda mereka. Cepat luar biasa, ia menyusul dengan anak panahnya yang keempat.

Jebe lebih lihay daripada muridnya ini, ia turut memanah berulang-ulang, sejumlah serdadu musuh rubuh terguling. Akan tetapi musuh berjumlah besar, mereka maju bagaikan gelombang!

Ogotai dan Chilaun telah tahan kuda mereka dan berbalik, mereka sekarang turut menyerang dengan panah mereka, sembari menyerang mereka mundur ke bukit dimana Temuchin menanti. Di sini khan itu bersama Borchu, Juji dan lainnya, sudah lantas memanah juga. Panah mereka tidak pernah gagal, dengan begitu pihak pengejar dapat tertahan.

Temuchin naik ke tempat yang lebih tinggi, memandang jauh ke empat penjuru. Ia menyaksikan tentara Wang Khan tengah mendatangi dari empat jurusan. Kemudian dalam sebuah pasukan ia melihat seorang yang menunggang seekor kuda yang besar, yang ditawungi bendera kuning yang besar juga. Orang itu Sangum, putranya Wang Khan. Ia lantas saja berpikir. Ia anggap ia mesti menang waktu, dengan memperlambat segalanya. Sendirian saja, sukar ia menerobos kurungan, Tuli sendiri belum tentu tepat datangnya, karena ada kemungkinan tentaranya tak mau dengar putra yang masih muda itu.

“Adik Sangum, aku minta kau datang ke mari untuk bicara!” ia teriaki saudara angkatnya.

Dengan diiringi pasukan pengawal, Sangum mendekati bukit. Beberapa puluh tentara lain pun melindunginya, siap sedia tameng besi mereka guna menangkis panah gelap. Ia berlaku jumawa. Ketika ia buka mulutnya, ia pun nyata sekali kepuasannya. “Temuchin, lekas menyerah!” demikian ia berteriak.

Temuchin tidak menyahuti, ia hanya menanya: “Apakah salahku terhadap ayahku Wang Khan, maka kau bawa pasukanmu untuk menyerang aku?”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar