Sabtu, 05 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 024

Di samping batu besar ada teratur sembilan buah tengkorak putih, di bawah lima, di tengah tiga di atas satu, tepat dengan pengaturan Hek Hong Siang Sat dahulu. Semua tengkorak itu pun ada lubangnya, bekas totokan jari tangan, seperti terkorak kena pisau tajam. Di pinggiran lubang itu ada tanda hitam, diperkirakan sisa racun.

Keduanya kebat-kebit hatinya. Yang aneh, di situ tak ada orang, entah kemana perginya Kwee Ceng serta orang yang dikatakan gurunya. Maka lekas-lekas mereka turun pula, hati mereka tegang dan cemas.

Po Kie semua heran, mereka lantas tanya ada apa dan kenapa dengan kedua saudara itu.

“Bwee Tiauw Hong!” sahut Cu Cong, masih tegang hatinya.

Empat saudara itu terperanjat.

“Anak Ceng?” tanya Siauw Eng.

“Entahlah,” sahut Kim Hoat, “Mungkin mereka turun dari sebelah…” Ia lalu menjelaskan apa yang mereka lihat di atas sana.

“Belasan tahun cape lelah kita, siapa tahu, kita memelihara harimau untuk meninggalkan bahaya di kemudian hari,” kata Tin Ok masgul.

“Anak Ceng jujur dan polos, dia bukan manusia yang tak berbudi,” kata Siauw Eng, sangsi.

“Habis kenapa ia ikuti si siluman itu selama dua tahun dan ia menutup mulut terus?” tanya Tin Ok.

“Apakah toako mau artikan si perempuan siluman buta itu hendak pinjam tangan anak ceng untuk mencelakai kita?” tanya Po Kie.

“Mestinya begitu,” sahut Cu Cong, yang akur sama kakaknya.

“Taruh kata anak Ceng mengandung maksud tidak baik, dia dapat berpura-rupa sedemikian rupa,” Siauw Eng tetap bersangsi.

“Mungkin siluman perempuan itu anggap waktunya belum tiba dan dia belum menjelaskan sesuatu kenapa anak ceng…” Kim Hoat pun mengutarakan dugaannya.

“Tubuh anak Ceng sudah cukup enteng, Iweekangnya sudah punya dasar, tetapi ilmu silatnya masih kalah jauh dengan kita, kenapa si perempuan siluman itu tidak ajarkan dia ilmu silat?” tanya Po Kie. ia pun heran.

“Perempuan siluman itu hendak pakai tangannya si Ceng, mana dia begitu baik hati hendak menurunkan kepandaiannya?” kata Tin Ok. “Bukankah suaminya terbinasa di tangannya si Ceng?”

Semua orang berdiam, mereka menggigil dengan sendirinya. Hebat ancaman bahaya yang mereka khawatirkan itu.

Tin Ok menghajar tanah dengan tongkatnya.

“Sekarang mari kita pulang!” ia mengajak. “Kita berpura-pura tidak tahu, kita tunggu si Ceng datang pada kita, lalu tiba-tiba kita hajar dia hingga cacat. Biar pun ia lihay, mustahil kita berenam kalah…”

Siauw Eng kaget, “Anak Ceng hendak dibikin cacat?!” serunya. “Habis bagaimana dengan janji pibu?”

“Lebih penting nyawa kita atau pibu itu?” tanya Tin Ok.

Si nona berdiam begitupun yang lainnya.

“Tidak bisa!” seru Hie Jin kemudian.

“Tidak bisa apa?” tanya Po Kie.

“Dia tak dapat dibikin cacat!” jawab Hie Jin.

“Tidak dapat?” Po Kie tegaskan pula.

Hie Jin mengangguk.

“Aku setuju sama sie-ko,” bilang Siauw Eng. “Lebih dulu kita mesti mencari kepastian, baru kita pikir pula.”

“Tapi urusan ini sangat penting. “ Cu Cong peringati, “Kalau kita salah tindak karena kita merasa kasihan terhadapnya, tak dapat diduga bagaimana hebatnya bencana yang bakalan terjadi. Bagaimana kalau tindakan kita bocor?”

“Memang inilah berbahaya,” kata Kim Hoat.

“Samtee, bagaimana kau?” tanya Tin Ok.

Po Kie bersangsi, akan tetapi kapan ia saksikan air mata adiknya, ia lantas tetapkan hatinya. “Aku di pihak sietee,” jawabnya.

Dari enam bersaudara itu, tiga setuju Kwee Ceng dibikin cacad dan tiga tidak, maka akhirnya, Cu Cong menghela napas. “Coba ngotee ada di sini, kita pasti akan memperoleh putusan, salah satu pihak tentulah lebih satu suara.”

Mendengar disebut-sebutnya A Seng, berhneti mengucur air mata Siauw Eng. Ia kata: “Sakit hati ngoko mana dapat tidak dibalaskan! Toako, kami dengar titahmu!”

“Baiklah!” kata toako itu. “Mari kita pulang dulu!”




Di dalam kemah, mereka masih ragu-¬ragu, hati mereka tidak tenang. Maka Tin Ok bilang: “Kalau benar ia datang, jietee sama lioktee, kamu halangi mereka, nanti aku yang turun tangan!”

Demikian mereka bersiap sedia.

Tin Ok bersama Cu Cong dan Coan Kim hoat bukan bangsa sembrono akan tetapi menyaksikan keanehan Kwee Ceng dan di atas jurang kedapatan itu sembilan tengkorak dari Bwee Tiauw Hong, kepercayaan mereka bahwa Bwee Tiauw Hong adalah orang yang mengajari Iweekang kepada murid mereka.

Nyatanya, tidaklah demikian duduknya hal. Kapan tadi malam Kwee Ceng tiba di atas jurang, si imam sudah menantikan dia, hanya si imam ini segera menunjuk seraya berkata: “Kau lihat, apakah itu?”

Di bawah sinar rembulan guram, Kwee Ceng lihat sembilan tengkorak. Tentu saja ia menjadi kaget. “Adakah ini diatur oleh Hek Hong Saing Sat?” ia tanya.

“Eh, kau pun kenal Hek Hong Siang Sat?” si imam tanya, heran.

Kwee Ceng mengangguk. Ia tuturkan hal pertempuran gurunya semua dengan Hek Hong Siang Sat itu dengan kesudahan gurunya yang kelima terbinasa. ia pun kasih tahu bagaimana dengan cara kebetulan ia dapat menikam mati pada Tan Hian Hong.

Si imam itu tertawa. “Kiranya si Mayat Perunggu yang lihay itu terbinasa di tanganmu!” katanya.

“Tetapi totiang, adakah si Mayat Besi itu datang? Apakah totiang dapat lihat padanya?” tanya Kwee Ceng.

“Aku belum lama sampai disini,” sahut si imam. “Tempo aku sampai, tumpukan ini sudah ada. Tadinya aku menyangka ini permainan gila dari muridnya Oey Yok Su dari Tho Hoa To. Tanghay. Kalau begitu, tentulah si Mayat Besi datang untuk mencari guru¬gurumu itu.”

“Dia telah buta kedua matanya kena dihajar toasuhu, kami tidak takut,” kata Kwee ceng.

Si imam jumput satu tengkorak, ia periksa itu, lalu ia menggeleng-geleng kepala. “Orang ini hebat ilmu silatnya,” katanya kemudian. “Aku khawatir gurumu itu bukan tandingannya. Umpama kata aku pun membantu pihakmu, masih belum tentu kita menang.”

Si imam bicara dengan sungguh-sungguh, Kwee Ceng kaget dan heran.

“Pada belasan tahun dulu dia masih belum buta, dia masih tidak dapat lawan tujuh guruku,” ia bilang. “Dan sekarang kita ada berdelapan….”

“Sebelum kau datang, aku pun telah memikirkannya,” berkata si imam. “Tidak dapat aku menduga sampai dimana lihaynya jeriji-jeriji tangannya itu, maka sekarang kita harus mengerti, setelah toh dia datang untuk mencari, dia mestinya ada punya andalan”.

“Sebenarnya mau apa dia menyusun tengkorak¬-tengkorak di sini?” Kwee Ceng tanya. “Apakah bukan sengaja dia hendak membikin kita tahu dan bersiap sedia?”

“Aku pikir tidak demikian. Tengkorak ini ada hubungannya sama Kiu Im Pek-ku iauw, maka itu aku percaya, dia rupanya menyangka orang tak bakal datang ke tempat ini, siapa tahu, kita justru biasa datang kemari hingga kita mempergokinya.”

Hati Kwee ceng menjadi tidak tenang. “Kalau begitu baiklah aku lekas pulang untuk memberitahukan guru-guruku,” katanya.

“Baiklah,” sahut si imam. “Sekalian kau bilang bahwa ada satu sahabat memesan dengan bahwa lebih baik mereka menyingkir dari dia, untuk mereka memikirkan daya perlawanannya. Tak dapat dia dilawan keras.”

Kwee ceng terima pesan itu, lantas ia hendak berlalu, tiba-tiba si imam sambar pinggangnya, dipondong diajak berlompat ke belakang batu besar, keduanya berjongkok. kaget bocah ini, ia hendak menanyakan sebabnya, mulutnya didului dibekap, diajak mendekam.

“Jangan bersuara,” bisik si imam yang terus mengintai.

Dalam herannya, Kwee Ceng berdiam dan turut mengintai juga.

Orang tidak usah menanti terlalu lama akan lantas terlihat berkelebatnya bayangan, disusul munculnya satu tubuh, yang dibawah sinar rembulan tampak nyata. Itulah Tiat-sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi dengan rambutnya yang panjang riap-¬riapan. Entah bagaimana dia naiknya, padahal belakang jurang itu tebingnya lebih terjal daripada bagian depan.

Kwee Ceng terkejut ketika Bwee Tiauw Hong memutar tubuh, matanya memandang ke tempat sembunyi mereka. Tapi si Mayat Besi tidak lihat siapapun, dia terus dududk bersila di atas batu di mana biasa si anak muda bersemadhi. Di situ ia lantas meyakinkan ilmu dalamnya. Melihat ini insyaflah Kwee Ceng akan pentingnya ilmu yang si imam ajarkan padanya, ia sangat bersyukur pada si imam konde tiga yang tidak dikenal ini.

Berselang sesaat, tubuh Bwee Tiauw Hong perdengarkan suara meretek, mulanya perlahan, lalu menjadi nyaring seperti meletusnya suara kacang goreng yang digoreng terlalu matang. Cuma suara yang terdengar, tubuhnya sendiri tidak bergerak, Kwee Ceng heran walaupun ia tidak mengerti latihan orang yang luar biasa itu.

Tak lama, dari keras dan nyaring, suara mereteknya Tiauw Hong menjadi kendor, lalu berhenti. Habis itu, dia bangkit berdiri, tangan kirinya menarik sesuatu dari pinggang. Kwee Ceng hanya lihat berkelebatnya sinar putih perak dari suatu benda seperti ular panjang. Ia terkejut pula. Sekarang ia melihat nyata itulah joan pian, cambuk lemas putih yang mengkilap. Kim-liong¬pian dari Han Po Kie panjang Cuma enam kaki, cambuk ini berlipat sepuluh kali. Mungkin enam tombak. Cambuk ini terus dicekal di tengah kedua tangan, sambil tertawa, Tiauw Hong lantas bersilat. Hebat bergeraknya cambuk lemas itu, cepatnya luar biasa. Yang hebat adalah tempo cambuk dipegang ujungnya dengan sebelah tangan kanan, ujungnya yang lain menghajar batu besar!

Kwee Ceng dibikin kaget sama ujung cambuk yang menyambar ke arahnya. Ia lihat tegas, ujung itu ada punya belasan gaetan yang tajam. Ia tidak takut, untuk bela diri, ia cabut pisaunya yang tajam, untuk dipakai menangkis. Belum lagi kedua senjatanya beradu, ia rasakan lengannya sakit sekali, lengan itu orang kasih paksa turun sedang bebokongnya ditekan supaya ia mendekam pula. Ia bergerak tanpa ia merasa.

Sekejap saja, ujung cambuk lewat di atasan kepalanya!

Anak tanggung ini mengeluarkan peluh dingin. “Kalau totiang tidak tolong aku, habis hancur kepalaku…” pikirnya.

Setelah matanya buta, Bwee Tiauw Hong sengaja meyakinkan cambuk lemas. Kupingnya menjadi terang sekali, sedikit saja suara berkelisik, ia dapat dengar. Dalam jarak enam tombak, sukar orang lolos dari cambuknya yang panjang itu, yang ia telah latih dengan sempurna..

Dengan ketakutan, Kwee Ceng mendekam, napasnya ia tahan.

Habis berlatih, Tiauw Hong simpan cambuknya itu. Sekarang ia keluarkan sesuatu dari sakunya, lalu tangannya meraba-raba. Ia berdiam, seperti lagi memikirkan sesuatu. Ketika ia bangkit, bikin gerakan seperti berlatih silat. Ia kembali meraba barangnya itu , lagi ia berpikir. Beberapa kali ia berbuat begitu, baru ia simpan pula barangnya itu. Akhirnya ia ankat kaki, berlalu dari belakang jurang darimana ia datang tadi.

Kwee Ceng menghela napas lega. Ia bangkit.

“Mari kita ikuti dia, entah ia bakal kasih pertunjukkan apalagi,” berkata si imam, lantas bangun. Malah ia sambar pinggang bocah itu, turun dari belakang jurang. Kwee Ceng dapat kenyataan, dibagian belakang ini, orang pun bisa naik dengan melapati di oyot rotan. Cara ini telah digunakan si Mayat Besi.

Setibanya mereka di bawah, terlihat Tiauw Hong berada jauh di arah utara. Si imam kempit Kwee Ceng, ia lari menyusul. Dan Kwee Ceng merasakan dirinya seperti dibawa terbang. Lama mereka berlari, langit mulai terang, Tiauw Hong tiba di tempat di mana banyak kemah, ia menghilang. Si imam mencoba mengikuti terus, walaupun mesti menyingkir dari serdadu-serdadu penjaga.

Di tengah-tengah ada kemah terbesar, tendanya berwarna kuning, si imam mendekam, lalu ia dan Kwee Ceng menyingkap tenda, melihat ke dalam.

Justru itu terlihat satu orang dengan goloknya membacok seseorang, yang rubuh dengan segera dan binasa, rubuhnya ke dekat tenda di mana dua orang itu tengah mengintai.

Kwee Ceng kenal si terbunuh itu adalah pengiringnya Temuchin, ia menjadi heran. Ia singkap lebih tinggi tenda, untuk melihat tegas si pembunuh, yang kebetulan menoleh, ternyata Sangum, putra Wang Khan. Dia itu sudah lantas susuti goloknya pada sepatu.

“Sekarang kau tidak akan sangsi pula, bukan?” berkata Sangum itu.

Di situ ada satu orang lagi, lalu berkata, ”Saudara angkatku Temuchin pintar dan gagah, belum tentu kau akan berhasil.”

Sangum tertawa dingin, dia berkata “Jikalau kau menyayangi kakak angkatmu, nah, pergilah kau melaporkannya!”

Orang itu menyahut “Kau adalah adik angkatku, ayahmu juga perlakukan aku baik sekali, sudah tentu aku tidak bakal sia-siakan kamu!”

Kwee Ceng kenal orang itu adalah saudara angkat sehidup semati dari Temuchin, yaitu Jamukha, ia menjadi heran sekali. Pikirnya “Mustahilkah mereka bersekutu untuk mencelakai Khan yang agung? Bagaimana ini bisa terjadi?”

Lalu terdengar seorang lain “Setelah kita berhasil, maka semua ternak, perempuan dan harta Temuchin jatuh ke tangan Sangum, semua bawahannya untuk Jamukha, dan dari pihak kami negara Kim yang besar, Jamukha bakal diangkat menjadi Tin Pak Ciauw-touw-su.”

Pangkat itu adalah pangkat tertinggi untuk wilayah utara dengan tugas memanggil menakluk dan menghukum pemberontak.

Kwee Ceng tidak melihat tegas muka orang itu, karena orang itu berdiri membelakanginya, maka ia menggeser dan melihat dari samping, ia seperti mengenalinya. Orang itu memakai jubah bulu yang mahal, dandannya mewah. Ia tak usah mengingat lama, “Ah,,,, pangeran keenam dari negara Kim!”

Jamukha tertarik dengan janji itu, ia berkata: “Asal saja ayah angkatku Wang Khan memberikan titahnya, aku tentu menurut.”

Sangum menjadi girang sekali “Berapa susahnya ayahku memberi titah? Sebentar akan aku minta titahnya, pasti ia memberikannya!”

Wanyen Lieh, si putra Raja Kim yang keenam itu, berkata “Negeriku yang besar bakal lantas berangkat ke Selatan untuk menumpas kerajaan Song, kamu berdua masing-masing boleh memimpin duapuluh ribu serdadu untuk membantu, setelah berhasil, kamu bakal dapat hadiah lagi!”

Sangum girang sekali, ia berkata “Kabarnya negara di Selatan itu adalah negara yang indah permai, tanahnya penuh dengan emas dan perempuannya bagaikan bunga-bunga, jika Tuan Pangeran mengajak kita bersaudara pergi ke sana, sungguh bagus sekali!”

Wanyen Lieh tersenyum “Sekarang tolong kedua tuan kasih tahu, bagaimana cara menghadapi Temuchin?”.

Selagi Kwee Ceng memasang kuping, si imam menarik ujung bajunya, ia menoleh, si imam menunjuk ke belakang. Ia lantas berbalik. Terlihat Bwee Tiauw Hong sedang membekuk satu orang, rupanya sedang menanyakan sesuatu.

“Apapun yang dia lakukan, sementara ini guru-guruku tidak menghadapi bahaya,” Kwee Ceng berpikir. “Biar aku dengar persekutuan mereka ini yang hendak mencelakai Khan yang agung.” Maka itu ia mendekam terus seraya memasang kuping.

Terdengar Sangum berkata “Temuchin itu telah jodohkan putrinya kepada putraku, baru saja ia kirim utusan untuk membicarakan hari pernikahan.” Dia menunjuk orangnya Temuchin yang telah ia binasakan itu. Dan lanjutnya kemudian “Aku sudah lantas kirim orang untuk memberi balasan, aku minta besok datang sendiri berembuk bersama ayahku. Aku percaya ia bakal datang dan tentunya tanpa membawa banyak pengiring, saat itu kita sembunyikan orang disepanjang jalan. Temuchin boleh mepunyai tiga kepala dan enam tangan, ia takkan lolos dari jaring perangkapku ini! Ha-ha-haha!”

Kwee Ceng kaget dan marah besar. Ia tidak sangka ada orang sedemikian jahat, yang hendak membinasakan saudara angkatnya sendiri. Ia masih hendak mendengar lebih jauh ketika si imam menekannya untuk lebih mendekam, menyusul Tiauw Hong berkelebat lewat, di tangannya ada orang yang dikempitnya. Sekejap saja, si Mayat Besi sudah lewat jauh.

Si imam tarik tangan si bocah, meninggalkan kemah beberapa puluh tindak, lalu ia berbisik “Tiauw Hong cari orang untuk menanyakan tempat kediaman gurumu. Mari lekas, kalau terlambat bisa gagal!”

Kwee Ceng terpaksa menurut, maka bersama-sama mereka lari pesat, menuju kemahnya Kanglam Liok Koay. Ketika itu hari telah siang. Di sini si imam berkata “Sebenarnya tidak ada niat perlihatkan diri, akan tetapi urusan begini penting, bahaya tengah mengancam, tidak dapat aku tinggal diam lebih lama lagi. Pergilah kau masuk ke dalam, bilang pada gurumu bahwaTan-yang-cu Ma Goik mohon bertemu sama Kanglam Liok Koay.”

Dua tahun Kwee Ceng ikuti imam ini, baru sekarang ia mengetahui namanya. Cuma ia tetap belum tahu, siapa imam ini yang semestinya lihay. Ia mengangguk, lalu lari ke dalam kemah. “Suhu!” ia berseru lalu menyingkap tenda. Baru saja ia memanggil itu, mendadak dua tangannya sakit, kena pukulan orang, disusul sakit di kakinya yang kena ditendang, iapun rubuh, sebatang tongkat melayang ke kepalanya! Bukan main kagetnya, karena penyerangnya itu Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu. Ia meramkan mata, untuk menantikan kebinasaannya.

Terdengar suara senjata bentrok, satu orang melompat kepada anak tanggung itu. Kwee Ceng segera kenali gurunya yang ketujuh, ialah Han Siauw Eng, siapa terus berseru “Toako, tahan!”. Pedang guru itu telah terpental.

Tin Ok menghela napas, ia tancap tongkapnya. “Citmoay, hatimu lemah sekali!” katanya perlahan.

Sekarang Kwee Ceng melihat, orang yang menyambar tangannya adalah Cu Cong dan Coan Kim Hoat. Ia menjadi sangat bingung.

“Mana dia gurumu yang mengajarkan kau ilmu dalam?!” tanya Tin Ok kemudian dengan dingin.

“Dia ada di luar, dia mohon bertemu sama suhu semua,” sahut Kwee Ceng.

Bukan main kagetnya Tin Ok berenam! Bagaimana mungkin Bwee Tiauw Hong datang diwaktu siang hari bolong? Maka bersama-sama mereka lompat keluar tenda. Di bawah terangnya sinar matahari, tampak seorang imam tua, Bwee Tiauw Hong sendiri tidak ada bayangannya sekalipun.

“Mana itu siluman perempuan” Cu Cong bentak muridnya.

“Teecu telah lihat dia tadi, mungkin sebentar lagi bakal datang kemari,” sahut itu murid.

Kanglam Liok Koay berdiam, lalu mereka mengawasi Ma Giok, mereka berenam menjadi ragu-¬ragu.

Imam itu bertindak maju, ia menjura “Sudah lama pinto mengagumi tuan-tuan, sekarang kita dapat bertemu, sungguh pinto merasa sangat beruntung,”.

Cu Cong lepaskan tangan Kwee Ceng, yang masih di peganginya. Ia membalas hormat. Lantas berkata “Tidak berani memohon tanya gelaran totiang.”

Sekarang Kwee Ceng ingat, ia lantas berkata: “Inilah Tan-yang-cu Ma Goik Ma Totiang.”

Liok Koay heran, mereka terperanjat. Mereka tahu Ma Giok itu adalah murid kepala dari Ong Tiong Yang, yang menjadi kauwcu atau kepala agama dari Coan Cin Kauw. Setelah wafatnya Ong Tiong Yang, dengan sendirinya dia menjadi pengganti kepala agama itu. Tiang Cun Cu Khu Cie Kee adalah adik seperguruan dari Ma Giok ini. Dia biasanya berdiam di dalam kelentengnya, jarang sekali ia membuat perjalanan, dari itu, dalam hal nama ia kalah terkenal dengan Khu Cie Kee, sedang tentang ilmu silatnya, tidak ada orang yang tahu.

“Kiranya ciang-kauw dari Coan Cin Kauw!” berkata Tin Ok. “Maafkan kami! Entah ada pengajaran apa dari ciang-kauw maka telah datang ke gurun Utara ini? Adakah kiranya berhubungan sama janji suteemu mengenai pibu di Kee-hin nanti?”

“Suteeku itu adalah seorang pertapa, tetapi ia masih gemar sekali dalam urusan pertaruhan,” kata Ma Giok, “Mengenai tabiatnya itu, yang bertentangan dengan agama kami, sudah beberapa kali pinto menegurnya. Mengenai pertaruhan itu sendiri, pinto tidak ingin memcampurinya. Kedatanganku ini adalah untuk urusan lain. Pertama-tama pinto ingin bicara tentang anak ini. Pinto bertemu dengannya pada dua tahun yang lalu, pinto lihat dia polos dan jujur, dengan lancang pinto ajari dia cara membantu panjang umur. Pinto belum dapat perkenan tuan-tuan, maka sekarang pinto mohon tuan-tuan tidak berkecil hati.”

Liok Koay heran tetapi tidak dapat mereka tidak mempercayainya. Coan Kim Hoat lantas saja lepaskan cekalannya kepada muridnya itu.

Siauw Eng menjadi girang sekali. “Adakah totiang ini yang ajarkan kamu ilmu?” ia tanya muridnya. “Kenapa kau tidak hendak memberitahukannya dari siang-siang, hingga kami menjadi keliru menyangka terhadapmu?” Ia mengusap-usap rambut muridnya itu, nampaknya ia sangat menyayangi.

“Totiang larang aku bicara,” Kwee Ceng menjawab.

“Pinto biasa berkelana, tidak suka orang mengetahu tentang diriku,” Ma Giok berkata. “Itulah sebabnya walaupun pinto berada dekat dengan tuan-¬tuan pinto tidak membuat kunjungan. Tentang ini pinto pun mohon maaf.” Ia lantas menjura pula.

Kanglam Liok Koay membalas hormat. Mereka lihat orang alim sekali, beda daripada saudara-saudaranya, kesan mereka lantas berubah.

Disaat enam saudara ini hendak tanyakan hal Bwee Tiauw Hong, justru itu terdengar suara tindakannya banyak kuda, lalu tampak beberapa penunggang kuda tengah mendatangi ke arah kemahnya Temuchin. Kwee Ceng menjadi sangat bingung. tahulah ia, itu adalah orang-orangnya Sangum, yang hendak memancing Temuchin.

“Toasuhu, aku pergi sebentar, nanti aku akan kembali!” kata ini anak muda dalam bingung dan khawatirnya.

“Jangan, jangan pergi!” mencegah Tin Ok. “Kau berdiam bersama kami.” Tin Ok mencegah karena ia menyesal atas perbuatannya yang sembrono tadi. ia menjadi sangat menyayangi murid ini, karena mana, ia jadi berkhawatir untuk ancaman bahaya dari Bwee Tiauw Hong. Bagaimana kalau si Mayat Besi datang dengan tiba-tiba?

Kwee Ceng semakin bingung. Ia masih bicara sama guru itu tapi si guru sudah lantas bicara sama Ma Giok tentang pertempuran mereka melawan Hek Hong Siang Sat. Terpaksa ia berdiam, hatinya berdenyutan.

Segera setelah itu, terdengar pula congklangnya kuda, kapan Kwee Ceng menoleh, ia tampak datangnya Gochin. Putri itu menghentikan kudanya dalam jarak belasan tindak, lantas ia menggapai berulang-¬ulang.

Kwee Ceng takut pada gurunya, tidak berani menghampiri, ia hanya menggapai, minta si tuan putri datang lebih dekat.

Gochin menghampiri. kelihatan kedua matanya merah dan bendul, rupanya ia baru habis menangis. Setelah datang dekat, ia berkata dengan suara mendumal “Ayahku…. ayahku ingin aku menikah sama Tusaga…” Lalu air matanya turun pula.

Kwee Ceng tidak sahuti putri itu, ia hanya kata: “Lekas kau pergi kepada Khan yang agung, bilang Sangum bersama Jamukha lagi mengatur tipu daya untuk membinasakan Khan!”

Gochin terkejut. “Benarkah itu?” tanyanya.

“Tentu saja benar!” sahut Kwee Ceng. “Aku dengar sendiri persekutuan mereka itu! Lekas kau pergi kepada ayahmu!”

Gochin menjadi tegang hatinya tetapi ia tertawa. “Baik!” katanya. Ia putar kudanya, untuk segera dikasih lari.

Kwee Ceng heran. “Ayahnya hendak dibikin celaka orang, kenapa dia girang?” ia tanya dirinya sendiri. Lalu ia ingat sesuatu “Ah! dengan begini bukankah ia jadi tidak bakal menikah sama Tusaga?” Maka ia pun girang. Ia memang sayangi Gochin sebagai adik kandungnya!







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar