Kamis, 03 September 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 023

Po Kie mengajari lima jurus, setelah pesan si murid belajar terus dengan sungguh-sungguh, ia meninggalkan pergi dengan menunggang kudanya.

Benar-benar sukar ilmu cambuk itu, Kwee Ceng menjadi korban, hingga ia menjadi babak-belur. Kepalanya dan jidatnya benjut, lengan dan kakinya matang biru. Saban salah menarik, ujung cambuk mengenai diri sendiri. Maka itu akhirnya, dengan merasa sakit dan letih, ia rebahkan diri di rumput dan kepulasan. Ia mendusin sesudah rembulan muncul. Ia merasakan sakit pada tubuhnya, tapi ia memandang ke atas bukit. Ia ingat janjinya si imam.

“Dia bisa mendaki, mustahil aku tidak!” akhirnya ia kata dengan penasaran. Dan ia lari ke kaki jurang, untuk mulai mendaki. Ia jambret setiap oyot rotan, ia naik seperti merayap. Ia bisa naik setinggi enam atau tujuh belas tombak, lalu ia berdiam. Jalan naik lebih jauh batu melulu, seperti tembok yang licin.

“Mesti dapat!” ia keraskan hatinya. Dan ia mencoba. Ia cari lubang atau sela batu, untuk dipegang, untuk ia menindak. Satu kali ia terpeleset, hampir cekalannya terlepas, hampir ia terjatuh! Kapan ia memandang ke bawah, ia merasa ngeri bukan main. Sekarang, naik tak dapat, turun pun sukar!

Kwee Ceng menghela napas. Tiba-¬tiba ia ingat perkataan gurunya yang keempat: “Di kolong langit ini tidak ada urusan yang sukar, asal hati orang kuat!”. Maka ia kertak gigi. ia sekarang dapat akal, ia pakai golok pendeknya, untuk mencokel batu, guna menancap itu untuk dipakai sabagai alat pegangan, buat dijadikan tempat injakan. ia merayap tetapi ia dapat maju setindak demi setindak, sangat ayal. Ia telah mesti menggunai tenaga terlalu besar, baru manjat dua tombak, kepalanya sudah pusing, kaki tangannya lemas. Maka ia diam mendekam, ia bernapas dengan perlahan-lahan.

Setahu berapa banyak liang lagi harus dibikin untuk dapat naik ke atas. Kwee Ceng tidak memperdulikannya. Setelah cukup beristirahat, ia mulai pula mencongkel batu. Baru ia mulai, atau mendadak ia dengar suara orang tertawa diatasnya. Ia heran, ia pun tidak berani dongak, untuk melihatnya. Heranya, tiba-tiba ada sehelai dadung meroyot turun, ujungnya berdiam tepat di depannya! “Ikat pinggangmu, nanti aku tarik kau naik!” begitu suara terdengar. Ia kenali suaranya si imam konde tiga. Tiba-tiba ia menjadi girang sekali, hingga semangatnya terbangun pula. Tanpa banyak pikir, ia simpan goloknya, sambil sebelah tangan terus pegangi liang batu, dengan tangan kanannya ia libat pinggangnya, mengikat keras.

“Apakah kau telah selesai mengikat?” tanya si imam dari atas.

“Sudah!” sahut si bocah.

“Sudah atau belum?” tanya lagi suara di atas. Rupanya ia tidak dengar jawabannya si bocah. Tiba-¬tiba ia tertawa, lalu menambahkan: “Ah, aku lupa! Suaramu tidak cukup keras, tak sampai ke atas sini. Kalau kau sudah mengikat rapi, kau tariklah dadung ini, tiga kali!”

Kwee Ceng menurut, ia membetot tiga kali. Habis itu mendadak ikatan pada pinggangnya menjadi keras, segera tubuhnya terangkat, hingga terlepaslah pegangannya pada batu dan injakan kakinya juga. Ia terkejut juga, tetapi ia tahu lagi diangkat naik. Hanya untuk herannya, baru ia terangkat naik, tiba-tiba ia sudah sampai di atas, berdiri tepat di depannya si imam!

Bukan main ia girang dan bersyukur, tak tempo lagi ia tekuk lututnya, untuk pay-kui, guna menghaturkan terima kasih, akan tetapi si imam cekal tangannya, untuk ditarik, sambil tertawa, imam itu berkata: “Kemarin kau telah pay-kui padaku seratus kali, sudah cukup, sudah cukup! Bagus, anak bagus, kau punya semangat!”

Puncak gunung itu boleh dibilang datar, di situ ada sebuah batu besar yang rata, yang penuh dengan salju.

“Duduklah di sana!” kata si imam.

“Biar teecu berdiri saja menemani suhu,” Kwee Ceng bilang.

“Kau bukan kaumku, aku bukan gurumu,” kata si imam. “Kau juga bukan muridku. Kau duduklah!”

Dengan hati bingung, Kwee Ceng berduduk.

“Keenam gurumu itu semua orang-orang Rimba Persilatan kenamaan,” kata si imam, “Walaupun kita tidak kenal satu sama lain akan tetapi kita saling menghormati. Untuk kau, asal kau dapat pelajarakan kepandaian satu saja dari enam gurumu itu, kau sudah bisa tonjolkan diri di muka umum. Kau bukannya tidak rajin belajar, kenapa selama sepuluh tahun ini kemajuanmu tidak banyak? Tahukah kau sebabnya?”

“Itulah karena dasarku yang bebal, biar suhu semua bersungguh-sungguh mengajarainya, aku tidak bisa peroleh kemajuan,” Kwee Ceng menjawab.

“Itulah tidak benar seluruhnya!” jawab si imam dengan tertawa. “Inilah dia yang dibilang, mengajar tak jelas caranya dan yang belajar tak menginsyafi jalannya…”

“Kalau begitu, aku mohon su…su…eh totiang, sudi mengajarinya,” Kwee Ceng memohon.

“Bicara tentang umumnya ilmu silat, sebenarnya sudah jarang orang Rimba Persilatan yang sepandai kau,” menerangkan si imam pula, “Kau baru belajar silat, lantas kau dijatuhkan si imam muda, ini pun satu pukulan untukmu, kau lantas merasa pelajaranmu tak ada faedahnya. Hahaha, kau ternyata keliru!”

Kwee Ceng heran. Kenapa imam ini ketahui urusan kekalahannya itu?

“Imam itu memang daripada kau, ia sebenarnya telah menggunakan akal,” berkata si imam, “Coba kamu bertempur secara biasa, belum tentu ia dapat menangkan kau. Disamping itu kepandaian keenam gurumu tak ada dibawah aku, dari itu tidak dapat aku ajarkan kau ilmu silat!”

Kwee Ceng heran berbareng putus asa.

“Ketujuh gurumu telah bertaruh sama orang,” kembali si imam berkata, “Kalau aku ajarkan kau ilmu silat dan kemudian gurumu tahu, mereka pasti menjadi tidak senang. Mereka adalah orang-¬orang terhormat, dalam hal pertaruhan, mana mereka mau berlaku curang?”

“Pertaruhan apakah itu totiang?” tanya Kwee Ceng.

“Rupanya gurumu belum memberi keterangan padamu, karena itu, sekarang baiklah kau tidak usah menanyakan. Nanti dua tahun lagi, mereka akan memberitahukan padamu. Sekarang begini saja. Kesungguhan hatimu rupanya membuatnya kita berjodoh. Akan aku ajarkan kau ilmu mengendalikan napas, duduk, jalan dan tidur…”

Kwee Ceng heran bukan main. “Ilmu bernapas, duduk, jalan dan tidur..?” pikirnya. “Begitu aku terlahir, aku hampir bisa semua itu sendirinya. Perlu apa kau mengajarinya pula…?” Ia tapinya tutup mulut.




“Kau singkirkan salju di atas batu itu,” kata si imam. “Kau tidur di situ,” lanjutnya kemudian.

Kwee Ceng menjadi semakin heran, tetapi ia menurut, dengan kedua tangannya, ia singkirkan salju itu, habis itu ia terus rebahkan diri di atasnya.

Si imam mengawasi. “Untuk tidur caramu ini, buat apa aku mengajarinya?” katanya. “Aku ada punya empat perkataan, kau ingat baik-baik. Inilah dia: Sue teng cek ceng bong, Tee hie cek kie oen, Sim soe cek cin hoat, Yang seng cek im siauw.”

Kwee Ceng menurut, ia ingat itu dan mengulanginya sampai beberapa kali. Ia ingat terus, tetapi ia tak tahu apa arti sebenarnya. Ia hanya tahu itu berarti: “Pikiran tenang, perasaan terlupa, tubuh kosong, hawa berjalan, hati mati, semangat hidup, yang bangun, im hapus.

Imam itu berkata pula, menerangkan: “Sebelum tidur, orang mesti kosongkan otaknya, jangan pikirkan apapun, barulah naik pembaringan dan rebah miring, napas kasih jalan perlahan-lahan, semangat jangan goncang, jangan ngawur. Nah, begini, kau mesti bernapas.”

Lantas si imam mengajari caranya napas disedot masuk dan keluar sambil bersemadhi. “Sekarang duduklah dan mulai!” katanya pula.

Kwee Ceng menurut mulai mencoba. Mulanya, pikirannya goncang, ada saja yang ia ingat, tetapi ia lawan, ia coba lupai segala apaoun. Lama-lama ia menjadi tenang juga. Hanya, selang satu jam, ia rasai kaki tangannya kaku dan kesemutan.

Si imam bersila di depannya, buka mata. “Sekarang kau rebahlah,” katanya.

Kwee Ceng menurut pula. Ia rebah hingga ia tidur pulas tanpa merasa, akhirnya ia sadar, fajar sudah menyingsing.

“Sekarang kau pulang, sebentar lagi malam datang.” kata si imam, dan ia kerek turun tubuh bocah itu.

Kwee Ceng menurut, maka seterusnya setiap malam ia datang pada si imam, yang kerek ia naik, untuk ia belajar napas, duduk, tidur dan jalan. Selanjutnya ia merasakan suatu keanehan. Si imam tidak ajari ia ilmu lainnya, toh kapan di waktu siang ia berlatih silat, ia rasai tubuhnya jadi ringan sekali dan gesit. Selang setengah tahun, ia lantas dapat lakukan apa-apa yang tadinya ia tidak sanggup lakukan.

Kanglam Liok Koay melihat kemajuan itu, girang sekali. Mereka menyangka kemajuan muridnya ini berkat kerajinan dan keuletannya.

Keanehan lain yang nyata, Kwee Ceng merasa dapat mendaki jurang lebih tinggi dan lebih gampang, baru di bagian yang licin, si imam kerek dirinya.

Satu tahun telah berlalu dengan cepat, maka beberapa bulan lagi akan tibalah saat pibu. Kanglam Liok Koay merasa gembira. Mereka percaya muridnya bakal menang. Mereka juga girang akan lekas kembali ke Kanglam. Maka itu, setiap hari mereka omongkan hal pibu dan bakal pulang.

Pada suatu pagi, Hie Jin kata pada muridnya: “Anak Ceng, selama ini kau belajar mainkan senjata saja, mungkin kau kurang leluasa dengan tangan kosongmu, dari itu mari kau coba-coba.”

Kwee Ceng mengangguk. Ia lantas turut pergi ke tempat berlatih. Hie in sedang hendak mulai berlatih sama muridnya itu ketika kelihatan debu mengepul jauh di sebelah depan dan terdengar berisik suara kuda dan orang. Itulah segerombolan kuda, yang lari larat, dan si penggembala, orang-orang Mongol, repot mengendalikan. Baru semua kuda dapat dibikin tenang dan berkumpul, mendadak dari arah barat datang seekor kuda kecil merah marong, kuda itu menyerbu ke rombongan kuda banyak itu, menggigit dan menyentil, hingga kuda ini menjadi kacau pula. Setelah itu, kuda itu lari pula ke utara dan lenyap. Tapi dia tidak pergi lama, kembali terlihat mendatangi, kembali mengacau rombongan kuda tadi.

Kawanan penggembala itu menjadi dongkol, tapi mereka tidak bisa berbuat apapun. Mereka hendak tangkap kuda merah itu, tetapi tak dapat karena kuda itu lari kabur, lalu berdiri diam di tempat jauh seraya perdengarkan meringkiknya berulang-ulang, rupanya ia puas sudah mengacau….

Liok Koay dan Kwee Ceng heran. Mereka pun kagumi kuda merah itu. Malah Han Po Kie segera hampiri rombongan penggembala itu, tanya kuda itu kepunyaan siapa. Ia penggemar kuda, kudanya sendiri jempolan, tetapi masih kalah jauh dengan kuda merah itu.

“Setahu darimana keluarganya kuda kecil ini,” sahut seorang penggembala. “Baru beberapa hari yang lalu kami lihat dia, kami mencoba menangkap tetapi gagal, dia menjadi penasaran terhadap kami, lau terus-terusan ia mengacau. Dia sangat cerdik dan gesit.”

“Itu bukan kuda,” kata satu penggembala.

“Habis apakah itu?” tanya Po Kie.

“Kuda turunan naga dari langit, dia tidak dapat diganggu!” jawab penggembala itu kemudian.

Seorang penggembala lain tertawa. “Siapa bilang naga bisa menjadi kuda?” katanya. “Ngaco belo!”

“Kau tahu apa, anak kecil? Sudah puluhan tahun aku menggembala kuda, tidak pernah aku lihat kuda semacam ini!” Ia belum tutup mulutnya, kuda merah itu sudah datang menyerbu pula.

Han Po Kie segera bertindak. ia memang seorang ahli kuda, tahu ia sifat atau kebiasaannya hewan itu. Orang Mongol sendiri kagum padanya. Begitulah ia lari ke tempat dimana kuda itu bakal mundur. Tepat dugaannya. Kuda itu lari ke arahnya. Ia kate, ia seperti berada di bawahnya perut hewan itu. tapi ia tak kasih dirinya dilompati, sebaliknya ialah yang melompat ke bebokong kuda itu. Ia kate tapi ia dapat melompat tinggi. Segera ia berada di atas punggung kuda. Ia sudah pandai, ia percaya bakal berhasil, siapa tahu, belum ia sempat mendudukinya, kuda itu sudah lewati dia, hingga ia jatuh ke tanah, cuma tak sampai terguling, ia jatuh sambil berdiri. Ia menjadi dongkol. lantas ia lari mengejar.

Hebat larinya kuda itu, dia tak tercandak, hanya disaat ia lari lewat, tiba-tiba dari samping ada satu orang yang lompat menyambar kepadanya, memegang surinya. Dia kaget, dia lompat dan lari, karena mana, dia kena bawa orang yang menyambarnya itu, sebab orang itu tidak mau melepas cekalannya.

Semua penggembala menjadi terkejut, mereka berteriak. kanglam Liok Koay pun terkejut, karena itu adalah Kwee Ceng yang menyambar kuda itu. Disamping itu mereka heran kapan bocah ini pelajari sifatnya hewan, dan kapan ia mempelajari keng-sin-sut, ilmu meringankan tubuh.

“Selama satu tahun ini, kemajuan anak Ceng sangat pesat,” kata Siauw Eng. “Mungkinkah ia dipayungi ayahnya almarhum? Mungkinkah ngo-ko…?”

Nona ini tidak tahu, kepandaian Kwee Ceng itu adalah hasil ajaran si imam konde tiga, karena ketekunan Kwee Ceng sendiri yang bebal tapi rajin dan ulet. Setiap malam ia naik turun jurang, tanpa ia merasa, ia tengah meyakinkan ilmu ringan tubuh yang sangat lihay, yaitu “Kim-gan-kang” atau ilmu “Burung Welilis Emas.” Dia cuma tahu si imam konde tiga itu sangat baik hati suka memberi pengajaran kepadanya hingga ia dapat bersemadhi…

Selagi Liok Koay bicarakan muridnya, tahu-tahu si murid sudah kembali bersama kuda merah itu, yang terus angkat kedua kaki depannya, untuk berdiri, kemudian ia meyentil dengan kedua kaki belakangnya. Kwee Ceng tidak rubuh karenanya, ia memegangi dengan keras, kedua kakinya menjepit. Po Kie pun segera ajar dia bagaimana harus membikin jinak kuda. Masih saja kuda itu berjingkrakan, ingin menjungkirkan penunggangnya.

Si penggembala, yang percaya kuda itu adalah turunan naga, sudah lantas berlutut dan memuji supaya janganlah Tuhan bergusar karena kudanya itu dipermainkan…

Siauw Eng pun lantas berteriak, “Anak Ceng, lekas turun. Kasih sam-suhu gantikan kau!”

“Jangan!” teriak Po Kie, mencegah. “Kalau digantikan, dia bakal gagal!” Ia tahu, kalau seorang dapat menakluki kuda binal, kuda itu bakal tunduk untuk selama-lamanya kepada penakluk itu.

Kuda itu masih berjingkrakan, rupanya ingin dia membikin penunggangnya jungkir balik, tetapi Kwee Ceng terus memegang erat-erat, malah kemudian, bocah ini memeluk ke leher, tenaganya dikerahkan, makin lama makin keras pelukan itu. Akhirnya, kuda itu sukar bernapas, lalu ia berhenti meronta-ronta, dia berdiri diam!

“Bagus! Bagus!” seru Po Kie. “Dia berhasil”

Kwee Ceng khawatir kuda itu bakal lari atau kabur, ia tidak mau lantas turun.

“Cukup sudah!” Po Kie bilang pada muridnya. “Kau turun! Dia sudah tunduk kepadamu, walaupun kau usir, dia tidak akan lari!”

Mendengar itu barulah Kwee Ceng lompat turun. Kuda itu benar tidak lari, sebaliknya, dia jilati belakang telapak tangan si bocah, dia jadi jinak sekali.

Menampak itu, dari kaget dan heran, orang menjadi tertawa!

Satu penggembala dekati kuda itu, ia dipersen jentilan hingga ia terjungkal!

Kwee Ceng lantas tuntun kuda itu ke sisi instal, untuk gosoki keringatnya, membersihkan badannya.

Liok Koay tidak suruh muridnya itu berlatih lebih jauh, dengan masing-masing mereka merasa heran, mereka masuk ke kemah mereka.

Tengah hari, habis bersantap, Kwee Ceng pergi ke kemah gurunya.

“Anak Ceng, ingin aku lihat seberapa jauh kau punya ilmu Kay-san-ciang,” berkata Coan Kim Hoat pada muridnya itu.

“Disini?” sang murid tegaskan.

“Ya. Di mana saja orang bisa menghadapi musuh, maka orang mesti siap akan bertempur di kamar yang kecil.” Kata-kata itu disusul sama ancaman tangan kiri dan tinju kepalan kanan.

Kwee Ceng menangkis dan berkelit, malah terus sampai tiga kali, setelah diserang untuk keempat kalinya, ia membalas. Kim Hoat menyerang dengan hebat, malah ia terus gunai jurusnya “Masuk ke dalam gua harimau”. Ia mengarah ke dada. Ini bukan jurus latihan, tapi serangan benar-benar yang berbahaya.

Kwee Ceng mundur, hingga bebokongnya nempel sama tenda. Ia kaget sekali. Tentu saja, hendak ia membela diri. Ia putar tangan kirinya, guna menyingkirkan dua tangan gurunya itu. Akan tetapi hebat serangan si guru, Cuma tempo ia menggenai dada muridnya, ia rasai dada muridnya itu lembek seperti kapuk, lalu tangannya kena dihalau!

Untuk sejenak Kwee Ceng tercengang, tapi segera ia berlutut di depan gurunya itu.” Teecu salah, silahkan liok-suhu menghukum,” ia menyerah. Ia takut sekali, tak tahu ia bersalah apa maka gurunya serang ia secara demikian telengas.

Tin Ok semua bangkit, mereka semua menunjuk roman bengis.

“Secara diam-diam kau turut orang lain belajar silat, kenapa kau tidak beritahu itu pada kita?!” tegur Cu Cong. “Coba tidak liok-suhu mencoba padamu, kau tentu tetap hendak menyembunyikannya, bukan?!”

“Cuma guru Jebe mengajari teecu main panah dan tombak,” Kwee Ceng menjawab. Ia omong dengan sebenarnya. Si imam konde tiga tidak ajarkan ia ilmu silat, cuma ilmu semadhi, sedang ilmu meringankan tubuh, diajarkan diluar tahunya.

“Masih kau berdusta?!” Cu Cong bentak pula.

Kwee Ceng menangis, air matanya mengucur keluar. “Suhu semua memperlakukan teecu sebagai anak, mana berani teecu berdusta?” sahutnya.

“Habis darimana kau dapat kepandaian tenaga dalam?!” Cu Cong masih bertanya. “Apakah kau hendak andalkan gurumu yang lihay itu maka kau jadi tidak pandang lagi kami berenam?! Hm!”

“Tenaga dalam?” Kwee Ceng melengak. “Sedikit pun teecu tidak mengerti itu.”

“Fui!” seru Cu Cong sambil ia ulurkan tangannya ke jalan darah hian-kee-hiat di bawah tulang iga. Siapa terkena itu, ia mesti pingsan.

Kwee Ceng tidak berkelit atau menangkis, ketika totokannya Cu Cong mengenai, dagingnya bergerak sendirinya, membikin totokan itu kena dikemampingkan. Si bocah Cuma merasakan sakit, ia tak kurang suatu apapun.

Cu Cong tidak menggunai tenaga sepenuhnya, tapi ia terkejut dan heran.

“Nah, apakah ini bukannya tenaga dalam!” serunya.

Kwee Ceng terkejut. “Adakah ini hasil latihannya totiang?” ia tanya pada dirinya sendiri. Lalu ia mengasih keterangan: “Selama dua tahun ini, ada orang yang setiap malam mengajari teecu bagaimana harus menyedot napas, duduk bersila dan tidur, teecu anggap ajaran itu menarik hati, teecu ikuti ia belajar terus. Sama sekali ia tidak ajarkan ilmu silat pada teecu. Cuma ia pesan supaya teecu jangan memberitahukan hal itu pada siapa pun. Teecu anggap hal ini bukan perbuatan busuk, teecu juga tidak mensia-siakan pelajaranku, dari itu teecu tidak memberitahukan kepada suhu semua.” Ia lantas mengangguk-angguk dan menambahkan: “Teecu tahu teecu bersalah, lain kali teecu tidak berani pergi bermain pula…”

Enam guru itu saling pandang. Terang murid ini tidak berdusta.

“Apakah kau tidak tahu, pelajaranmu itu bukan tenaga dalam?” tanya Siauw Eng yang menegaskan. Tenaga dalam itu adalah Iweekang (laykang).

“Benar-benar teecu tidak tahu kalau itu adalah pelajaran tenaga dalam,” Kwee Ceng menyahut. “Dia suruh teecu duduk, untuk menarik dan mengeluarkan napas dengan perlahan-lahan, selama itu, tidak boleh teecu pikirkan apapun juga. Mulanya sulit, tetapi kemudian teecu merasakan hawa panas keluar masuk, dan ini menarik hati…”

Liok Koay heran berbareng girang di dalam hati. Tidak mereka sangka, muridnya ini telah dapatkan Iweekang sedemikian rupa.

Kwee Ceng jujur, hatinya bersih, dari itu, ia dapat meyakinkan Iweekang lebih cepat dari siapapun juga.

“Siapa yang ajarkan kau ilmu itu?” Cu Cong tanya. “Di mana dia mengajarkannya?”

“Dia tidak mau beritahu she dan nama atau gelarannya pada teecu, dia juga larang teecu memanggil suhu padanya,” Kwee Ceng jawab. “Malah dia suruh teecu bersumpah untuk tidak menjelaskan roman tubuh dan wajahnya.”

Liok Koay semakin heran, mereka menjadi curiga. Mulanya mereka menyangka Kwee Ceng cuma bertemu orang pandai, tapi kalau begini, mesti ada sebab lainnya lagi. Sebab apakah itu?

“Nah, pergilah kau!” kata Cu Cong kemudian.

“Selanjutnya teecu tidak berani pergi bermain-main pula dengan dia,” kata Kwee Ceng.

“Tidak apa-apa, kau boleh pergi main seperti biasa,” kata Cu Cong. “Kami tidak persalahkan padamu, asal kau tidak beritahukan dia bahwa kami telah ketahui urusan ini.”

“Baik, suhu,” kata Kwee Ceng, yang terus undurkan diri. Ia girang gurunya tidak marah. Setibanya di kemah, di sana Gochin sudah menanti, di sampingnya ada dua ekor rajawali putih. Kedua burung itu telah besar dengan cepat, berdiri di tanah, keduanya melebihkan tingginya tuan putri itu.

“Lekas, telah setengah harian aku menunggu kau!” kata putri itu.

Seekor rajawali angkat kakinya dan pentang sayapnya, terus ia terbang mencablok di pundaknya Kwee Ceng.

Dengan berpegangan tangan, dua kawan ini lari ke tegalan, untuk bermain dengan burung mereka.

Di dalam kemah, Liok Koay berbicara. “Dia ajarkan ilmu kepada anak Ceng, dia tentu tidak bermaksud buruk,” Siauw Eng mengutarakan pikirannya.

“Hanya kenapa dia tidak menghendaki kita mendapat tahu?” tanya Kim Hoat. “Kenapa pada anak Ceng juga ia tidak menjelaskan hal Iweekang itu?”

“Mungkin dia adalah kenalan kita,” Cu Cong bilang.

“Kenalan?” ulangi Siauw Eng, “Kalau dia bukan sahabat, tentulah ia itu musuh…”

Kim Hoat berpikir. “Di antara kenalan kita, rasanya tak ada yang berkepandaian seperti dia….” katanya.

“Kalau dia musuh, nah untuk apakah ia mengajari anak Ceng?” Siauw Eng tanya pula.

“Siapa tahu kalau dia tidak tengah mengatur daya upaya busuk?” kata Tin Ok dingin.

Semua saudara itu terkejut.

“Kalau begitu, baiklah sebentar malam aku dan liok¬tee pergi ikuti anak Ceng untuk lihat orang itu,” kata Cu Cong kemudian.

Tin Ok berlima mengangguk.

Malam itu Cu Cong dan Kim Hoat menanti di luar kemah ibunya Kwee Ceng.

“Ibu, aku hendak pergi!” begitu terdengar suara sang murid, lalu ia lari keluar, cepat larinya. Kedua guru itu segera menguntit dari kejauhan. Syukur di tanah datar itu tak ada sesuatu rintangan, maka itu, mereka dapat terus memasang mata. Mereka sendiri tidak khawatir nanti terlihat si murid, yang larinya benar pesat sekali. Sampai di lembah, masih si murid lari terus.

Ketika itu, dengan ilmunya maju pesat, Kwee Ceng dapat mendaki jurang tanpa bantuan lagi. tentu saja, Cu Cong dan Kim Hoat heran bukan main. Mereka menanti, sampai Tin Ok berempat datang menyusul. Mereka ini berbekal senjata, khawatir nanti ketemu musuh lihay. Cu Cong ceritakan halnya Kwee Ceng naik ke atas jurang.

Siauw Eng dongak, ia lihat mega hitam, ia gegetun.

“Mari kita sembunyi disini, tunggu sampai mereka turun,” Tin Ok mengatur.

Mereka lantas ambil tempatnya masing-masing. Siauw Eng berpikir keras. Suasana malam ini mengingati ia malam itu tempo mereka mengepung Hek Hong Siang Sat dengan kesudahannya Thio A Seng menutup mata untuk selamanya. Ia menjadi sangat berduka.

Sang waktu lewat detik demi detik, di atas jurang tidak terdengar gerak apapun juga. Tanpa terasa, sang fajar telah menyingsing, sang matahari sudah keluar, puncak jurang tetap sunyi senyap, malah Kwee Ceng tak tampak turun. Tak tampak juga orang yang dikatakan gurunya itu.

Lagi satu jam mereka menanti dengan sia-sia, akhirnya Cu Cong mengusulkan naik ke atas guna melihat.

“Bisakah kita naik?” Kim Hoat tanya.

“Belum tentu, kita coba saja,” sahut kakak yang kedua itu.

Cu Cong terus lari pulang ke kemah untuk ambil dadung, dua buah kampak serta beberapa puluh potong paku besar. Tempo mereka mulai menanjak, mereka gunai paku itu, mereka saling menarik. Setelah bermandikan keringat, keduanya tiba juga di atas. Segera juga mereka berseru karena kagetnya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar